“Papi, boleh tidak minta mami seperti Kakak Cantik? Dia baik, lembut, bahkan perhatian. Kalau bisa, minta Kakak Cantik jadi mamiku, ya. Ya, Papi.” Emily membujuk sambil mengedip-ngedipkan kelopak mata.
Ansel langsung tersedak ludah mendengar ucapan Emily. Bagaimana bisa putrinya menginginkan wanita asing menjadi ibu.“Kok Papi diam? Papi tidak mau ya kasih mami buat aku?” tanya Emily sambil memasang wajah sedih.Ansel terkejut mendengar ucapan Emily. Dia pun berusaha untuk menjelaskan.“Emi, ingin punya mami bukan berarti bisa tinggal pilih seperti beli balon atau es krim. Papi tidak bisa menjadikan wanita sembarangan sebagai mamimu,” ujar Ansel menjelaskan.“Kenapa?” tanya Emily penasaran.“Ya, pokoknya tidak bisa,” jawab Ansel bingung cara menjawab pertanyaan Emily.“Iya, kenapa ga bisa, Papi? Temen-temenku punya mami semua, kenapa aku tidak punya? Aku selalu diejek ga punya mami, katanya aku lahir dari batu. Ada yang bilang aku bukan anak Papi makanya ga punya mami,” cerocos Emily dengan mata berkaca-kaca karena sedih.Ansel terkejut mendengar ucapan Emily. Dia ingin menjelaskan tapi Emily sudah keburu merajuk.“Papi jahat! Katanya mau kasih apa pun yang aku minta, masa kasih mami saja ga bisa!” Emily merajuk hingga langsung berlari meninggalkan Ansel.Ansel sangat terkejut. Dia ingin mengejar, tapi paham betul kalau putrinya itu tidak akan mau bicara jika dipaksa. Ansel menghela napas kasar, andai bisa menjelaskan jika mencari ibu yang baik tak semudah yang Emily bayangkan, pasti semuanya akan lebih mudah.**Saat malam hari. Ansel berada di ruang kerjanya. Dia sedang mengecek berkas laporan yang belum selesai siang tadi.“Ans, boleh mama masuk?” Ayana mengetuk pintu kamar ruang kerja putranya itu sebelum masuk.Ansel mengangkat wajah, lantas mengangguk tanpa suara.Ayana masuk menghampiri meja Ansel, lantas duduk di kursi yang ada di depan meja putranya itu.“Ada apa, Ma?” tanya Ansel tapi tanpa menatap sang mama.“Apa Emi sedang marah? Dia tidak mau makan,” kata Ayana saat duduk di depan meja kerja Ansel.“Hm … biarkan saja dulu. Nanti aku yang akan bicara kepadanya,” balas Ansel tanpa memandang wajah sang mama.Ayana memandang putranya yang terlihat tak memedulikan keberadaannya di sana. Sudah beberapa tahun ini Ansel memang bersikap dingin kepadanya.“Ans, kamu masih marah sama mama?” tanya Ayana sambil menatap putranya.Ansel berhenti membalikkan lembaran kertas yang ada di meja, lantas menatap sang mama yang sudah memandangnya.“Jangan bahas itu lagi, Ma.” Ansel terlihat tak senang dengan pembahasan sang mama yang hampir sama, saat wanita itu mengajak bicara berdua dengannya.“Tapi sikapmu beberapa tahun ini, memperlihatkan kalau kamu memang membenci mama. Mama minta maaf, Ans.”Ansel menghela napas kasar mendengar ucapan sang mama, hingga kemudian berkata, “Semua sudah terjadi. Tidak ada yang membenci atau perlu minta maaf. Sudahlah, Ma. Jangan membahas yang lalu.”Ayana terdiam mendengar ucapan Ansel. Dia hanya bisa menunduk dengan penyesalan akibat keputusannya dulu.“Jika Emily memang menjadi beban untukmu, kenapa kamu tak mau menyerahkannya ke orang tua Citra?” tanya Ayana lagi karena merasa jika putranya tak bebas sebab ada Emily.Ansel diam mendengar ucapan sang mama, hingga menatap wanita itu sambil membalas, “Ma, merawat Emily adalah keputusanku. Tidak ada beban, itu sudah menjadi janjiku kepada Citra. Bukankah Mama juga dulu ingin seperti ini? Lalu, kenapa sekarang harus dibahas lagi? Cukup membahas itu, terutama soal Emi.”**“Masih marah sama Papi?”Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Ansel menemui Emily yang merajuk karena masalah pembahasan ibu baru.Emily menatap kesal ke pria itu, lantas membaringkan tubuh dengan cepat sambil menutup seluruh tubuh dengan selimut.Ansel mendekat ke ranjang, lantas duduk di samping Emily.