Di tengah kekacauan istana dan desakan perang yang tidak terhindarkan, seorang perempuan bangsawan yang diasingkan—Li Qianru—kembali ke istana bukan sebagai korban, tapi sebagai pemain utama. Dengan kepintarannya, keanggunannya, dan rasa sakit masa lalu yang belum sembuh, ia membuat sang Kaisar Xu Jiayan—pemimpin paling ditakuti—bertekuk lutut. Namun, rasa cinta dan dendam yang saling bertubrukan justru menyulut api peperangan yang mengubah takdir seluruh negeri.
Lihat lebih banyakLangit ibu kota Chang’an diselimuti kabut tipis saat gerobak kerajaan berhenti perlahan di depan Gerbang Timur Istana Zhaoyang. Aroma dupa dan bunga plum yang mengering menyambut kedatangan seorang perempuan berpakaian putih sederhana, wajahnya tertutup kerudung tipis, namun sorot matanya menembus seperti bilah pedang yang tersembunyi dalam sarung beludru.
Li Qianru, putri dari keluarga bangsawan Jenderal Li Xian yang dihukum mati karena tuduhan pemberontakan, kembali ke istana setelah lima tahun pengasingan di daerah terpencil Lembah Baiyun. Tidak ada sambutan, tidak ada musik, hanya keheningan yang menyesakkan. Tapi dia tidak peduli. Langkah kakinya mantap, suara sandal kayunya bergema di lantai batu giok. “Istana masih dingin seperti dulu,” gumamnya lirih. Di balik pintu-pintu megah yang berukir naga dan burung phoenix, para kasim dan pelayan wanita menunduk dalam-dalam. Beberapa mengenali sosok itu. Dahulu, dia adalah bunga istana—calon selir yang disebut-sebut akan menjadi permaisuri, sebelum ayahnya difitnah dan seluruh keluarganya dibantai. Namun hari ini, dia kembali—bukan sebagai korban, tapi sebagai ancaman. Kilasan Masa Lalu Lima tahun lalu, Qianru berdiri di hadapan Putra Mahkota Xu Jiayan di taman bunga peony, saat musim semi menyentuh puncaknya. Dia menari untuknya di bawah hujan kelopak, dan di matanya, Jiayan hanya melihat satu hal: ketulusan. Tapi cinta mereka hancur dalam satu malam, ketika perintah turun dari Kaisar: “Keluarga Li adalah pengkhianat.” Jiayan, saat itu masih lemah dan terikat tradisi, tidak bisa melindunginya. Dan Qianru tidak pernah lupa—bukan karena dia benci… tapi karena dia pernah terlalu mencintai. Kembali ke Istana Di dalam Paviliun Zhuque, tempat para selir dan wanita istana berkumpul, kegelisahan mulai menyeruak. “Apa maksud Kaisar memanggil perempuan itu kembali?” bisik salah satu selir, Lady Yan, yang selama ini memegang pengaruh besar. “Dia sudah tidak punya nama, tidak punya gelar,” timpal Selir Gui, si licik yang selalu mencium arah angin kekuasaan. Tapi mereka semua salah satu hal: Li Qianru tidak kembali untuk menjadi selir biasa. Audiensi Pertama Ketika malam tiba, Qianru akhirnya dipanggil menghadap Kaisar. Xu Jiayan, kini sudah menjadi Kaisar, duduk di atas singgasananya—terlihat dingin dan tak tergoyahkan. Tapi saat matanya bertemu dengan mata Qianru, sesuatu dalam dirinya goyah. Dia berdiri, tapi langsung menahan diri. Lima tahun. Lima tahun dia mencoba menghapus ingatan tentang wanita ini. Tapi kenyataannya, dia tak pernah benar-benar bisa. “Li Qianru,” ucap Jiayan pelan, “kau masih hidup.” “Saya selalu hidup dalam bayang-bayang, Yang Mulia,” jawab Qianru tanpa ragu. Suaranya tidak gemetar. Matanya tidak menunduk. Para pejabat bingung. Mengapa Kaisar tidak langsung memerintahkan penahanan atau pengusiran? Jiayan berjalan turun dari singgasana, hanya beberapa langkah di depannya. “Kenapa kau kembali?” Qianru menatapnya dengan senyum tipis. “Saya kembali… karena belum selesai.” “Belum selesai?” “Saya belum menyelesaikan tarian terakhir saya, dan belum membalas mereka yang membuat keluarga saya binasa.” Kata-katanya menusuk lebih dalam dari pedang. Tapi Jiayan tidak bergeming. Entah mengapa, bukannya