Harvey menekan pedal gas sekaligus rasa cemburu yang menyeruak begitu saja di dalam dada. Pikiran kalau Ernest ada di rumah bersama Lillian malam ini membuat dadanya seperti terbakar. Tapi ada sesuatu yang lebih menggelitik perasaannya. Ini bukan hanya cemburu tapi gelisah. Logikanya mengatakan mobil yang terparkir di depan rumah Lillian tadi bukanlan mobil baru.
Pikiran - pikiran itu terus mengganggunya. Akhirnya Harvey hanya melewati rumahnya dan memutuskan untuk kembali ke rumah Lillian. Dia ingin memastikan Lillian baik - baik saja.
Di depan rumah Lillian, Harvey memperhatikan baik - baik mobil baru yang penampilannya sama sekali tidak baru. Ada cat yang terkelupas di dekat pintu, lalu spionnya juga sedikit retak. Modelnya pun tidak seperti selera Ernest yang sudah - sudah. Yang mengherankan adalah seri mobilnya masih seri keluaran lama.
Kening Harvey berkerut. Meski pun suka berfoya - foya, adiknya tidak akan sebodoh itu membeli mobil yang kondisi fisiknya yang sudah jelek seperti ini. Benar - benar tidak sesuai dengan uang yang dikeluarkan.
Harvey menimbang - nimbang antara masuk atau tidak. Dia ingin memastikan kalau Ernest benar - benar membayar cicilan kartu kredit Lillian. Apalagi uang sebanyak itu dipakai untuk membeli barang rongsok seperti ini. Tidak. Harvey tidak akan membiarkan Lillian membayar cicilannya.
Tapi, Lillian tidak ingin dirinya ikut campur urusannya dengan Ernest. Harvey benar - benar dilema. Dia menengok ke pintu rumah yang sedikit terbuka. Perasaannya bergemuruh saat mengingat ada Ernest di dalam sana. Terus terang, selama ini dirinya justru senang karena Ernest menghilang.
Tapi, tunggu!
Bagaimana caranya Ernest masuk ke rumah? Tingkah adiknya itu seperti seorang raja, selalu minta dilayani. Dia tidak pernah mau repot - repot membawa kunci rumah dan Lillian yang selama ini membuka dan menutup pintu untuknya.
Seperti orang baru bangun tidur, mendadak saja mata Harvey seperti terang benderang. "Jangan - jangan.... Ini bukan Ernest!" gumamnya sambil membuka pagar.
Harvey terkejut mendapati kondisi pintu pagar yang tidak terkunci, tanpa gembok disana lalu ada sedikit bengkok karena paksaan. Perasaannya semakin menguat kalau ada yang tidak beres disini. Tanpa membuang waktu, dia bergegas masuk ke dalam rumah.
Harvey tercengang melihat tiga laki - laki tak dikenal ada di ruang tengah sedang berhadapan dengan seorang wanita bertubuh mungil. Salah satu laki - laki itu berdiri begitu dekat dengan Lillian. Tapi Lillian dengan berani menatap pria itu dengan posisi kepala sedikit mendongak keatas. "Jika kalian berani menyentuhku sedikit saja, maka aku akan bunuh diri. Aku pastikan kalian tidak akan mendapat bayaran sepeser pun. Tentu Boss kalian lebih suka kalian mendapat pelunasan hutang bukan?" serunya.
Diam - diam Harvey kagum pada keberanian Lillian. Tapi seorang wanita menghadapi tiga orang laki yang tubuhnya jauh lebih besar darinya adalah hal yang konyol. Jiwa ksatria meronta dari dalam diri, Harvey melangkah lebar - lebar, masuk ke arena perdebatan. Dia menarik tubuh Lillian ke belakang tubuhnya. Sekarang posisi Harvey ada diantara penagih hutang dan Lillian. "Ada apa ribut - ribut disini? Apa masalahnya? Bisakah diselesaikan baik - baik?" tanyanya dengan tegas.
"Ini urusan kami dan wanita itu, Sir. Anda tidak usah ikut campur." sergah penagih hutang itu.
