LOGINDi sepanjang jalan ibu kota bahkan sampai ke pelosok desa, bisik-bisik ketakutan selalu terdengar seperti api menjalar. Seorang petani tua menatap sawahnya yang kering, bergumam, “Ini gara-gara ramalan itu... Vermilion dan Bulan bersatu, dunia tidak seimbang lagi.” Di pasar, seorang ibu menggendong anaknya yang demam, berbisik pada tetangganya, “Dia kemarin melihat cahaya aneh di langit, kata orang itu pertanda bencana.”Di Balai Dewan Agung, udara terasa sangat panas, meskipun cuaca di luar sejuk. Para tetua berdiri, wajah mereka dipenuhi keprihatinan yang dibuat-buat.“Yang mulia,” lapor salah satu pejabat muda dengan suara gemetar, “kekeringan melanda perbatasan Barat, dan wabah misterius merebak di desa pesisir timur! Rakyat mengaitkan semua ini dengan ramalan Yin-Yang! Mereka takut, Yang Mulia! Mereka menuntut jami
Di ruang meditasi Guru Fen, aroma dupa cendana menyelimuti udara. Guru Fen duduk bersila, matanya terpejam. Tiba-tiba, pintu terbuka, dan Shangkara masuk dengan langkah yang jauh lebih mantap dari kemarin.“Guru,” sapa Shangkara, wajahnya tampak segar dan penuh semangat.“Kenapa hari ini Kaisar datang terlambat?” sapa Guru Fen, nadanya santai tapi penuh sindiran. “Aku jadi berpikir ada kegiatan rahasia yang jauh lebih mendesak daripada pemulihan inti Vermilion.”Shangkara hanya tertawa kecil. “Prioritas, Guru. Dan soal inti Qi-ku,” ia mengulurkan tangannya, dan nyala api Vermilion yang kecil tapi terkendali muncul. “Berkat Putri Bulan, aku bisa memanggil kekuatan ku lagi. Inti Qi-ku jauh lebih stabil.”“It
Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi lantai di kamar Kaisar. Shangkara dan Cailin masih berpelukan, diselimuti selimut sutra. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Cailin menikmati kedamaian, melupakan kekacauan di luar tembok istana.Cailin membuka matanya perlahan, kepalanya bersandar nyaman pada dada Shangkara. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu yang kuat dan napasnya yang stabil.Jemari Cailin dengan ringan menelusuri segel di dada Shangkara. Tanda segel itu terasa halus dan hangat. Senyum kecil mengembang di bibirnya.Saat tangannya bergerak, Shangkara bergumam pelan dan matanya terbuka perlahan. Ia melihat Cailin dan senyum lelahnya muncul.“Selamat pagi,” bisik Cailin.“Pagi,” jawa
Cailin, Ren, dan Guan yang kini menyamar sebagai pelayan baru Cailin menyusup kembali ke istana dengan lancar. Suasana istana masih tegang, namun langkah Cailin terasa ringan. Misi berhasil, dan kini ia memiliki sekutu di dalam dan luar tembok istana.“Ren, tolong antarkan Guan ke barak pelayan dan atur dia sebagai pelayan untukku,” pinta Cailin.Ren mengangguk, memahami tanpa perlu penjelasan lebih. “Saya akan pastikan identitasnya aman.”“Guan,” Cailin menoleh pada wanita itu, “berlatihlah bersamaku besok pagi. Aku ingin segera mempelajari teknik penyembuhan itu.”“Siap, Putri,” jawab Guan dengan hormat kemudian mengikuti Ren.Dengan hati yang lebih ringan, Cailin bergegas menuju kamar Shangkara. Ia mendorong pintunya perlahan dan menemukan Shangkara sedang berdiri di dekat jendela, menatap bulan sabit di luar. Angin malam memainkan helaian rambutnya, dan wangi dupa menguar pelan.“Shangkara,” panggil Cailin lembut.Ia menoleh, senyum tipis muncul di wajahnya yang lelah. “Kau sudah k
Sore itu, di dalam kamar Kaisar, Shangkara berdiri mengenakan jubah ringan, wajahnya sedikit pucat tapi matanya jernih. Di hadapannya, Cailin bersiap dengan hanfu sederhana berwarna kelabu, rambutnya disanggul rendah seperti seorang pedagang biasa.Ren berdiri tak jauh, menunggu perintah terakhir.Shangkara menatap Cailin lama sebelum akhirnya berkata “Kau tidak perlu melakukan ini. Dunia di luar sedang berbahaya. Aku bisa kirimkan pasukan bayangan untuk menghubunginya.”Cailin menggeleng. “Tidak, aku harus datang sendiri.”Ren menunduk hormat, tapi suaranya tenang. “Saya sudah atur semuanya, yang mulia. Jalan menuju pasar timur aman.”Shangkara menatap Ren dalam-dalam. “Ren,” s
Cailin masuk ke kamar Kaisar tanpa suara. Shangkara sudah terbaring, walau matanya masih terbuka, menatap langit-langit. Ada kerutan samar di antara alisnya, bukti bahwa ia belum sepenuhnya pulih.“Kau tidak tidur?” bisik Cailin, mendekat.“Aku tidak bisa,” jawab Shangkara, suaranya lelah. “Aku bisa merasakan apa yang terjadi di luar. Berita itu sudah meracuni ibu kota. Mereka takut.”Cailin duduk di tepi ranjang. Ia menggenggam tangan Shangkara, dan mengalirkan energi bulan yang sejuk. Kemudian, dengan nada serius, ia mulai bercerita.“Ada hal yang belum kuceritakan tentang perjalanan pulang dari kuil bulan. Waktu itu, kami mampir di Kota Angin.” Cailin menceritakan tentang pelayan tua keluarga Lian, cincin giok, dan perte