marah—dia malah terpikat. Rahasia di Balik Kedatangan Malam itu, Qianru tidak dikirim ke Paviliun Selir. Ia diberi kamar khusus, jauh dari yang lain—di Paviliun Bayangan Giok, tempat yang dulu pernah menjadi ruang belajar rahasia Jiayan dan Qianru saat mereka masih remaja. Pelayan pribadi dikirimkan—termasuk seorang kasim muda bernama Bai Heng, yang diam-diam merupakan mata-mata dari Pangeran Ketiga, adik Kaisar yang mengincar tahta. Tapi Bai Heng tidak menyangka, begitu dia membuka mulut untuk melapor… Qianru sudah lebih dulu bicara. “Katakan pada Pangeran Ketiga, aku tidak datang untuk menjadi pionnya. Tapi jika dia bersedia, aku bisa jadi ratu catur yang menggulingkan Raja.” Malam yang Dingin Di kamarnya, Qianru membuka laci kayu tua yang masih tersisa di paviliun itu. Di dalamnya, masih ada benda yang tidak pernah dibuang: kain sutra merah yang dibordir oleh Jiayan sendiri, bertuliskan nama mereka berdua. Dia mengelus kain itu perlahan, lalu berkata dengan suara rendah, nyaris berbisik: “Aku tidak tahu apakah aku ingin membalas dendam… atau membuatmu jatuh cinta lagi hanya untuk menghancurkanmu, seperti kau menghancurkan hidupku.” Penutup Bab 1 Dan di kejauhan, di atas menara penjaga, seorang jenderal tua yang pernah setia pada keluarga Li mengamati dari kejauhan, menahan senyum pahit. “Permainan sudah dimulai,” katanya pelan. “Tuan putri akhirnya kembali ke papan permainan.”Langit di atas istana tampak terlalu biru untuk hari seperti ini. Tenang, nyaris tanpa awan, seperti sengaja disiapkan untuk menyambut peristiwa penting—atau, mungkin, sebuah eksekusi diam-diam.Qianru melangkah masuk ke Aula Batu Terbuka, tempat forum istana luar biasa diselenggarakan. Bukan pengadilan. Tapi juga bukan jamuan. Ini—dalam bahasa lembut para menteri—adalah “dialog untuk meluruskan pemahaman rakyat.”Tapi semua tahu:Ini adalah panggung jebakan.Di sisi kiri, para menteri duduk berderet.Di sisi kanan, para utusan rakyat—guru, pedagang, kepala madrasah—diundang sebagai penonton.Tapi tak satu pun dari mereka boleh bicara.Dan di ujung aula, duduk Kaisar Jiayan.Wajahnya tegang. Bukan dingin—tapi seperti seseorang yang tahu badai akan datang, dan ia… memilih tidak membawa payung.Qianru berhenti di tengah aula. Ia tidak membungkuk. Ia tidak tersenyum. Tapi ia berdiri dengan tenang, seperti seseorang yang lebih takut kehilangan kata-kata daripada nyawa.Menteri Fei memulai
Hari itu, langit mendung tapi belum hujan. Kota kekaisaran tampak seperti menahan napas. Tidak ada jamuan. Tidak ada pengumuman. Tapi semua orang tahu… sesuatu akan tiba.Di pagi yang seolah biasa itu, surat dari istana tiba di tangan Qianru. Tapi bukan dibawa utusan resmi.Surat itu tiba melalui seorang anak tukang roti, yang berkata:“Tadi pagi, lelaki berpakaian hitam menitipkan ini. Katanya, ‘Untuk Suara yang Tak Lagi Punya Dinding.’”Surat itu tidak memakai lambang kekaisaran. Tidak dimeteraikan emas.Tapi tulisan tangannya… Qianru mengenalnya.Itu tulisan Jiayan.Ia membaca perlahan:“Aku pernah mengira diam adalah cara melindungi.Tapi sekarang aku tahu: diam hanya menyelamatkan istana, bukan orang yang aku cintai.”“Aku tidak tahu bagaimana jadi Kaisar dalam badai.Tapi jika kau masih bersedia… maka biarkan aku berdiri di dekatmu.Bukan di atasmu.”Surat itu membuat ruangan hening.Weixian membaca ulang tiga kali, lalu berkata, “Kalau dia tulus, itu pertanda baik. Tapi kalau i
