Langit di atas istana tampak terlalu biru untuk hari seperti ini. Tenang, nyaris tanpa awan, seperti sengaja disiapkan untuk menyambut peristiwa penting—atau, mungkin, sebuah eksekusi diam-diam.Qianru melangkah masuk ke Aula Batu Terbuka, tempat forum istana luar biasa diselenggarakan. Bukan pengadilan. Tapi juga bukan jamuan. Ini—dalam bahasa lembut para menteri—adalah “dialog untuk meluruskan pemahaman rakyat.”Tapi semua tahu:Ini adalah panggung jebakan.Di sisi kiri, para menteri duduk berderet.Di sisi kanan, para utusan rakyat—guru, pedagang, kepala madrasah—diundang sebagai penonton.Tapi tak satu pun dari mereka boleh bicara.Dan di ujung aula, duduk Kaisar Jiayan.Wajahnya tegang. Bukan dingin—tapi seperti seseorang yang tahu badai akan datang, dan ia… memilih tidak membawa payung.Qianru berhenti di tengah aula. Ia tidak membungkuk. Ia tidak tersenyum. Tapi ia berdiri dengan tenang, seperti seseorang yang lebih takut kehilangan kata-kata daripada nyawa.Menteri Fei memulai
Hari itu, langit mendung tapi belum hujan. Kota kekaisaran tampak seperti menahan napas. Tidak ada jamuan. Tidak ada pengumuman. Tapi semua orang tahu… sesuatu akan tiba.Di pagi yang seolah biasa itu, surat dari istana tiba di tangan Qianru. Tapi bukan dibawa utusan resmi.Surat itu tiba melalui seorang anak tukang roti, yang berkata:“Tadi pagi, lelaki berpakaian hitam menitipkan ini. Katanya, ‘Untuk Suara yang Tak Lagi Punya Dinding.’”Surat itu tidak memakai lambang kekaisaran. Tidak dimeteraikan emas.Tapi tulisan tangannya… Qianru mengenalnya.Itu tulisan Jiayan.Ia membaca perlahan:“Aku pernah mengira diam adalah cara melindungi.Tapi sekarang aku tahu: diam hanya menyelamatkan istana, bukan orang yang aku cintai.”“Aku tidak tahu bagaimana jadi Kaisar dalam badai.Tapi jika kau masih bersedia… maka biarkan aku berdiri di dekatmu.Bukan di atasmu.”Surat itu membuat ruangan hening.Weixian membaca ulang tiga kali, lalu berkata, “Kalau dia tulus, itu pertanda baik. Tapi kalau i
Langit kota kekaisaran pagi itu dipenuhi kabut tipis dan suara burung-burung pasar. Tidak ada pengumuman. Tidak ada gendang. Tapi desas-desus menyebar seperti api pelan:“Dia akan datang pagi ini. Dia akan bicara.”Tidak semua percaya. Beberapa menertawakannya.Tapi tetap saja… ratusan orang berkumpul diam-diam di Lapangan Utara — tempat dulu diadakan pengumuman bea beras dan eksekusi pendosa. Kini, tidak ada panggung. Hanya batu. Hanya langit. Dan satu tempat kosong di tengah kerumunan.Mereka menunggu.Dan saat jam bayangan menunjukkan waktu pagi keempat, dia datang.Qianru.Tanpa palanquin. Tanpa kasim. Tanpa jubah bangsawan.Ia mengenakan kain polos biru kelabu, tanpa lambang, tanpa payung.Ia berjalan kaki. Sendirian.Orang-orang tak bersorak.Tak juga mencemooh.Mereka… diam.Seperti melihat seseorang yang seharusnya tidak ada di sana, tapi justru tampak paling wajar.Di antara mereka, anak kecil menunjuk dan berbisik:“Itu dia… yang disebut suara.”“Bukan. Itu ibu dari anak dar
Angin dingin dari utara menelusup masuk ke Biara Gunung Qiu sebelum fajar. Pagi tampak tenang, tapi ketenangan seperti itu sering kali bukan pertanda damai—melainkan peringatan yang tertunda. Weixian sudah bangun sejak tengah malam. Ia tidak mempercayai keheningan. Dan kecurigaannya segera terbukti. Seorang pengintai datang tergesa ke dapur biara, napasnya putus-putus, wajahnya penuh debu dan keringat. “Mereka datang,” katanya. “Pasukan dari garnisun selatan. Dua regu kecil. Tidak berseragam resmi. Lewat jalur semak belakang, bukan jalan utama.” Weixian tak perlu bertanya siapa yang mengirim. Dia hanya berkata, “Sembunyikan anak itu. Sekarang.” Di bangunan utama, Qianru sedang duduk di samping An Ji yang tertidur lelap. Tangannya menggenggam potongan bambu kecil, menulis pelan tapi pasti. Di permukaannya terukir kalimat: “Jika aku tak sempat bicara, maka jangan serukan namaku. Tapi bawa kata-kataku lewat langkahmu.” Ia menyelipkan bambu itu ke dalam pakaian dalam An Ji, l
Langit Gunung Qiu diselimuti kabut tipis ketika Qianru tiba di gerbang biara. Langkah kakinya ringan, tapi napasnya berat.Weixian berjalan di belakang, diam. Ia tahu:Perjalanan ini bukan lagi soal membela sejarah… tapi mengukir ulang masa depan.Seorang biarawan tua membuka pintu, matanya lembut tapi awas.“Apakah… kau dari Keluarga Li?” tanyanya.“Aku adalah sisa dari mereka yang dibakar, tapi belum padam.”Biarawan itu menunduk, lalu memberi isyarat.Mereka dibawa masuk melewati lorong batu dan halaman kecil hingga ke bangunan paling dalam.Di sana, di bawah pohon prem tua, duduk seorang anak laki-laki, kira-kira usia delapan.Ia sedang membaca sepotong kayu kecil bertuliskan kutipan Qianru.“Kalau kau tak bisa bicara, maka dengarkan.Dan kalau kau tak bisa menulis, maka hidupkan.”“Namanya An Ji,” kata biarawan. “Kami memberinya nama itu karena ia lahir saat langit terbuka hujan, tapi dia tidak menangis.”Qianru mendekat perlahan. Anak itu menatapnya.“Apa kamu tahu siapa aku?” t
Dua hari setelah pengumuman Kaisar, suasana istana tampak tenang—terlalu tenang.Tapi di balik dinding marmer dan ukiran emas, arah kekuasaan telah bergeser, dan semua yang pernah merasa aman… kini panik dalam diam.⸻Zhou Shixuan berdiri di ruang rahasia di belakang Aula Dokumentasi, dikelilingi oleh belasan gulungan surat. Semua bersimbol lambang Keluarga Li.“Ini bukan surat,” katanya pada kasim bayangannya. “Ini bahan bakar. Dan kita akan bakar semuanya. Malam ini.”“Kalau rakyat tahu?”“Rakyat tak tahu yang dibakar. Mereka hanya tahu yang tersisa.”⸻Sore itu, satu madrasah di barat istana terbakar.Kecil. Tidak memakan korban. Tapi seluruh tulisan Qianru yang disalin para murid… lenyap.Tak lama setelah itu, buku-buku kecil dan kutipan dari Qianru mulai disita.Tidak ada perintah resmi.Tidak ada surat kekaisaran.Tapi para penjaga mulai menyita dan membakar kertas—tanpa tanya.Bai Heng datang ke paviliun Qianru, wajahnya tegang.“Mereka mulai membakar,” katanya. “Bukan hanya su