"Hadi, dari pada kalian merenovasi rumah orang tuanya si Amira, mending kamu renovasi dulu rumah ibumu ini." Aku baru saja pulang kerja dan sudah mendapati ibu mertuaku mendatangi rumah peninggalan orang tuaku yang saat ini aku tinggali bersama dengan putranya.
Apa aku tidak salah dengar ucapkan ibu mertuaku barusan. Merenovasi rumahnya? Rumah yang katanya sudah ia berikan kepada putra bungsunya karena rumah biasanya diwariskan orang tua pada putra bungsunya, itu dalih yang aku dengar dari ibu mertuaku.Iya, Aku sengaja menguping pembicaraan ibu mertuaku bersama dengan suami dan juga putra bungsunya. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba saja perempuan yang aku panggil ibu mertua berkunjung ke rumah orang tuaku.Iya, hampir setengah tahun ini aku pindah ke rumah peninggalan mendiang kedua orang tuaku karena aku adalah anak satu-satunya.Sebelumnya rumah ini sengaja aku kontrakan karena setelah menikah aku ikut tinggal bersama dengan orang tua dari suamiku. Setelah kedatangan iparku, Aku akhirnya memutuskan untuk segera pindah dan bertepatan pula dengan pengontrak yang sudah tidak memperpanjang lagi masa kontraknya karena harus pulang ke kampung halaman istrinya."Itu adalah kemauannya Mira, Bu. Kan yang punya uang itu juga si Mira." Mas Hadi berusaha memberikan penjelasan pada Ibunya."Tapi kamu itu suaminya. Sebagai seorang istri harusnya si Mira itu patuh sama kamu.""Tapi rumah itu bukannya sudah ibu berikan sama Wahyu, Bu?""Iya, terus kenapa kalau itu rumah si Wahyu. Kamu juga kan dapat rumah warisan dari orang tuanya si Mira. Lagian ibu juga bakalan tinggal sama adik kamu. Jadi wajar kalau kamu harus bantu si Wahyu buat nyenengin ibu dengan menyediakan tempat tinggal yang nyaman buat ibu."Aku geram dengan alasan ibu mertua. Bisa-bisanya ia pandai beralasan. Aku bukannya baru satu atau dua hari mengenalnya. Tapi sudah hampir satu tahun. Aku tahu bagaimana betul peringainya itu.Ibu mertua sangat kompak dengan menantu satunya yakni si Amanda yang tidak lain adalah istrinya si Wahyu.Sedari awal aku menjadi menantunya memang ibu mertua sudah tidak suka. Ia sepertinya terpaksa menerima aku karena putranya tak kunjung juga menikah diusianya yang sudah matang.Aku Amira 23 tahun. Sementara suami mas Hadi berusia 29 tahun.Kami sudah menikah selama kurang lebih empat tahun dan memang juga belum dikaruniai seorang momongan."Rumah kalian juga masih bagus. Buat apa buang-buang duit buat renovasi rumah segala. Kalian juga masih hidup berdua. Belum juga ada momongan. Lebih baik uang itu buat kamu ibadah menyebabkan ibu kamu sendiri. Suami adalah kepala keluarga dan istri harus nurut dan patuh pada suaminya. Kamu harus tegas sama Hera.Sedangkan di rumah ibu juga cuma ada tiga kamar yang semuanya sempit. Kamu sendiri adik kamu sebentar lagi punya anak. Masa iya harus menempati kamar yang sempit dan sesak."Ini juga adik suamiku. Mulutnya sudah melebihi mulut perempuan yang lemes dan enteng maksud ngomong tanpa dipikir dulu.Seperti setali tiga uang dengan istrinya itu. Sama-sama nggak tahu dirinya.Jangan harap satu sepeser pun akan aku keluarkan untuk mereka. Selama ini barang-barang yang aku beli selama tinggal di rumah ibu mertua yang menjadi milikku, mereka melarang aku untuk mengambil dan membawanya untuk aku pergunakan di rumahku sendiri ini. Mulai dari lemari es, mesin cuci dan juga yang terakhir televisi layar datar semuanya itu dikuasai oleh ibu mertua.Sebelum aku pindah ke rumah mas Hadi. Di rumah tersebut memang tidak ada perabotan mewah. Hanya kursi tua dan lemari kayu yang sudah lapuk yang mengisi rumah mereka tersebut. Bukan tanpa alasan. Ibu mertuaku memang sudah menjanda lebih tepatnya satu tahun sebelum aku dan mas Hadi menikah. Mertuaku merupakan pensiunan guru sekolah dasar begitupun mas Hadi dan jug