Di ruang bawah tanah yang pengap dan minim cahaya, seorang pria yang tubuhnya dipenuhi luka diikat di kursi. Matanya ditutup dengan kain. Tetapi kain itu dengan cepat dilepas oleh pria yang berdiri di depannya dengan kasar.
"T-tuan ..." ucapnya tersengal karena napasnya terasa tercekat. Siksaan yang diberikan oleh pria yang dia panggil tuan itu nyaris membuatnya kehilangan nyawa.
Tetapi dia belum mau mati sekarang ini. Dia harus meluruskan ah tidak meyakinkan tuannya itu.
"Sudah kubilang aku tidak mengizinkan siapa pun berkhianat. Dan meskipun kau tangan kananku sendiri aku tidak akan mengecualikannya!" Aden Tereo, seorang pengusaha kaya raya di negara Z itu menggeram marah.
"B-bukan ak-akhh!" pria itu kembali berteriak ketika Aden menancapkan pisau di paha kirinya. Darah segar pun mengucur.
Pria itu meringis. Tubuhnya terasa hampir mati rasa. Oh god tolong jangan biarkan dia mati dahulu. Dia tidak bisa membiarkan Aden mengalami kejadian yang buruk nantinya.
Dahulu Aden tidak akan membiarkan seorang pun menyakitinya. Tetapi dengan tangannya sendiri dia melukai fisik dan yah mungkin mental juga, seorang Maden Gezta.
Maden ini merupakan bocah pengemis yang ditemukan Aden saat berusia sebelas tahun. Maden yang meringkuk kedinginan di gang kecil yang becek, membuat Aden merasa iba. Apalagi dengan tubuh kurus yang terlihat hanya tinggal tulang.
Selain itu yang dilakukan Aden di rumah hanya mempelajari bisnis, bisnis, dan bisnis. Ayahnya bilang dia harus dibiasakan sejak kecil karena tak jarang sanak saudaranya sendiri berniat merebut perusahaannya.
Belum lagi ayahnya juga memiliki perusahaan bawah tanah—ini hanya istilah yang dimengerti Aden. Seperti yang diketahui mereka bergerak membuat semacam senjata ilegal, narkoba, dan barang lain semacamnya.
Jadilah Aden juga belajar bertarung untuk berjaga-jaga. Dan keseharian yang seperti itu membuatnya lelah. Seharusnya diusianya itu dia habiskan untuk bersama teman-temannya, seperti yang lain.
Aden akhirnya terdorong untuk membawa Maden ke rumahnya, meminta orang tuanya agar membolehkan Maden tinggal bersama. Mereka setuju saja. Lagipula kedepannya akan lebih baik jika Aden punya seseorang yang dipercayai yang berdiri di sampingnya.
Tetapi melihat Maden berkhianat, bah! Aden benar-benar sangat marah.
"Jer-i-co .." oke, Maden rasa Aden akan tanggap dan mau berpikir apa yang digumamkannya dengan lirih itu. Namun Aden malah kembali menancapkan pisau di paha kanannya.
"Dalangnya .." Maden mengumpulkan napas. Dia tidak bisa membuang waktu. Dia harus segera memberi tahu Aden karena bisa saja orang itu muncul. "Jeri-co..."
Aden yang mendengar itu tertawa terbahak-bahak. Bicara apa pengkhianat menjijikkan ini. Aden menarik pisau dari paha Maden dan beralih menggores pipi. Terus turun dan sampai ke bibir Maden.
Tangan Aden membuka paksa mulut Maden, berniat menarik lidahnya. Maden yang paham lantas menggigit jari Aden.
"Sialan kau!" Aden menampar pipi Maden hingga sudut bibirnya robek. Lagi-lagi darah mengalir keluar dari tubuhnya.
Ini tidak sakit. Yah, Maden mensugesti dirinya ini tidaklah sakit. Masih sakitan Aden jika itu benar-benar terjadi.
Aden menarik pistol yang sejak tadi tergeletak di meja sampingnya. Dia hendak bermain-main dengan Maden dahulu tetapi memori mereka dahulu terlintas. Jadi dia akan mengakhiri hidup Maden sekarang saja.
Bukankah langsung mati lebih baik daripada mati perlahan-lahan kan?
