Aku membuka tudung saji lalu menutup kembali dengan gerakan kasar.Hari sudah hampir pukul tujuh pagi tapi belum ada juga barang sebiji sarapan pun di meja makan. Apa sih maunya Zahra? Apa juga gunanya tinggal di rumah ini kalau ngurusin sarapan pagi suami saja nggak becus begini?"Ra, Zahra. Mana sarapan pagi? Kok jam segini kamu belum masak?" teriakku pada Zahra yang kulihat sedang asyik bermain ponsel di ruang tamu.Bah, istri macam apa yang pagi-pagi begini bukannya menyiapkan makan pagi suami malah sibuk berselancar di sosial media?"Maaf, Mas. Aku memang belum masak karena uang yang Mas kasih kurang buat belanja. Aku cuma bisa beli token listrik, beras dan bayar hutang bulan lalu. Mpok Meli nggak mau ngutangi lagi karena itu juga cuma bisa bayar setengah dari hutang semuanya. Makanya aku lagi melayani pembeli yang mau belanja online di olshop-ku, Mas. Nanti kalau sukses orderannya, baru aku mau belanja. Maaf ya, Mas," ucap Zahra sambil menundukkan kepalanya. Terlihat bersalah.
"Mas, kamu dari mana? Kok baru pulang?" tanya Zahra saat aku baru pulang dari rumah ibu.Tanpa menghiraukan pertanyaannya, aku langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, ganti baju lalu berbaring di kasur dan memejamkan mata.Benak ini memang sudah letih. Seharian aku di rumah ibu dan terus dicekoki dengan segala hal negatif soal Zahra membuatku sakit kepala."Mas, kok diem aja? Aku masak nila goreng kesukaan kamu, makan dulu yuk," ujar Zahra lagi sembari mendekati tempat tidur lalu menyentuh pelan bahuku tetapi aku hanya bergeming saja.Entah, berdekatan dengannya rasanya tak lagi seindah dulu, saat awal menikah dan berbulan madu.Saat semua masih baik-baik saja hingga Zahra mulai protes ketika tahu aku memberikan separuh gajiku untuk ibu, wanita yang telah melahirkanku ke dunia."Mas?""Kamu dapat uang dari mana? Katanya uang kemarin habis?" potongku dingin sambil membalikkan punggung, membelakanginya."Dari jualan olshop, Mas. Alhamdulillah hari ini dapat tiga puluh rib
"Mas, sarapan yuk. Aku bikin nasi goreng spesial kesukaan, Mas. Kebetulan masih ada sisa uang buat beli telor, jadi aku bikinin nasi goreng dengan telor mata sapi. Cicipin yuk, enak lho," ujar Zahra saat aku selesai mandi dan berganti pakaian dengan seragam kantor, hendak bekerja pagi ini.Tanpa reaksi apapun, setelah merapikan diri, aku berjalan menuju ruang makan dan duduk di sana.Di depanku telah terhidang sepiring nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas. Sepertinya baru selesai dimasak.Kucicipi dengan ujung sendok. Hmm, enak ternyata. Aku pun lalu memakan nasi goreng buatan Zahra itu dengan lahap meski masih saja memilih mendiamkan istriku itu, supaya Zahra tahu aku masih merasa marah padanya."Mas, untuk siang nanti aku boleh minta tambahan belanja nggak? Rencananya aku mau masak pepes ikan kesukaan Mas. Aku punya uang sepuluh ribu hasil keuntungan jualin barang orang tadi, kurang dua puluh ribu lagi, tambahin ya?" ujar Zahra tiba-tiba sambil menatapku.Aku yang hendak mem
"Den, denger-denger di divisi kamu akan ada karyawan baru lho. Namanya Sinta, ponakan bos besar kita yang baru saja lulus kuliah dari Jakarta. Masih single lho katanya," ucap Rudy, teman sekantor dari divisi lain saat bertemu denganku di kantin kantor.Aku yang sedang menyuapkan makanan ke dalam mulut, sontak menoleh padanya dengan rasa ingin tahu yang begitu besar.Karyawan wanita baru? Kok aku baru tahu? Padahal bakal ditempatkan di divisi yang sama denganku?"Oh ya? Kamu tahu dari mana?" Aku mengernyitkan dahi."Tahu dong. Aku kan barusan ngadep bos dan beliau cerita kalau bakalan ada keponakannya yang mau masuk kerja dan ditempatkan di divisi kalian."Karyawan baru? Ponakan bos? Hmm, kedengarannya menarik, pikirku.Usai makan, aku segera kembali ke tempat kerja dan tercengang saat melihat seorang wanita berpakaian elegan dan berwajah cantik sedang duduk tak jauh dari tempat duduk Amelia, salah satu staf di divisi HR & GA ini.Ah, apakah gadis muda ini yang disebut-sebut Rudy tadi
