Aruna mengembuskan napas kasar setelah berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya sebelum resign. Dia juga sudah melakukan video call dengan managernya untuk meyakinkan jika memang akan berhenti bekerja.
Aruna meregangkan kedua tangan ke atas, mencoba melenturkan otot yang kaku karena fokus di depan laptop hampir 18 jam dalam satu hari selama seminggu terakhir.
“Akhirnya.”
Aruna begitu lega sudah menyelesaikan tanggung jawabnya. Menyibukkan diri selama seminggu ini ternyata ada manfaat baginya agar bisa sedikit melupakan pertemuannya dengan Ansel yang membuat Aruna sempat tak tenang.
Aruna keluar dari kamar, hingga melihat Bintang yang sedang menemani Archie main seperti biasa.
“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Bintang saat melihat Aruna baru saja sampai di ruang keluarga.
“Iya. Aku juga sudah pamit ke managerku, jadi sekarang sudah tak ada tanggung jawab lagi,” jawab Aruna, “aku juga sudah meminta temanku untuk mengemas barang-barang yang penting dan mengirimkan ke sini,” ucap Aruna lagi.
Kemungkinan Aruna sudah takkan kembali ke negara itu, sebab itu dia pun meminta temannya untuk mengirimkan barang-barang pribadinya. Selain itu, Aruna melakukan itu semua untuk meyakinkan Bintang kalau dia tidak akan pernah pergi lagi.
Benar saja, Bintang terlihat lega dan tenang saat mendengar semua ucapan putrinya itu.
“Oh ya, mommy mau ke mall untuk membeli sesuatu. Kamu ikut, ya.” Bintang tiba-tiba saja mengajak Aruna pergi.
Aruna terkejut mendengar ucapan Bintang. Dia sendiri sebenarnya menghindari bepergian karena takut jika tak sengaja bertemu dengan Ansel.
“Aku capek, Mom. Mommy pergi sendiri saja,” ucap Aruna menolak ajakan ibunya itu.
Bintang langsung memasang wajah sedih mendengar penolakan Aruna, terlihat jelas jika dia kecewa dengan sikap Aruna.
Aruna melihat kekecewaan di raut wajah Bintang, tentu saja hal itu membuat Aruna merasa bersalah karena sudah membuat Bintang sedih.
“Baiklah, ayo pergi.” Aruna tak kuasa menolak jika membuat mommy-nya sedih.
Bintang langsung terlihat sumringah saat mendengar ucapan Aruna. Dia pun segera bersiap agar bisa pergi dengan Aruna.
Aruna geleng-geleng kepala sendiri. Tingkah ibunya kini lebih seperti anak kecil yang akan langsung merajuk ketika tak bisa mendapatkan apa yang diinginkan.
Bintang dan Aruna pergi ke mall bersama Archie, batita umur 3 tahun itu kini berada di gendongan Aruna.
“Mommy sebenarnya mau beli apa?” tanya Aruna keheranan karena Bintang hanya melihat-lihat dan tak kunjung membeli apa yang diinginkan.
“Run, mommy mau ke kamar kecil bentar. Kamu tunggu di sini, ya.”
Aruna terkejut mendengar ucapan Bintang. Dia pun tak habis pikir dengan tingkah ibunya itu. Aruna pun membiarkan Bintang pergi ke toilet, sedangkan dia menunggu sambil menggendong Archie.
“Omamu itu lama-lama aneh, kan. Bisa-bisanya belum belanja apa-apa, sudah ke kamar mandi,” ucap Aruna mengajak bicara Archie.
Archie hanya diam mendengar ucapan Aruna karena bocah 3 tahun itu memang belum bisa bicara.
Aruna berjalan di sekitar toko yang ada di lantai itu. Dia melihat-lihat pakaian dan mainan anak yang lucu-lucu.
“Kamu suka mainan seperti itu? Mau beli itu?” Aruna menawari Archie, padahal bocah itu belum tahu apa-apa.
Saat Aruna sedang memperhatikan barang-barang yang terpajang di toko itu. Tiba-tiba ada yang berdiri di sampingnya, hingga membuat Aruna menoleh.
“Runa.” Ansel berdiri di sana memandang Aruna yang menggendong anak kecil.
Ansel sedang melakukan peninjauan bangunan mall itu, hingga tak sengaja melihat Aruna yang bersama anak kecil sendirian. Awalnya Ansel ragu untuk menemui Aruna, tapi rasa penasaran akan mantan kekasihnya itu muncul, hingga membuat Ansel memberanikan diri menghampiri Aruna.
Aruna terkejut melihat Ansel di sana. Benar dugaannya jika dia bisa saja bertemu dengan Ansel kapan pun kalau keluar dari rumah.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Ansel mencoba memberanikan diri menanyakan kabar wanita itu.
Aruna langsung memasang wajah tak senang, bahkan memalingkan wajah sejenak sebelum kembali memandang Ansel.
“Kamu lihat sendiri, aku sangat baik dan sehat. Apa matamu sakit, sampai tak melihat dan bertanya bagaimana kabarku?” Aruna membalas dengan ketus pertanyaan Ansel.
Ansel hanya tersenyum tipis mendengar jawaban Aruna. Dia sudah menebak jika sikap Aruna akan seketus itu kepadanya. Namun, bukankah ini sudah menjadi resiko atas perbuatannya yang dulu pernah dilakukan.
“Iya, aku lihat. Aku hanya memastikan saja,” balas Ansel tetap tenang menghadapi Aruna yang tak menyukainya.
Aruna terlihat malas. Ingin sekali kabur dari sana, tapi khawatir jika Bintang kebingungan mencarinya.
“Dia putramu?” tanya Ansel sambil menatap Archie.
Aruna langsung menatap Archie ketika mendengar pertanyaan Ansel, hingga kemudian menjawab, “Iya, memangnya kenapa?”
Ansel menggelengkan kepala membalas ucapan Aruna.
Aruna sengaja mengakui Archie sebagai anaknya. Dia hanya ingin memberitahu jika hidupnya baik-baik saja tanpa Ansel.
“Apa kamu pikir aku tidak bisa hidup tanpamu setelah kita berpisah? Karena itu kamu bertanya apa aku baik-baik saja, juga bertanya apa ini anakku? Kamu pikir aku tidak bisa menemukan pria yang lebih baik darimu? Kamu salah! Jika kamu bisa meninggalkanku karena wanita lain, aku pun bisa hidup bahagia dengan pria lain!” cerocos Aruna karena tiba-tiba berpikiran buruk dengan maksud pertanyaan Ansel.
Ansel terkejut mendengar semua ucapan Aruna. Emily berkata Aruna belum menikah, tapi kenapa mantan kekasihnya itu berkata jika sudah punya anak dan pria yang baik.
“Maaf kalau sudah membuatmu salah paham. Aku benar-benar hanya ingin menanyakan kabarmu saja,” ucap Ansel.
“Tidak usah menanyakan bagaimana kabarku. Hidupku lebih baik tanpamu,” balas Aruna ketus. Dia hanya tak ingin kembali jatuh ke dalam sikap ramah dan baik pria itu.
Ansel diam menatap Aruna yang terlihat begitu kesal. Dia tidak bisa memaksa mantan kekasihnya untuk tak membenci dirinya.
Aruna membalikkan badan karena ingin mengabaikan Ansel. Dia tidak bisa terlalu lama berinteraksi dengan pria itu.
Ansel terkejut karena Aruna ingin pergi, hingga saat akan mencegah Aruna pergi, tiba-tiba ada yang memanggil namanya, hingga membuat Ansel juga Aruna sama-sama menoleh.
“Ans!” Seorang wanita berjalan dengan cepat menghampiri Ansel.
Aruna memperhatikan wanita itu. Wanita anggun dengan rambut panjang yang begitu indah, wanita yang berumur tak lebih tua dari Ansel.
“Apakah wanita itu istrinya?” Tiba-tiba saja pertanyaan yang tak diinginkan itu muncul di kepala Aruna, membuat hatinya mendadak sakit melihat seperti apa penampilan istri Ansel karena dulu Aruna tak melihat dengan jelas seperti apa wanita yang akan dinikahi mantan kekasihnya itu.
Wanita yang menghampiri Ansel langsung merangkul lengan pria itu. Hingga tatapan wanita itu tertuju ke Aruna.“Dia siapa?” tanya wanita itu ke Ansel.Aruna terkejut mendengar pertanyaan wanita itu. Dia sejak tadi tak menyadari jika terlalu fokus memperhatikan wanita yang baru saja datang itu.Tanpa kata, Aruna memilih meninggalkan Ansel. Dia tidak ingin semakin tambah sakit hati melihat Ansel bermesraan dengan wanita itu.Ansel ingin mencegah Aruna pergi, tapi memaksa Aruna sama saja akan membuat mantannya itu semakin membenci sikapnya.Ansel menoleh wanita yang sedang merangkul lengannya, hingga dia menghembuskan napas kasar.“Dia siapa? Gebetanmu? Kok sudah punya anak?” tanya wanita itu sambil memandang Ansel yang terlihat kesal.“Kamu mau apa datang-datang merangkul begini?” Ansel bicara sambil melepas pegangan tangan wanita itu dari lengannya.Ansel pun memilih berjalan meninggalkan tempat itu karena Aruna sudah pergi.“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa wanita itu? Jangan bi
“Non, makan ya.” Baby sitter membujuk agar Emily mau makan. “Ga, mau!” Emily menyembunyikan wajahnya di balik bantal sofa yang ada di pangkuannya. “Ada apa, Bi?” tanya Ayana saat melihat pelayannya itu membujuk Emily agar mau makan. “Itu, Nyah. Non Emi tidak mau makan sejak siang tadi,” jawab baby sitter sambil melirik ke Emily. Ayana langsung duduk di samping Emily, lantas mengusap lembut rambut gadis kecil itu. “Emi kenapa tidak mau makan?” tanya Ayana. “Aku ga mau makan,” jawab Emily masih sambil menyembunyikan wajah di balik bantal. Ayana pun bingung karena Emily merajuk sampai seperti itu. Dia menoleh baby sitter lantas bertanya, “Apa ada masalah di sekolah?” “Tidak ada, Nyonya. Sebenarnya masalahnya bukan di sekolah, tapi ….” Baby sitter itu bingung menjelaskannya. “Tapi apa?” tanya Ayana. “Beberapa hari ini Non Emi selalu pergi ke mall itu, tapi tiap pulang pasti sedih,” jawab baby sitter hati-hati dan dengan suara pelan. “Mall? Beli apaan?” tanya Ayana bingung. Ba
Ansel menggendong Emily keluar dari mobil. Dia membawa putrinya itu ke rumah sakit tanpa memberitahu kedua orang tuanya. Saat masuk IGD, perawat langsung menghampiri. “Apa yang terjadi, Pak?” tanya perawat sambil mengarahkan Ansel untuk membawa Emily ke ranjang pesakitan. “Dia tiba-tiba panas tinggi, bahkan mencapai 38 derajat,” jawab Ansel karena sebelumnya sudah mengecek lebih dulu suhu tubuh Emily. Perawat itu terkejut, lantas memanggil dokter jaga. Ansel membaringkan perlahan tubuh Emily di atas ranjang, lantas mengusap lembut kening Emily yang terasa panas karena putrinya itu seperti kesakitan. “Apa keluhannya?” Suara dokter membuat Ansel menoleh, hingga sangat terkejut ketika melihat dokter yang akan memeriksa putrinya. Sashi pun sama terkejutnya ketika melihat Ansel. Wanita itu tentunya mengenal dan tahu dengan jelas, siapa pria yang ada di hadapannya sekarang. “Apa keluhannya?” tanya Sashi mengabaikan keterkejutannya karena berusaha bersikap profesional sebagai seorang
Aruna baru bangun tidur saat sang kakak datang ke rumah untuk melihat Archie setelah shift malam. Dia melihat Sashi yang baru saja meletakkan tas di sofa. “Kamu baru pulang,” ucap Aruna lantas menutup mulut karena menguap. “Iya,” balas Sashi sambil menatap sang adik yang masih berpenampilan acak-acakan. “Run.” Sashi memanggil nama adiknya itu. Aruna menghentikan langkah. Dia menoleh sang kakak yang memanggil. “Ada apa?” tanya Aruna sambil menggaruk kepala hingga rambutnya semakin berantakan. Sashi seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi malah menggelengkan kepala. “Tidak ada,” jawab Sashi, “aku nyari Archie dulu,” ucap Sashi lantas pergi meninggalkan Aruna. Aruna pun mengabaikan sang kakak yang tidak jadi bicara. Dia ke dapur karena ingin mengambil air minum. ** Di rumah sakit. Ansel kini menunggu Emily yang harus dirawat karena kekurangan cairan dengan suhu tubuh masih tinggi. “Bagaimana kondisinya?” tanya Ayana yang akhirnya menemui Ansel. “Masih panas,” jawab Ansel sambil