Namun ponselnya tiba-tiba berdering. Alis Aden naik sebelah melihat siapa sang penelepon. "Ada ap-"
Sebelum kalimatnya selesai, suara di seberang sana memotong. Detik berikutnya ekspresi Aden menegang. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal erat. Dan Maden melihat perubahan itu.
Apa jangan-jangan itu sudah terjadi? Pikirnya.
"Jerico ..!"
Aden menoleh ke Maden yang menyebutkan nama Jerico. Setetes air mata meluncur. Sungguh hal bodoh apa yang dia lakukan tadi. Melihat tubuh Maden yang seperti ini, bahkan lebih mengenaskan daripada saat mereka bertemu pertama kalinya.
Maden tersenyum tipis karena tubuhnya terasa sangat lemas. Dari senyuman itu dia memberitahukan bahwa dia baik-baik saja. Aden kembali meneteskan air mata. Dia mendekati Maden melepas ikatan pada tubuhnya.
Setelah semuanya terlepas, Aden mengucapkan permintaan maaf tetapi terhenti karena pintu yang didobrak. Lebih dari dua puluh orang berbaju hitam masuk sambil menodongkan pistol ke arah mereka. Tak lama kemudian sosok bernama Jerico muncul dan orang-orang tadi menyingkir memberi jalan.
"Hai Aden, hai... ah Maden ya?" itu suara Jerico. Beraninya bajingan itu menyapa mereka dengan senyum riang. Sungguh memuakkan!
"Kau!" Aden hendak melayangkan tinjunya ke wajah Jerico tetapi Maden menahannya.
"Tuan.. pergi lewat.. pintu... belakang... " ucap Maden lirih.
"Apa yang kau katakan, Maden!" Aden tidak habis pikir ketika melihat Maden yang berusaha berdiri di depan Aden, tampak melindunginya. Hal itu membuat Jerico tertawa makin keras.
"Meski kalah jumlah aku penembak jitu Maden. Aku bisa menghabisi mereka semua!" sungguh bodoh. mengapa Aden tidak membawa beberapa anak buahnya kesini tadi.
Kalau begini jadinya dia tidak bisa memastikan Maden bisa keluar dengan aman. Ya kalian pasti tahu bukan bertarung sambil melindungi seseorang itu hal yang sulit. Terlebih lagi jika orang itu dalam kondisi yang hampir sekarat seperti Maden saat ini.
"Aden." Aden mematung mendengar Maden memanggil namanya tanpa embel-embel tuan.
"Aku lebih tua dua tahun darimu, jadi boleh bukan aku memanggil namamu langsung?" Maden menarik napas lagi. Berusaha menguatkan pertahanan tubuhnya.
"Aku tidak membencimu. Sebelum kau meminta maaf, aku sudah mema-"
Dor!
Brukk.
Cratt.
Bunyi peluru yang dilepaskan. Dengan cepat peluru itu melesat melewati kepala Maden dan melubanginya. Membuat Maden langsung jatuh ambruk. Aden yang berdiri di dekatnya terkena cipratan darah Maden, mengenai wajahnya.
Matanya memerah. Di depannya, sosok yang telah dia ragukan kesetiaannya. Sosok yang membuat hari-harinya semasa kecil dahulu lebih berwarna. Sosok yang selalu sayang padanya layaknya seorang kakak. Sosok yang hampir dia bunuh dengan tangannya sendiri, telah mati.
Dan itu semua disebabkan olehnya. Jika dia mempercayainya. Jika dia mendengar kata-katanya. Jika dia tidak membawa orang itu ke rumahnya. Hal ini tidak akan terjadi. Benar, ini semua salahnya.
Suara tawa memenuhi ruangan. Mata Aden menggelap. Dia bahkan belum sempat meminta maaf ke Maden atas perlakuannya. Dan saat dia mendengar kalimat terakhir Maden, kalimat itu tidak pernah terucap sampai selesai karena Jerico membunuhnya.
Jerico!
Pandangan Aden memusat ke Jerico. Tawa Jerico berhenti. Gerakan tangannya mengisyaratkan agar anak buahnya bersiap di posisi mereka. Tentu saja Jerico tidak bisa meremehkan Aden.
