Aruna panik melihat mantan kekasihnya itu dari dekat, jantungnya mendadak berdegup dengan cepat karena tak menyangka akan bertemu pria itu di sana. Dia sampai memalingkan wajah karena tak sudi melihat pria itu.
Ansel pun sama dengan Aruna. Dia terkejut juga terlihat gelagapan saat melihat wanita yang dicampakkannya dan menghilang enam tahun lalu, kini berada di hadapannya.“Kenapa kalian diam? Tidak kenalan? Papi bilang mau ketemu Kakak Cantik, ini orangnya. Kok malah diam saja?” tanya Emily bingung sambil menatap Ansel dan Aruna bergantian.Aruna langsung memalingkan wajah saat melihat pria yang sangat tak ingin dilihatnya ketika kembali ke negara itu. Namun, di sana ada Emily, tak mungkin dia bersikap kasar di depan anak kecil.Ansel ingin menyapa Aruna, tapi niatnya diurungkan saat melihat wanita itu memalingkan wajah darinya.“Emily, kakak harus pergi. Takutnya keluarga kakak nyariin. Kita ngobrol kalau ketemu lagi, ya.” Aruna bicara dengan lembut ke Emily, kemudian buru-buru pergi tanpa menyapa Ansel sama sekali.“Pergi lagi,” keluh Emily karena lagi-lagi Aruna pergi.Ansel ingin sekali mengejar, tapi tatapan Aruna yang masih penuh kekecewaan, membuatnya memilih membiarkan Aruna pergi.Emily menggelembungkan pipi sambil menatap Ansel saat Aruna pergi.“Kenapa Papi tidak berterima kasih dan malah membiarkan Kakak Cantik pergi? Bukannya kemarin bilangnya mau berterima kasih?” Emily langsung mencecar sikap Ansel.Ansel mengalihkan pandangan dari arah Aruna pergi ke Emily yang menatapnya kesal.“Papi mau berterima kasih, tapi Emi lihat sendiri kalau kakaknya buru-buru pergi,” balas Ansel mencoba berkilah agar Emily tidak marah dan menyalahkannya.Emily percaya begitu saja mendengar ucapan Ansel, hingga memandang ke arah Aruna pergi.“Padahal Kakak Cantik sudah di sini, tapi Papi malah diam saja tadi,” ucap Emily terlihat sedih dan kecewa.Ansel berjongkok di depan Emily saat melihat tatapan sendu putrinya itu. Dia lantas memegang kedua lengan Emily.“Nanti kalau papi ketemu kakak itu lagi, papi janji akan berterima kasih kepadanya,” balas Ansel mencoba membujuk.Emily mengangguk-angguk, keduanya pun kembali ke private room tempat keluarga berkumpul.Aruna kembali ke ruangan tempat makan malam bersama keluarganya dengan kondisi wajah yang pucat. Tentu saja hal itu membuat sang kakak bertanya-tanya.“Ada apa, Runa? Kenapa wajahmu jadi pucat begini? Lalu, di mana jepit rambutmu? Apa ada yang berbuat jahat kepadamu?” tanya Sashi yang mencemaskan adiknya. Apalagi Aruna pergi cukup lama.“Tidak, tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja,” jawab Aruna meski terlihat jelas wajahnya begitu pucat. “Jepit rambutku kuberikan ke anak kecil karena menyukainya,” imbuh Aruna lagi sambil mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupannya.“Kamu yakin?” tanya Sashi memastikan.Aruna mengangguk-angguk sambil tersenyum ke sang kakak.Sang kakak pun percaya dengan alasan Aruna. Wanita itu tak bertanya lagi karena tak ingin ibu mereka cemas.Aruna sendiri mencoba menetralkan detak jantungnya. Ada rasa marah, kesal, dan kecewa ketika kembali melihat mantan kekasihnya itu. Mantan kekasih yang tega meninggalkannya demi wanita lain saat cinta benar-benar sedang bersemi di hatinya.**“Papi.” Emily menatap Ansel yang sedang menemaninya sebelum tidur.Setelah selesai merayakan ulang tahun. Ansel langsung mengajak pulang, kini dia mengantar Emily untuk tidur karena esok harus bersekolah.“Ya, ada apa?” tanya Ansel sambil merapikan selimut yang menutupi kaki Emily.“Papi mau tahu, apa yang aku minta sebelum tiup lilin,” ucap Emily sambil memandang ayahnya itu. Jemari mungilnya menggenggam erat tepian selimut yang menutup sampai ke dada.“Doa yang diminta saat ulang tahun tidak usah dikasih tahu ke orang lain, nanti tidak terkabul,” balas Ansel sambil tersenyum kemudian duduk di tepian ranjang.Emily menatap Ansel, lantas berkata, “Kakak Cantik belum menikah.”Ansel terkejut mendengar perkataan Emily yang membahas Aruna.“Sudah, Emi tidur dulu,” ucap Ansel tak ingin membahas soal Aruna.Ansel mencium kening Emily, kemudian mematikan lampu utama dan menyisakan lampu tidur. Dia pun pergi meninggalkan kamar putrinya itu.Emily menatap Ansel pergi. Dia terlihat sedih karena sang papi tidak mau mendengar apa yang diinginkannya di ulang tahun kelimanya itu.Ansel menutup pintu kamar Emily. Dia berdiri sejenak di depan pintu sambil menghela napas kasar. Ansel tampaknya bisa menebak apa yang diinginkan Emily, sehingga dia pun memilih tak mau mendengar apa yang ingin dikatakan oleh putrinya itu.Ansel kembali ke kamarnya. Dia membuka laci di samping tempat tidur, lantas mengeluarkan bingkai foto yang ada di sana. Ansel menatap foto Aruna enam tahun lalu yang selalu disimpannya di sana. Selama enam tahun ini dia tidak pernah berani membuka foto itu, dan sekarang ketika melihat wanita itu lagi, hatinya tiba-tiba terasa begitu nyeri.Ansel memejamkan mata mengingat bagaimana dia mengakhiri hubungannya dengan Aruna enam tahun lalu. Kejam memang, tapi Ansel tidak memiliki pilihan. Dalih ingin yang terbaik untuk Aruna, dia malah menorehkan luka yang dalam di hati wanita itu.**Di rumah Aruna, wanita itu berdiri di dekat jendela sambil memeluk kedua lengan. Dia memejamkan mata saat mengingat pertemuannya kembali dengan mantan kekasihnya itu. Aruna tidak bisa melupakan betapa sakit hatinya saat mendengar kalimat putus dari pria itu enam tahun lalu, yang membuatnya memilih lari dari kenyataan, serta menjauh dari keluarga dan semua orang yang dikenalnya.“Kamu adalah satu-satunya orang yang ingin kuhindari saat aku kembali, tapi kenapa kamu harus muncul di hadapanku?”Tiba-tiba dalam sesaat Aruna menyesal sudah bertemu dengan Emily yang membuatnya kembali melihat mantan kekasih brengsek yang membuangnya. Andai dia tahu jika Emily adalah anak Ansel, mungkin Aruna takkan mau terlibat dengan urusan yang menyangkut tentang gadis kecil itu. Dia sempat berharap salah melihat, tapi ternyata memang benar.Aruna mengembuskan napas kasar. Dia mencoba mengatur napasnya yang terasa berat saat mengingat kalimat demi kalimat putus yang diucapkan oleh Ansel enam tahun lalu.“Ya, kamu memang tidak baik untukku. Kamu memang brengsek. Bodohnya aku dulu menyukaimu!”Aruna menyalahkan diri sendiri karena pernah jatuh hati dengan pria yang dulu dipuja dan dianggapnya sebagai pria penuh perhatian juga baik. Semua pujian itu dipatahkan dengan kalimat putus yang terlontar dari bibir Ansel, hingga membuat Aruna menampar pipi Ansel kala itu karena emosi.“Ya Tuhan. Ternyata benar dia. Kenapa aku benar-benar harus kembali menghadapi ketakutanku? Aku tidak sekuat itu, aku lemah setiap mengingatnya.”Aruna mendadak cemas. Dia sudah panik lebih dulu membayangkan bagaimana jika tak sengaja bertemu dengan Ansel lagi. Luka di hatinya belum bisa diobati meski dirinya telah kabur selama enam tahun lamanya. Kini bertemu dengan Ansel seolah kembali mengorek luka lama di hatinya yang membuat dadanya terasa sesak.Aruna membaringkan tubuh di atas ranjang. Dia menatap langit-langit kamar sambil memeluk bantal.“Hal yang paling menyakitkan adalah ketika ingin lari dari masa lalu, tapi masa lalu malah menghampirimu. Tidak bisakah kita tak pernah bertemu lagi, Ans? Kenapa kita harus dipertemukan lagi?”Aruna mengembuskan napas kasar setelah berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya sebelum resign. Dia juga sudah melakukan video call dengan managernya untuk meyakinkan jika memang akan berhenti bekerja.Aruna meregangkan kedua tangan ke atas, mencoba melenturkan otot yang kaku karena fokus di depan laptop hampir 18 jam dalam satu hari selama seminggu terakhir.“Akhirnya.”Aruna begitu lega sudah menyelesaikan tanggung jawabnya. Menyibukkan diri selama seminggu ini ternyata ada manfaat baginya agar bisa sedikit melupakan pertemuannya dengan Ansel yang membuat Aruna sempat tak tenang.Aruna keluar dari kamar, hingga melihat Bintang yang sedang menemani Archie main seperti biasa.“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Bintang saat melihat Aruna baru saja sampai di ruang keluarga.“Iya. Aku juga sudah pamit ke managerku, jadi sekarang sudah tak ada tanggung jawab lagi,” jawab Aruna, “aku juga sudah meminta temanku untuk mengemas barang-barang yang penting dan mengirimkan ke sini,” ucap Aruna
Wanita yang menghampiri Ansel langsung merangkul lengan pria itu. Hingga tatapan wanita itu tertuju ke Aruna.“Dia siapa?” tanya wanita itu ke Ansel.Aruna terkejut mendengar pertanyaan wanita itu. Dia sejak tadi tak menyadari jika terlalu fokus memperhatikan wanita yang baru saja datang itu.Tanpa kata, Aruna memilih meninggalkan Ansel. Dia tidak ingin semakin tambah sakit hati melihat Ansel bermesraan dengan wanita itu.Ansel ingin mencegah Aruna pergi, tapi memaksa Aruna sama saja akan membuat mantannya itu semakin membenci sikapnya.Ansel menoleh wanita yang sedang merangkul lengannya, hingga dia menghembuskan napas kasar.“Dia siapa? Gebetanmu? Kok sudah punya anak?” tanya wanita itu sambil memandang Ansel yang terlihat kesal.“Kamu mau apa datang-datang merangkul begini?” Ansel bicara sambil melepas pegangan tangan wanita itu dari lengannya.Ansel pun memilih berjalan meninggalkan tempat itu karena Aruna sudah pergi.“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa wanita itu? Jangan bi
“Non, makan ya.” Baby sitter membujuk agar Emily mau makan. “Ga, mau!” Emily menyembunyikan wajahnya di balik bantal sofa yang ada di pangkuannya. “Ada apa, Bi?” tanya Ayana saat melihat pelayannya itu membujuk Emily agar mau makan. “Itu, Nyah. Non Emi tidak mau makan sejak siang tadi,” jawab baby sitter sambil melirik ke Emily. Ayana langsung duduk di samping Emily, lantas mengusap lembut rambut gadis kecil itu. “Emi kenapa tidak mau makan?” tanya Ayana. “Aku ga mau makan,” jawab Emily masih sambil menyembunyikan wajah di balik bantal. Ayana pun bingung karena Emily merajuk sampai seperti itu. Dia menoleh baby sitter lantas bertanya, “Apa ada masalah di sekolah?” “Tidak ada, Nyonya. Sebenarnya masalahnya bukan di sekolah, tapi ….” Baby sitter itu bingung menjelaskannya. “Tapi apa?” tanya Ayana. “Beberapa hari ini Non Emi selalu pergi ke mall itu, tapi tiap pulang pasti sedih,” jawab baby sitter hati-hati dan dengan suara pelan. “Mall? Beli apaan?” tanya Ayana bingung. Ba
Ansel menggendong Emily keluar dari mobil. Dia membawa putrinya itu ke rumah sakit tanpa memberitahu kedua orang tuanya. Saat masuk IGD, perawat langsung menghampiri. “Apa yang terjadi, Pak?” tanya perawat sambil mengarahkan Ansel untuk membawa Emily ke ranjang pesakitan. “Dia tiba-tiba panas tinggi, bahkan mencapai 38 derajat,” jawab Ansel karena sebelumnya sudah mengecek lebih dulu suhu tubuh Emily. Perawat itu terkejut, lantas memanggil dokter jaga. Ansel membaringkan perlahan tubuh Emily di atas ranjang, lantas mengusap lembut kening Emily yang terasa panas karena putrinya itu seperti kesakitan. “Apa keluhannya?” Suara dokter membuat Ansel menoleh, hingga sangat terkejut ketika melihat dokter yang akan memeriksa putrinya. Sashi pun sama terkejutnya ketika melihat Ansel. Wanita itu tentunya mengenal dan tahu dengan jelas, siapa pria yang ada di hadapannya sekarang. “Apa keluhannya?” tanya Sashi mengabaikan keterkejutannya karena berusaha bersikap profesional sebagai seorang
Aruna baru bangun tidur saat sang kakak datang ke rumah untuk melihat Archie setelah shift malam. Dia melihat Sashi yang baru saja meletakkan tas di sofa. “Kamu baru pulang,” ucap Aruna lantas menutup mulut karena menguap. “Iya,” balas Sashi sambil menatap sang adik yang masih berpenampilan acak-acakan. “Run.” Sashi memanggil nama adiknya itu. Aruna menghentikan langkah. Dia menoleh sang kakak yang memanggil. “Ada apa?” tanya Aruna sambil menggaruk kepala hingga rambutnya semakin berantakan. Sashi seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi malah menggelengkan kepala. “Tidak ada,” jawab Sashi, “aku nyari Archie dulu,” ucap Sashi lantas pergi meninggalkan Aruna. Aruna pun mengabaikan sang kakak yang tidak jadi bicara. Dia ke dapur karena ingin mengambil air minum. ** Di rumah sakit. Ansel kini menunggu Emily yang harus dirawat karena kekurangan cairan dengan suhu tubuh masih tinggi. “Bagaimana kondisinya?” tanya Ayana yang akhirnya menemui Ansel. “Masih panas,” jawab Ansel sambil
“Kenapa kamu tidak mau menemui Bumi?” Bintang menatap Aruna yang sedang minum. Aruna menoleh ke Bintang, hingga kemudian menjawab, “Tidak kenapa-napa. Hanya sedang tidak ingin saja.” Aruna mencuci gelas yang baru dipakai. Dia kemudian membalikkan badan untuk menatap ibunya. “Bumi sudah beberapa kali ke sini untuk menemuimu, tapi kamu tidak mau menemuinya. Apa kamu juga ada masalah dengan Bumi?” tanya Bintang. “Tidak ada, Mom.” Aruna tetap tidak memberikan alasannya kenapa tak mau menemui sepupunya itu. “Ya, kalau tidak ada, kenapa tidak mau bertemu? Tentu saja sikapmu ini membuat mommy penasaran.” Bintang menatap Aruna yang tersenyum. “Tidak usah penasaran, Mom. Aku hanya belum siap bertemu teman-teman lama, itu saja. Nanti kalau memang sudah ingin, aku pasti akan main ke tempatnya sekalian menjenguk Paman.” Setelah mengatakan itu, Aruna pun pergi meninggalkan Bintang di dapur sendirian. Dia berjalan menuju kamar, hingga menerima sebuah pesan. [Kamu sudah tidur?] Aruna memba
Enam tahun lalu. “Bisa aku bicara denganmu?” Bumi yang sedang berdebat dengan gadis SMA terkejut saat melihat seorang wanita datang dan langsung ingin bicara dengannya. Dia tidak mengenal wanita itu bahkan melihatnya pun tidak pernah. “Maaf, kamu siapa?” tanya Bumi sambil memperhatikan wanita itu, hingga tatapannya beralih ke perut wanita itu yang sedikit besar. Bumi mulai menerka-nerka, kenapa ada wanita hamil yang mendatanginya. Wanita itu tersenyum tipis mendengar pertanyaan Bumi, hingga meminta pria itu untuk duduk agar bisa bicara dengan tenang. Bumi pun duduk berhadapan dengan wanita itu sambil terus memperhatikan serta mengingat apakah dia pernah bertemu wanita itu sebelumnya. “Maaf, siapa kamu dan kenapa ingin bertemu denganku?” tanya Bumi terlampau penasaran. “Biar aku memperkenalkan diri. Aku Citra, istrinya Ansel,” jawab wanita bernama Citra itu. Bumi sangat terkejut mendengar ucapan wanita itu. Dia langsung tidak senang karena gara-gara wanita itu Ansel meninggal
“Emi sudah menghabiskan makanannya?” tanya Ansel saat berpapasan dengan baby sitter yang ingin keluar kamar. “Sudah, Tuan.” Baby sitter menjawab singkat. Dia sudah berjanji jika tidak akan memberitahu soal kedatangan Aruna ke sana. Ansel mengangguk, lantas masuk ruang inap dan melihat Emily yang duduk sambil memegang ponsel. “Sudah selesai makan?” tanya Ansel sambil berjalan mendekat ke ranjang. Dia melirik piring di atas meja yang sudah kosong. Emily terkejut mendengar suara Ansel. Dia buru-buru menyembunyikan ponsel milik baby sitter yang dipinjamnya. Ansel mengerutkan alis, kenapa Emily buru-buru menyembunyikan ponsel itu. “Emi sedang apa? Kenapa buru-buru menyembunyikan ponselnya?” tanya Ansel curiga. “Tidak ada,” jawab Emily terlihat masih kesal ke ayahnya itu. Ansel tak banyak tanya lagi. Dia tak ingin Emily semakin marah kepadanya jika dia terlalu mendikte. Emily menatap ayahnya, lantas buru-buru mengembalikan ponsel baby sitter yang baru saja masuk. “Papi sudah janji