"Temani aku tidur seperti dulu setiap kali aku merasa sedih." rengek Lillian. "Oh, Lili. Jangan menggodaku atau kamu akan menyesal." bisik Harvey dengan suara serak. Ketegasannya tiba - tiba saja menguap entah kemana. Permintaan Lillian untuk tidur bersama membuat pikirannya tak waras. Harvey tidak minum tapi dia mabuk oleh pesona Lilian, adik ipar sekaligus wanita yang selalu dijaganya sejak kecil. Kondisi Lillian yang mabuk justru membuatnya terlihat semakin cantik. Mata yang sayu dan bibir mungil yang sedikit terbuka menantang Harvey untuk menyentuhnya. Belum berhasil mengumpulkan kewarasan, Lillian malah melingkarkan tangannya ke bahu Harvey, memaksa laki - laki itu mendekat. Detik berikutnya Lillian langsung menyambar bibir Harvey....
Lihat lebih banyakSemalam Lillian menunggu suaminya pulang, tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Jangankan datang, memberi kabar pun tidak. Ponsel laki - laki itu tidak aktif. Seharian Lillian memeriksa aplikasi percakapan antara dirinya dan Ernest, tapi tidak ada tanda - tanda suaminya berusaha menghubungi. Halaman percakapan pribadinya kosong, dan di daftar panggilan tak terjawab juga tidak tertera nama Ernest.
Mengingat semua itu, Lillian jadi tidak selera menyelesaikan pesanan design yang sedang dikerjakannya. Mendadak saja dia jadi lesu. Pekerjaan design favorite-nya, kini tidak lagi menarik.
Lillian duduk di lantai dan memandang layar laptop dengan tatapan kosong. Ini bukan pertama kalinya kelakuan Ernest seperti ini. Kian hari kian menjadi. Dia sering hilang dan muncul sesuka hati, bahkan hingga berhari - hari menghilang tanpa kabar.
Mencoba menenangkan diri, Lillian berdiri lalu mengambil botol anggur koleksi Ernest dari lemari kaca. Dia menuangnya ke gelas kaca dan meminumnya dalam sekali teguk.
Ting!
Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Lillian dengan antusias segera menyambar benda pipih itu dan membaca.
"Hai, sudah tidur?"
Bahunya luruh. Bukan Ernest. "Belum." Dia menjawab pesan seadanya.
"Jam segini?"
"Yes."
"Sudah makan malam?"
Lillian termenung. Andai saja yang menanyakan ini adalah Ernest, tentu hatinya akan melayang. Deringan nada panggil ponsel mengagetkan lamunannya. Harvey!
Sebelum Lillian sempat menyapa, suara Harvey sudah terdengar dari seberang sana. "Aku di depan."
"Hah? Tunggu."
Secara otomatis Lillian berlari ke pintu dan membukanya. Dia melihat Harvey ada di depan pintu sambil tersenyum padanya. "Hai," sapanya sambil mengangkat kantong - kantong makanan di tangannya lalu menggoyangkannya di depan Lillian. "Aku tak sanggup menghabiskan semua ini. Bantu aku menghabiskannya."
Lillian menggelengkan kepala. "Kalau tak sanggup menghabiskan, kenapa membeli sebanyak itu?"
Harvey tak menjawab. Dia berjalan masuk menuju ke bar dapur rumah adik iparnya, lalu meletakkan barang - barang bawaannya ke atas meja. Makanan demi makanan dikeluarkan satu per satu dari kotak dan dipindahkan ke piring saji.
Lillian menatap ke arah Harvey yang ternyata juga menoleh kepadanya. "Aku tahu kamu belum makan malam. Ayo, makan!" perintahnya.
Masih sambil menatap Harvey, Lillian melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa kamu sedang ada masalah, Harvey?"
Ini bukan pertama kalinya mereka makan bersama tanpa Ernest. Lelaki ini tinggal di perumahan yang sama dengan Lillian, hanya selisih beberapa nomer. Jika laki - laki itu memiliki masalah atau sebaliknya Lillian sedang banyak pikiran, maka keduanya akan saling bertamu, makan, minum atau sekedar ngobrol.
