Share

|2| Wanita Keji Dengan Profesi Mulia

Setelah banyak meratap, aku berusaha menghentikan tangis. Kukeluarkan ponselku dan berusaha menghubungi Papa berkali-kali. Berharap meski tengah bersama wanita itu, kali ini Papa akan mengangkatnya. Seperti sebelum-sebelumnya selama setahun ini, Papa tidak mengangkatnya samasekali, semua pesanku bahkan tidak dibaca dan dibalasnya meski kukirim secara bertubi-tubi. 

Papa benar-benar berubah hanya karena rasa lain yang sesaat, dulu tiga detik aku menelpon atau mengirim pesan, Papa langsung mengangkat dan membalasnya. Beberapa jam sekali meski tidak penting, Papa selalu menelponku atau sekedar mengirim pesan, bertanya aku sedang apa? Dimana? Sudah pulang sekolah, belum? Dan selalu meminta ixin tiapkali akan lembur dan pulang telat. 

Pesan dari Jo yang menagih motornya kuabaikan, termasuk pesan Mama yang bertanya aku sekarang dimana. Aku hanya tidak tega mengabaikan pesan Tandi, adik bungsuku yang berusia lima tahun yang baru belajar mengirim pesan melalui ponsel. Aku tersenyum tiapkali dia mengirim pesan yang ditambahi dengan stiker lucu, meski kadang aku kesulitan membacanya dan tidak mengerti apa maksudnya.  

“Kakak sekarang dimana?” Tandi menelponku dan aku mengangkatnya. Entah kenapa aku sentimental mendengar suaranya yang cempreng, rasanya ingin menangis, karena bocah sekecil ini juga Papa abaikan karena perempuan itu.

“D-di rumah Naura, teman sekelas Kakak. Tandi belum tidur?”

“Tandi nungguin Papa. Mau tidur bareng Papa.”

“Papa nggak akan pulang malam ini, Tandi tidur duluan, ya?”

“Tandi nggak suka tidur sendiri, Tandi kangen tidur bareng Papa.” Adu Tandi.

“Tandi harus terbiasa tidur sendiri, oke? Selama apapun Tandi menunggu Papa malam ini, malam ini Papa benar-benar tidak akan datang.” Bujukku, ikut sesaat mengatakannya dan mendengarnya keluar dari mulutku sendiri.

“Kenapa Tandi harus tidur sendiri lagi malam ini, Papa udah nggak sayang Tandi lagi, makanya nggak mau nemanin Tandi tidur lagi?” Tiba-tiba Tandi merajuk, suara cemprengnya berubah parau, seperti memendam marah dan rasa kecewa yang selama ini dipendamnya. 

“Tadi Tandi nelpon Papa, tapi nggak Papa angkat-angkat. Tiap ketemu, Papa juga nggak cium dan peluk Tandi lagi. Papa juga nggak pernah anter Tandi ke TK lagi. Apa Tandi punya salah pada Papa?” Tandi bertanya membuatku langsung terdiam.

“Jika Tandi bandel dan bikin Papa marah, kasih tahu ….” Rengeknya lalu menangis. 

“Tandi janji nggak bakal bandel dan bikin Papa marah lagi,” mohonnya.

“Tandi nggak bandel kok,” bantahku. “Tandi nggak ada salah sama siapapun, Tandi anak yang baik. Hanya saja Papa yang tidak bisa kita pahami. Nanti kalau Kakak udah pulang, Papa juga ada di rumah, kita tanyain bareng-bareng, ya ke Papa? Sebenarnya dia kenapa? Kita harus apa, biar Papa nggak gitu lagi dan balik kayak dulu? Nanti kita ajak Kak Teddy dan Kak Dandi juga, kita bujuk Papa bereempat.” 

“Bener Tandi nggak ada salah?” Tangis Tandi mereda dan menanyaiku.

“Benar,” kataku meyakinkannya. “Mana mungkin anak sebaik Tandi, yang bersalah?”

“Papa beneran bakal balik kayak dulu lagi, setelah kita bujuk?”

“Iya, Tandi sayang,” balasku meski sebenarnya tidak yakin untuk yang satu itu.

Tandi menarik ingus. Aku yakin, kini dia tengah tersenyum. Aku membayangkan senyum Tandi yang manis di kepalaku, hatiku yang tadi dingin kini menghangat, tiba-tiba aku merindukan mereka.

