Share

|4| Aku Anak Istri Kedua?

 

“Apa bagusnya wanita itu, Jo?” Di dalam kendaraan roda empat milik Jo, aku yang duduk di bangku sebelahnya, meratap dan bertanya-tanya, “Dibandingkan dengan mamaku, wanita perusak itu tidak ada apa-apanya.” 

Jonathan hanya fokus menyetir dan mendiamiku, meski tidak disahuti, aku tetap melanjutkan sumpah-serapah dan caci-makiku. “Mama cantik, meski sudah kepala tiga dia masih awet muda, tubuh Mama bagus, gelar Mama dokter—Mama lebih segala-galanya dari wanita itu, yang biasa saja, tua, melar dan hanya seorang guru.” 

“Kenapa Papa tega mengkhianati kami hanya demi wanita seperti dia? Papa bahkan ingin bercerai dari Mama karenanya, Papa tidak menyayangi kami lagi hanya karena janin di perutnya—” 

Teringat Jordan, seketika aku terdiam. Secara bersamaan Jonathan juga menghentikan laju mobilnya. Aku tidak sadar, dibawa ke tempat sepi olehnya. Meski gang penuh sampah ini cocok untukku bersembunyi, jika Papa kini tengah mencari-cari siapa yang sudah menghajar si Malya. Meski jika Nendo tega buka mulut, saat itu juga Papa langsung tahu aku pelakunya.

“Lelaki jangkung berperilaku seperti anak-anak itu, benar anaknya Papa? Atau dia saja yang sok-sokan memanggil papaku sebagai ayahnya, karena tidak tahu diri meski ibunya sudah dinikahi papaku—”

“Tuan Jordan benar anak kandungnya Tuan Famdian, seperti kamu, Nai. Dia kakakmu.” Jonathan berkata tegas. Untuk pertamakalinya kudapati tatapannya begitu sinis padaku, karena aku sempat tertawa mengejek ketika mendiskripsikan keanehan Jordan.

“Kakakku?” Sahutku singkat. Aku semakin susah mencerna situasi ini, jika dia kakakku, jadi Mama, aku dan adik-adikku yang datang belakangan? Daripada Jordan dan si Malya itu? 

“Iya, juga Kakak dari Teddy, Dandi serta Tandi.” Jonathan berkata meyakinkan. “Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan, Nai.” 

“Memangnya kamu kira, apa yang kupikirkan?” Mengikuti nada suara Jonathan yang berubah dingin padaku, aku ikut berkata sinis padanya.

“Jika Jordan itu sudah ada sedari awal sebelum kami, jadi apa ini cinta lama bersemi kembali?” Tanyaku sambil tertawa miris. “Jika si Malya dan Papa memang punya hubungan sebelumnya dan kini mereka kembali bersama di belakang Mama, dengan niat mencampakkan Mama dan anak-anaknya, itu tetap perebut, Jo! Wanita itu tetap perusak karena merebut apa yang sudah bukan miliknya! Tidak perduli apakah Papa masih mencintainya atau tidak!”

“Nyonya Malya—tanteku, tidak merebut milik siapapun, Nai.” 

“Jadi dia tantemu?” Tanyaku sambil tertawa. “Pantasan kamu membelanya habis-habisan dan seakan tidak ada simpati sama sekali pada aku, mamaku dan adik-adikku selama ini, Jo!” Mataku panas dan akhirnya butiran air mata itu berjatuhan.

“Sedari pertama menikah sampai sekarang, Tante Malya dan Tuan Famdian tidak pernah bercerai, Nai. Di sini, tidak ada yang namanya cinta lama bersemi kembali, ataupun mengambil kembali apa yang bukan lagi miliknya.”

Aku terdiam mendengar rentetan kalimat tegas yang keluar dari mulut Jonathan. 

“Jadi …?” Suaraku hampir tidak bisa keluar. Yang kutahu, dada ini rasanya lebih sesak dari sebelumnya, mataku semakin panas dan bibirku terasa kelu, saat terbersit jelas pertanyaan yang jelas jawabannya di kepalaku … siapa perebut yang sesungguhnya? Jadi Mama adalah wanita kedua? Dan Malya yang tersakiti sesungguhnya?

