Home / Romansa / Kaisar Tunduk Padaku / Bab 2 : Dibawah Rembulan Yang Sama

Share

Bab 2 : Dibawah Rembulan Yang Sama

Author: Selvy
last update Last Updated: 2025-04-16 13:42:57

Langit malam menyelimuti istana Zhaoyang dengan cahaya temaram. Rembulan bergantung setengah redup di atas atap melengkung berhiaskan emas. Di taman dalam, suara air mengalir dari kolam batu memecah kesunyian, mengiringi aroma bunga cempaka yang mekar di musim yang terlambat.

Li Qianru duduk di bawah pohon plum, matanya memandang langit, bukan untuk mencari bintang, tapi kenangan. Di tangannya tergenggam secawan teh hangat yang perlahan mendingin bersama waktu.

Langkah kaki seseorang terdengar pelan. Suara sepatu naga di atas batu giok tak mungkin disalahkan. Ia tidak perlu diperkenalkan. Qianru tahu langkah itu—selalu tahu. Bahkan setelah lima tahun, detak jantung Kaisar Jiayan tetap bisa dikenali dari kejauhan.

“Sudah malam, seharusnya kau tidur.”

Suara itu dalam, tapi tidak dingin. Seperti sungai yang mengalir pelan, menunggu air pasang.

Qianru tidak menoleh. Ia menjawab tanpa memalingkan wajah:

“Yang Mulia, bintang-bintang malam ini terlalu terang untuk diabaikan. Dan tidur… adalah hak istimewa mereka yang damainya tak direnggut oleh masa lalu.”

Hening. Jiayan berhenti di beberapa langkah darinya. Mereka terpisah hanya beberapa jengkal, tapi terasa seperti dua dunia yang terpisah ribuan tahun.

“Aku tidak mengundangmu ke istana ini untuk menyiksamu dengan kenangan,” kata Jiayan pelan. “Aku hanya… ingin melihatmu sekali lagi. Dalam damai.”

“Damai?” Qianru menoleh, akhirnya memandang matanya. “Apa yang damai dari membiarkanku terbuang lima tahun, dihina rakyat, dibunuh oleh sejarah yang tidak kutulis?”

“Jika aku bisa mengubah waktu, aku akan—”

“Waktu tidak untuk diubah, Yang Mulia. Waktu untuk dijawab. Dan aku kembali untuk itu.”

Dialog yang Membuka Luka Lama

Jiayan menarik napas panjang. “Kau tahu betapa hancurnya aku saat surat kabar datang… mengabarkan kau mati di perbatasan. Aku menghancurkan segala yang ada di paviliunku.”

Qianru tertawa kecil, getir.

“Dan kau tahu betapa hancurnya aku saat melihatmu tetap duduk di sana, menjadi Putra Mahkota mulia… seolah-olah ayahku tidak pernah menyelamatkan nyawamu saat kau diserang di perbatasan Utara.”

Jiayan menunduk. “Itu sebabnya aku memanggilmu kembali. Untuk menebusnya.”

“Tebusanku bukan simpati. Dan luka ini bukan untuk dilap sejuta penyesalan.”

Qianru berdiri, melangkah mendekat. Kini hanya satu jengkal yang memisahkan mereka.

“Aku kembali bukan untuk dilindungi. Aku kembali untuk menjadi badai yang kau undang sendiri.”

Bergulirnya Rasa yang Tak Pernah Padam

Rembulan tertutup awan. Bayangan wajah Qianru tertangkap di mata Jiayan, seperti puisi yang ia simpan tapi tak pernah sempat dibacakan. Dia mengangkat tangannya, hampir menyentuh pipi wanita itu, namun berhenti di udara.

“Qianru…” bisiknya.

“Jangan sebut namaku seolah itu milikmu,” jawabnya. “Karena lima tahun lalu, kau menyerahkannya pada pengadilan istana dan membiarkannya dikubur bersama kehormatan keluarga Li.”

Jiayan menghela napas. Suaranya bergetar.

“Aku… hanya putra mahkota saat itu. Aku tidak punya kuasa.”

Qianru mendekat, napasnya hangat di wajah Kaisar.

“Dan sekarang kau Kaisar. Maka dengarkan baik-baik: aku bukan lagi Qianru yang kau kenal. Aku adalah bayangan dari apa yang kau bunuh, dan pantulan dari semua yang kau sesali.”

Saat Sunyi Bicara Lebih Tajam dari Pedang

Hening kembali turun seperti salju tak bersuara. Tak ada kasim. Tak ada pelayan. Hanya mereka berdua dan malam yang tidak berpihak pada siapa pun.

Akhirnya Jiayan berkata, “Apakah ada satu bagian dari dirimu… yang masih mencintaiku?”

Qianru menatapnya, lama. Terlalu lama.

