Pencarian Ujang dimulai keesokan harinya. Tepat pagi hari setelah matahari mengantarkan sinar hangat, para warga yang terdiri dari pemuda dan pria dewasa mulai menyisir kawasan desa. Terkhusus pencarian ke arah Mak Lilin, warga memilih berkelompok hingga sepuluh orang.
“Apa kita izin dulu sama Mbah Atim, Kang?” tanya Asep yang masih berselandangkan sarung. Pandangannya menyisir kawasan gerbang pemakaman.
Kelompok pencarian itu masih berjalan melewati gerbang sebelum akhirnya tiba di depan jembatan kayu.
“Sebaiknya begitu, Sep,” sahut Mahmud.
“Astagfirullah, Kang. Coba lihat!” pekik Cecep tiba-tiba. Telunjuknya terarah pada lubang di tengah jembatan.
Asep dan Aep yang merupakan sahabat dekat Ujang langsung berlari ke tengah jembatan. Mereka terkejut ketika salah satu bagian jembatan berlubang. Niatan untuk memberi tahu Mbah Atim lenyap karena diterkam keadaan.
“Apa mungkin Ujang jatuh, Sep?” tan
Para pria yang tengah berjaga di pos ronda tiba-tiba bubar setelah hujan turun. Aep adalah salah satunya. Rumahnya yang berada di ujung kampung memaksanya harus bersusah payah berlari dengan berpayung kain sarung. Terlihat sia-sia untuk mengusir air, tetapi hal itulah yang bisa terpikirkan olehnya saat ini.Suasana perkampungan yang Aep lewati tampak begitu sepi. Ia berjalan berjinjit sembari sesekali mengarahkan pandangan pada tiap-tiap pintu rumah yang ia lewati. Waktu memang belum terlalu larut, tetapi ketakutannya sudah merangkak ke ubun-ubun saat tetes hujan berkunjung ke Ciboeh.Banyak cerita yang Aep dengar tentang penampakan sosok itu dari warga saat hujan mengguyur. Tak jarang kisah itu kian menggerogoti keberanian karena sering ditambahi bumbu saat diceritakan dari mulut ke mulut. Meski sudah lama berlalu, nyatanya keangkeran pocong berbalut kain hitam itu tetap menciutkan nyali penduduk desa.Aep merengut kesal. Hujan kian deras menyapa Ciboeh. Terpak
Ilham meneguk kopinya untuk menjeda cerita, membiarkan kedua pemuda di dekatnya mencerna informasi yang baru saja dirinya bagikan.“Lalu sebenarnya apa hubungannya dengan kasus pembunuhan itu, Kang?” tanya Reza yang kini bersandar pada kaki kursi.Ilham mengembus napas panjang. Pandangannya teralih sesaat pada langit-langit ruangan. “Saya akan ceritakan sejarah desa ini dulu, dan setelah kalian mendengar semuanya, kalian akan tahu alasan di balik semua kejadian di desa ini.”Rojali memberi tanda pada Reza untuk diam. Reza mengangguk, tak banyak protes.“Saat warga menemukan rumah sudah kosong, kecurigaan warga pada orang-orang asing itu kian bertambah. Dengan amarah yang kian berkecamuk, warga kembali ke desa dan mengabarkan berita ini ke seluruh penduduk. Pencarian dikerahkan. Namun, usaha warga tampaknya sia-sia. Orang-orang asing itu tak ditemukan di mana pun.Beberapa minggu kemudian, terjadi hujan besar selama ber
Kedatangan Ilham ke Ciboeh nyatanya membuka secarik rahasia yang semula terkunci rapat. Informasi mengenai sejarah desa serta siapa sosok misterius yang penduduk desa panggil sebagai Mbah Atim mulai sedikit terkuak.Masih di kediaman Ki Udin, di tengah hujan yang kian mengganas, dua pemuda itu makin larut dalam informasi yang disampaikan Ilham. Baik Rojali dan Reza sontak berbagi pandangan saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ilham. Rona keterkejutan dengan jelas terpahat di paras mereka.“Alasan kenapa Mbah Atim datang dan menjadi penjaga makam di desa ini tak lain karena permintaan Ki Udin,” jelas Ilham.Pandangan Rojali dan Reza kembali menumbuk. Dua pemuda itu belum mampu bicara. Mulut mereka terbuka, tetapi bibir seakan enggan bicara.“Dan permintaan itu tentunya ada bukan tanpa sebab,” lanjut Ilham, “permintaan itu ada setelah Ki Udin mendengar cerita dari Mbah Atim mengenai sesuatu yang tersembunyi di desa in
