Sebuah ruangan yang kini aku tempati bersama bapak dan ibu secara tiba-tiba hening, tepat ketika aku bertanya seperti itu kepada bapak. Bapak hanya terdiam dan menunduk secara perlahan, rokok yang dari tadi dia hisap hanya dia pegang di dekat asbak dan membiarkannya terbakar secara perlahan pada saat itu. Aku menatap dengan penuh pertanyaan kepada bapak, pertanyaan demi pertanyaan aku lontarkan perihal leluhurku yang kini memberikan suatu beban kepada kehidupan keluargaku hingga saat ini. Aku bahkan belum bertanya perihal warung, perihal makhluk yang muncul pada kemarin malam, dan para makhluk yang menjadi penghuni rumah ini kepada bapak. Namun bapak hanya terdiam, cerita-cerita tentang leluhur yang dia bicarakan mendadak terhenti ketika aku berbicara seperti itu di hadapannya. Wusss Semilir angin terasa olehku dari arah luar, semilir angin yang masuk dari pintu rumah yang belum tertutup ketika para warga membawaku di depan warung. membuat ampas rokok yang terbakar di tangan bapak
Ada aturan tidak tertulis yang mengikat Kampung Sepuh, yang mewajibkan warganya untuk tidak keluar pada malam hari. Dan ketika aku mengetahui alasan dibalik hal itu. aku kini tahu, bahwa aturan itu sengaja mereka buat, agar mereka tidak bertemu dengan para makhluk yang mengunjungi Kampung Sepuh pada malam hari, terutama para makhluk yang mengunjungi warung yang ada tepat di depan rumahku. Ketika Ki Wisesa datang dan para penduduk Kampung Sepuh terlepas dari semua ritual dan perjanjian yang mengikatnya. Entah mengapa, makhuk itu tiba-tiba datang ke kampung dan memporak-porandakan kampung pada malam tiba. Bahkan, semuanya terlihat semakin mencekam ketika dalam beberapa hari banyak orang yang meninggal di masa-masa tersebut. Mereka meninggal dengan cara yang mengenaskan, setiap hari mereka mendapati tetangga, kerabat atau teman mereka terbujur kaku dan tidak bernyawa, semua kasusnya sama dengan mata yang melotot dan dengan kondisi tubuh yang terbujur kaku secara tidak wajar, mereka sep
Sudah beberapa hari setelah kejadian tersebut, Aku mengurung diri di kamar. Jarang sekali aku keluar kamar kecuali makan dan ke kamar mandi atau MCK yang berada di dekat sungai. Aku masih shock, menghadapi kenyataan yang Bapak katakan dalam beberapa hari ini, tentang warung, tentang kampung, tentang Gunung Sepuh, juga tentang keluargaku dan leluhurnya dengan tanggung jawab yang aku sendiripun tidak mungkin sanggup untuk menanggungnya. Ingin rasanya aku berlari, menjauhi Kampung Sepuh dan melupakan sejenak semua yang Bapak katakan. Tapi nyatanya tidak bisa, Bapak bahkan kakek sudah melakukan hal itu. Mencoba untuk tidak mengambil tanggung jawab atas apa yang dibebankan kepadanya, dengan mengembara keluar dari Gunung Sepuh. Melewati gunung, melewati beberapa hutan yang cukup lebat, hingga ikut nebeng kepada kendaraan yang berjalan ke arah kota selama beberapa hari. Namun tetap saja, sejauh apa pun mereka pergi, entah bagaimana selalu saja ada hal yang mengharuskan dia kembali ke Kampu
Seseorang pernah berkata, ketika seseorang dalam keadaan marah. Tubuhnya akan merasa panas, karena ada aura yang sangat kuat yang keluar dari tubuh seseorang, sehingga bisa terasa oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka. Apalagi untuk seseorang yang mempunyai suatu keilmuan yang dia pelajari. Sesuatu yang bisa membuat nya semakin menjadi-jadi ketika rasa emosinya yang muncul akibat sesuatu yang membuatnya marah. Yang bisa membuat orang-orang di sekitarnya tertekan hingga batas tertentu karena amarah yang dia keluarkan. Itulah yang kini terasa olehku. Sebuah tekanan yang menyakitkan dari tatapan tajam yang Bapak rasakan. Membuatku kini hanya bisa menjauh dan menyender di dekat lemari kecil di pinggir kasur. Aku merasakan sesak napas yang luar biasa, jantung yang berdetak kencang. Juga bulu kuduk ku yang merinding, seperti sedang melihat sesuatu yang sangat-sangat menyeramkan di depan mata. Padahal, hari ini masih siang. Matahari masih tinggi dengan sinarnya yang masuk dari sela-