Kemudian ia menjawab, “Cinta, Yang Mulia, adalah benda lemah yang mudah patah. Tapi serpihannya… tajam. Kadang masih kutemukan di dadaku, menancap diam-diam.”

Jiayan tak mampu menjawab. Dalam hatinya, ia merasakan luka yang tidak bisa ia sembuhkan—karena luka itu bukan miliknya saja.

Tawaran dari Kaisar

“Aku tahu kau tidak kembali hanya untuk bicara soal cinta,” kata Jiayan, mengubah topik. “Pangeran Ketiga mengincar tahta. Dewan Menteri terpecah. Perbatasan Timur terbakar oleh ancaman dari Kerajaan Yan. Aku butuhmu.”

“Dan aku butuh kebenaran,” jawab Qianru tajam.

“Aku bersumpah akan memberikannya. Tapi tidak dengan cara kotor. Aku ingin menebus semuanya… bukan dengan air mata, tapi dengan kekuasaan.”

Qianru memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali, penuh tekad.

“Kalau begitu, mulai besok pagi, beri aku izin mengelola istana bagian dalam. Aku akan merapikannya. Tapi jangan salah paham—ini bukan bentuk penerimaan. Ini hanya permulaan.”

Momen Terakhir Sebelum Berpisah

Sebelum pergi, Qianru menoleh sekali lagi.

“Kau tahu apa yang paling menyakitkan?” bisiknya. “Bukan saat aku dibuang, bukan saat aku dibenci. Tapi saat aku menari untukmu lima tahun lalu, dan kau tidak mengangkat tangan untuk menghentikan mereka menarikku pergi.”

Jiayan menunduk. Untuk pertama kalinya sebagai Kaisar, dia merasa kecil.

“Selamat malam, Kaisar. Tidurlah dalam damai. Karena aku tidak akan membiarkanmu bermimpi tenang setelah ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 19 : ketika anak kecil bicara diruangan orang dewasa

    Langit di atas istana tampak terlalu biru untuk hari seperti ini. Tenang, nyaris tanpa awan, seperti sengaja disiapkan untuk menyambut peristiwa penting—atau, mungkin, sebuah eksekusi diam-diam.Qianru melangkah masuk ke Aula Batu Terbuka, tempat forum istana luar biasa diselenggarakan. Bukan pengadilan. Tapi juga bukan jamuan. Ini—dalam bahasa lembut para menteri—adalah “dialog untuk meluruskan pemahaman rakyat.”Tapi semua tahu:Ini adalah panggung jebakan.Di sisi kiri, para menteri duduk berderet.Di sisi kanan, para utusan rakyat—guru, pedagang, kepala madrasah—diundang sebagai penonton.Tapi tak satu pun dari mereka boleh bicara.Dan di ujung aula, duduk Kaisar Jiayan.Wajahnya tegang. Bukan dingin—tapi seperti seseorang yang tahu badai akan datang, dan ia… memilih tidak membawa payung.Qianru berhenti di tengah aula. Ia tidak membungkuk. Ia tidak tersenyum. Tapi ia berdiri dengan tenang, seperti seseorang yang lebih takut kehilangan kata-kata daripada nyawa.Menteri Fei memulai

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 18 : ketika surat tidak ditulis di istana

    Hari itu, langit mendung tapi belum hujan. Kota kekaisaran tampak seperti menahan napas. Tidak ada jamuan. Tidak ada pengumuman. Tapi semua orang tahu… sesuatu akan tiba.Di pagi yang seolah biasa itu, surat dari istana tiba di tangan Qianru. Tapi bukan dibawa utusan resmi.Surat itu tiba melalui seorang anak tukang roti, yang berkata:“Tadi pagi, lelaki berpakaian hitam menitipkan ini. Katanya, ‘Untuk Suara yang Tak Lagi Punya Dinding.’”Surat itu tidak memakai lambang kekaisaran. Tidak dimeteraikan emas.Tapi tulisan tangannya… Qianru mengenalnya.Itu tulisan Jiayan.Ia membaca perlahan:“Aku pernah mengira diam adalah cara melindungi.Tapi sekarang aku tahu: diam hanya menyelamatkan istana, bukan orang yang aku cintai.”“Aku tidak tahu bagaimana jadi Kaisar dalam badai.Tapi jika kau masih bersedia… maka biarkan aku berdiri di dekatmu.Bukan di atasmu.”Surat itu membuat ruangan hening.Weixian membaca ulang tiga kali, lalu berkata, “Kalau dia tulus, itu pertanda baik. Tapi kalau i

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 17 : Ketika Kota menyaksikan tanpa memihak