“Kenapa kamu tidak mau menemui Bumi?” Bintang menatap Aruna yang sedang minum. Aruna menoleh ke Bintang, hingga kemudian menjawab, “Tidak kenapa-napa. Hanya sedang tidak ingin saja.” Aruna mencuci gelas yang baru dipakai. Dia kemudian membalikkan badan untuk menatap ibunya. “Bumi sudah beberapa kali ke sini untuk menemuimu, tapi kamu tidak mau menemuinya. Apa kamu juga ada masalah dengan Bumi?” tanya Bintang. “Tidak ada, Mom.” Aruna tetap tidak memberikan alasannya kenapa tak mau menemui sepupunya itu. “Ya, kalau tidak ada, kenapa tidak mau bertemu? Tentu saja sikapmu ini membuat mommy penasaran.” Bintang menatap Aruna yang tersenyum. “Tidak usah penasaran, Mom. Aku hanya belum siap bertemu teman-teman lama, itu saja. Nanti kalau memang sudah ingin, aku pasti akan main ke tempatnya sekalian menjenguk Paman.” Setelah mengatakan itu, Aruna pun pergi meninggalkan Bintang di dapur sendirian. Dia berjalan menuju kamar, hingga menerima sebuah pesan. [Kamu sudah tidur?] Aruna memba
Enam tahun lalu. “Bisa aku bicara denganmu?” Bumi yang sedang berdebat dengan gadis SMA terkejut saat melihat seorang wanita datang dan langsung ingin bicara dengannya. Dia tidak mengenal wanita itu bahkan melihatnya pun tidak pernah. “Maaf, kamu siapa?” tanya Bumi sambil memperhatikan wanita itu, hingga tatapannya beralih ke perut wanita itu yang sedikit besar. Bumi mulai menerka-nerka, kenapa ada wanita hamil yang mendatanginya. Wanita itu tersenyum tipis mendengar pertanyaan Bumi, hingga meminta pria itu untuk duduk agar bisa bicara dengan tenang. Bumi pun duduk berhadapan dengan wanita itu sambil terus memperhatikan serta mengingat apakah dia pernah bertemu wanita itu sebelumnya. “Maaf, siapa kamu dan kenapa ingin bertemu denganku?” tanya Bumi terlampau penasaran. “Biar aku memperkenalkan diri. Aku Citra, istrinya Ansel,” jawab wanita bernama Citra itu. Bumi sangat terkejut mendengar ucapan wanita itu. Dia langsung tidak senang karena gara-gara wanita itu Ansel meninggal
“Emi sudah menghabiskan makanannya?” tanya Ansel saat berpapasan dengan baby sitter yang ingin keluar kamar. “Sudah, Tuan.” Baby sitter menjawab singkat. Dia sudah berjanji jika tidak akan memberitahu soal kedatangan Aruna ke sana. Ansel mengangguk, lantas masuk ruang inap dan melihat Emily yang duduk sambil memegang ponsel. “Sudah selesai makan?” tanya Ansel sambil berjalan mendekat ke ranjang. Dia melirik piring di atas meja yang sudah kosong. Emily terkejut mendengar suara Ansel. Dia buru-buru menyembunyikan ponsel milik baby sitter yang dipinjamnya. Ansel mengerutkan alis, kenapa Emily buru-buru menyembunyikan ponsel itu. “Emi sedang apa? Kenapa buru-buru menyembunyikan ponselnya?” tanya Ansel curiga. “Tidak ada,” jawab Emily terlihat masih kesal ke ayahnya itu. Ansel tak banyak tanya lagi. Dia tak ingin Emily semakin marah kepadanya jika dia terlalu mendikte. Emily menatap ayahnya, lantas buru-buru mengembalikan ponsel baby sitter yang baru saja masuk. “Papi sudah janji
[Papi mau beliin aku ponsel, jadi aku bisa telepon Kakak Cantik kapan pun.] Aruna tersenyum tipis membaca pesan dari Emily. Dia ingin tak peduli, tapi kenyataannya tidak bisa. Melihat gadis kecil itu sakit, membuatnya mengabaikan amarah yang ditujukan ke Ansel. Ya, dia sadar jika Emily tidak tahu apa pun dengan amarah yang dipendamnya. [Baguslah, tapi Papi tidak tahu kalau kamu minta ponsel karena kakak, kan?] Aruna takut jika Ansel tahu, lantas beranggapan jika dirinya bisa menerima dan memaafkan kesalahan Ansel di masa lalu karena dia mau dekat dengan Emily. [Kakak tenang saja, Papi tidak tahu, kok. Aku sayang Kakak. Aku harus tidur atau tidak akan cepat sembuh.] Aruna tersenyum membaca pesan dari Emily yang dikirim melalui ponsel baby sitter. Dia membalas pesan dari Emily, lantas meletakkan ponsel di meja. Aruna sendiri bingung, kenapa dia harus peduli dengan Emily sedangkan membenci ayah gadis kecil itu. Kenapa dia tidak mengabaikan saja, sedangkan seharusnya dia mampu melak