Meski sendiri, Jerico tahu bagaimana kekuatan Aden. Dengan lima anak buah saja Aden bisa menorehkan luka ke tubuhnya. Maka dari itu sekarang dia membawa anak buah lebih banyak.
Tujuan Aden satu, yaitu membunuh Jerico. Dia sudah tidak peduli lagi dengan kabar dari sekertarisnya yang mengatakan bahwa di luar sana perusahaan Jerico hendak mengakuisisi perusahaannya.
Jadi terkait penyebab Aden menyiksa Maden dan mengatakan bahwa dia berkhianat adalah informasi mengenai perusahaannya. Hal itu sangat krusial. Sahamnya langsung turun drastis. Aden tentu saja marah.
Maden menjadi tersangka karena semua bukti mengarah padanya. Dan dimulailah kejadian Maden disiksa oleh Aden.
Tetapi mereka (orang-orang perusahaannya) tidak tahu kalau bukti-bukti itu sudah dipalsukan. Dan dalang yang sebenarnya baru diketahui setelah beberapa hari kemudian. Oh ya tadi selain mengabari soal akuisisi, perihal ini diceritakan oleh sekretarisnya.
Itulah penyebab Aden menangis tadi.
Aden menarik pistol dari balik jaketnya. Dua buah. Beberapa stok peluru juga terdapat di sana. Dia dan anak buah Jerico siap adu tembak. Begitu Jerico memberi aba-aba mereka mulai menembak ke arah Aden.
Aden tentu membalas tembakan itu dengan lihainya. Maju satu lawan satu. Maju semua tembakan beruntun dilepaskannya. Jerico tidak ikut campur. Dia mengambil kursi yang kebetulan tidak jauh darinya dan duduk.
Menyaksikan musuhnya terkepung memang menyenangkan. Tetapi dia akan menunggu sampai Aden benar-benar terpojokkan. Barulah dia akan turun tangan. Membayangkan Aden memohon ampun sambil berlutut, ah tidak lebih baik bersujud saja, membuatnya begitu bersemangat.
Dor dor dor!
Satu persatu anak buah Jerico tumbang. Kini tinggal lima belas orang. Aden segera memasukkan stok peluru karena sudah habis. Dan itu dimanfaatkan musuhnya. Satu tembakan melesat mengenai lengan kirinya.
Pistolnya pun jatuh. Tetapi Aden segera membalas dengan pistol di tangan kanannya.
Kedua belah pihak kembali melayangkan tembakan. Jerico yang melihat anak buahnya makin sedikit diam-diam mengambil pistol dari sakunya. Biarlah dia licik, toh itu memang sifatnya. Apalagi dia tidak mau mengambil risiko kalau Aden sampai membunuh semua anak buahnya.
"Tinggal tiga lagi." senyum remeh Aden. Hanya dengan satu pistol dia akan membunuh ketiganya dan berlari ke Jerico.
Bertepatan dengan Aden membidik, Jerico melesatkan peluru ke Aden.
Dor!
Peluru itu mengenai tepat jantung Aden. Sama seperti Maden, dia langsung ambruk. Sudah jelas dia akan mati. Tetapi tidak terpikir dia mati tanpa bisa membalas Jerico.
Sampai di kehidupan berikutnya dan berikutnya, akan kupastikan kau mati di tanganku!
Sumpah Aden sebelum dia menutup matanya.
Suara jangkrik terdengar. Angin dingin berhembus menerpa kulit. Daun-daun berguguran. Aroma tanah yang basah setelah diguyur hujan menguar. Rumput tebal sebagai alas makin membuat tubuh merasakan dingin.Suara binatang yang mengaum samar-samar masuk ke indra pendengarannya. Batinnya kebingungan. Apakah kematiannya cuma mimpi? Tetapi mengapa rasanya benar-benar menyakitkan kala peluru itu menembus jantungnya?Lalu jika bukan mimpi apa yang baru saja dia dengar dan rasakan saat ini?Aden membuka kedua matanya. Dia tidak perlu menyesuaikan cahaya karena hari sudah malam. Hanya bulan sabit lah yang terlihat muncul dari balik awan.Setelah itu dia berusaha duduk dari posisi berbaringnya. Matanya melihat sekeliling. Ini di luar ruangan, lebih tepatnya bisa dibilang hutan karena banyaknya pepohonan dan semak-semak belukar. Dahinya mengernyit. Mengapa dia bisa berada di sini?Apakah orang dengan tangan kotor seperti dirinya tidak masuk ke dalam neraka? Ras
Daratan Genezula. Sebuah tempat yang sangat luas, di mana di dalamnya berdiri beberapa perguruan. Ada lima perguruan besar, dan kurang dari sepuluh perguruan kecil. Setidaknya itu untuk saat ini. Kalau ditanya mengapa jumlahnya tidak pasti, tentu saja itu karena sebuah pertarungan.Biasanya di dalam perguruan kecil tidak memiliki banyak kesatria di dalamnya. Meski terkadang ada yang memiliki jumlah hampir sama dengan perguruan besar, jarang ada yang mencapai level tinggi.Itulah sebabnya perguruan kecil jumlahnya sering berkurang. Tetapi bisa juga karena hal lain. Misalnya, sebagai benteng pertahanan mereka gabung ke perguruan besar. Tentu hal ini tidak bisa diremehkan, karena kelima perguruan itu sangatlah kuat.Dan sebagai bayaran, perguruan kecil tersebut berganti nama seperti perguruan yang diikutinya. Pada akhirnya, perguruan itu pun dianggap musnah.Di Daratan Genezula, tepatnya di ujung timur terdapat Hutan Saga yang kaya akan unsur-unsur yang bisa
"Jadi kau bukan Maden?""Tentu saja bukan." ini suara Emily. Pria itu hanya mengangguk tanda mengiyakan, sementara Aden sendiri kembali menampilkan raut sedihnya.Emily sungguh tidak peduli dengan suasana hati Aden, meski saat sedih dia mirip seperti anak kecil yang kehilangan permennya. Emily tidak tahu saja yang dirasakan Aden lebih dari itu.Sebelum Emily berkata lagi, pria itu lebih dahulu berbicara. "Namaku Edgar. Kau sendiri mengapa di sini? Tempat ini terlalu berbahaya bagimu."Melupakan rasa sedihnya, Aden menjawab. "Mungkin bagi kalian ini terdengar konyol. Tetapi ini memang faktanya,"Aden menjeda kalimatnya sebentar. Emily tampak gusar, menyuruh Aden agar segera mengatakannya. "Cepat bocah!""Aku hidup kembali.""Apa?""Beberapa saat yang lalu aku mati karena luka tembak. Dan entah mendapat keajaiban darimana, aku hidup kembali. Tetapi bukan dalam wujudku yang dahulu, melainkan aku menyusut. Yah seperti yang kalian l
"Lupakan saja bocah!" Dahi Aden berkerut. "Mengapa?" Lagi-lagi Edgar yang menjelaskan dengan sabar, karena sudah pasti Emily tidak mau bersusah payah. Menurutnya tidak ada gunanya juga jika Aden tahu. "Benda itu tidak ada satupun yang pernah melihatnya. Yah bisa dikatakan seperti dongeng yang diturunkan ke generasi oleh para leluhur. Konon, barangsiapa yang bisa mendapatkan mustika itu mereka juga bisa menduduki puncak hierarki. Beberapa orang pun ada yang tertarik untuk memilikinya. Jadi mereka mencari ....." "Bagaimana mereka mencarinya kalau tidak ada yang pernah melihat seperti apa benda itu?" tanya Aden memotong ucapan Edgar. "Banyak tanya kau!" geram Emily. Dia lantas mengambil sesuatu dari balik bajunya dan melemparkannya ke Edgar. Aden tidak tahu apa itu, karena Edgar langsung memasukkannya ke kantung. Setelahnya, Emily memanggil Max yang sejak tadi di pinggir sungai dan akan mencebur ke dalam untuk menangkap ikan yang lewat. M
