Share

Bertemu Emily

Suara jangkrik terdengar. Angin dingin berhembus menerpa kulit. Daun-daun berguguran. Aroma tanah yang basah setelah diguyur hujan menguar. Rumput tebal sebagai alas makin membuat tubuh merasakan dingin.

Suara binatang yang mengaum samar-samar masuk ke indra pendengarannya. Batinnya kebingungan. Apakah kematiannya cuma mimpi? Tetapi mengapa rasanya benar-benar menyakitkan kala peluru itu menembus jantungnya?

Lalu jika bukan mimpi apa yang baru saja dia dengar dan rasakan saat ini?

Aden membuka kedua matanya. Dia tidak perlu menyesuaikan cahaya karena hari sudah malam. Hanya bulan sabit lah yang terlihat muncul dari balik awan.

Setelah itu dia berusaha duduk dari posisi berbaringnya. Matanya melihat sekeliling. Ini di luar ruangan, lebih tepatnya bisa dibilang hutan karena banyaknya pepohonan dan semak-semak belukar. Dahinya mengernyit. Mengapa dia bisa berada di sini?

Apakah orang dengan tangan kotor seperti dirinya tidak masuk ke dalam neraka? Rasanya tidak mungkin.

Masih sibuk memikirkan apa yang terjadi padanya, suara adu pedang kembali terdengar. Kini lebih keras dan seakan makin mendekat. Aden berdiri, memilih bersembunyi di balik pohon yang sekiranya bisa menyamarkan tubuhnya. Karena kan dia tidak tahu apakah mereka itu kawan atau musuh.

Trang trang trang.

Boom.

Duar!

Tiba-tiba seorang pria terpental. Tubuhnya tengkurap mencium tanah. Segera saja dia berdiri dan berbalik. Dia berlari secepat kilat ke arah tadi terpental.

"Auman halilintar!" pria itu teriak. Pedangnya yang terlihat diselimuti listrik dia arahkan ke seorang wanita yang tengah menunggangi beruang hitam, yang besarnya tidak bisa dikatakan normal.

"Apakah beruang itu hidup? Tetapi mengapa bisa sampai sebesar itu? Lalu hei, apakah pria itu yakin melawan wanita lemah itu?" tanya Aden pelan ketika melihat pria itu yang-

Sratt.

Crass.

Mata Aden membola menyaksikan pertarungan keduanya. Dia tarik kembali kata-katanya yang mengatakan wanita penunggang beruang itu lemah. Nyatanya hanya sekali pecutan pria itu tumbang.

"Wow! Benar-benar luar biasa!" pekiknya. Tak sadar Aden mengucapkan itu setengah berteriak. Si wanita penunggang beruang pun melihat ke arahnya.

"Siapa kau?"

Aden ingin melarikan diri ketika sadar pertanyaan itu ditujukan padanya. Namun langkahnya tidaklah lebih cepat ketimbang wanita itu yang dengan ajaibnya bisa terbang tanpa menggunakan sayap dan berdiri di depannya.

"Hantu!"

Plakk.

Mulut Aden ditampar wanita itu ketika tangan Aden menunjuk ke arahnya sambil mengatai bahwa dia hantu. Bah, mana ada hantu secantik dirinya.

"Apa matamu buta? Kakiku menapak di tanah, lihat!" suruh si wanita agar Aden melihat ke arah kakinya. Aden mengangguk percaya. Wanita itu menyedekapkan kedua tangannya di dada.

"Lalu apa yang kau lakukan di sini, bocah awam? Kalau aku tak melihat tingkat pelatihanmu terlebih dahulu, mungkin aku sudah melayangkan cambukku. Yah meski kau tak akan seberuntung pria di seberang sana." tangannya mengarah ke pria yang bertarung dengannya. "Dia hanya pingsan. Kalau kau, sudah bisa dipastikan akan mati saat itu juga."

Heh, wanita aneh ini berani-beraninya memanggilnya bocah. Dia bahkan hampir berkepala tiga. "Seharusnya aku yang memanggilmu bocah, nak. Umurku sudah dua puluh delapan tahun. Selain itu asal kau tahu saja, cambukmu itu tidak akan bisa membunuhku. Aku ini sudah kebal dengan barang yang seperti itu. Oh ya terkecuali dengan pistol."

Aden jadi teringat kembali momen kematiannya. Eh tunggu sebentar, jadi dia hidup kan sekarang ini?

"Hahahaha. Bocah ini ternyata tidak waras." wanita itu tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Baru setelah tawanya berhenti dia melanjutkan kalimatnya. "Seharusnya kau masih tiga belas, atau mungkin lima belas tahun."

Aden tidak menghiraukan ucapan si wanita. Dia memegang pundak wanita itu dan mengguncangkannya. "Aku hidup? Jadi aku masih hidup bukan?"

"Ya, ya. Kau masih hidup karena aku tak membunuhmu tadi." alis wanita itu naik sebelah merasa heran karena melihat bocah laki-laki di depannya itu melompat-lompat kegirangan.

Dasar bocah, batinnya. Wanita itu memanggil beruang miliknya. "Max."