Hubungan mereka sangat unik. Keluarga mereka punya hubungan yang sangat dekat, demikian pula dengan Harvey, Lillian dan Ernest. Namun Harvey lebih serius menata masa depan dibanding dengan Ernest. Hari - hari Harvey yang sibuk, membuka kesempatan bagi Ernest untuk mengambil hati Lillian lalu melamarnya.
Harvey mengangkat bahunya. "Bukannya kamu yang sedang ada masalah, Lily?"
"Aku? Tidak!" bantah Lillian, berusaha menutupi fakta kalau dirinya sedang gelisah karena Ernest menghilang tanpa kabar.
Harvey bersedekap, meniru gaya Lillian. "Lalu kenapa ada wine disitu?" Matanya melirik meja kecil di dekat lemari kaca.
"Terserah kamu saja." Lillian menjawab dengan tak acuh. Sebenarnya, dia ingin bercerita tentang perubahan Ernest. Tapi Lillian tahu kalau kakak iparnya itu selalu berada di pihaknya. Salah - salah Ernest bisa habis dihajar oleh Harvey.
Di sisi lain, Lillian juga tahu kalau dia butuh teman untuk minum bersama dan menghilangkan pikiran negatif yang muncul tentang Ernest. Dan dari dulu hingga saat ini, Harvey masih tetap pilihan yang terbaik. Laki - laki yang berusia enam tahun di atasnya itu selalu berhasil membuat perasaannya lebih baik.
"Buka mulutmu!" perintah Harvey kembali terdengar. Sepotong dark cokelat sudah berada tepat di depan mulut Lillian.
"Aku bisa --... hmpf...." Lillian merasakan sesuatu yang padat dijejalkan ke dalam mulutnya saat hendak memprotes Harvey kalau dirinya bukan anak kecil lagi, tidak perlu disuapi.
"Makan!" perintah Harvey tak bisa dibantah.
Lillian melotot. Tapi tak urung, mulutnya mengunyah, rasa pahit cokelat bercampur manisnya wine yang ada di tengah cokelat merupakan kombinasi yang memanjakan lidah, membuat perasaannya terasa lebih baik.
"Belajarlah dari pengalaman. Pilih laki - laki yang bisa memberimu segalanya. Jangan menikah hanya karena cinta. Itu hanya perasaan sesaat." ucap Harvey memecahkan keheningan.
Lillian menghentikan kunyahannya, membiarkan cokelat meleleh dengan sendirinya di mulut. Dia menatap Harvey dengan sorot yang tak terbaca.
"Cari tahu apa yang dilakukan oleh suamimu diluar sana. Pastikan dirimu selalu baik - baik saja." lanjut Harvey lagi.
"Aku tidak pernah mendengar gosip atau berita tidak benar tentang Ernest diluar sana." tolak Lillian dengan nada tak yakin.
Harvey meletakkan pasta dan daging merah ke atas sebuah piring lalu menyodorkannya pada Lillian. "Kamu tahu kalau dia dari dulu hanyalah seorang pengacau. Sayangnya, para wanita selalu tergila - gila pada wajah tampan dan sikapnya yang ramah."
Kenyataan yang diucapkan oleh Harvey membuat Lillian kesal. Dia marah. Andai saja waktu bisa diputar kembali, tentu dia ingin mengulang semuanya. Keluarganya dan juga Harvey sudah melarang dirinya menerima lamaran Ernest. Ya, Harvey benar. Dia menikah hanya karena terlalu cinta pada Ernest.
Malu bercampur marah, Lillian menghabiskan semua makanan yang disodorkan oleh Harvey sebagai pelampiasan. Sialnya, makanan enak dan cokelat tak berhasil membuat Lillian tenang. Masih dalam mode uring - uringan, dia mendorong piring kosongnya dan mengangkat kedua tangannya. "Sepertinya kamu berhasil menakutiku, Harvey."
"Aku hanya berkata jujur, Lili. Berbohong bukan kebiasaanku. Aku mengatakan ini karena aku mengenal siapa adikku dan aku tidak ingin kamu terpuruk suatu hari nanti."