Hawa dingin pegunungan yang menusuk kulit, kini terasa olehku. Pada saat ini tubuhku yang hanya dilapisi oleh celana pendek dan kaus oblong yang tipis, membuatku terbangun dari tidurku yang lelap tadi. Aneh, sungguh aneh. Pemandangan yang aku lihat kini, sama seperti apa yang aku alami ketika aku pertama kali aku ditinggal di tengah hutan oleh Bapak beberapa waktu yang lalu. Namun, kini berbeda. Aku tidak lagi berada di dalam hutan, melainkan di sebuah padang rumput yang agak luas dan dikelilingi oleh pepohonan yang lebat di sekelilingnya. Juga ada sebuah danau kecil di tengah-tengahnya yang terlihat memantulkan cahaya bulan purnama yang sangat terang dari riak-riak air danau yang bergerak secara perlahan di tempat itu. Aku tidak tahu ada di mana sekarang, apakah aku berada di suatu tempat di Gunung Sepuh. atau ada di tempat lain yang tidak aku ketahui. Karena, baru kali ini aku melihat pemandangan seperti ini, apalagi di tengah malam yang penuh dengan bintang-bintang yang berkelip
Sebuah terminal kini terlihat ramai, oleh hilir mudik manusia dan kendaraan yang berlalu lalang ke sana kemari pada pagi ini. Terminal tersebut adalah terminal besar terakhir di Bandung Selatan, sebelum nantinya para kendaraan tersebut akan melaju ke kampung-kampung yang berada pegunungan yang sulit di akses, bahkan ada yang sampai hingga ke pantai yang berada ujung selatan pulau Jawa. Mobil-mobil berjenis mini bus berjejer. Dengan banyaknya tumpukan barang-barang yang menumpuk di atasnya, memang wajar bagi para penduduk yang tinggal kampung-kampung kecil pada masa itu untuk menyetok segala kebutuhanya dengan jumlah banyak. Mengingat, akses mereka dalam mendapatkan barang-barang tersebut sangatlah susah untuk dijangkau. Sehingga mereka rela pergi ke kota terdekat dan membeli kebutuhan untuk mereka jual kembali atau disimpan selama berminggu-minggu di dalam rumahnya. Bahkan, barang-barang berat seperti lemari, kasur, bahkan kendaraan bermotor pun tak luput dari pandangan. Semuanya d
BRAAK “GOB*OG SI IBU, MERE SOLUSI JIGAH KITU!!! (NGASIH SOLUSI SEPERTI ITU!!!)” Asep tiba-tiba marah, ketika Ibu Onah memberitahukan tentang pemujaan batu nangtung yang berada di Gunung Sepuh. Asep tahu, meskipun dirinya berjalan di jalan yang salah, namun tidak pernah dia pikirkan untuk memakai cara yang seperti itu. Gelas kopi juga makanan yang ada di dekatnya berhamburan kemana-mana, tepat ketika tangannya yang kurus itu menggebrak tempat duduknya dengan sekuat tenaga di depan warung nasi tersebut. Namun, Stttttt Tiba-tiba Ibu Onah mengangkat salah satu jari tangannya dan menyuruh Asep untuk diam sambil melihat ke sekeliling agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka berdua. Ibu Onah masih terlihat sabar ketika Asep tiba-tiba marah dan menggebrak tempat duduk yang diduduki oleh mereka berdua pada saat itu. “Hey Asep! ” Kata Bu Onah yang kini berkata dengan nada tegas. “Aku tahu kamu yang pegang terminal ini, sehingga kamu bisa menggebrak tempat duduk yang berada di depa
“Terkadang, banyak ujian yang mencoba mengganggu pikiranmu agar pandanganmu beralih dari tujuan utamamu di tempat itu. ” “Dan itu adalah hal yang paling dibenci oleh makhluk yang akan kamu temui saat ini, apabila hatimu goyah dan tidak menyelesaikan ritual yang akan kamu jalani.” Itu adalah kata-kata dari Ibu Onah kepada Asep, sesaat sebelum dia naik mobil mini bus ke arah Gunung Sepuh pada saat itu. Dan sekarang, ketika matahari masih mencoba menahan sinarnya yang semakin lama semakin redup di tengah-tengah kebun teh yang luas itu. Dia sudah merasakan hal tersebut. Jujur, hatinya sedikit berdetak dengan kencang. Karena dia yakin, ada sesosok nenek-nenek yang sedang berdiri sambil membawa kayu bakar di jalanan yang dia lewati ini. Dan ketika dia mendengarnya berbicara, nenek tersebut menghilang tanpa jejak. Asep hanya menggelengkan kepala, dia hanya ingat petuah-petuah dari Bu Onah dan catatan kecil yang berisi info dan tata cara yang harus dia lakukan di dalam gunung sekarang. “M