"Apa ini layak disebut tempat tinggal?" Aden memandang ruangan yang kini dimasukinya bersama Helda—nama wanita tadi, yang baginya lebih menyebalkan daripada Emily. Dari luar rumah seluas lima meter persegi itu tampak baik-baik saja, tetapi dalamnya tampak bobrok. Satu lemari kecil yang kayunya sudah keropos, tempat tidur beralaskan tikar yang koyak di beberapa bagian, tanah becek di sekeliling karena atapnya bocor, belum lagi sarang laba-laba dan debu di mana-mana. "Tempat lain sudah penuh. Kalau kau tak mau ya sudah tidur di luar sana!" Helda tak peduli. Dia langsung keluar dari rumah itu, kembali ke tempatnya sendiri. Tanpa sepengetahuan Aden, dia terkikik pelan. Aden jelas lebih memilih untuk tidur di luar. Maka dia pun melangkah. Pikirnya lebih baik dia jalan-jalan sebentar guna melihat seperti apa Perguruan Goya ini. Oh iya, dia baru tahu saat tadi Helda dengan mulutnya yang terus nyerocos tanpa henti mengatakan ini itu padanya. Sampai akhirnya d
Keesokan harinya.Aden terbangun merasakan hangat serta silau matahari yang mengenai netranya. Rasanya dia baru saja memejamkan mata, namun sudah harus bangun. Bukannya dia tidak bisa tidur karena tidak mendapat alas berupa kasur yang empuk. Dia sudah pernah hampir tiga hari tiga malam harus berada di hutan karena menghindari jebakan musuh. Dan tentunya dia juga tidak terlalu mempermasalahkan tidur hanya beralaskan rumput.Saat masih mengumpulkan nyawa, dia mendengar suara di sampingnya."Matahari terlihat indah kan dari sini?"Suara lembut itu mengalun di telinga Aden, terasa nyaman.Aden menoleh, terpana. Jujur saja dari sekian wanita yang pernah ditemuinya, baru kali ini dia melihat wanita yang benar-benar cantik alami.Wanita itu menoleh ke arahnya dengan senyum yang terlukis di bibir semerah cerinya. "Aku sering kesini disaat ingin menyendiri. Orang-orang mungkin menganggap hidupku sangatlah sempurna, tetapi mereka salah. Hanya aku yang
Selama tiga hari ini Aden menghabiskan waktunya berkeliling Perguruan Goya bersama Helda. Aden baru tahu kalau ternyata Helda itu seumuran dengannya. Itupun karena saat melakukan pendaftaran penerimaan murid baru dengan Edgar, ada alat yang bisa mengetahui fisik seseorang. Dan umur juga termasuk di dalamnya. Jadi sekarang sudah jelas kalau usia Aden lima belas tahun. Namun karena tingginya yang hanya sebatas telinga Helda, membuat wanita itu menganggap Aden lebih muda darinya. Tak jarang Helda sering memukul kepala Aden, yang pastinya dibalas kembali oleh Aden. Dari sekian banyak tingkah Helda, yang paling dibenci Aden adalah muka duanya yang muncul ketika ada Edgar. Helda terpaksa, ah tidak lebih tepatnya dia mengatakan secara tegas bahwa dia menyukai Edgar dan ingin dekat dengannya. Tetapi berhubung Edgar tidak terlalu suka jika berdekatan dengan wanita, Helda hanya bisa memberi perhatian dengan cara sering menyapa Edgar. Aneh memang. Terlebih lagi
"Tanpa berbasa-basi maka ujian ini dimulai!" suara Zidi menggelegar.Semuanya memperhatikan apa yang dia katakan."Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini hanya ada satu tahap yang harus kalian selesaikan." Zidi menunjuk lingkaran batu, "Para peserta yang datang akan diuji di sana.""Kalian cukup meletakkan tangan kalian di bagian pusat, maka benda itu akan secara otomatis memberitahukan apakah kalian pantas."Selesai Zidi berbicara, baik yang hanya menonton maupun peserta saling bertanya. Batu itu dirasa tidak bisa memberikan keadilan, karena siapa yang tahu ada campur tangan orang lain. Ya misalnya jika ada orang berteriak mengatakan lolos?Bisa jadi bukan?Namun melihat para guru memasang raut seriusnya, agaknya tidak mungkin juga kecurangan terjadi. Atau bisa saja itu untuk menutupi yang sebenarnya."Mengapa mereka memilih ujian yang aneh ini? Lebih baik adu kekuatan saja seperti yang lalu," komentar Helda. Dia menoleh ke