adiknya keduanya juga mengikuti jejak ayahnya itu. Hanya saja suamiku dan adik ipar ku itu masih belum diangkat menjadi pegawai negeri karena memang belum lolos seleksi.Ibu mertuaku sangat mendambakan menantu yang sama halnya putra-putranya yang mengenyam pendidikan hingga bangku perkuliahan. Amanda menjadi menantu kesayangan juga karena ia menjadi seorang pengajar."Pokoknya ibu mau rumah ibu dulu yang dibangun. Bukan malah rumah si Amira ini." Terdengar suara ibu mertua yang mulai merajuk. Dasar modus. Jika dulu aku bisa memakluminya. Tidak untuk saat ini dan seterusnya."Iya, Mas. Apa kamu gak kasihan sama ibu sama almarhum bapak juga." Si Wahyu kenapa juga bawa-bawa orang yang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Ibu dan anak sana saja.Lihat saja bagaimana nanti reaksi suamiku itu. Apakah dia akan berpihak pada istrinya yang mempertahankan haknya ataukah ia tetap akan menuruti semua kemauan ibunya itu."Emm ... emm ... emm, Assalamu'alaikum. Eh ada tamu." Aku berdehem dan kemudian mengucapkan salam. Tentunya mereka semuanya terkejut karena aku pulang lebih awal dan mereka juga tidak menyadari keberadaan ku sedari tadi."Waalaikumsalam," jawab mereka kompak."Kamu dari tadi, Dek?" Rona wajah suamiku menampakkan kepanikan begitu juga ibu mertua dan anak bungsunya itu.Aku segera menyalami tamu di rumahku. Tak lupa seulas senyum yang sengaja ku buat manis aku perlihatkan pada mereka. Tentunya rasa hati ini berkata lain."Baru saja, Mas," ucapku bohong."Ibu sudah dari tadi. Tumben, apa ada yang penting?""Kamu jam segini kenapa sudah pulang" Dengan raut masamnya ibu mertua bertanya."Iya, Bu. Tadi di pabrik ada pemadaman listrik. Jadi seluruh pekerja dipulangkan lebih awal," balasku."Iya memang beda pegawai seperti guru dan buruh. Kalau guru sudah ada interupsi dari pemerintah sedangkan buruh yang harus patuh sama yang punya tempatnya." Nyes! Pedas sekali mulut wanita tua satu ini. Dikiranya aku tidak tahu niat kedatangannya ke rumah ku ini. Buruh yang ia rendahkan ini lebih banyak memiliki tabungan ketimbang anak dan menantunya yang merupakan pegawai pemerintah yang ia bangga-banggakan.Awas saja. Tidak akan ada lagi jatah uang buruh ini untuk perempuan tua bermulut pedas seperti dirinya.Ya Allah maafkan hamba MU ini karena belum bisa berlapang hati dan sabar menghadapi orang tua yang tidak bisa menjaga lidahnya yang tajam itu.Permasalahan yang menghampiri keluarga Hadi datang bertubi-tubi. Setelah dirinya mengalami kegagalan dua kali dalam menyelami bahtera rumah tangganya. Kini adik kandungnya sendiri mengalami hal yang serupa.Setelah kejadian penggerebekan sang istri oleh Wahyu sendiri. Wahyu memilih untuk kembali ke rumah ibunya sedangkan Manda lebih memilih bertahan dengan Darto.Karena sudah gelap mata. Wahyu memilih untuk menyebarkan video yang ia ambil di sebuah kamar hotel dan karena video itu pula sang istri dan juga atasannya terpaksa diberhentikan dan dikeluarkan dari sekolah setelah Wahyu memilih untuk mengundurkan diri dari tempatnya beberapa tahun terakhir mengabdi Manda lebih tergiur iming-iming dari seorang Darto dari pada suaminya sendiri.Hadi mulai berdamai dengan hatinya karena bagaimana pun ibunya adalah perempuan yang sudah berjuang demi hidupnya selama ini.Tuti dan keluarga akhirnya memilih untuk keluar dari rumah yang sudah dibangunkan oleh Ridwan. Tuti mulai merasa bersalah dan
