Setelah berusaha menenangkan dirinya agar tidak panik, ibu Ayu akhirnya coba bicara dan tersenyum. Sedikit sikap menggoda secara halus ia lakukan.
“Tenang dulu. Ibu ingin kalian tahu bahwa semuanya sama, semuanya spesial. Nggak ada yang dibedakan kok..” jelasnya sembari mengulas senyum manis yang ia miliki. Bahkan sangat manis seperti senyum seseorang kepada pujaannya. Tidak hanya itu, ia juga berjalan mendekati mereka yang protes, menyebut namanya dengan lembut, suara merdu dan seakrab mungkin.
Mendengar penjelasan sang dosen, mahasiswa yang protes tadi akhirnya luluh juga dan perlahan mulai tersenyum. Ketika dosen cantik itu mendekati kursi mereka, senyum itu makin terasa manis dan aroma parfumnya tercium wangi.
“Oh teman-teman.. ternyata mbak Ayu nggak pilih kasih kok. Kalau gitu kita nggak jadi keluar kelas.” jelas Toni menginfokan pada yang lain. Mereka akhirnya duduk kembali.
“Iya dong, mana ada pilih kasih. semua sama,
Jika lagu-lagu perjuangan sering sekali menggema di seluruh Nusantara terutama menjelang hari kemerdekaan atau hari pahlawan, maka di kota Surabaya, atau lebih tepatnya di rumah kos Ode, lagu-lagu tersebut setiap hari terdengar hingga kadang mampu menghadirkan suasana tersendiri dalam hatinya. Ode sering terbawa pada nuansa ketika terjadinya perang di tanah air -meskipun sebenarnya ia tidak hidup di zaman itu- di saat para pahlawan berjuang mati-matian merebut kemerdekaan dari penindasan para penjajah.Hari kian menjelang sore. Seperti pada hari-hari biasanya, secara perlahan telinga Ode kembali mendengar sayup-sayup lagu ’sepasang mata bola’ yang mengalun dari gedung bilik sebelah, yang berada tak jauh dari kamar kosnya. Ia tahu siapa yang menyetel lagu-lagu perjuangan itu, yaitu Pak Tomo, tuan kosnya yang merupakan seorang veteran. Seorang yang masih tetap tampak bugar meskipun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun.Kecintaan Pak Tomo pada lagu-
Pada saat Ode balik belakang, ternyata Dido juga terlihat begitu tergesa-gesa. Ia baru saja keluar dari kamarnya dengan bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek dan handuk yang disampirkan di leher. Tangannya satu memegang gayung yang berisi sabun, sampo, pisau cukur, dan sisir.”Aku duluan ya. Soalnya takut terlambat acara temu akrab, jam lima sore ini. Biasa, anak maba nunggu aku. Mereka pasti sudah ndak sabar ingin jumpa aku,” celoteh Dido dari depan pintu kamar dan berjalan ke arah Ode sambil tersenyum, menaik-turunkan alisnya.Ode mengalah dan hanya geleng kepala melihat tingkah Dido yang sok tahu dan sangat percaya diri.”Oya, ojo lali... nanti bawa biolamu,” pinta Dido dengan ekspresi serius. ”Iya... buruan mandi. Tapi cepat. Ada yang ingin aku bicarakan, soal tadi, penting. Tentang Aryo dan Dona..” Dido sempat terkejut dan langkahnya terhenti
Waktu yang sangat dinantikan oleh peserta Ospek, panitia, dan terutama juga Dido, akhirnya tiba juga. Malam ini, di pelataran kampus mulai tampak ramai dan semarak laksana pesta konser musik. Suasana malam penutupan ospek yang diselenggarakan di halaman pelataran depan kampus tampak begitu meriah."Selamat malam semuanya," ucap pak ketua membuka sambutannya."Malam pak..." semua hadirin menjawab serempak."Selamat datang saya ucapkan kepada adik-adik mahasiswa baru, selamat bergabung di kampus tercinta ini," tegas bapak ketua kampus yang disambut tepuk tangan meriah dari semua hadirin.Pak ketua mulai memberikan sambutannya, berbicara menyampaikan pesan dan motivasi kepada mahasiswa baru yang telah memilih kuliah di kampus ternama di Surabaya. Semua hadirin, terutama mahasiswa baru, mendengarkan dan menyambut antusias. Sesekali diselingi tawa akibat candaan bapak ketua, juga tepuk tangan meriah.Selain ketua dan wakil ketua kampus -merupakan
“Hati senang walaupun tak punya uang... wo’ooo...” Suara vokal Dido tetap terdengar penuh percaya diri mengiringi nada musik. Ternyata Dido sama sekali tidak bergeming. Ia terus menyanyi meskipun tadi telah mendengar lontaran kata-kata protes. Bagi Dido, itu semua hanya bumbu pemicu semangat dalam suatu pertunjukan. Ia sudah merasa terbiasa, apalagi pernah diledek karena suaranya dibandingkan dengan nyayian suara burung beo yang lebih bagus dari suara Dido.Konser musik terus berlanjut.Nyanyian Dido yang terus menggema telah membuat Ode secara terpaksa harus terus mengiringinya sampai lagu selesai. Jika dihentikan, justru yang akan rusak citranya bukan cuma Dido saja, tapi mereka para pengiringnya juga akan kena dampaknya. Insting sebagai pemusik mulai jalan, dan mereka mengiringi dengan nada yang tidak fals, padahal mereka belum pernah latihan membawakan lagu itu. Untungnya lagu itu pernah terngiang di telinga mereka dan masih terek