Lillian tidak bisa menahan kekesalannya. Sungguh, dia butuh teman. Tapi tampaknya kali ini Harvey tidak berniat membuatnya lebih baik. Pikiran buruk kembali menyerangnya, Lillian frustasi dan berjalan menuju ke meja kaca tempat dimana wine-nya berada.
"Aku butuh minum," serunya sembari menuangkan minuman dan menenggaknya hingga tandas.
"Wow! Wow! Kamu benar - benar ada masalah rupanya," ujar Harvey dengan wajah serius. Meski sebenarnya dia tahu kalau mobil Ernest tidak ada di rumah berhari - hari. Itulah alasan sebenarnya kenapa dirinya mampir, untuk menghibur adik ipar kesayangannya. Tapi mulut lancang ini sedang tidak ingin berkata manis soal Ernest.
"Aku rasa kamu benar, Har. Ernest sudah tidak mencintaiku lagi."
"Ernest tidak pernah mencintai siapa pun. Yang dia cintai hanya dirinya sendiri," sahut Harvey kemudian. Dia benar - benar marah setiap kali membahas kelakuan Ernest yang seringkali menyakiti Lillian, wanita yang sudah dijaganya sejak kecil.
Lillian duduk di kursi dan kembali meminum minumannya. Hatinya terasa sakit. Tidak ada satu orang pun yang terlalu sibuk hanya untuk sekedar memberi kabar, kecuali dirimu bukan prioritasnya lagi. Pemikiran seperti itulah yang membuat Lillian kian sedih.
"Aku mengerti perasaanmu." Harvey ikut duduk di kursi, memutar kursi Lillian hingga menghadap kepadanya. "Sekarang katakan padaku. Apa yang kamu ingin aku lakukan terhadap laki - laki sialan itu?" tanyanya untuk memastikan. Lillian selalu marah padanya setiap kali dia menghajar Ernest.
"Aku tidak tahu."
"Sayang, masalah kalian tidak akan selesai kalau kamu sendiri tak tahu apa yang kamu inginkan."
"Masalahnya, aku tidak siap menghadapi kenyataan saat menemukan bukti. Aku harus bagaimana? Menceraikan Ernest?"
"Kan aku sudah pernah bilang kalau aku akan selalu ada untukmu," ucap Harvey dengan nada lebih lembut.
Lillian memutar bola matanya, lalu dia meneguk anggurnya lagi dan lagi.
Harvey mengamati teman kecilnya itu lekat - lekat. Dia tampak kacau, tapi tetap saja tak mengurangi daya tariknya. Bagi Harvey, Lillian adalah wanita tercantik yang pernah dia lihat. Bahkan mantan istrinya yang fashionable dan pintar berdandan pun tidak bisa mengalahkan. Sial, dirinya tidak minum tapi malah mabuk oleh pesona Lillian.
"Kamu tahu, Har? Setidaknya dalam rumah tangga, dirimu lebih beruntung dariku," celoteh Lillian, mulai meracau.
Harvey tertawa ironi. "Istriku pergi dengan pria lain. Kamu bilang aku lebih beruntung?"
"Setidaknya kamu bebas bersama wanita mana pun tanpa rasa bersalah."
"Semua itu adalah keputusan, Lili. Kamu juga berhak bahagia kalau lelakimu terbukti berkhianat."
Kalimat terakhir Harvey terasa sangat menyakitkan, Lillian mengambil botol kedua dan meminumnya tanpa jeda. Harvey menahan tangan Lillian saat hendak menuangkannya sekali lagi. "Hey! Hey! Sudah cukup."
"Aku benar - benar butuh minum, Harvey."
"Kamu butuh tidur, Sayang." ucap Harvey lembut tapi tegas. Dia menggendong tubuh wanita itu dan membawanya ke tempat tidur. "Wajahmu merah karena mabuk," gumamnya sambil mengedarkan pandangan untuk mencari remote AC.
Tapi saat Harvey hendak berdiri, Lillian menarik tangannya kuat - kuat hingga kakak iparnya itu jatuh di atas tubuhnya. "Temani aku tidur seperti dulu setiap kali aku merasa sedih."
Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen