Share

Bab-7 Kesurupan Maung Lodaya

Angling mengelus-elus kepalanya yang sakit setelah dipukul oleh Empu Satria, dan Candra. Lalu berjalan masuk ke dalam bangunan bekas istana Adipati kota Lotus Api tanpa meminta izin kepada orang yang sedari menawarkan bangunan itu seharga 100 koin emas. Sang penjaga istana Adipati Lotus Api membiarkan Angling begitu saja.

“Aku telah menemukan penyebab wabah ini!” gumam Angling tanpa menoleh.

Ketika ia sampai di depan sebuah dinding, tangannya mengelus pelan untuk menghilangkan debu yang menutupi dinding tersebut, dan tampak sebuah gambar yang tercetak di dinding tersebut, serta sangat dihafal Angling Madangkara dalam ingatannya.

Angling menekan gambar Serigala mirip Abiyasa, dan gambar Rubah berekor 10. Seketika itu juga dinding itu bergerak ke atas, dan mengeluarkan suara gesekan batu yang sangat keras..

Empu Satria, Candra, dan orang dari suku Dwaya yang menjual bangunan istana tersebut terkejut setengah mati. Mereka bertiga bertanya-tanya, bagaimana Angling bisa tahu bahwa ada pintu masuk tersembunyi di dinding itu.

“Empu Satria, murid anda memang berpengetahuan luas. Aku saja yang lama tinggal di kota Lotus Api belum mengetahui kalau bangunan istana Adipati itu ada pintu rahasianya,” puji Candra dengan senyuman lebar.

“Siapa dulu gurunya, pendekar tongkat pemukul kucing,” balas Empu Satria dengan menepuk-nepuk dadanya penuh dengan kebanggan.

Angling membalikan badan, lalu berlari ke arah kerumunan warga Desa Pasir Merak, dan matanya berkeliling mencari sosok seorang pemuda.

Pemuda yang ia cari adalah Bayanaka yang akan menjadi kunci dalam merebut kembali wilayah Kerajaan Awan yang telah dikuasai oleh partai Iblis Darah, dan salah satu siluman tingkat tinggi di kehidupan sebelumnya.

“Apakah Bayanaka tidak ada dalam rombongan warga Desa Pasir Merak? Kalau tidak ada, maka aku akan kesulitan mencabut pusaka langit panah Pasopati,” batin Angling dengan bola mata bergerak-gerak gelisah, karena tidak menemukan seorang pemuda yang memiliki manik mata berbeda warna.

"Tuan pendekar, anda mencari siapa?" celetuk seorang pemuda berumur 15 tahun sambil menepuk-nepuk paha kiri Angling untuk memanggilnya, tetapi manik matanya sangat aneh. Pemuda tersebut memiliki dua warna manik mata. Di sisi kiri berwarna biru, dan di sisi kanan berwarna merah darah.

Pandangan mata Angling berubah haluan, dan langsung menuju ke arah muka pemuda tersebut. Angling tetap tidak menjawab, malah ia terus memperhatikan wajah pemuda tersebut secara seksama yang ternyata mirip Bayanaka.

Angling Madangkara, dan Bayanaka bertemu saat umur mereka sudah berumur kira-kira 300 tahunan. Namun wajah dewasa mereka yang seperti pria berumur 33 tahun itu tidak lekang oleh waktu. Maka dari itu Angling begitu pangling saat melihat wajah Bayanaka saat ini.

"Siapa namamu, Kang Mas?" tanya Angling dengan nada yang lembut, karena dilihat dari postur tubuhnya, Bayanaka berumur lebih tua dari Angling.

"Jangan panggil begitu, Tuan Pendekar. Panggil saja Bayanaka," jawab Bayanaka dengan menunduk hormat.

"Apakah Kang Mas ingin menjadi pendekar sepertiku, dan membela kaum yang lemah?" tanya Angling, dan memang sengaja memprovokasi Bayanaka dengan kata-kata seperti itu.

Bayanaka di kehidupan sebelumnya adalah orang yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kepahlawanan, dan selalu membela yang lemah. Maka dari itu Angling menggunakan kata-kata itu untuk membujuknya.

"Tentu, aku ingin menjadi kuat seperti Tuan Pendekar, dan Empu Pendekar. Apakah Tuan Pendekar mau bersedia menjadi guruku?" mohon Bayanaka dengan raut muka mengiba.

Angling tidak menjawabnya, ia malah pergi ke arah Empu Satria untuk meminta persetujuan, "Guru, bagaimana kalau kita mendirikan padepokan disini untuk melatih para warga supaya bisa melawan orang-orang yang jahat?"

