Share

|3| Jordan Anaknya Papa

“Ya, aku Malya.” Wanita berhijab yang ternyata lumayan cantik saat kupandangi dari dekat itu, akhirnya mengangguk dan mengiakan pertanyaanku.

“Kamu Naina?” Wanita itu bertanya membuat mataku panas dan berair. Jika dia mengenaliku dan tahu siapa aku, seharusnya dia juga tahu Papa sudah memiliki Mama dan kami! 

“Kutanya, kamu siapanya papaku? Dan apa kamu tengah hamil anak papaku sekarang?” Tanyaku bertubi-tubi. Wanita itu malah terdiam, sambil mengusap perutnya yang buncit. Segelintir guru yang ada di sana berhenti menegurku untuk pergi, mereka malah menonton debat sepihak di antara kami karena yang kubahas mungkin menarik di telinga mereka. Berarti aku menyusup bukan tanpa alasan.

“Kutanya kamu siapanya Famdian Ibraed!?” Aku mulai menjerit. Air mata yang tadi kutahan mati-matian mulai berjatuhan.

“Kenapa tidak kamu tanyakan langsung itu pada Mas Famdi?” 

Mendengar pertanyaan lembutnya, hatiku semakin terbakar! Jika dia mengelak untuk menjawab, dugaanku pasti benar! Apalagi malam dan siang tadi kusaksikan mereka berciuman bibir, jika wanita ini adik atau lainnya papa, tentu saja tidak mungkin! 

Karena wanita ini terlihat lemah untuk balas melawanku, langsung kutarik kerudungnya dan menjambak habis-habisan rambutnya. “Kamu tidak pantas memakai ini!” 

Dua guru yang tadi menonton langsung panik dan mendekat untuk meleraiku. Aku menghalau mereka dan kudorong Malya sialan ini hingga terpental ke dinding. Aku tidak perduli dia tengah hamil besar, tetap kutampar-tampari wajahnya dan kujambak rambutnya. Wanita yang sudah terduduk di lantai itu seperti tidak sanggup samasekali untuk melawan. 

“Kenapa kalian ingin menjauhkanku darinya?” Teriakku pada dua guru muda, yang berusaha menarikku menjauh. “Kalian juga perempuan dan seorang anak barangkali juga seorang istri, kalian pasti paham perasaanku jika mendapati papamu sendiri berselingkuh dengan wanita lain di belakang mamaku dan anak-anaknya!” 

Akhirnya mereka diam dan tidak berusaha menjauhkan kami lagi. Mereka benar-benar hanya menonton, saat aku kembali meneriaki dan memukul-mukul Malya pelacur ini.  

“Kamu pantas menerima ini!” Jeritku di setiap pukulan yang kulayangkan, “Balasan atas kelakuanmu yang sudah membuat Papa berubah dan berpaling dari kami! Meski semua ini masih tidak sebanding dengan semua tangis Mama, aku dan adik-adikku, karena kamu—” 

Tiba-tiba sebuah tubuh besar mendorongku menjauh hingga balik terpental ke salahsatu meja. Kudapati seorang lelaki berusia duapuluhtahun berperilaku kekanakan, menatapku marah dan menangis terisak melihat Malya yang entah siapa dia, nampak mengenaskan di lantai. 

“Kamu apakan bundanya Jordan!?” Rengek lelaki dewasa itu, seakan marah. Meski takut dengan tubuh besarnya, aku merasa aneh dengan cara bicara dan gerak-geriknya yang tidak seperti lelaki dewasa kebanyakan. Kelakuannya seperti anak-anak, sama seperti Tandi dan Dandi. 

“Bunda? Bunda? Bundanya Jordan tidak apa-apa?” Lelaki itu menanyai Malya dengan mata merah dan berair. Langsung dipungutnya tutup kepala Malya yang tadi kupaksa hingga lepas, Jordan langsung memakaikannya ke kepala wanita itu.

Malya berusaha tersenyum dan mengangguk letih, suaranya yang lemah lembut berusaha menenangkan anaknya. “Iya, sayang. B-Bunda ti-tidak apa-apa.” 

“Kamu siapa?!” Lelaki itu menanyaiku marah. “Kenapa kamu pukul bundanya Jordan?” Aku baru sadar lelaki berkelakuan aneh bernama Jordan itu, meski sudah sebesar ini, masih memakai seragam putih-merah seperti anak-anak sekolah dasar lain di sekolah ini. 

Aku meringsut ketakutan ketika lelaki itu baru saja hendak memukulku balik, entah kenapa Malya malah mencegatnya. “Jangan, sayang. Jangan. Ingat, nggak boleh nakal. Anak Bunda nggak boleh mukul perempuan.” 

“Tapi dia jahat, Bunda!” Jordan menunjukku. Malya menasehatinya seperti menasehati anak kecil. 

“Tetap nggak boleh jahat dan mukul perempuan. Ingat, anak Bunda nggak boleh bandel.” 

Jordan terlihat marah saat dihalangi seperti itu. Jordan yang penurut pada bundanya ganti memarahi dua wanita muda yang sedari tadi hanya menonton, “Kalian juga kenapa nggak bantu bundanya Jordan?!” Lelaki dewasa itu berteriak dan mengentak-ngentak, mengingatkanku pada tingkah adik-adikku. 