“Sekarang Tandi tidur dulu, ya? Kalau Tandi nggak bisa tidur sendiri, tidur aja sama Mama, atau Kak Teddy dan Kak Dandi.” Kali ini Tandi menurutiku. Setelah mengucap ‘selamat malam’ padaku, sambungan telepon kami disudahi dan kulihat Tandi tidak online lagi. 

Aku menyimpan ponselku ke saku celana dan memandangi kembali rumah wanita itu, yang ada Papa di dalamnya. Papa tidak kunjung keluar dari sana, hari juga semakin larut. Entah apa yang mereka lakukan sekarang, yang pasti rumah mewah minimalis yang tadi terang-benderang kini minim pencahayaan. 

***

Pukul enam pagi, dari tempat makan yang buka 24 jam aku kembali ke motor besar Jo yang kutinggalkan sembarangan. Di seberang, kulihat wanita itu mengantar Papa yang sudah rapi dengan jas baru dan wajah bersih, keluar dari rumah. 

Saat bersehadap dengan wanita itu, Papa masih terlihat berseri-seri dan penuh senyum. Sebelum masuk ke dalam mobil, Papa membiarkan wanita itu menyalami tangannya dan membalasnya dengan kecupan bertubi-tubi di wajah dan bibir, berakhir di perut bulatnya. 

Akhirnya Papa pergi menggunakan mobilnya, aku tahu tujuannya pasti kantor. Meski akan memakan waktu yang lama untuk sampai ke sana dari sini, namun sebagai pemilik perusahaan, tidak akan ada yang memarahinya jika datang terlambat.

 Sebenarnya hari ini aku sekolah, tapi demi menyelidiki latar wanita ini lebih lanjut terpaksa aku harus tidak masuk hari ini. Apalagi di pukul segini, aku akan terlambat jika memaksakan diri untuk datang ke sekolah lebih dulu. 

Sejam lamanya aku mengintai rumah wanita itu dari tempat yang sama, rumahnya mulai berdatangan pembantu dan pekerja untuk bersih-bersih dan semacamnya yang dikontrol langsung olehnya. 

Pukul tujuh, wanita perusak itu keluar dari rumahnya dengan seragam guru yang rapi. Tidak kusangka, wanita keji sepertinya mengambil pekerjaan yang mulia. Aku ikuti dia yang berjalan kaki ke sekolah dasar yang tidak jauh dari sini. Aku mencibir melihatnya memakai tutup kepala, seakan lebih mulai dari Mama yang belum berhijab, padahal kelakuannya sebaliknya! 

Langkahku berhenti sejenak saat dia melempar salam pada satpam dan menyempatkan diri menyapa guru-guru yang lain. Di jalan wanita itu juga disapa banyak murid dan tangannya disalami anak-anak polos itu satu-persatu. Aku jadi bertanya-tanya, jika mereka tahu wanita itu menghancurkan kebahagiaan rumah tangga orang lain, apa mereka masih akan sehormat dan sebaik ini padanya? 

Saat bel sekolah swasta yang cukup luas itu berbunyi, aku bersandar di gerbang luar untuk mencari celah agar bisa memasukinya tanpa dihadang satpam yang berjaga. 

Menjauhi gerbang, aku menelusuri tembok sekolah anak kaya itu sampai ke ujung. Setelah kudapati sekitarku sepi dan kuperhitungkan tinggi tembok tersebut, aku langsung menaikinya dan berhasil masuk ke lingkungan sekolah. Langsung kumasuki gedung itu dan mencari dimana ruang guru. Karena bel sudah berbunyi, luar kelas nampak sepi, membuatku bisa sedikit leluasa berkeliaran. Sesampainya aku di sana, kudapati ruang guru juga hampir kosong, hanya beberapa pengajar yang kutemukan di sana. 

Aku masuk tanpa keraguan, untuk memastikan barangkali dia juga ada di sini. Aku benar-benar menemukannya di sana, meja kerjanya ada di ujung, jauh dari pintu utama. Wanita hamil itu sedikit terperanjat mendapatiku yang menghampirinya.

“Hei, kamu siapa?” Salahsatu guru bangkit dan menegurku yang jelas bukan staff, karena tidak memakan seragam. Aku mengabaikannya dan wanita di hadapanku terlihat seperti mengenaliku, mulutnya tidak berkutik dan wajahku dipandanginya lekat. 

“Malya Habibah?” Aku membaca name tag-nya, suaraku parau menyebut namanya. “Apa hubunganmu dengan papaku? Dan apa yang kamu kandung adalah anak Papa?” 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status