Share

Bab 5 - Firasat

Harvey menekan pedal gas sekaligus rasa cemburu yang menyeruak begitu saja di dalam dada. Pikiran kalau Ernest ada di rumah bersama Lillian malam ini membuat dadanya seperti terbakar. Tapi ada sesuatu yang lebih menggelitik perasaannya. Ini bukan hanya cemburu tapi gelisah. Logikanya mengatakan mobil yang terparkir di depan rumah Lillian tadi bukanlan mobil baru.

Pikiran - pikiran itu terus mengganggunya. Akhirnya Harvey hanya melewati rumahnya dan memutuskan untuk kembali ke rumah Lillian. Dia ingin memastikan Lillian baik - baik saja.

Di depan rumah Lillian, Harvey memperhatikan baik - baik mobil baru yang penampilannya sama sekali tidak baru. Ada cat yang terkelupas di dekat pintu, lalu spionnya juga sedikit retak. Modelnya pun tidak seperti selera Ernest yang sudah - sudah. Yang mengherankan adalah seri mobilnya masih seri keluaran lama.

Kening Harvey berkerut. Meski pun suka berfoya - foya, adiknya tidak akan sebodoh itu membeli mobil yang kondisi fisiknya yang sudah jelek seperti ini. Benar - benar tidak sesuai dengan uang yang dikeluarkan.

Harvey menimbang - nimbang antara masuk atau tidak. Dia ingin memastikan kalau Ernest benar - benar membayar cicilan kartu kredit Lillian. Apalagi uang sebanyak itu dipakai untuk membeli barang rongsok seperti ini. Tidak. Harvey tidak akan membiarkan Lillian membayar cicilannya.

Tapi, Lillian tidak ingin dirinya ikut campur urusannya dengan Ernest. Harvey benar - benar dilema. Dia menengok ke pintu rumah yang sedikit terbuka. Perasaannya bergemuruh saat mengingat ada Ernest di dalam sana. Terus terang, selama ini dirinya justru senang karena Ernest menghilang.

Tapi, tunggu!

Bagaimana caranya Ernest masuk ke rumah? Tingkah adiknya itu seperti seorang raja, selalu minta dilayani. Dia tidak pernah mau repot - repot membawa kunci rumah dan Lillian yang selama ini membuka dan menutup pintu untuknya.

Seperti orang baru bangun tidur, mendadak saja mata Harvey seperti terang benderang. "Jangan - jangan.... Ini bukan Ernest!" gumamnya sambil membuka pagar.

Harvey terkejut mendapati kondisi pintu pagar yang tidak terkunci, tanpa gembok disana lalu ada sedikit bengkok karena paksaan. Perasaannya semakin menguat kalau ada yang tidak beres disini. Tanpa membuang waktu, dia bergegas masuk ke dalam rumah.

Harvey tercengang melihat tiga laki - laki tak dikenal ada di ruang tengah sedang berhadapan dengan seorang wanita bertubuh mungil. Salah satu laki - laki itu berdiri begitu dekat dengan Lillian. Tapi Lillian dengan berani menatap pria itu dengan posisi kepala sedikit mendongak keatas. "Jika kalian berani menyentuhku sedikit saja, maka aku akan bunuh diri. Aku pastikan kalian tidak akan mendapat bayaran sepeser pun. Tentu Boss kalian lebih suka kalian mendapat pelunasan hutang bukan?" serunya.

Diam - diam Harvey kagum pada keberanian Lillian. Tapi seorang wanita menghadapi tiga orang laki yang tubuhnya jauh lebih besar darinya adalah hal yang konyol. Jiwa ksatria meronta dari dalam diri, Harvey melangkah lebar - lebar, masuk ke arena perdebatan. Dia menarik tubuh Lillian ke belakang tubuhnya. Sekarang posisi Harvey ada diantara penagih hutang dan Lillian. "Ada apa ribut  - ribut disini? Apa masalahnya? Bisakah diselesaikan baik - baik?" tanyanya dengan tegas.

"Ini urusan kami dan wanita itu, Sir. Anda tidak usah ikut campur." sergah penagih hutang itu.

