Semua sangkalan Lawen tidak di gubris sedikit pun oleh Abdullah, sifatnya yang garang dan penuh amarah ini selalu tidak memberi ampun kepada orang yang telah ia tangkap. Itulah sebabnya raja memilihnya sebagai Panglima tertinggi keraja’an Saranjana, selain bengis Abdullah memiliki sisi lain di dalam dirinya. Ia memiliki rasa peduli dan kasih sayang yang sangat dalam pada ibunya. Waktu dan lingkungan yang menenggelamkan sisi baik pada dirinya. “Ampun baginda. Panglima Abdullah sebentar lagi sampai ke istana membawa seorang boronan yang bernama Manaf.” Seorang penjaga gerbang melapor di hadapan Muhammad Janna. “Haaa....haa...haaa.” Tawa Raja menggelegar ke seluruh ruangan. “ Siapkan penyambutan yang hangat untuk mereka.” Sebuah karpet mereh di hamparkan sepanjang jalan menuju singgasana, Abdullah masuk dengan menyeret laki-laki yang telah di tutup kain hitam di kepalanya. Ia melempar tubuh kurus itu ke hadapan raja, hingga tersungkur. “Buka penutup kepalanya.” Perintah sang Raja. Dua
Walaupun persidangan tidak bisa menyatakan Lawen bersalah, tetap saja ia harus di masukan lagi ke dalam sel tahanan. Karena perlu beberapa pertimbangan lagi dari para tetinggi kerajaan dan persetujuan dari sang Raja.“Apa kabar, anak muda.?” Umar menyambutnya dalam tahanan.“Seperti kamu lihat orang tua, malaikat maut masih enggan untuk membawaku.”“Malaikat maut mungkin jijik kepadamu, sampai enggan mendakatimu.”Mereka sungguh sangat homoris tertawa bersama, walaupun terkurung dalam ruangan kecil, seperti tiada beban dari keduanya. Setelah beberapa hari, prajurit kembali membawa Lawen ke hadapan Raja. Kali ini pandangan Muhammad Janna sangat berbeda, ia begitu ramah berbicara pada Lawen, begitu juga dengan Abdullah. Kekek Jawo juga turut andil di dalam ruang singgasana, mereka sudah berjejer duduk di kursi masing-masing beserta orang penting.Lawen mendelik matanya ke arah Abdulah lalu menghadap Raja. “Ampun Raja, apakah saya akan dihukum mati sekarang.?”Haa haaa haaa Raja tertawa,
Manaf dan anak buahnya sedang sibuk mengangkut kotak kayu yang sangat besar, ke dalam mobil box entah apa isi di dalam kotak itu. “Cepat-cepat jangan sampai ada yang ketinggalan.”“Aku curiga di dalam kotak itu, adalah hasil rampokan.” Ucap Lawen yang bersembunyi di dalam semak-semak bersama Kecek dan Abdullah.“Emang apa dalam kotak kayu itu.?”“Kunyit Cek.”“Orang Saranjana doyan makan kunyit ya Wen.”“Bodoh, kunyit itu artinya emas.” Lawen memukul kepala Kecek, sehingga ia mendesis kesakitan.“Panglima, kapan kita pergoki mereka.?”“Sekarang lebih baik kita intai dulu, kemana mereka membawa kunyit itu.”Semua sudah selesai terangkut pintu belakang di kunci oleh salah satu dari anak buah Manaf, dan mobil box segera melaju meninggalkan rumah betang. Lawen dan kawan-kawan langsung mengejar mengunakan 2 motor trail, jalan yang hanya dari tanah liat membuat laju mobil box sangat lambat.“Wen sebenarnya kamu bisa enggak sih pake motor.!”“Bisa lah, ini buktinya kita di atas motor.”“Iya
Dari Sampit Lawen dan kawan-kawan pergi ke Saranjana menggunakan portal demensi dari kekuatan mandaunya, mereka menuju kediaman Kakek Jawo. Dari arahan Abdullah yang telah paham atas kelicikan Ayah dan adik tirinya, mereka langsung masuk ke halaman rumah dengan sangat marah.“Manaf, aku tau kamu berada di sini.” Teriak Abdullah dengan keras dan lantang.Jawo dan Manaf keluar dari rumahnya dengan senyum menyeringai, mereka sudah menunggu Abdullah.“Akhirnya sekian puluh tahun kamu kembali anak ku.” Jawo tersenyum licik menyambut Abdullah.“Cuih... dasar orang tua licik, aku sudah terkecuh karna olahmu ternyata kamu adalah dalang dari semua rencana ini.”Jawo bertepuk tangan. “Tidak aku sangka anak ku secerdas ini.”Lawen dan Kecek semakin bingung, mereka tidak menyangka Jawo yang mereka kira berada di pihak mereka adalah penjahat yang sebenarnya.“Dimana Uma ku.?” Ucap Lawen yang teringat Enon masih dalam rumah Jawo.“Jika kamu ingin Uma mu selamat lawan dulu aku.” Ucap Manaf santai se
Ketika Lawen sudah sadar ia terkejut mendapati dirinya sudah berada dalam kamar kerajaan, di sampingnya Kecek masih terbaring dalam kondisi pingsan. Lawen memegang kepalanya yang berdenyut dan di bagian dadanya masih terbalut perban.“Kamu sudah sadar.” Raja berdiri penuh wibawa di depan pintu. Untuk sementara waktu mereka di suruh istirahat oleh Raja, guna memulihkan kekutan dan menyebuhkan luka. Raut wajah Raja sekarang tidak setegang kemaren, tampak Raja sudah bisa mengikhlaskan kematian anaknya.Di istana yang megah nan luas, Lawen berjalan keluar kamar menuju taman bunga yang sangat indah, di sana Putri Lisa sedang duduk termenung di atas sebuah kursi. Hamparan bunga bunga yang indah bermekaran mengeluarkan harum semerbak di dalam rongga penciuman.Dari kejauhan Lawen memandang Lisa yang sedang menikmati sanset di pagi hari, di dalam hatinya sungguh mengagumi kecantikan Lisa yang mengalahkan bidadari. Tapi apalah daya Lisa adalah putri Raja dan ia hanya sebatas manusia biasa,
Lawen dan Kecek harap cemas, menunggu kabar baik dari Abdullah yang sedang berduel dengan Manaf, mereka hendak menyusul Abdullah tapi di halangi oleh Raja.“Kenapa baginda Raja menghalangi kami menyusul Panglima yang lagi bertempur seorang diri.”“Ini amanat Abdullah sendiri agar melarang kalian untuk menyusul, karena ini adalah masalah keluarganya.”“Tidak, walau bagaimanapun kita di sini juga keluarga Panglima.” Lawen bersikeras hendak menyusul Panglima Abdullah.Seorang prajurit berlari dengan sangat panik ke arah baginda raja, sepertinya ada kabar yang sangat penting di bawa oleh prajurit ini.“Ampun Paduka, hamba membawa berita dari duel Panglima.” Prajurit ini tidak mampu melanjutkan kata – katanya ia hanya menatap ke bawah.“Teruskan, berita apa yang engkau Bawa.”Prajurit itu menarik napas panjang “ Panglima Abdullah telah meninggal setelah memenangkan pertarungan atas Manaf.”“Abdullah,...... ia pasti menggunakan jurus terlarang, jurus terlarang yang hanya ia yang mampu meng
Lawen kembali melanjutkan petualangannya seorang diri, misi kali ini mencari ibunya Enon. Di mulai dari rumah Jawo, tempatnya menitipkan Enon tempo hari, namun tidak ada pertanda yang menunjukan keberadaan uma nya. Rumah Jawo penuh dengan mesteri, padahal sekarang tidak ada penghuni di sini tapi perabotan masih rapi hingga alat memasak masih dalam posisi bersih tanpa ada kotaran debu. Lawen terus menyisir setiap ruangan yang ada di rumah guna mencari petunjuk keberadaan umanya kemana mereka sembunyikan, di benak Lawen sangat ber harap Enon dalam ke adaan masih hidup.Ia memutuskan untuk kembali ke dunia nyata untuk menuju rumah betang, kerinduan yang bergejolak di dalam hati membawa air mata mengalir deras di pelupuk mata. Rumah betang kini terhambur berantakan penuh dengan debu, kenangan bersama Enon kembali terbayang bayang di dalam kepala. Tidak ada seorang anak pun yang tidak merindukan bidadari yang melahirkannya ke dunia.“Uma dimana? Maafkan Lawen tidak bisa menjaga Uma.” La
Di samping rumah ada sembilan gundukan tanah, ia berjalan menyusuri ke sembilan gundukan yang tampak seperti kuburan, di atasnya masing – masing gundukan tanah di tanami bunga hias. Tidak sampai di situ Lawen melanjutkan langkahnya mendekati satu lobang besar yang menjadi pusat perhatiannya sedari awal, lobang besar ini tampak baru di gali beberapa hari lalu. Terlihat dari tanah yang masih basah, di dalamnya ada bangkai mobil hilux yang sudah rusak. Di sana ada ransel yang tertumpuk, dan ada satu kain yang keluar menyempul seperti kain baju.“Lawen kah itu.” Suara wanita dari dalam rumah betang.“Iya Bue Marna, ini Lawen.”Marna dengan cepat menurini anak tangga rumahnya, dan menghampiri ke arah Lawen.“Ini kuburan.?” Tanya Lawen.“Iya itu kuburan”“Kuburan siapa,? perasaan kuburan Nini sama Datu di atas bukit sana.”“Ini hanya kuburan orang yang kemaren tersesat, mereka meninggal di sini.”“Semuanya ada sembilan kuburan Bue!” ucap Lawen yang masih memperhatikan setiap gundukan, ia