“Akan Jordan adukan sama Ayah!” Lelaki berbadan besar itu mengeluarkan ponselnya lalu mencari sebuah nomor. Saat dia kesusahan mencari nomor yang dia maksud, aku bertanya-tanya di dalam hati siapa pria berusia duapuluh tahun yang memakai seragam putih-merah ini? Dari sebutannya jelas-jelas dia anak Malya, tapi anak Malya dengan siapa? Apa Ayah yang dia maksud, papaku juga? Jadi dia anak Papa? 

“Ayah!” Hanya dalam tiga detik, lelaki yang Jordan sebut Ayah langsung mengangkat telepon pria itu. Awalnya aku berusaha meyakinkan, tidak mungkin ayahnya adalah papaku, mungkin saja dia anak Malya dengan mantan suaminya sebelum menikah diam-diam dengan Papa, karena papaku bahkan tidak pernah mengangkat telepon kami. Namun harapanku langsung sirna saat benar-benar mendengar suara Papa dari benda pipih itu. 

“Iya, Jordan?” Suara tegas itu melembut, membuatku gemetar. Bukan hanya karena takut, tapi juga tidak diterima karena setahun ini Papa tidak begitu samasekali pada kami! 

Jordan langsung menangis saat mengadu pada Papa, Papa menyahut khawatir sambil berusaha menenangkannya. “Kenapa anak Ayah menangis? Ayo, Jordan, anak lelaki tidak boleh menangis.” 

“Bunda, Yah … Bunda.” 

“Kenapa dengan bundamu?” Papa langsung bertanya tajam. 

“Orang tak dikenal menghajar Bunda. Cepat ke sini, Yah. Bantu Bunda. Bawa Bunda ke rumah sakit. Nanti adiknya Jordan di perut Bunda kenapa-napa.” Di lantai, Jordan mengentak-ngentak. Aku semakin yakin dan tak perlu ditanyakan lagi, Jordan bukan anak yang lahir sempurna. 

“Cepat ke sini, Yah! Ke sini! Jordan tidak mau Bunda kenapa-napa!” 

“Kalian dimana sekarang, Ayah akan kirim bawahan Ayah dan Pak Guru Muklis ke sana untuk membawa bundamu ke rumah sakit dan Ayah secepat mungkin akan ke sana!” 

Jordan dengan kacau langsung menjelaskan posisi kami sekarang. 

“Tunggu Ayah, Jordan. Ayah juga bakal memberi pelajaran pada orang yang sudah melukai Bunda.” 

Aku menelan ludah di tempat, saat membayangkan betapa marahnya Papa jika tahu aku yang sudah melakukan ini. Tapi sebesar apapun kemarahannya nanti, wanita itu pantas menerima ini! Papa keterlaluan jika lupa kesalahan mereka berdua dan terus menyalahkanku kelak. 

Tak lama, Pak Muklis yang Papa maksud yang ternyata kepala sekolah di sini, dan Nendo serta Jo bawahan Papa, benar-benar datang kemari. Pak Muklis dan Nendo langsung membawa Malya ke rumah sakit, dan Jordan mengintili mereka. Sedangkan Jonathan terlihat terkejut dan tidak menyangka saat mendapatiku di sini. Lelaki itu langsung mendekatiku lalu bertanya memastikan, “Kamu yang melakukan ini, Nai?” 

“Iya! Memangnya kenapa?” Aku menyahut kencang dan bertanya parau setelah itu. “Wanita itu pantas menerimanya! Kamu kelewatan jika membelanya! Andai ibumu yang diselingkuhi Jo, kamu pasti mengerti perasaanku!” 

Jonathan diam lalu menyeret lenganku. “Lepas!” Pekikku sambil menjauh. 

“Aku akan membawamu pergi dari sini, sebelum papamu tahu yang berulah ini kamu!” 

“Aku tidak takut,” tantangku meski sebenarnya ketakutan. 

“Bohong kalau kamu tidak takut,” Jonathan menuduhku kesal. “Kamu tahu ‘kan semengerikan apa Pak Famdian saat marah. Aku selalu memergokimu diam-diam menangis ketakutan, meski Pak Famdi marahnya bukan ke kamu.” 

“Semarah-marahnya papaku, dia tidak akan memukuli anak gadisnya sendiri,” balasku yakin. 

“Kamu yakin?” Jonathan bertanya menantang. “Mungkin jika karena perkara lain, Pak Famdi akan bersabar. Tapi itu tidak berlaku jika berhubungan dengan Nyonya Malya. Entah itu kamu anaknya, atau siapanya dia. Jika dia tahu yang berulah kamu, dia akan memukulmu seperti kamu memukul Nyonya Malya. Makanya kubilang ikut aku pergi, sebelum Pak Famdi tahu itu kamu, Naina! Tuan Muda Jordan saja tetap ditamparnya keras, saat beberapa hari yang lalu Tuan Jordan tidak sengaja membuat Nyonya Malya jatuh. Apalagi kamu yang jelas-jelas sengaja, dan menghajarnya habis-habisan!” 

“Kenapa kamu seperti membela wanita itu, Jo?” Tanyaku kecewa pada lelaki muda itu. “Kamu bahkan menyebut wanita itu Nyonya?! Dia tidak pantas dihormati!” 

“Aku hanya ingin menyelamatkanmu, Naina! Agar kamu tidak perlu menerima perlakuan yang lebih buruk lagi dari ayahmu, dari sekedar diabaikan, tidak diperdulikan dan tidak disayanginya lagi selama setahun ini! Pukulan dari Tuan Famdian tidak akan hanya menyakitimu secara fisik, tapi juga hati sebagai seorang anak!”  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status