"Hadeuh-hadeuh!" Empu Satria menepuk jidatnya beberapa kali. Lalu melanjutkan dengan menghela nafas panjang, "Angling, bukannya aku menolak. Bagaimana aku bisa menjamin perut mereka? Sedangkan aku saja denganmu kadang makan rumput, kalau lapar. Jangan buat gurumu ini menjadi orang yang zalim, Angling.”

"Guru, aku tidak akan merepotkan Guru. Aku hanya meminta doa restu dari Guru. Masalah makanan, dan uang, nanti aku yang akan memikirkannya. Guru adalah petunjuk, dan cahaya bagiku, kalau Guru ragu, lalu bagaimana muridmu ini bertindak?" balas Angling, dan membuat Empu Satria semakin tersudut.

Pria tua berjenggot putih itu tahu betul watak murid kesayangannya itu. Kalau sudah memutuskan sesuatu, maka keputusan itu tidak bisa diganggu gugat, dan mutlak.

"Baiklah, aku merestuimu untuk mendirikan padepokan di kota Lotus Api ini. Namun tepati semua janjimu pada semua warga disini!" tegas Empu Satria, dan membuat Angling tersenyum sumringah.

Angling kembali ke tempat Bayanaka, dan langsung menarik tangannya untuk menuju pintu rahasia yang menuju ruangan penyimpanan pusaka pasopati.

"Nona, kau juga ikutlah!" panggil Angling dari depan pintu rahasia.

Candra pun bergegas berlari menyusul Angling yang sudah masuk pintu rahasia bersama Bayanaka.

Sejauh mata memandang hanyalah kegelapan yang terlihat. Namun Angling yang sudah tahu betul jalurnya santai saja. Pertama mereka bertiga menuruni anak tangga, lalu masuk ke pintu bergambar Karbara Abiyasa, dan setelah itu masuk lagi ke pintu yang bergambar Byakta Ardhana, yaitu hewan Rubah berekor sepuluh.

Akhirnya mereka sampai di ruangan penyimpanan pusaka langit panah Pasopati.

"Berikan tanganmu!" pinta Angling pada Bayanaka, dan pria yang memiliki manik mata berlainan warna tersebut memberikan kedua telapak tangannya pada Angling.

Pedang Naga Candra dikeluarkan dari cincing ruang, dan Angling memberikannya pada Candra.

"Ini untukmu. Kalau terjadi apa-apa hantam tengkukku dengan ujung kedua gagang itu!" titah Angling, dan dibalas anggukan tegas oleh Candra.

Bayanaka, dan Candra begitu tegang melihat Angling menggigit kedua jempolnya. Lalu menuliskan pola enkripsi di kedua telapak tangan Bayanaka, dan menuliskan juga pola enkripsi yang berbeda di dahi Candra.

Kedua tangan yang sudah ditulis pola kuno dengan darah milik Angling, tiba-tiba bergerak sendiri, dan menarik tubuh Bayanaka ke sebuah kotak emas.

Kedua tangan tersebut dengan mudah membuka kotak yang sudah 100 tahun tahun tidak dapat dibuka oleh siapapun.

Tanpa basa-basi Bayanaka menarik isi dalam kotak emas besar tersebut, yakni sebuah busur panah yang memiliki dua warna, setengah berwarna biru, dan setengah berwarna merah.

Energi tenaga dalam, dan energi metafisika dari panah Pasopati tersebut beresonansi dengan tubuh Bayanaka.

“Pasopati!”

Bayanaka meraung keras, dan tubuhnya yang sudah dipenuhi dengan urat otot yang menonjol besar mengeluarkan energi gelombang kejut menghempaskan apapun yang dilewatinya, dan membuat wilayah kota Lotus Api berguncang hebat.

Akibat hempasan gelombang kejut tersebut, Angling muntah darah, dan kehilangan kendali setelah tetesan darahnya membasahi permukaan lantai yang sudah dipenuhi debu.

Rupanya darah Angling tersebut membangunkan sosok yang sangat ganas yang menghuni ruangan rahasia penyimpanan pusaka langit panah pasopati.

Ruh penjaga suci Maung Lodaya merasuki tubuh Angling, dan tiba-tiba ia langsung menyerang ke arah Bayanaka dengan mencakarnya.

Candra yang mengalami luka cukup parah pun tidak membiarkannya, dan melesat secepat mungkin untuk menghalau cakaran kedua tangan Angling yang sudah hampir menebas urat leher Bayanaka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status