“Ya, Nai. Maaf jika harus mengakui ini padamu. Mamamu adalah istri kedua, adik madu dari Tante Malya. Jika kamu ingin menyebut tanteku lagi sebagai perebut dan perusak kebahagiaan kalian, mungkin sebaiknya hinaan itu ditujukan untuk mamamu, Nyonya Maura.”

***

“Kamu belum mau kuantar pulang?” Jonathan bertanya padaku sambil menyodorkan segelas teh manis. Aku menerimanya tanpa mengucap terimakasih, pertanyaannya kusambut dengan gelengan, lalu menyereput es teh pemberiannya. Karena kami belum ada tujuan, Jonathan membawaku bersinggah di sebuah kedai. Entah kenapa meski Mama sudah menghubungiku berkali-kali, aku belum mau pulang. 

“Kamu yakin tidak mau makan sesuatu?” Jonathan menawarkan sambil melahap lotek miliknya yang baru sampai. Untuk keduakalinya aku menggeleng, sebelumnya lelaki itu sempat menawarkan hal yang sama.

“Sebaiknya kamu makan saja Nai,” Jonathan mendadak khawatir sambil menggeser piring makannya padaku. Aku masih menolak dan menjauhkan benda itu kembali padanya. “Aku takut kamu kelaparan—”

“Jo,” panggilku memotong kalimatnya. 

Jo diam dan aku bertanya parau, “Jika ada Malya, kenapa Papa tetap menikahi Mama?”

Jo menghela napas lalu mengangkat sekilas bahunya, “Entahlah. Itu kejadian belasan tahun yang lalu, Nai. Aku masih balita saat itu. Tapi sedikit yang kutahu, selama ini pernikahan Tante Malya dan Tuan Famdian memang tidak baik-baik saja … mereka baru akur, setahun yang lalu.”

“Setahun yang lalu?” Gumamku sinis, “Waktu yang sama, Papa mendadak berubah dan hendak bercerai dari Mama.”

“Kurasa, satu tahun yang kalian tempuh tidak ada apa-apanya dengan belasan tahun yang Tante Malya dan Tuan Jordan lalui,” Jonathan membalas. Aku langsung mendelik padanya yang tersenyum penuh arti. “Selama ini tanteku terlantar sebagai seorang istri, Nai. Dia diberi nafkah materi, tapi Tuan Famdian seperti enggan menemuinya. Aku tahu Tuan Famdian sangat mencintai tanteku, tapi dia juga seperti membencinya. Mungkin ada kesalahpahaman di masa lalu yang membuat mereka menjadi serumit ini.”

“Tuan Jordan juga hanya bisa bertemu Tuan Famdian sesekali dan itu membuat Tuan Jordan sangat kesepian. Mungkin Tuan Famdi sudah sadar akan kesalahannya dan sekarang ingin membentuk dengan benar keluarga kecil mereka. Selama ini aku tidak pernah melihat Tuan Famdi bahagia dan tersenyum dengan tulus, selain saat dia bersama Nyonya Malya—"

“Apa kamu bilang Jo?” Aku memotong sengit karena terluka oleh perkataannya. “Sadar akan kesalahannya dan ingin membentuk dengan benar keluarga kecil mereka? Apa itu harus Papa lakukan dengan cara balas menelantarkan kami dan menyengsarakan Mama, aku dan adik-adikku?”

“Oke, aku sadar diri, jika di sini Mama istri kedua, Mama yang perebut! Tapi Mama juga istri Papa, Jo! Aku dan adik-adikku anaknya Papa! Papa tidak harus membuang kami demi membahagiakan wanita itu! Atau apa yang Papa lakukan setahun ini, memang Malya yang egoisnya meminta demikian?” Tuduhanku membuat tatapan Jonathan menajam. 

“Dan apa lagi katamu tadi, selama ini papaku tidak pernah bahagia dengan tulus? Dia bisa tersenyum tulus hanya saat bersama Malya itu? Kamu salah Jo, sebelum-sebelumnya, Papa selalu bahagia dengan tulus bersama kami! Sebelum dia akur dengan Malya, Papa sangat menyayangi kami, dia suami dan Ayah yang sempurna! Entah kenapa, akurnya dia dengan Malya serta ambisi barunya itu, malah membuat Papa berubah dan harus kami yang dikorbankan.”

“Boleh aku bilang begini?” Jonathan bertanya santai, seakan tidak mencerna dengan baik apa yang baru saja kukatakan.

“Apa?” Sahutku kesal.

“Di dunia ini ada yang namanya pura-pura, Malya. Kamu ternyata tidak kenal baik papamu.”

“Apa maksudmu, aku tidak kenal dia dengan baik?”

“Aku selama ini selalu melihat Pak Famdi pura-pura tidak mencintai saat berada di dekat Tante Malya. Dan setahun ini benar-benar terbukti, dia ternyata begitu menggilai setelah tidak lagi berusaha berpura-pura. Jadi aku penasaran, bagaimana Pak Famdi saat pura-pura mencintai?” Jonathan menatapku, seperti bertanya padaku. 

“Aku menemukan jawabannya saat dulu melihat Pak Famdi bersama kalian. Tapi setahun ini Pak Famdi tidak bisa lagi berpura-pura.”

***

“Nggak langsung ke rumahmu saja, Nai? Ngapain ke sekolah siang-siang begini?” Jonathan menanyaiku yang meminta diantar ke sekolah. Aku tidak memerdulikan sarannya, sekarang di SMA-ku jamnya istirahat, aku bisa menyelinap masuk karena banyak murid yang berkeliaran di luar untuk mengisi perut. 

“Keluar Jo, aku pengen ganti seragam dulu,” pintaku pada Jonathan. Jonathan dengan malas-malasan mengeluarkan diri. Setelah semua kaca mobil kututup, aku langsung mengganti pakaianku dengan seragam SMA yang tadi kubeli di toko baju yang ada di jalan. 

Tak lama aku mengeluarkan diri dari sana, melengos begitu saja meninggalkan Jonathan menuju kedai langganan siswa yang ada di luar kantin. 

Jonathan hanya menghela napas di tempat karena kesal dengan kelakuanku, tanpa berkata apapun dia melempar kembali tubuhnya ke bangku setir lalu melaju pergi. Entah bagaimana dengan kabar motornya, aku sudah memberitahu Jonathan menelantarkannya dimana, diambil atau tidak terserah dia. 

Di kedai depan gerbang sekolah, aku duduk anteng sambil memesan bakso. Aku melahapnya dengan rakus meski entah kenapa tidak terlalu berselera, aku hanya tidak mau kelaparan di beberapa jam mata pelajaran terakhir. 

“Eh Nai! Kamu sekolah?” Antania menepuk bahuku dan duduk di bangku yang ada di sebelahku. Tangannya menggenggam segelas jus mangga, aku hanya bergumam menyahutinya sambil mengunyah. 

“Kenapa sekalian nggak masuk aja samasekali?” Antania terkekeh sambil menyedot habis jus mangganya. Entah kenapa melihat wajahnya, aku semakin tidak bisa menikmati sisa baksoku yang ada di atas meja.

“Ni, aku mau nanya,” aku bersuara membuat Antania menoleh.

“Apa, Nai?”

“Jika ternyata kamu anak dari istri kedua, perasaanmu bagaimana?”

Antania terdiam. Tatapannya yang lekat membuatku menyesal menanyakannya. Seharusnya aku tidak menanyakan itu pada Antania, karena dia gadis yang peka, tentu saja, Antania langsung sadar yang kumaksud adalah diriku sendiri.

“Ya mau bagaimana lagi,” Antania tersenyum tipis. “Yang penting bukan kitanya ‘kan?”

“Lalu, jika ayah kita tiba-tiba hendak menceraikan ibu kita demi membahagiakan istri pertamanya yang tersakiti selama ini bagaimana? Apa kita berhak marah dan merasa terluka?” Pelupuk mataku mulai terasa panas.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status