Max langsung menghampiri mereka, lebih tepatnya menghampiri wanita itu. Dia melambaikan tangannya pada Aden. "Baiklah kita berpisah di sini bocah."

Aden masih saja melompat-lompat, menghiraukannya. Perempat siku muncul di dahinya. Sungguh baru kali ini ada manusia awam berani mengacuhkannya. Tetapi yah berhubung suasana hatinya sedang bagus dia tak akan menyentuh Aden.

Saat wanita itu menghilang, Aden berhenti melompat. Gila. Hal gila apa yang barusan dia lakukan? Melompat-lompat seperti bocah berusia tiga tahun yang diberi gulali manis satu kamar. Oh astaga, jika ada anak buahnya yang melihatnya seperti ini, Aden ingin sekali menggali lubang dan bersembunyi di sana. Benar-benar tidak cocok dengan image pemilik dunia bawah.

Aden melihat ke tempat di mana wanita tadi berdiri namun kosong. Dia melihat ke sebelah kirinya, beruang besar itu juga menghilang. Astaga. Dia lupa menanyakan ini di mana.

Di lain tempat.

"Emily, kau-"

Wanita yang dipanggil Emily itu memukul punggung beruang yang ditungganginya. Yah dialah wanita yang ditemui Aden tadi.

"Apa kau lupa aku melarangmu memanggil namaku dengan nama menjijikkan itu, Max! Panggil aku Tuan Rednight." seperti yang kalian tahu, nama ini diambil dari kata red yang berarti merah. Dan night yang berarti malam. Dia memakai nama ini digabungkan.

Oleh karena itu Max mendengus. "Nama yang sangat tidak cocok untukmu, Em. Lagipula kau wanita, bukan pria. Orang lain tidak akan memanggilmu tuan."

Baiklah kita panggil saja si Emily ini dengan nama aslinya saja oke. Karena kalau dipanggil Rednight, nanti kesannya kita lupa kalau dia wanita.

Emily turun dari punggung Max. "Kalau begitu kita putuskan kontrak majikan dan peliharaan ini. Biar aku cari saja hewan yang lain."

"Kau lupa kita tidak mengikat kontrak?" Max sebenarnya ingin bebas dari Emily, tetapi dia tidak bisa mengingkari janjinya dengan orang itu. Ya, dia harus tetap bersama Emily apapun yang terjadi, sampai dia dihidupkan kembali.

Kini giliran Emily yang mendengus sebal. Oh ayolah dia mulai muak terus bersama Max. Bayangin coba selama seratus dua puluh tahun, siang dan malam hewan itu tidak pernah menghilang dari pandangannya. Kan sekali-kali Emily ingin melihat pemandangan lain juga.

Dia sudah mencari ke dalam hutan level perak, level emas, daratan ketujuh (ketiga tempat ini merupakan tempat di mana biasanya hewan buas berkumpul ataupun tinggal), bahkan hanya sekadar bertarung dengan musuh untuk mengambil hewan mereka.

Tetapi entah mengapa tidak ada yang cocok dengannya.

Dan Emily pikir ini semua karena Max. Hewan tua jelek itu membuat auranya sebagai majikan yang baik hati dan penyayang jadi tertutup.

"Kau jangan mengataiku tua, Em! Bahkan umurmu sekarang sudah seratus empat puluh lima tahun." bela Max bersungut-sungut.

Emily dan Max bisa membaca pikiran masing-masing. tetapi Emily memaksa agar Max memberinya privasi, begitu pula sebaliknya. Jadi Max memutuskan akan membaca pikiran Emily jika itu berkaitan dengannya. Yah seperti tadi.

Emily mendecih tidak suka saat diingatkan tentang usianya. Oh ayolah dia itu masih terlihat cantik dan elegan tanpa ada keriput di sekitar mata ataupun dahi layaknya nenek tua. Bahkan acapkali musuh yang tidak mengenalnya mengira kalau Emily seorang bocah yang luar biasa karena kekuatannya hampir mengalahkan tingkatan seorang kesatria level perak.

Emily memang tidak bangga akan hal itu. Karena bagaimanapun di usianya yang ke enam belas tahun, dia sudah mencapai level perak tahap menengah. Lalu di usianya yang kini, mengalahkan level perak sangatlah mudah. Itu seharusnya.

Hanya saja karena pertarungan beberapa dekade yang lalu, kekuatannya tersegel separuh. Kini sambil bepergian ke berbagai tempat, Emily mencoba mengumpulkan kembali kekuatannya. Memang sangat susah baginya. Apalagi jika tiba-tiba muncul orang dengan level yang sedikit lebih tinggi, atau sama dengannya itu akan sedikit menyulitkannya.

Ingat ya, itu cuma sedikit. Karena bagaimanapun juga Emily ini orang yang cukup pintar membuat musuhnya terpicu emosi melalui kata-katanya sehingga dia bisa mencari celah dari sana.

Mungkin bisa saling adu domba, begitulah maksud dari kata-kata tadi. Kalaupun lawannya cuma satu tetap bisa tetapi soal caranya, itu ada banyak. Intinya selain tua Emily ini juga punya akal licik guna mengelabui musuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status