    Langit kota kekaisaran pagi itu dipenuhi kabut tipis dan suara burung-burung pasar. Tidak ada pengumuman. Tidak ada gendang. Tapi desas-desus menyebar seperti api pelan:“Dia akan datang pagi ini. Dia akan bicara.”Tidak semua percaya. Beberapa menertawakannya.Tapi tetap saja… ratusan orang berkumpul diam-diam di Lapangan Utara — tempat dulu diadakan pengumuman bea beras dan eksekusi pendosa. Kini, tidak ada panggung. Hanya batu. Hanya langit. Dan satu tempat kosong di tengah kerumunan.Mereka menunggu.Dan saat jam bayangan menunjukkan waktu pagi keempat, dia datang.Qianru.Tanpa palanquin. Tanpa kasim. Tanpa jubah bangsawan.Ia mengenakan kain polos biru kelabu, tanpa lambang, tanpa payung.Ia berjalan kaki. Sendirian.Orang-orang tak bersorak.Tak juga mencemooh.Mereka… diam.Seperti melihat seseorang yang seharusnya tidak ada di sana, tapi justru tampak paling wajar.Di antara mereka, anak kecil menunjuk dan berbisik:“Itu dia… yang disebut suara.”“Bukan. Itu ibu dari anak dar

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 16 : Angin dari Utara

    Angin dingin dari utara menelusup masuk ke Biara Gunung Qiu sebelum fajar. Pagi tampak tenang, tapi ketenangan seperti itu sering kali bukan pertanda damai—melainkan peringatan yang tertunda. Weixian sudah bangun sejak tengah malam. Ia tidak mempercayai keheningan. Dan kecurigaannya segera terbukti. Seorang pengintai datang tergesa ke dapur biara, napasnya putus-putus, wajahnya penuh debu dan keringat. “Mereka datang,” katanya. “Pasukan dari garnisun selatan. Dua regu kecil. Tidak berseragam resmi. Lewat jalur semak belakang, bukan jalan utama.” Weixian tak perlu bertanya siapa yang mengirim. Dia hanya berkata, “Sembunyikan anak itu. Sekarang.” Di bangunan utama, Qianru sedang duduk di samping An Ji yang tertidur lelap. Tangannya menggenggam potongan bambu kecil, menulis pelan tapi pasti. Di permukaannya terukir kalimat: “Jika aku tak sempat bicara, maka jangan serukan namaku. Tapi bawa kata-kataku lewat langkahmu.” Ia menyelipkan bambu itu ke dalam pakaian dalam An Ji, l

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 15 : ketika darah sendiri menolak dibungkam

    Langit Gunung Qiu diselimuti kabut tipis ketika Qianru tiba di gerbang biara. Langkah kakinya ringan, tapi napasnya berat.Weixian berjalan di belakang, diam. Ia tahu:Perjalanan ini bukan lagi soal membela sejarah… tapi mengukir ulang masa depan.Seorang biarawan tua membuka pintu, matanya lembut tapi awas.“Apakah… kau dari Keluarga Li?” tanyanya.“Aku adalah sisa dari mereka yang dibakar, tapi belum padam.”Biarawan itu menunduk, lalu memberi isyarat.Mereka dibawa masuk melewati lorong batu dan halaman kecil hingga ke bangunan paling dalam.Di sana, di bawah pohon prem tua, duduk seorang anak laki-laki, kira-kira usia delapan.Ia sedang membaca sepotong kayu kecil bertuliskan kutipan Qianru.“Kalau kau tak bisa bicara, maka dengarkan.Dan kalau kau tak bisa menulis, maka hidupkan.”“Namanya An Ji,” kata biarawan. “Kami memberinya nama itu karena ia lahir saat langit terbuka hujan, tapi dia tidak menangis.”Qianru mendekat perlahan. Anak itu menatapnya.“Apa kamu tahu siapa aku?” t

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 14 : Api Tak Membakar Kebenaran

    Dua hari setelah pengumuman Kaisar, suasana istana tampak tenang—terlalu tenang.Tapi di balik dinding marmer dan ukiran emas, arah kekuasaan telah bergeser, dan semua yang pernah merasa aman… kini panik dalam diam.⸻Zhou Shixuan berdiri di ruang rahasia di belakang Aula Dokumentasi, dikelilingi oleh belasan gulungan surat. Semua bersimbol lambang Keluarga Li.“Ini bukan surat,” katanya pada kasim bayangannya. “Ini bahan bakar. Dan kita akan bakar semuanya. Malam ini.”“Kalau rakyat tahu?”“Rakyat tak tahu yang dibakar. Mereka hanya tahu yang tersisa.”⸻Sore itu, satu madrasah di barat istana terbakar.Kecil. Tidak memakan korban. Tapi seluruh tulisan Qianru yang disalin para murid… lenyap.Tak lama setelah itu, buku-buku kecil dan kutipan dari Qianru mulai disita.Tidak ada perintah resmi.Tidak ada surat kekaisaran.Tapi para penjaga mulai menyita dan membakar kertas—tanpa tanya.Bai Heng datang ke paviliun Qianru, wajahnya tegang.“Mereka mulai membakar,” katanya. “Bukan hanya su

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status