Reza pulang ke rumahnya dengan membawa beragam pertanyaan. Seharian ini, pemuda itu menghabiskan waktu di dalam kamar. Masalah bengkel dan toko, ia serahkan pada bawahannya. Ia hanya keluar kamar hanya untuk urusan perut.Sebenarnya, kecurigaan Reza pada Ilham timbul saat ajakan Rojali untuk berjemaah di masjid ditolak pria itu. Ia sedikit tahu bagaimana keluarga Ki Udin. Keluarga itu bisa dibilang taat terhadap perintah agama. Jadi, aneh rasanya kalau Ilham sampai menolak ajakan tersebut. Toh, Ki Udin saat itu sudah dalam kondisi bangun.Lamunan Reza seketika buyar begitu mendengar teriakan bapaknya di pintu kamar. Pak Dede memelotot dengan tangan yang sudah berkacak pinggang. Tak ada raut ramah saat Reza bangkit dari kasur.“Aya naon, Pak?”“Aya naon, aya naon?” sentak Pak Dede, “Bapak panggil dari tadi malah cicing wae (diam aja)! Tuli kamu?”Reza segera duduk di bibir kasur, mengaca
Ucapan Ilham terjeda beberapa saat. Angin malam menerobos ketegangan yang sempat terjadi di antara ketiga pemuda itu.“Perlu kalian tahu kalau ... saya ini adalah anak dari pria yang kalian sebut sebagai Mbah Atim,” ungkap Ilham.Rojali dan Reza saling berpandangan. Mimik keterkejutan hadir meski tak berlangsung lama.“Saya sudah tahu itu,” ungkap Rojali.Ilham pikir kedua pria di depannya akan terkejut dengan penuturannya, tetapi nyatanya justru ia sendiri yang dibuat terperangah. Pria itu lalu tersenyum. “Saya teu ngira kalian bisa tau sejauh itu.”“Saya menemukan foto ini di kamar Ki Udin saat subuh tadi,” tunjuk Rojali dengan secarik kertas di tangan, “butuh beberapa waktu bagi saya untuk bisa menyimpulkan kalau ini foto Mbah Atim sewaktu muda. Selain itu, saya sudah bertanya pada salah satu saudara Ki Udin di kampung ini. Mereka mengatakan kalau Ki Udin sama sekali tidak memiliki c
“Sebenarnya sudah lama bapak saya memperhatikan kamu, Rojali,” ucap Ilham setelah hening beberapa saat, “bapak saya percaya kalau suatu saat kamu bisa membantunya untuk menyelamatkan desa ini. Dan ternyata, penilaian bapak saya benar. Kamu punya pengetahuan, ilmu agama, tenaga, kepercayaan dari warga, juga mampu mengendalikan emosi.”Pikiran Rojali seketika melayang pada beberapa kali perjumpaannya dengan Mbah Atim. Penjaga makam itu sering kali menatapnya dengan pandangan yang seakan mengulitinya dari atas hingga bawah. Ia juga teringat dengan mimpi beberapa hari lalu tentang pesan yang dikirim sosok pocong berkafan hitam mengenai kondisi desa yang sedang dalam bahaya.Rojali menoleh sesaat pada Reza yang tertunduk lesu. “Saya tidak sesempurna itu. Kalau bukan tanpa bantuan Reza, saya tidak mungkin bisa sampai sejauh ini. Bagaimanapun juga, untuk menjaga desa ini saya tidak bisa melakukannya seorang diri.”Reza seketika mendo
“Itu ....” Rojali berusaha menggali ingatan. Otaknya dipaksa membuka kilasan memori masa lalu. Ia cukup yakin kalau dirinya pernah bertemu dengan pria itu di suatu tempat. Namun, saat otaknya dipaksa bekerja lebih keras, hanya kebuntuan yang ia dapat.Rojali sontak menoleh begitu bahunya ditarik Reza. Sahabatnya memberi kode agar ia segera menjauh dari lokasi. Rojali dengan gerakan senyap segera mengikuti Reza dan Ilham.Ketiga pemuda itu berjibaku dengan pekatnya hutan. Serangga malam serta desir angin di dedaunan menjadi musik pengiring kala ketiganya menyusuri Legok Kiara. Bangunan di atas bukit itu perlahan mengecil. Kini, ketiganya sudah berada di gerbang pemakaman.“Saya harus pulang hari ini,” ujar Ilham sembari menyapu bulir keringat di dahi dengan punggung tangan.“Kenapa?” tanya Rojali.“Kalau saya tetap berada di desa ini, cepat atau lambat warga akan sadar siapa say
Saat matahari mulai meninggi, pihak kepolisian ditemani perangkat desa sudah berada di kediaman Mak Iyah. Warga yang sebelumnya lari ketakutan, berkerumunan kembali meski melihat dari jarak lumayan jauh. Rupanya penasaran mampu mengalahkan ketakutan mereka.“Kami akan selidiki kasus ini lebih lanjut,” kata seorang polisi sambil berjalan ke arah mobil. Pak Dede, aparat desa serta tokoh masyarakat mengikuti dari belakang. Rojali dan Reza juga ikut ambil bagian. Begitu mobil polisi menghilang dari halaman, kerumunan warga bubar dan menyisakan kepulan debu yang terbang disapa angin.“Gusti Nu Agung,” ujar Pak Dede sembari melepas peci. Bulir keringat menumpuk di dahi. Kepalanya serasa ingin meledak saat kejadian menyeramkan kembali terjadi di desa yang dipimpinnya. Embusan napasnya terdengar berat.“Bagaimana ini Pak Dede?” tanya Pak Yayat dengan raut wajah khawatir. Orang yang tersisa di halaman Mak I