Langit kota kekaisaran pagi itu dipenuhi kabut tipis dan suara burung-burung pasar. Tidak ada pengumuman. Tidak ada gendang. Tapi desas-desus menyebar seperti api pelan:“Dia akan datang pagi ini. Dia akan bicara.”Tidak semua percaya. Beberapa menertawakannya.Tapi tetap saja… ratusan orang berkumpul diam-diam di Lapangan Utara — tempat dulu diadakan pengumuman bea beras dan eksekusi pendosa. Kini, tidak ada panggung. Hanya batu. Hanya langit. Dan satu tempat kosong di tengah kerumunan.Mereka menunggu.Dan saat jam bayangan menunjukkan waktu pagi keempat, dia datang.Qianru.Tanpa palanquin. Tanpa kasim. Tanpa jubah bangsawan.Ia mengenakan kain polos biru kelabu, tanpa lambang, tanpa payung.Ia berjalan kaki. Sendirian.Orang-orang tak bersorak.Tak juga mencemooh.Mereka… diam.Seperti melihat seseorang yang seharusnya tidak ada di sana, tapi justru tampak paling wajar.Di antara mereka, anak kecil menunjuk dan berbisik:“Itu dia… yang disebut suara.”“Bukan. Itu ibu dari anak dar
Angin dingin dari utara menelusup masuk ke Biara Gunung Qiu sebelum fajar. Pagi tampak tenang, tapi ketenangan seperti itu sering kali bukan pertanda damai—melainkan peringatan yang tertunda. Weixian sudah bangun sejak tengah malam. Ia tidak mempercayai keheningan. Dan kecurigaannya segera terbukti. Seorang pengintai datang tergesa ke dapur biara, napasnya putus-putus, wajahnya penuh debu dan keringat. “Mereka datang,” katanya. “Pasukan dari garnisun selatan. Dua regu kecil. Tidak berseragam resmi. Lewat jalur semak belakang, bukan jalan utama.” Weixian tak perlu bertanya siapa yang mengirim. Dia hanya berkata, “Sembunyikan anak itu. Sekarang.” Di bangunan utama, Qianru sedang duduk di samping An Ji yang tertidur lelap. Tangannya menggenggam potongan bambu kecil, menulis pelan tapi pasti. Di permukaannya terukir kalimat: “Jika aku tak sempat bicara, maka jangan serukan namaku. Tapi bawa kata-kataku lewat langkahmu.” Ia menyelipkan bambu itu ke dalam pakaian dalam An Ji, l
Langit Gunung Qiu diselimuti kabut tipis ketika Qianru tiba di gerbang biara. Langkah kakinya ringan, tapi napasnya berat.Weixian berjalan di belakang, diam. Ia tahu:Perjalanan ini bukan lagi soal membela sejarah… tapi mengukir ulang masa depan.Seorang biarawan tua membuka pintu, matanya lembut tapi awas.“Apakah… kau dari Keluarga Li?” tanyanya.“Aku adalah sisa dari mereka yang dibakar, tapi belum padam.”Biarawan itu menunduk, lalu memberi isyarat.Mereka dibawa masuk melewati lorong batu dan halaman kecil hingga ke bangunan paling dalam.Di sana, di bawah pohon prem tua, duduk seorang anak laki-laki, kira-kira usia delapan.Ia sedang membaca sepotong kayu kecil bertuliskan kutipan Qianru.“Kalau kau tak bisa bicara, maka dengarkan.Dan kalau kau tak bisa menulis, maka hidupkan.”“Namanya An Ji,” kata biarawan. “Kami memberinya nama itu karena ia lahir saat langit terbuka hujan, tapi dia tidak menangis.”Qianru mendekat perlahan. Anak itu menatapnya.“Apa kamu tahu siapa aku?” t
Dua hari setelah pengumuman Kaisar, suasana istana tampak tenang—terlalu tenang.Tapi di balik dinding marmer dan ukiran emas, arah kekuasaan telah bergeser, dan semua yang pernah merasa aman… kini panik dalam diam.⸻Zhou Shixuan berdiri di ruang rahasia di belakang Aula Dokumentasi, dikelilingi oleh belasan gulungan surat. Semua bersimbol lambang Keluarga Li.“Ini bukan surat,” katanya pada kasim bayangannya. “Ini bahan bakar. Dan kita akan bakar semuanya. Malam ini.”“Kalau rakyat tahu?”“Rakyat tak tahu yang dibakar. Mereka hanya tahu yang tersisa.”⸻Sore itu, satu madrasah di barat istana terbakar.Kecil. Tidak memakan korban. Tapi seluruh tulisan Qianru yang disalin para murid… lenyap.Tak lama setelah itu, buku-buku kecil dan kutipan dari Qianru mulai disita.Tidak ada perintah resmi.Tidak ada surat kekaisaran.Tapi para penjaga mulai menyita dan membakar kertas—tanpa tanya.Bai Heng datang ke paviliun Qianru, wajahnya tegang.“Mereka mulai membakar,” katanya. “Bukan hanya su
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen