LOGINGelap. Dingin. Sunyi.Cailin membuka mata di selnya yang lembap, tubuhnya masih terasa lemah setelah pengambilan darah pertama. Dengan susah payah, ia mencoba meraba sekeliling dinding batu, mencari celah, kelemahan apa pun yang bisa ia manfaatkan. Tangannya yang terborgol menyentuh dinding yang kasar, tapi tidak ada yang bisa memberinya harapan.Cincin giok yang ia simpan di balik hanfu bergetar lemah. Ia mengambilnya dan menggenggamnya. Ia tahu, orang-orang klan bulan mencarinya. Borgol batu spiritual di pergelangan tangannya menyerap setiap energi yang tersisa, membuatnya makin lemah dan tak berdaya. Ia mencoba memfokuskan pikirannya, menyisir setiap celah di borgol itu, mencari titik lemahnya.Yang paling menyiksa bukanlah rasa lelah fisiknya, melainkan kehampaan di jiwanya. Ia memandangi gelang hitam berukir naga yang mengikatnya. Ikatan Yin-Yang nya kini terasa sunyi, dingin, sepenuhnya terputus.“Gelang sialan,” kutuknya dalam hati. Rasa frustrasi dan kemarahan memuncak. Secar
Di ruang pertemuan pribadinya, Shangkara duduk di hadapan guru Fen dan tetua Lin. Cahaya kristal vermilion menyinari wajah mereka yang tegang.“Yang mulia, pengumuman resmi tidak bisa ditunda,” ujar Tetua Lin, nadanya penuh ketegasan. “Setelah pernyataan di Istana Timur kemarin, dewan akan menuntut agar pernikahan dengan Nona Daiyu segera diresmikan demi stabilitas. Kita butuh pengumuman untuk membungkam mereka.”Shangkara mengangguk tanpa ekspresi. “Siapkan pengumumannya.” Ia baru saja membuat keputusan terbesar dan paling menyakitkan dalam hidupnya.Saat mereka berbicara, Shangkara tiba-tiba memejamkan mata. Ikatan spiritual Yin-Yang nya dengan Cailin, yang selalu memberinya firasat tentang keberadaan atau kesakitannya, kini terasa mati. Ia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada ras
Cailin tersentak bangun. Seluruh tubuhnya sakit, dan kepalanya berdenyut hebat. Ia merasakan dinginnya batu dan aroma besi tua yang bercampur dengan bau busuk khas racun. Ia meraba sekeliling. Dinding-dindingnya kasar dan lembap. Ia berada di ruangan kecil dan gelap.Ia mencoba memanggil energinya. Namun aliran spiritualnya kosong. Qi Bulannya lenyap, bahkan energi vermilion pan tak menjawab panggilannya. Liontin bulan sabit di lehernya dingin dan tidak bercahaya. Ia merasakan kelemahan yang mengerikan.Pintu logam kecil berderit terbuka, memancarkan cahaya kristal oranye yang remang. Dua sosok tinggi berjubah hitam masuk. Salah satunya adalah Pemimpin Klan Naga Hitam, wajahnya ditutup topeng separuh yang hanya menampakkan senyum kejam.“Ah, Putri Bulan sudah bangun,” desisnya, suaranya serak. &ldq
Di tepi danau, kabut hitam telah menyelimuti sekeliling. Bau besi tua dan asap beracun memenuhi udara. Kuil Bulan baru separuh muncul dari dalam danau ketika serangan mendadak Klan Naga Hitam datang.“Formasi bertahan!” teriak Ren, menghunus pedang spiritualnya yang menyala api Vermilion. Ledakan api dari bilahnya memecah kabut di sekeliling mereka.Lian berputar cepat di sampingnya, tangannya membentuk lingkaran—pusaran angin tajam berputar di sekitar medan tempur, menahan sebagian kabut yang mencoba mendekat.Dari balik kabut, sosok-sosok berjubah hitam muncul, mata mereka memancarkan kilatan hijau kelam. “Prajurit Bayangan Vermilion, lindungi Putri Bulan!” seru Ren. Teriakan pertempuran menggema.
Keesokan paginya di dalam ruang meditasi batu yang tenang, Cailin duduk di ranjang batu. Ia terlihat lebih baik. Ramuan tabib istana telah memulihkan tenaga fisiknya, tetapi wajahnya masih pucat dan Qi Bulannya terasa mati. Ia mengenakan jubah untuk perjalanan, ditemani Shangkara, Ren, Guan, dan beberapa Pengawal Bayangan yang siap bergerak. Guru Fen berdiri di sampingnya.“Kita akan segera berangkat,” bisik Shangkara pada Cailin, tangannya erat memegangi lengannya. “Aku akan membawamu terbang, mempercepat perjalanan kita.”Guru Fen mengangguk dari samping, mengamati kondisi mereka berdua.Pintu ruangan terbuka dengan kasar. Lian menerobos masuk, napasnya tersengal-sengal, rambutnya berantakan, dan wajahnya panik.“Akhirnya ... akhirnya kutemukan kalian!” teriaknya, bersandar di pintu untuk menahan tubuhnya yang lelah.“Lian? Ada apa?” tanya Cailin, kekhawatiran terpancar di matanya yang masih lemah.Lian menarik napas dalam. “Daiyu ... dan selir ibu!” katanya terengah. “Mereka kembal
Ruang meditasi itu tenang, hanya diterangi cahaya kristal spiritual yang memancarkan semburat biru lembut. Cailin terbaring di atas dipan batu, napasnya masih berat.Tabib istana baru saja pergi setelah memeriksanya dan meninggalkan ramuan. Shangkara duduk di sampingnya, menopang kepala Cailin dengan hati-hati. Guru Fen, Ren, dan Guan berdiri di sekitarnya.“Ramuan ini hanya mengembalikan tenaga fisik,” kata Shangkara, tangannya gemetar saat mencoba menyendokkan ramuan ke bibir Cailin. “Dia membutuhkan energi spiritual.”“Kami sudah menyelidiki, yang mulia,” sela Ren, menaruh wadah tersegel berisi Jimat Batu Hitam dan dupa beracun. “Ini adalah racun spiritual pasif, yang digunakan untuk menguras energi Bulan yang murni secara bertahap. Itu juga sebabnya racun itu tidak