“Papi minta maaf kalau salah,” ucap Ansel pelan.“Ga mau, Papi jahat!” Suara Emily terdengar dari balik selimut.Ansel menghela napas, lantas mencoba merayu dengan cara memeluk Emily dari luar selimut. Dia ikut berbaring di ranjang kecil milik putrinya itu.“Papi minta maaf kalau tadi salah bicara. Mencari mami tidak semudah yang Emi inginkan. Emi harus benar-benar tahu bagaimana sifat dan karakter calon maminya. Calon mami juga harus mau jadi maminya Emi, bukan asal diminta saja,” ujar Ansel mencoba menjelaskan sebisanya.Emily menurunkan sedikit selimut hingga memperlihatkan kedua mata, lantas membalikkan badan hingga saling berhadapan dengan ayahnya.“Tapi Kakak Cantik baik, Pi.” Emily masih kekeh ingin wanita yang ditemuinya menjadi mami untuknya, padahal mereka baru bertemu sekali.Emily kekeh ingin wanita itu menjadi ibunya karena merasa cocok dan senang saat bicara dengan wanita yang ditemuinya itu.Ansel menghela napas kasar, lantas mengusap rambut Emily dengan lembut. Selama lima tahun ini, Emily memang tak tahu bagaimana rasanya disayangi oleh seorang ibu. Emily hanya dibesarkan oleh Ansel dan kakek-neneknya, sehingga wajar jika gadis kecil itu sangat menginginkan sosok ibu.“Iya tahu,” balas Ansel, “tapi bagaimana kalau Kakak Cantik itu sudah menikah, mungkin sudah punya anak juga? Apa Emi tidak memikirkan sampai ke situ? Emi juga baru bertemu dengan Kakak Cantik itu sekali, kan?”Ansel mencoba mengubah pemikiran putrinya itu.Emily diam sambil memasang wajah sedih mendengar ucapan Ansel.Ansel membuka selimut yang menutupi wajah Emily, hingga bisa menatap wajah sendu putrinya itu.“Jika Tuhan sudah mau memberi Emi seorang mami, pasti Emi akan dapat,” ucap Ansel mencoba membujuk agar Emily tak marah lagi.“Tapi kapan? Aku mau seperti temen-temen yang diantar-jemput mami, juga ditemani kalau ada acara di sekolah, Papi.” Emily tetap memasang wajah sendu agar sang papi buru-buru memberikan ibu untuknya.“Iya, papi tahu kalau Emi sangat ingin seperti teman lain. Emi banyak doa, ya. Kata orang, doa anak seperti Emi akan cepat dikabulkan Tuhan, jadi sekarang berdoa dulu saja,” ujar Ansel mencoba menjelaskan agar putrinya itu tak terus menuntut minta ibu.Emily hanya diam tak membalas ucapan ayahnya itu.“Masih mau merajuk? Kalau masih, besok kita batalkan saja rencana makan malam di luar merayakan ulang tahun Emi,” ujar Ansel untuk membuat Emily mau bicara.“Sejak kapan Papi mau merayakan ulang tahunku? Bukankah Papi tidak pernah merayakannya, bahkan merayakan bersama teman-teman di sekolah juga tidak pernah,” ujar Emily sedih karena sang papi hanya merayakan ulang tahunnya bersama keluarga saja.Bukannya tak ingin merayakan, hanya saja tanggal lahir Emily sama dengan mantan kekasih Ansel, membuat pria itu selalu ingat akan mantan kekasihnya itu jika membahas soal perayaan ulang tahun.“Iya, sementara kita rayakan bersama keluarga. Jika nanti Emi sudah besar, Emi boleh merayakan bersama teman-teman,” ucap Ansel mencoba membujuk agar Emily tak marah lagi.“Runa, kamu sudah siap?” Aruna menoleh ke pintu saat mendengar suara sang kakak. Dia dan keluarganya malam itu hendak pergi ke restoran untuk merayakan ulang tahunnya.“Iya.” Aruna mengangguk, lantas berjalan keluar dari kamar.Aruna dan keluarganya pun berangkat bersama, mereka pergi ke restoran yang sudah dipesan sebelumnya.“Mommy seharusnya tak usah merayakan ulang tahunku. Aku sudah besar, Mom.” Aruna merengek karena Bintang memesan kue dengan inisial namanya ke pelayan yang baru saja keluar dari ruangan itu.“Tidak apa, sekali-kali. Mommy juga tidak tahu kapan bisa merayakan ulang tahunmu lagi, mumpung kamu tidak kabur lagi, ya sudah rayakan saja,” kekeh Bintang tak mau menerima penolakan.Aruna menoleh ayah, kakak, dan kakak iparnya, mereka hanya mengedikkan bahu tak mau membantah perintah Bintang.“Mom, aku ke kamar kecil sebentar,” kata Aruna karena tiba-tiba ingin buang air kecil.Bintang mengangguk mendengar perkataan Aruna. Aruna juga pamit ke kakaknya, lantas pergi menuj