Dona tidak langsung merespon pertanyaan Ode, raut wajahnya seperti datar. Ode mulai curiga karena memang sejak sebelum tampil tadi, sama sekali ia tidak melihat kehadiran Aryo. Malam ini Dona hanya sendirian, berkumpul dengan beberapa teman seangkatannya, bukan dengan Aryo.Ode kembali melihat sekitar karena menganggap mungkin pandangannya luput. Tapi ia tetap belum juga melihat jejak keberadaan Aryo.Sejenak Ode melirik pada Dona.“Aku tadi datang sendiri,” jawab Dona singkat sambil beralih memandang panggung untuk menyaksikan pertunjukan selanjutnya.Ketika melihat respon Dona yang tidak antusias menjawab, terkesan seadanya, bahkan sepertinya terlihat malas membahas Aryo, akhirnya Ode tidak melanjutkan bertanya. Ia mulai memahami ada sesuatu yang tidak beres di antara mereka berdua. Ode hanya memperhatikan Dona yang berdiri dan sedang berupaya menikmati melihat penampilan lain di panggung.Malam ini Dona memang tetap terlihat cantik s
Tanpa bisa lagi menyembunyikan perasaannya, apalagi terlihat dari ekspresi wajahnya, Dona spontan langsung bicara.”Iya ... aku bertengkar sama dia!” jawab Dona secara terang-terangan. Sepertinya ia tidak bisa lagi membendung kekecewaan dan ingin meluapkan kemarahan yang sudah dipendam cukup lama. Perkataannya yang terlontar dengan nada tegas, sama sekali berbeda dengan karakternya yang lembut. Bahkan bagi Ode dan Dido, baru kali ini ia melihat ekspresi kemarahan Dona, tidak seperti ekspresi kemarahan biasa.Tapi walau ekspresi dan nada bicaranya seperti itu, sangat jelas kemarahan Dona bukan ditujukan pada Ode dan Dido yang ada di dekatnya, agak jauh dari panggung. Sedangkan Wahyu sudah bergabung bersama penonton lainnya beberapa saat lalu.Ode dan Dido menyadari jika Dona seperti butuh teman untuk meluapkan dan curahkan kemarahannya. Pertengkaran mereka telah membuat Dona hanya bisa memendam, dan malam ini seolah jadi bagian dari meletupnya k
Pelaksanaan ospek telah usai, dan perkuliahan sudah mulai berlangsung kembali. Terlihat semangat yang tinggi, terutama bagi mahasiswa baru, tingkat kehadiran mereka bisa dibilang seratus persen. Semua semangat dan suasana perkuliahan juga menyenangkan bagi mereka.Tetapi kondisi tersebut berbanding terbalik, setidaknya bagi mahasiswa lama, apalagi mahasiswa akhir yang makin mendekati tahun kelulusan. Tugas berat telah menanti mereka.“Ha? Dapat D?” ucap Ode kaget setelah melihat hasil nilai tugas kelompoknya. Ia sama sekali tidak menduga, dan kini kecemasan mulai menghantui. Sedangkan mahasiswa lain banyak yang terlihat riang gembira saat melihat hasil nilai tugas kelompok mereka.Ode langsung menghampiri Dido yang masih asik duduk santai melihat foto di kameranya. Ia belum begitu menanggapi serius hasil tersebut karena masih terpesona dengan foto gadis cantik hasil jepretannya.Setelah melihat hasil nilai kelompoknya, Ode langsung menghampiri
“Ayo Do, urusan ini harus segera beres!” ajak Ode menarik tangan Dido. Walaupun agak malas, akhirnya Dido menurut juga karena ini menyangkut urusan kuliahnya. Mereka berdua langsung menuju parkiran, Dido segera menarik motor vespa miliknya yang terlihat antik dan kuno. Dengan perasaan setengah hati, akhirnya ia mengenakan helm kesayangan yang modelnya seperti helm sang pilot zaman dulu. Kemudian ia membunyikan motor butut tuanya, vespa lambreta. Mereka langsung meninggalkan kampus, menerobos ramainya kendaraan dan panasnya terik matahari kota Surabaya. Sebenarnya Ode juga merasa malas untuk pergi ke rumah Aryo. Selain karena jaraknya yang jauh, menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam, apalagi bila macet, juga karena siang ini udara kota Surabaya memang panas. Tapi jika mereka tidak ke rumah Aryo sekarang maka urusan tugas kelompok akan terbengkalai terus. Bahkan bisa jadi mereka tidak lulus dan tentu akan lebih menyakitkan lagi, sementara kelompok lain