Dari jauh, Hadi hanya bisa memandang perempuan yang pernah menghuni hatinya dan memeluk jiwanya.Diam-diam Hadi mengintai pasangan yang sedang berlimpah kebahagiaan tersebut. Senyum tulus dan perhatian Fahmi yang diberikan pria itu untuk kekasih hatinya bagaikan sembilu yang mengiris-iris hatinya.Andaikan ia bisa tegas dan tidak mudah goyah dengan hasutan ibunya. Mungkin kebahagiaan itu akan menjadi miliknya.Perhatian Hadi tertuju pada tangan Fahmi yang terus mengelus perut Amira. Bentuk tubuh Amira sudah menampakkan perubahan dan Hadi sudah faham akan hal tersebut.Setiap kali istirahat makan siang. Hadi selalu menyempatkan diri untuk mencuri pandang pada perempuan yang sudah menjadi mantan pasangan hidupnya. Tempat kerja Hadi memang tidak jauh dan masih satu lokasi dengan toko sekaligus konveksi yang kelola oleh Amira sebagai hadiah pernikahannya dengan Fahmi.Semakin lama melihat kemesraan sang mantan membuat mata Hadi menjadi perih juga hatinya menjadi tidak karuan karena dilip
"Kamu kenapa, Yang? Kamu nggak enak badan? Hari ini nggak usah ke toko kalau nggak enak badan." Fahmi menyadari perubahan yang terjadi pada istrinya. Sudah beberapa hari Amira mengeluh jika badannya sering terasa lemas tidak bertenaga nafsu makan pun mulai berkurang dari pada biasanya. Keluarga kecil itu sedang menikmati santapan makan pagi mereka."Aku nggak apa-apa, Mas. Nggak enak di rumah terus. Takut bosan karena tidak ada kegiatan."Semenjak dinikahi oleh Fahmi. Amira sudah tidak diizinkan lagi oleh sang suami bekerja di pabrik. Fahmi sudah menyerahkan toko sekaligus butik yang ia bangun dan dibuka bersamaan dengan acara pernikahan mereka beberapa waktu yang lalu. Amira seolah telah mendapatkan ganti rugi yang lebih dari apa yang dulu telah hilang darinya. Tidak hanya suami yang perhatian dan menyayangi dirinya melainkan juga sosok mertua yang selama ini tidak ia dapatkan dari pernikahannya yang sebelumnya. Kebahagiaan Amira berlipat ganda selain mendapatkan kehangatan kasih s
Di sepanjang perjalanan. Hening, seluruh penumpang yang ada di dalam mobil tersebut tidak ada satupun yang bersuara hanya suara kendaraan yang berlalu lalang di jalanan yang terdengar. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing.Hingga mobil tersebut berbelok ke arah rumah Tuti, semua tetap dalam kondisi seperti sebelumnya."Mas, kamu nggak pulang?" tanya Yuni pada suaminya karena Hadi juga ikut masuk ke rumah ibunya. Hadi Hanya menoleh sebentar dan setelahnya pergi meninggalkan Yuni begitu saja.Sama seperti Hadi, Tuti juga memilih untuk mengabaikan menantu yang pernah dipuja-puja iparnya itu."Sial! Kenapa mereka jadi berubah seperti ini sama aku!" Yuni merutuki sikap keluarga suaminya tersebut.Yuni menghentakkan kakinya. Merasa tidak dianggap. Yuni akhirnya memilih untuk meninggalkan rumah tersebut.Tuti terduduk lemas di atas kasur yang ada di kamarnya. Ia merasa seolah telah mendapatkan sebuah karma atas semua perbuatannya. Penyakit hati yang ia miliki tidak tahu apa penyebab a
Flashback"Surya, apakah kamu benar-benar cinta sama aku? Apakah kamu benar-benar mau berkorban untuk aku?" Tuti diam-diam mendatangi Surya di tempat ia bekerja. Surya bekerja untuk keluarga Ridwan sebagai orang kepercayaan untuk memegang satu cabang toko grosir sembako milik keluarga dari mertua Marlina."Apa pun demi kamu." Surya di mabuk cinta karena Tuti." ... " Tuti segera mendekat ke arah pria tersebut dan kemudian ia membisikkan sesuatu pada teman prianya itu."Hah! Gila, kamu, Tut!" sentak Surya karena terlalu terkejut dengan apa yang diungkapkan oleh kekasihnya itu."Aku gila tapi aku juga tidak mau seperti ini. Hatiku sakit aku mau kamu bisa membantuku untuk mengobati sakit hatiku ini.""Apa kamu tidak pernah menghargai perasaan ku?""Aku sangat menghargai kamu. Tapi aku juga tidak bisa mengendalikan egoku ini."Surya merasa gusar. Di sisi lain ada cinta matinya dan di sisi lain ada orang yang tidak mungkin ia khianati."Baik, tapi kamu juga harus janji jika hati dan ragamu