Aruna panik melihat mantan kekasihnya itu dari dekat, jantungnya mendadak berdegup dengan cepat karena tak menyangka akan bertemu pria itu di sana. Dia sampai memalingkan wajah karena tak sudi melihat pria itu.Ansel pun sama dengan Aruna. Dia terkejut juga terlihat gelagapan saat melihat wanita yang dicampakkannya dan menghilang enam tahun lalu, kini berada di hadapannya.“Kenapa kalian diam? Tidak kenalan? Papi bilang mau ketemu Kakak Cantik, ini orangnya. Kok malah diam saja?” tanya Emily bingung sambil menatap Ansel dan Aruna bergantian.Aruna langsung memalingkan wajah saat melihat pria yang sangat tak ingin dilihatnya ketika kembali ke negara itu. Namun, di sana ada Emily, tak mungkin dia bersikap kasar di depan anak kecil.Ansel ingin menyapa Aruna, tapi niatnya diurungkan saat melihat wanita itu memalingkan wajah darinya.“Emily, kakak harus pergi. Takutnya keluarga kakak nyariin. Kita ngobrol kalau ketemu lagi, ya.” Aruna bicara dengan lembut ke Emily, kemudian buru-buru perg
Aruna mengembuskan napas kasar setelah berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya sebelum resign. Dia juga sudah melakukan video call dengan managernya untuk meyakinkan jika memang akan berhenti bekerja.Aruna meregangkan kedua tangan ke atas, mencoba melenturkan otot yang kaku karena fokus di depan laptop hampir 18 jam dalam satu hari selama seminggu terakhir.“Akhirnya.”Aruna begitu lega sudah menyelesaikan tanggung jawabnya. Menyibukkan diri selama seminggu ini ternyata ada manfaat baginya agar bisa sedikit melupakan pertemuannya dengan Ansel yang membuat Aruna sempat tak tenang.Aruna keluar dari kamar, hingga melihat Bintang yang sedang menemani Archie main seperti biasa.“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Bintang saat melihat Aruna baru saja sampai di ruang keluarga.“Iya. Aku juga sudah pamit ke managerku, jadi sekarang sudah tak ada tanggung jawab lagi,” jawab Aruna, “aku juga sudah meminta temanku untuk mengemas barang-barang yang penting dan mengirimkan ke sini,” ucap Aruna
Wanita yang menghampiri Ansel langsung merangkul lengan pria itu. Hingga tatapan wanita itu tertuju ke Aruna.“Dia siapa?” tanya wanita itu ke Ansel.Aruna terkejut mendengar pertanyaan wanita itu. Dia sejak tadi tak menyadari jika terlalu fokus memperhatikan wanita yang baru saja datang itu.Tanpa kata, Aruna memilih meninggalkan Ansel. Dia tidak ingin semakin tambah sakit hati melihat Ansel bermesraan dengan wanita itu.Ansel ingin mencegah Aruna pergi, tapi memaksa Aruna sama saja akan membuat mantannya itu semakin membenci sikapnya.Ansel menoleh wanita yang sedang merangkul lengannya, hingga dia menghembuskan napas kasar.“Dia siapa? Gebetanmu? Kok sudah punya anak?” tanya wanita itu sambil memandang Ansel yang terlihat kesal.“Kamu mau apa datang-datang merangkul begini?” Ansel bicara sambil melepas pegangan tangan wanita itu dari lengannya.Ansel pun memilih berjalan meninggalkan tempat itu karena Aruna sudah pergi.“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa wanita itu? Jangan bi