"Ini rumahku. Dan segala kerusakan yang kalian buat disini akan menjadi urusanku." tambah Harvey lagi. Matanya menatap lekat laki - laki bertubuh kekar di hadapannya. Iya. Rumah ini memang milik Harvey. Ernest terlalu sering berfoya - foya hingga tidak pernah berhasil mengumpulkan uang untuk membeli sebuah rumah. Demi Lillian hidup dengan layak, Harvey meminjamkan rumahnya secara cuma - cuma untuk waktu yang tidak terbatas.
"Beri aku waktu. Aku akan mendapat gaji pada tanggal satu dan aku akan membayarkan semua uangku pada kalian pada malam harinya. Pergilah!" sela Lillian dari belakang tubuh kekar Harvey. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya supaya para penagih itu tahu kesungguhannya.
Penagih hutang itu menatap Lillian lalu mengalihkan pandangan ke Harvey. Dia mundur satu langkah, kini bertukar pandang dengan kedua temannya yang dari tadi hanya diam saja. Mereka yang awalnya memasang ekspresi meremehkan, kini berubah serius. Mereka menimbang - nimbang langkah selanjutnya.
"Tanggal satu malam kami akan kembali. Dan jangan coba - coba melarikan diri. Kami bisa mencari kemana pun kamu pergi." ancam pria itu dengan tatapan membunuh.
Begitu terdengar bunyi mobil menjauh, Lillian membiarkan tubuhnya luruh dan terduduk di lantai. Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Setelah beberapa saat merasa tegang, akhirnya dia bisa bernapas lega.
"Kamu baik - baik saja?" tanya Harvey yang sudah kembali dari dapur dengan membawa segelas air. Dia memberikannya pada Lillian. "Katakan padaku yang sebenarnya. Ada apa? Aku tidak berani bertindak sebelum tahu duduk perkaranya dengan jelas."
Lillian meminum air hingga habis dan mencoba berdiri. Harvey segera membantunya. "Thanks, Har. Aku baik - baik saja sekarang. Lega rasanya kamu ada disini bersamaku." jujurnya.
Harvey memandang prihatin kepada Lillian. Dari percakapan yang sepotong tadi, dia menyimpulkan kalai Ernest lagi - lagi membuat masalah. "Kamu tahu kalau kamu selalu bisa mengandalkan aku kan?"
"Bisa tidak kalau kita bicarakan itu nanti?" mohon Lillian. Dia tahu hanya dengan membuka mulut dan bercerita segalanya pada Harvey, maka angka satu milyar tidak akan menjadi masalah baginya. Laki - laki itu pasti punya solusi untuknya.
Ah, tapi tidak. Lillian menepis pikiran itu jauh - jauh. Berkali - kali dirinya protes dan meminta Harvey tidak ikut campur masalahnya dengan Ernest, tapi berkali - kali pula laki - laki itulah yang selalu menolongnya bahkan sebelum dirinya meminta. Lillian berhutang banyak pada Harvey.
"Baiklah." Harvey mengalah. Dia merentangkan tangannya lebar - lebar. "Biarkan aku menenangkanmu lebih dulu." ucapnya sambil tersenyum.
Hati Lillian meleleh. Dia menghambur ke pelukan Harvey, tempat ternyaman yang dia miliki saat ini. Wanita itu bisa merasakan usapan demi usapan di punggungnya, memberikan rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata - kata.
Setelah merasa cukup, Harvey mengurai pelukannya. Dia pergi ke dapur dan kembali dengan membawa kantong plastik dan vacuum cleaner untuk membersihkan serpihan gelas yang pecah. Sementara Harvey membersihkan ruang tengah, Lillian masuk ke dalam kamar dan mulai menyusun baju - bajunya, menatanya di dalam lemari. Harvey mengambil penyedot debu dan membersihkan pecahan kaca dan kotoran lain yang ada di lantai.
Pagar dan pintu juga diperbaiki oleh Harvey dengan memasang gerendel baru supaya bisa dikunci. Meski begitu, Lillian tetap khawatir.
"Sepertinya gembok tidak terlalu menolong." keluh Lillian.
"Maksudmu?"
"Buktinya, tadi mereka berhasil masuk ke rumah. Meskipun kita sudah memasang gerendel sebelum berangkat kerja."
"Jangan khawatir, Lili. Mulai detik ini aku tidak akan meninggalkanmu sendiri di rumah. Aku akan menemanimu."
"Maksudmu kamu akan menginap lagi?""Yup. Aku akan tidur denganmu.""Ha?"Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per