"Hadi, itu nggak mungkin mantan istri kamu si Amira itu kan?" Hadi masih terdiam, pria itu tercenung mendapati sang mantan kini telah bersanding dengan yang lain dan mirisnya mantan istrinya itu terlihat jauh lebih cantik dan seimbang karena bersanding dengan pria yang rupawan. Hadi merasa semakin rendah. Setelah lepas darinya dengan kehidupan yang sebelumnya penuh menguras emosi dan juga kesabaran. Mantan istrinya kini seolah telah menuai. Amira mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik bahkan pria itu adalah pimpinan di tempat kerjanya dan yang lebih tidak masuk akal lagi adalah tenyata selama ini Hadi bekerja di tempat orang-orang yang menjadi tersakiti karena ibunya.Hadi masih belum bisa mempercayai dan menerima kenyataan ini.Setelah berada di barisan antrean untuk memberikan ucapan selamat pada mempelai dan keluarga."Hadi lebih baik kita pulang saja." Hadi masih belum merespon Ibunya. Raga Hadi memang berada di gedung tersebut tetapi entah berada di mana jiwa pria itu. "Mas
Waktu terus berjalan dan berlalu meninggalkan kenangan pahit dan manis yang telah dan pernah terukir."Bu, atasan di tempat kerja Hadi mau mengadakan acara syukuran dan juga pesta pernikahannya." Hadi sudah mulai menerima siapa dirinya dan perihal ayah kandungnya pun Hadi sudah ikhlas menerima siapapun orangnya."Maksud kamu bagaimana, Hadi?" tanya Bu Tuti pada putranya karena penasaran. Tidak biasanya sang anak bercerita perihal pekerjaan barunya pada ibunya. Hadi sengaja tidak ingin bercerita perihal pekerjaan dan juga gaji yang ia peroleh di tempat baru tersebut. Gaji Hadi jauh lebih besar dari pada gajinya sewaktu menjadi tenaga pendidik karena memang masih menjadi tenaga honorer. Ibunya selalu memandang rendah pekerjaan seorang buruh pabrik, tetapi kini putranya sendiri juga beralih profesi menjadi buruh pabrik dari seorang pengajar sebelumnya. Awalnya Hadi sangat asing dengan profesi barunya itu, namun lambat laun seiring dengan berjalannya waktu dirinya bisa menyesuaikan diri.
"Dasar manusia tidak tahu malu. Apa kamu di rumah tidak punya kaca? Penyesalan terbesar dalam hidupku adalah memelihara ular tidak tahu diri seperti kamu. Sudah merampas dan merusak kebahagiaan orang lain. Sekarang seolah kamu belum puas, tanpa tahu malu kamu mau meminta hak kamu? Hak yang mana yang kamu minta? Kenapa kamu tidak memintanya langsung pada keluarga suami kamu? Kenapa? Apa kamu malu karena anak itu bukan dari keturunan mereka?""Tutup mulut kamu Marlina!" Tuti sudah emosi karena merasa harga dirinya sudah diinjak-injak oleh Marlina."Kamu tidak terima dengan ucapanku? Apa ada yang salah? Hah! Jangan kamu kira aku bodoh dan tidak tahu semuanya. Keluarga mas Ridwan pun sudah tahu kebenarannya maka dari itu mereka tidak sudah menerima kamu." Marlina memiliki kesempatan untuk membalas sakit hatinya dengan."Tutup mulut kamu!" Tuti ingin menyerang Marlina untung saja ada Fahmi dan dari arah tak terduga Hadi pun sudah berada di tempat yang sama."Ibu,""Kebetulan. Putramu juga
Bu Tuti mendatangi rumah Yuni yang ditinggali oleh Hadi. Usai orang-orang suruhan Amira pergi dengan membawa barang milik Amira dan Bu Tuti tidak bisa mencegahnya. Bu Tuti berniat ingin mengadu pada sang putra."Yuni kamu sudah di rumah?" Bu Tuti terkejut karena yang menemuinya adalah sang menantu bukan putranya sendiri."Iya, kenapa, Bu memangnya?" jawab Yuni ketus pada ibu mertuanya. "Anu ... ibu nyari Hadi. Ibu ada perlu sebentar sama anak ibu." "Mas Hadi kerja, Bu. Anak ibu itu harus kerja sebagai tanggung jawabnya. Sudah dua hari anak ibu itu cuti dari tempat kerjanya. Aku nggak mau sampai suami Yuni kehilangan pekerjaannya lagi karena ulah ibu." Bukannya mempersilahkan masuk ibu mertuanya itu untuk masuk justru Yuni malah mendebat orang tua yang telah melahirkan suaminya itu."Ibu memang ada perlu sama Hadi. Lagian Wahyu juga adiknya Hadi sudah sewajarnya Hadi ikut mengurusi adiknya yang sedang terkena musibah.""Wahyu kan punya istri, Bu. Dan juga ada keluarga istri juga. Ini