“Non, makan ya.” Baby sitter membujuk agar Emily mau makan. “Ga, mau!” Emily menyembunyikan wajahnya di balik bantal sofa yang ada di pangkuannya. “Ada apa, Bi?” tanya Ayana saat melihat pelayannya itu membujuk Emily agar mau makan. “Itu, Nyah. Non Emi tidak mau makan sejak siang tadi,” jawab baby sitter sambil melirik ke Emily. Ayana langsung duduk di samping Emily, lantas mengusap lembut rambut gadis kecil itu. “Emi kenapa tidak mau makan?” tanya Ayana. “Aku ga mau makan,” jawab Emily masih sambil menyembunyikan wajah di balik bantal. Ayana pun bingung karena Emily merajuk sampai seperti itu. Dia menoleh baby sitter lantas bertanya, “Apa ada masalah di sekolah?” “Tidak ada, Nyonya. Sebenarnya masalahnya bukan di sekolah, tapi ….” Baby sitter itu bingung menjelaskannya. “Tapi apa?” tanya Ayana. “Beberapa hari ini Non Emi selalu pergi ke mall itu, tapi tiap pulang pasti sedih,” jawab baby sitter hati-hati dan dengan suara pelan. “Mall? Beli apaan?” tanya Ayana bingung. Ba
Ansel menggendong Emily keluar dari mobil. Dia membawa putrinya itu ke rumah sakit tanpa memberitahu kedua orang tuanya. Saat masuk IGD, perawat langsung menghampiri. “Apa yang terjadi, Pak?” tanya perawat sambil mengarahkan Ansel untuk membawa Emily ke ranjang pesakitan. “Dia tiba-tiba panas tinggi, bahkan mencapai 38 derajat,” jawab Ansel karena sebelumnya sudah mengecek lebih dulu suhu tubuh Emily. Perawat itu terkejut, lantas memanggil dokter jaga. Ansel membaringkan perlahan tubuh Emily di atas ranjang, lantas mengusap lembut kening Emily yang terasa panas karena putrinya itu seperti kesakitan. “Apa keluhannya?” Suara dokter membuat Ansel menoleh, hingga sangat terkejut ketika melihat dokter yang akan memeriksa putrinya. Sashi pun sama terkejutnya ketika melihat Ansel. Wanita itu tentunya mengenal dan tahu dengan jelas, siapa pria yang ada di hadapannya sekarang. “Apa keluhannya?” tanya Sashi mengabaikan keterkejutannya karena berusaha bersikap profesional sebagai seorang
Aruna baru bangun tidur saat sang kakak datang ke rumah untuk melihat Archie setelah shift malam. Dia melihat Sashi yang baru saja meletakkan tas di sofa. “Kamu baru pulang,” ucap Aruna lantas menutup mulut karena menguap. “Iya,” balas Sashi sambil menatap sang adik yang masih berpenampilan acak-acakan. “Run.” Sashi memanggil nama adiknya itu. Aruna menghentikan langkah. Dia menoleh sang kakak yang memanggil. “Ada apa?” tanya Aruna sambil menggaruk kepala hingga rambutnya semakin berantakan. Sashi seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi malah menggelengkan kepala. “Tidak ada,” jawab Sashi, “aku nyari Archie dulu,” ucap Sashi lantas pergi meninggalkan Aruna. Aruna pun mengabaikan sang kakak yang tidak jadi bicara. Dia ke dapur karena ingin mengambil air minum. ** Di rumah sakit. Ansel kini menunggu Emily yang harus dirawat karena kekurangan cairan dengan suhu tubuh masih tinggi. “Bagaimana kondisinya?” tanya Ayana yang akhirnya menemui Ansel. “Masih panas,” jawab Ansel sambil
“Kenapa kamu tidak mau menemui Bumi?” Bintang menatap Aruna yang sedang minum. Aruna menoleh ke Bintang, hingga kemudian menjawab, “Tidak kenapa-napa. Hanya sedang tidak ingin saja.” Aruna mencuci gelas yang baru dipakai. Dia kemudian membalikkan badan untuk menatap ibunya. “Bumi sudah beberapa kali ke sini untuk menemuimu, tapi kamu tidak mau menemuinya. Apa kamu juga ada masalah dengan Bumi?” tanya Bintang. “Tidak ada, Mom.” Aruna tetap tidak memberikan alasannya kenapa tak mau menemui sepupunya itu. “Ya, kalau tidak ada, kenapa tidak mau bertemu? Tentu saja sikapmu ini membuat mommy penasaran.” Bintang menatap Aruna yang tersenyum. “Tidak usah penasaran, Mom. Aku hanya belum siap bertemu teman-teman lama, itu saja. Nanti kalau memang sudah ingin, aku pasti akan main ke tempatnya sekalian menjenguk Paman.” Setelah mengatakan itu, Aruna pun pergi meninggalkan Bintang di dapur sendirian. Dia berjalan menuju kamar, hingga menerima sebuah pesan. [Kamu sudah tidur?] Aruna memba