MasukTerimakasih yang masih setia nemenin perjalanan Cailin dan Shangkara Bab ini tuh campur aduk banget buatku 😭 Di satu sisi kita lihat Shangkara versi lembut dan jahil, goda-godain Cailin sampai mukanya merah kayak umbi rebus 🍠, tapi di sisi lain, dia juga muncul lagi sebagai Kaisar Vermilion yang serius, siap menantang dunia demi gadis yang dia pilih. Aku pribadi suka dua-duanya — yang satu bikin senyum-senyum, yang satu bikin dada sesak 😩 Tapi aku penasaran banget sama kalian: 👉 Lebih suka Shangkara yang suka goda Cailin dan bikin suasana ringan, atau Shangkara yang serius dan berwibawa, yang bisa bikin satu istana gemetar cuma dengan tatapan? 👑🔥 Tulis pilihan kalian di komentar ya, biar aku tahu versi mana yang paling bikin kalian jatuh hati ❤️
Malam pertama dan hari pertama perjalanan berjalan lancar, berkat kabut ilusi Pasukan Bayangan tidak ada yang menyadari perjalanan mereka. Mereka beristirahat sejenak untuk makan di hutan terpencil sebelum melanjutkan perjalanan di hari kedua.Menjelang siang hari kedua, ketika perjalanan tinggal setengah hari lagi menuju Danau Bulan, ketegangan memuncak.Di dalam kereta, Ren tiba-tiba tersentak. Ia membuka mata, namun tatapannya kosong. Tubuhnya mulai menggigil tak terkendali.“Jangan … terlalu dekat … Yang Mulia …” Ren mengingau dalam tidurnya.“Ren!” Lian langsung panik. Ia menyentuh kulit Ren dan merasakan demam tinggi. Garis-garis hitam keunguan akibat racun Klan Naga Hitam yang sebelumnya tertahan oleh ramuan, kini meram
Pagi hari di Istana Vermilion, genderang istana berdentum tiga kali.“Dekret Kaisar!” teriak pengawal istana di halaman depan. “Pertunangan resmi antara Yang Mulia Kaisar Vermilion dan Nona Daiyu dari Klan Timur diumumkan demi stabilitas kerajaan!”Berita itu menyebar seperti badai. Rakyat di pasar saling berbisik, antara percaya dan bingung. Ada yang bersorak karena mengira itu tanda damai, ada pula yang cemas karena cahaya merah di langit malam sebelumnya masih jadi bayang-bayang di pikiran mereka.Bendera-bendera kerajaan dikibarkan. Anak-anak menatap langit, mencari burung vermilion merah yang katanya menjaga Kaisar mereka.Di ruang dewan istana, kursi kaisar kosong. Para tetua saling pandang, beberapa mulai merasa ada sesuatu yang tak beres.Guru Fen berdiri di tengah aula, memegang gulungan Dekret Kekaisaran yang disegel dengan Vermilion. Wajahnya dingin dan serius.“Kalian menuntut kepastian!” Guru Fen menggelegar. “Kaisar
Shangkara kembali ke ruang kerjanya. Ia menatap ke luar jendela, di mana langit Istana Vermilion tampak damai, sebuah kontras yang kejam dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. “Berani sekali dia mengancamku,” bisiknya pada diri sendiri. Tangannya menggenggam erat lengan kursi. Ia mengulurkan tangan, mencoba memanggil api Vermilion penuh, tetapi yang keluar hanyalah nyala api yang kecil dan berkedip. Ia mengerutkan kening. Mengingat amukannya di Pegunungan Utara malam sebelumnya, ia seharusnya merasakan letusan energi, tetapi kini, ia merasakan sumbatan. Ada tali tipis yang melilit Inti Qi-nya, terasa dingin dan memuakkan—gema dari ikatan paksa Daiyu. “Sialan!” umpatnya. Itu adalah bukti nyata, ancaman Daiyu kini memenjarakan kekuatannya. Dengan wajah tegang, ia segera bergegas menuju Kuil Guru Fen. Guru Fen menyambutnya dengan sorot mata yang serius. “Kau membuat dunia gempar, Yang Mulia.” “Biarkan,” jawab Shangkara tanpa basa-basi, ia mencengkeram dadanya. “Aku perlu
Keesokan paginya, Cailin duduk di dekat jendela, memandang hilir mudik aktivitas warga desa. Suara penduduk dan desiran angin gunung terdengar lembut.Shangkara datang diam-diam, duduk di sebelahnya.Cailin menoleh, ia menyentuh lengan Shangkara. “Lenganmu bergetar,” bisiknya. “Kau terluka lebih dari yang kau akui.”Shangkara tersenyum tipis. “Hanya kelelahan. Aku sudah lama tidak membakar seluruh gunung.” Ia meraih tangan Cailin, menggenggamnya dengan erat. “Aku harus kembali ke istana. Sebentar.”Cailin memandangnya dengan pengertian, “Aku tahu. Kewajibanmu sebagai kaisar—”“Bukan sebagai kaisar,” potong Shan
Ruang belakang kedai mi di kaki Pegunungan Naga Hitam kini menjadi ruang perawatan darurat. Cahaya pagi menyelinap melalui jendela kayu, menerangi suasana kehancuran dan kelegaan yang pahit. Jenazah Moyan telah diselimuti jubah Klan Bulan dan diletakkan di sudut ruangan.Di tengah ruangan, Ren terbaring pucat di atas kasur darurat. Luka di perutnya masih menyebarkan racun spiritual hitam, yang terus menjalar.Guan berlutut di sisi Ren, tangannya gemetar. Dia menggunakan Es Bulan yang dingin untuk mengisolasi luka, mencegah racun mencapai jantung. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat sangat putus asa.“Jangan menyerah, Tuan Ren,” gumam Guan, suaranya parau. Ia melihat bayangan Moyan di sudut. Ia tidak akan kehilangan orang lagi. “Kita akan singkirkan racun ini. Kita harus.”Setiap kali racun bereaksi, api Vermilion di tubuhnya menyala pelan, lalu meredup lagi.Lian hanya bisa duduk di dekatnya, air matanya menetes tanpa suara. Ia mengatupkan gigi, frustrasi karena ia tidak memil
Di ruang alkimia yang kini silau dengan aura vermilion sang kaisar, udara terasa panas dan sesak. Shangkara berdiri di ambang pintu yang hancur. Di depannya, Pemimpin Klan Naga Hitam berdiri di samping altar tempat Cailin terikat.“Mundur, Kaisar!” Pemimpin Klan Naga Hitam menyeringai, mengambil mangkuk kristal berisi ramuan darah Cailin. “Atau ramuan ini akan ku lemparkan ke wajahmu! Kau akan terikat pada sihir jiwa Naga Hitam selamanya!”“Jiwa Vermilion tak tunduk pada kegelapan,” ucapnya, suara rendah yang bergetar oleh kemarahan yang tertahan. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, sang Kaisar yang perkasa itu benar-benar terpaku. Bukan karena takut pada ancaman, tapi karena takut satu kesalahan akan merenggut nyawa Cailin.Suara langkah mendekat. Batu berderak. Guan, da