"Sinta? Kamu belum pulang?" tanyaku saat melihat gadis itu masih duduk di lobi kantor meski waktu telah menunjukkan berakhirnya jam kerja.Aku sendiri sudah bersiap-siap hendak pulang, tetapi melihat gadis itu duduk di sofa lobi kantor, aku bergerak mendekatinya."Eh, Mas Deni. Iya, Mas. Lagi nunggu jemputan, tapi belum ada yang bisa jemput," jawabnya sambil tersenyum manis.Melihat senyum gadis itu, seketika jantungku berdegup kencang. Senyum itu sungguh manis, semanis orangnya, bisik hatiku lagi. Mabuk kepayang."Mas antar aja gimana? Sudah sore ini, takutnya sebentar lagi satpam mau ngunci kantor," ucapku lagi, menawarinya tumpangan. Kesempatan bagus untuk pedekate dengannya tak boleh dilewatkan begitu saja, bisikku pada diri sendiri.Sinta menatapku sesaat, lalu berucap."Memangnya nggak mengganggu, Mas? Nanti Mas dimarahin orang rumahnya nggak kalau telat pulang?" jawabnya lagi.Aku hanya tersenyum lalu menggelengkan kepalaku."Nggaklah. Ngapain juga marah? Mas biasa kok telat
Aku menatap kepergian Sinta dan Rudy dengan dada terasa panas dan membara.Sial*n! Pekikku dalam hati. Hanya gara-gara tak punya mobil, aku harus kalah bersaing dengan Rudy dan kehilangan kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Sinta serta mengantar gadis itu pulang ke rumahnya.Hmm, apa ini artinya aku harus segera punya mobil baru seperti rekan satu kantor itu supaya bisa menarik perhatian keponakan direktur itu dan minta uangnya pada ibu ya?Ya, kalau tidak minta pada ibu lantas harus minta pada siapa lagi?Selama ini sebagian besar gaji, kusetorkan pada beliau untuk keperluan beliau dan untuk disimpan demi masa depanku.Jadi, saat aku butuh roda empat seperti sekarang ini, tentu beliaulah tempat aku mengadu dan meminta uang. Berpikir begitu, aku pun segera memacu roda duaku menuju kediaman ibu yang berjarak setengah jam perjalanan dari kantor.Tiba di depan rumah, buru-buru kuparkir motor seadanya. Tak sabar lagi ingin segera masuk dan mengutarakan maksud hati kepada wanita yang
'Ibu serius? Nggak bercanda Zahra dapat arisan?" tanyaku sambil menatap ibu.Wanita paruh baya di depanku itu menganggukkan kepalanya lalu tertawa kecil."Masa iya sih ibu bohongin kamu, Den? Gih, sana pulang dulu! Tanya dan minta uang itu pada istrimu, biar nanti ibu tambahin untuk DP mobil baru kamu. Tapi, ingat ya jangan sampai ikan yang mau kamu pancing, disambar orang lain lebih dulu. Deketin terus. Jangan sampai ponakan direktur yang kamu taksir itu jatuh ke tangan laki-laki lain, oke? Gunakan semua cara untuk bisa memikat gadis itu. Nanti ibu bantu caranya supaya kamu bisa mendapatkan gadis itu.Siapa namanya tadi? Sinta? Tanya tanggal lahirnya dan nama orang tuanya siapa. Terus kamu foto, kasihkan ke ibu. Biar ibu bikin dia tergila-gila sama kamu. Oke?" ujar ibu lagi dengan nada penuh semangat.Mendengar perkataan beliau, aku pun ikut semangat dan akhirnya tersenyum lebar.Ibu memang selalu bisa diandalkan. Entah bagaimana caranya ibu akan membantuku, tapi aku yakin dengan ba
"Gimana, Den? Dapat uang arisannya?" tanya ibu begitu aku tiba.Usai bertengkar dengan Zahra tadi, aku memang langsung memacu roda duaku kembali ke rumah ibu.Tak kupedulikan perasaan Zahra usai kumaki dan kumarahi tadi. Biar sajalah, toh sudah biasa juga perempuan itu menerima perlakuan kasar dariku. Dan selama ini ia tak pernah protes apalagi merajuk diperlakukan begitu olehku.Pun pasti kali ini. Meski sudah kuusir dari rumah, seperti biasanya ia pasti akan bertahan dan tidak akan pergi begitu saja sebab begitu dalamnya rasa cintanya padaku, suaminya, bagaimana pun perlakuanku padanya.Mendengar pertanyaan ibu, aku menggelengkan kepala lalu menyahut."Nggak, Bu. Uang yang sudah dia dapatkan itu ia kembalikan lagi pada Bu RT. Katanya males nerima karena arisannya masih panjang. Lagipula dia belum butuh uang jadi arisan yang dia dapatkan itu dia kembalikan lagi untuk diberikan ke anggota yang lain yang lebih butuh uang," terangku dengan nada kesal menjelaskan alasan Zahra tadi kenap