"Ini rumahku. Dan segala kerusakan yang kalian buat disini akan menjadi urusanku." tambah Harvey lagi. Matanya menatap lekat laki - laki bertubuh kekar di hadapannya. Iya. Rumah ini memang milik Harvey. Ernest terlalu sering berfoya - foya hingga tidak pernah berhasil mengumpulkan uang untuk membeli sebuah rumah. Demi Lillian hidup dengan layak, Harvey meminjamkan rumahnya secara cuma - cuma untuk waktu yang tidak terbatas.

"Beri aku waktu. Aku akan mendapat gaji pada tanggal satu dan aku akan membayarkan semua uangku pada kalian pada malam harinya. Pergilah!" sela Lillian dari belakang tubuh kekar Harvey. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya supaya para penagih itu tahu kesungguhannya.

Penagih hutang itu menatap Lillian lalu mengalihkan pandangan ke Harvey. Dia mundur satu langkah, kini bertukar pandang dengan kedua temannya yang dari tadi hanya diam saja. Mereka yang awalnya memasang ekspresi meremehkan, kini berubah serius. Mereka menimbang - nimbang langkah selanjutnya.

"Tanggal satu malam kami akan kembali. Dan jangan coba - coba melarikan diri. Kami bisa mencari kemana pun kamu pergi." ancam pria itu dengan tatapan membunuh.

Begitu terdengar bunyi mobil menjauh, Lillian membiarkan tubuhnya luruh dan terduduk di lantai. Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Setelah beberapa saat merasa tegang, akhirnya dia bisa bernapas lega.

"Kamu baik - baik saja?" tanya Harvey yang sudah kembali dari dapur dengan membawa segelas air. Dia memberikannya pada Lillian. "Katakan padaku yang sebenarnya. Ada apa? Aku tidak berani bertindak sebelum tahu duduk perkaranya dengan jelas."

Lillian meminum air hingga habis dan mencoba berdiri. Harvey segera membantunya. "Thanks, Har. Aku baik - baik saja sekarang. Lega rasanya kamu ada disini bersamaku." jujurnya.

Harvey memandang prihatin kepada Lillian. Dari percakapan yang sepotong tadi, dia menyimpulkan kalai Ernest lagi - lagi membuat masalah. "Kamu tahu kalau kamu selalu bisa mengandalkan aku kan?"

"Bisa tidak kalau kita bicarakan itu nanti?" mohon Lillian. Dia tahu hanya dengan membuka mulut dan bercerita segalanya pada Harvey, maka angka satu milyar tidak akan menjadi masalah baginya. Laki - laki itu pasti punya solusi untuknya.

Ah, tapi tidak. Lillian menepis pikiran itu jauh - jauh. Berkali - kali dirinya protes dan meminta Harvey tidak ikut campur masalahnya dengan Ernest, tapi berkali - kali pula laki - laki itulah yang selalu menolongnya bahkan sebelum dirinya meminta. Lillian berhutang banyak pada Harvey.

"Baiklah." Harvey mengalah. Dia merentangkan tangannya lebar - lebar. "Biarkan aku menenangkanmu lebih dulu." ucapnya sambil tersenyum.

Hati Lillian meleleh. Dia menghambur ke pelukan Harvey, tempat ternyaman yang dia miliki saat ini. Wanita itu bisa merasakan usapan demi usapan di punggungnya, memberikan rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata - kata.

Setelah merasa cukup, Harvey mengurai pelukannya. Dia pergi ke dapur dan kembali dengan membawa kantong plastik dan vacuum cleaner untuk membersihkan serpihan gelas yang pecah. Sementara Harvey membersihkan ruang tengah, Lillian masuk ke dalam kamar dan mulai menyusun baju - bajunya, menatanya di dalam lemari. Harvey mengambil penyedot debu dan membersihkan pecahan kaca dan kotoran lain yang ada di lantai.

Pagar dan pintu juga diperbaiki oleh Harvey dengan memasang gerendel baru supaya bisa dikunci. Meski begitu, Lillian tetap khawatir.

"Sepertinya gembok tidak terlalu menolong." keluh Lillian.

"Maksudmu?"

"Buktinya, tadi mereka berhasil masuk ke rumah. Meskipun kita sudah memasang gerendel sebelum berangkat kerja."

"Jangan khawatir, Lili. Mulai detik ini aku tidak akan meninggalkanmu sendiri di rumah. Aku akan menemanimu."

"Maksudmu kamu akan menginap lagi?"

"Yup. Aku akan tidur denganmu."

"Ha?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status