Realitanya, apa yang ditakutkan oleh sebagian besar warga Ciboeh tak terjadi. Syukur dipanjatkan, tak ada penemuan potongan tubuh manusia lagi selama tiga hari ini di desa. Warga yang beberapa hari ke belakang seringkali diselimuti ketakutan akhirnya bisa bernapas lega.
Kehidupan warga mulai kembali normal. Para petani pergi ke sawah ditemani cangkul dan kerbau dengan perasaan tenang. Madrasah kembali dipenuhi tawa anak-anak laki-laki yang bermain kelereng, anak perempuan yang asyik bermain lompat tali, juga obrolan para guru di ruangan pengajar.
Mobil dari kecamatan atau desa lain kembali terlihat keluar-masuk jalanan Ciboeh, membawa keperluan warga untuk diantar ke warung dan toko-toko. Pangkalan ojek ramai oleh beberapa pria yang tengah bermain kartu. Baik Cigeutih maupun Cimenyan mulai berbenah.
Kabar mengenai penemuan potongan tubuh itu nyatanya tersebar lebih cepat dibanding barang-barang yang tengah diturunkan dari bak mobil di sebuah toko oleh dua orang
Awan hitam enggan bergeser dari langit Ciboeh sejak pagi. Angin berembus melewati dedaunan dan juga ranting pohon, lalu dengan nakal bermain di kulit penduduk desa. Udara terasa lebih dingin dari biasa. Kebanyakan warga sudah kembali ke rumah sejak azan zuhur berkumandang.Hujan deras tiba-tiba mengguyur Ciboeh begitu mobil polisi memasuki jalanan desa. Warga yang masih berada di luar bergegas kembali ke rumah, meski harus menerobos hujan. Wajah ceria mereka selama beberapa hari seketika tergilas oleh beragam tanya.Di aula desa, Pak Dede, aparatur desa serta beberapa tokoh masyarakat sudah duduk melingkar untuk mendengar kabar dari pihak kepolisian mengenai hasil penyelidikan.Dua orang polisi turun dari mobil, sedikit berlari dengan tangan di atas kepala untuk melindungi serbuan hujan. Begitu masuk ke aula desa, mereka disambut dengan aksi kompak hadirin yang tiba-tiba berdiri.“Bagaimana hasil autopsi dan penyidikannya, Pak?” tanya Pak Dede
“Sosok itu mengatakan kalau desa ini dalam keadaan bahaya.”Ucapan Rojali seketika menambah ketegangan dan keheningan di wajah warga yang hadir di aula. Di sisi lain, hujan kian deras mengguyur Ciboeh. Petir menggelegar merobek lamunan. Di luar aula, tepatnya di samping aula, sebuah batang pisang jatuh ke tanah.Tak ada tanya atau sanggahan pada ucapan Rojali yang hampir satu menit yang lalu terucap. Kebanyakan hadirin menunduk, termasuk Pak Dede sekalipun. Udara dingin merambat masuk dari celah pintu yang setengah terbuka.Pak Dede tampak gemetar dari tempatnya duduk. Rokok yang sudah ada di genggaman jari jatuh ke lantai. Tak ada niatan untuk sekadar mengambil, baik yang baru atau yang sudah dicumbu kuman. Beberap akali ia menoleh pada warga lain. Mereka sepertinya kompak untuk tutup mulut.“Ya Allah,” teriak Pak Iwan memecah keheningan. Punggungnya tiba-tiba lemas hingga akhirnya tak sadarkan diri. Beberapa orang langsung
Seminggu berlalu setelah kepergian Ilham dari desa, dan ini adalah hari terakhir kesepakatan mereka. Rojali berada di kebun untuk mengecek hasil panen yang akan dikirim ke pesantren di kabupaten. Di sana, hasil kebun akan dipasarkan ke beberapa pasar tradisional. Pekerjaan mandor ini sudah ia lakoni semenjak kedatangannya ke Ciboeh dua tahun lalu.Perkebunan sayur ini memang sejatinya milik pesantren, hanya saja pesantren memperkerjakan warga desa sebagai pegawai. Dahulu, mandor perkebunan adalah penduduk Ciboeh asli. Hanya saja untuk sekarang, pesantren memilih menunjuk santrinya sebagai pengawas pekerjaan.Kedatangan Rojali ke desa ini tak lepas dari perintah Kiai pemilik pesantren yang menugaskannya menjadi mandor perkebunan sekaligus sebagai dai di Ciboeh. Awalnya, memang tak mudah bagi Rojali, terlebih sambutan warga pada pendatang bisa dibilang tak ramah. Namun, berkat kegigihan, sumbangsihnya pada desa, juga pertolongan dari Sang Mahakuasa, perlahan hati warga m
Rojali masih menatap persawahan melalui kaca spion. Jendela mobil dibiarkan sedikit terbuka, memudahkan angin untuk masuk. Terdengar suara kodok bersahutan, juga serangga malam yang entah berada di petak sawah yang mana.“Pasti berat ya, Kang,” ucap Deni, santri yang mengemudikan mobil. Pandangannya melirik Rojali sekilas, lalu kembali ke arah depan.Rojali menoleh.“Pasti berat karena Kang Rojali harus tinggal di Ciboeh, tinggal di desa yang angker, desa yang dikutuk,” lanjut Deni, “saya saja merinding saat membayangkannya, apalagi kalau saya disuruh tinggal di sana. Saya pasti—”“Tidak ada yang namanya desa terkutuk, Den,” sela Rojali, melirik santri yang usianya lebih muda empat tahun darinya, lantas memercik senyum. Matanya yang sipit berubah menjadi garis lurus untuk sesaat“Punteun, Kang.” Deni menunduk, tak enak hati.“Bagaimanapun juga, Kiai sudah menuga
“Den.” Rojali menampar pipi Deni hingga beberapa kali. Namun, pemuda itu nyatanya tak bergerak sedikit pun. Wajah santri itu tampak pucat. Rojali lalu mengangkat Denia dan mendudukkannya di kursi samping.Merasa ada yang tak beres, Rojali kembali tancap gas. Mobil sekali lagi membelah gelapnya kebun jati. Sekelibat bayangan yang bergerak cepat tak sengaja tertangkap matanya melalui kaca spion samping.Rojali terus berusaha membangunkan Deni. Akan tetapi, pemuda itu masih belum sadarkan diri. Rasanya tidak mungkin jika Deni sengaja tertidur.Mobil akhirnya berhasil melewati kebun jati. Dari jarak saat ini, tampak menara masjid pesantren sudah mulai terlihat. Secarik senyum mengembang dari bibir Rojali. Pria itu lantas melirik kaca spion. Para penguntit itu nyatanya memilih menyerah.Rojali menyipitkan mata begitu gempuran cahaya dari depan menyilaukan penglihatannya. Ia memelankan laju mobil untuk memastikan apa yang terjadi di depan sana.
Di tengah heningnya Ciboeh, Reza justru memilih keluar rumah. Pemuda itu hanya ditemani sebatang rokok yang terselip di sela-sela jari, berjalan melewati rumah-rumah panggung yang memiliki pekarangan luas. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi suasana desa seperti dini hari.Reza mengembus napas panjang, menyedot rokoknya kuat-kuat. Meski udara dingin, tubuhnya justru hanya dibiarkan berbalut kaus dan celana jin kumal, tanpa jaket.“Ieu desa sudah jiga (seperti) kuburan,” ucap Reza sembari memandangi sekeliling. Langkahnya berbelok ke halaman rumah Rojali. Kediaman ini tak jauh berbeda dengan rumah penduduk lainnya, berupa bangunan panggung dengan halaman cukup luas.Reza terpaku sesaat. Gemerisik angin merangkak di tengkuknya. Pemuda berambut gondrong itu menggaruk leher belakang yang terasa dingin. Kaki kanannya yang akan melangkah tiba-tiba ditarik kembali saat merasa seseorang tengah mengawasinya. Namun, ketika me
“Menurut keterangan dari sosok yang mengaku sebagai anak Mbah Atim, mereka ingin mendapatkan kujang sakti dengan memanfaatkan buku itu sebagai petunjuk. Sejujurnya, saya kesulitan untuk menerjemahkan isinya. Saya baru bisa menerjemahkan asal muasal kujang itu.”Ustaz Ahmad menimpali, “Jadi—”Ucapan Ustaz Ahmad dihentikan oleh gerakan tangan Kiai.“Saya pikir akan lebih aman kalau buku ini berada di pesantren, terlebih ada Lukman yang mengerti dan paham dengan aksara Sunda,” lanjut Rojali, “dengan tau isi dari buku itu, kita bisa bertindak lebih cepat dibanding mereka.”Ustaz Ahmad melirik Kiai yang tersenyum meski ia tahu bila ayahnya itu tengah berpikir.“Apa yang akan kamu lakukan setelah ini, Jali?” Kiai bangkit, memakai serbannya lagi. Meski sudah berumur, tetapi Kiai memiliki fisik yang kuat. Jarang sekali sakit-sakitan.Rojali masih duduk di tempat yang sama. “Saya
Lukman langsung menutup mulut. Ia seperti terlalu jauh menceritakan soal Rojali. Menyadari kesalahannya, pria itu menggenggam bahu Aep kuat-kuat. “Kamu tolong jangan bilang sama Rojali kalau saya bicara hal ini sama kamu. Saya tahu kalau kamu orang baik. Makanya kamu ditolong Rojali walaupun kamu jadi penyusup. Dengarkan saya.”Aep mengangguk.Lukman menoleh ke kiri dan kanan, memastikan keadaan. “Rojali sebenarnya dibawa Kiai entah dari mana saat bayi. Dia yatim piatu dan tidak tahu asal-usul tentang keluarganya. Dia besar dan tumbuh di pesantren sampai usianya sekarang. Meski nasibnya tak seberuntung orang lain, tapi dia tumbuh jadi sosok yang tak hanya pandai, tapi juga tangguh secara fisik dan mental.”Aep menunduk, menelan ludah berkali-kali. Jakunnya naik-turun. Pantas saja ustaz muda itu jarang sekali membahas tentang keluarga, pikir Aep.“Tolong jaga Rojali selama di Ciboeh,” pesan Lukman sebelum menaiki tangga.