Piona naik keatas panggung untuk menerima Penghargaan. Berjajar rapi dengan semua peserta wisuda dan berfoto bersama. Wajahnya terlihat begitu bahagia dan sangat puas ketika penghargaan sudah berada ditangannya. Edwin yang melihat langsung mengabadikan momen itu dengan hanphonenya. Ketika Edwin ingin memotret seperti ada cahaya laser menuju ke dada Piona. Edwin curiga lalu melihat kearah laser itu berasal. Tiba-tiba Edwin berlari menuju ke atas Panggung,
'Aku tidak boleh kehilangan kalian berdua.' kata Edwin dalam hatinya.
"DDAAAAAAAAARRRR!!" suara tembakan tak terelakkan.
Semua orang riuh untuk segera bubar dari tempat itu. Banyak orang berlarian kesana kemari. Dina dan Gandi berteriak mencari bantuan. Semua yang berada diruangan itu panik. Tante Marta tiba-tiba pingsan, mama Piona menangis hiteris melihat kejadian itu.
Piona meneteskan air matanya, melihat Edwin bersimpuh di tubuhnya. Punggung kana
Melihat seorang kakek di sebuah panti jompo bersama seorang suster bermain dengan kedua anak kembar satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka masih kecil tapi begitu cantik dan begitu tampan. Mereka suka sekali memakan buah pisang."Suster, mereka membuatku ingin hidup seribu tahun lagi." kakek itu berkata sambil bermain dengan anak- anak yang sudah dianggapnya sebagai cucunya sendiri."Aku suka kakek sekarang sudah lebih ceria." kata Suster itu sambil memperhatikan kakek menyuapi pisang untuk kedua anak itu."Kapan wanita yang ada di dalam itu terbangun dari tidurnya? Bukankah ini sudah terlalu lama suster, sudah setahun dia berbaring di sana." jelas kakek itu."Wanita itu akan segera sadar kek, menurut dokter kondisinya semakin membaik."kata suster itu.Di Kantor PolisiEdwin sampai di kantor kepolisian untuk menemui Gandi. Mereka menunjukkan rekaman CCTV y
Satu Jam kemudian Piona bangun dari tidurnya. Dia terkejut ketika ada seorang pria memandangnya sedari tadi."Sayang, kamu sudah bangun?" Edwin meneteskan air matanya lalu mengusapnya lagi. Edwin membelai rambut istrinya itu.Piona terpaku masih berfikir dan mengingat'Siapa orang ini?"Tiba-tiba ingatannya kembali melihat kenangan bersama Edwin tapi tetap wajahnya tidak jelas.Piona memegang kepalanya dan menyingkirkan tangan itu. Sakit kepala itu kambuh lagi."Suster!! Kepalaku sakit!!" Piona terus mengerang kesakitan.Suster segera datang ke kamar Piona dan memberikan obat di infusnya lagi. Edwin terkejut ketika istrinya itu menyingkirkan tangannya seperti orang lain. Tapi Edwin mencoba tidak menggubris dan kembali membelai rambutnya."Siapa kamu?" Piona yang sudah dalam posisi duduk ketakutan dan terus mundur.
Dina dan Gandi bermain bersama Wibi dan Wiska di taman depan rumah mereka, Gandi mengayun-ayunkan Wibi dan Dina menggendong Wiska untuk melihat ikan di kolam dekat taman. Gandi menggendong Wibi lalu mendekati Dina.“Kamu nggak mau, punya anak seperti mereka?” tanya Gandi.“Siapa yang bakal nolak punya anak selucu ini?” Dina tersenyum melirik Gandi di sebelahnya seraya memberikan kode.Aku tahu kamu mikir apa, Gan? Pikir Dina yang mencoba serius menatap Wiska yang tersenyum melihatny sejak tadi.“Ya, udah. Nikahnya dipercepat, gimana sayang?” Gandi terlihat bahagia sambil memainkan tangan Wibi untuk mencolek hidung Wiska.Dina menoleh ke arah Gandi, “Mau nggak ya?” Dina mencoba menggoda Gandi.“Ih, pake mikir segala sih. Tinggal bilang iya aja kok susah!” Gandi terlihat geram dan sangat tidak sabar.“Iya, iya deh. Yuk Nikah! Segitu ngebetnya pingin nikah sama aku?” Dina menyenggol lengan Gandi dengan lengannya.“Emang k
Pernikahan itu selesai, lelah dirasakan sepasang pengantin baru yang duduk di sofa masih di Gedung Serbaguna itu. Tamu undangan satu persatu sudah pulang, tinggal mereka berdua, kru acara dan sahabat mereka yaitu Edwin dan Piona.“Capek, ya?” tanya Piona yang mengambilkan minum untuk Dina dan Gandi.“Iya, capek banget. Makasih ya, beb.” Tanpa menunggu Dina langsung meneguk minuman itu sampai habis.“Makasih Piona, ternyata perjuangan ya buat nikah aja. Belum juga malam pertama kok engos-engosan gini, yah?” Gandi ikut meneguk minuman itu sampai habis.“Lihat!Baru kaya gini aja udah ngeluh, apalagi entar udah punya anak. Masih mau ngeluh juga?”Edwin yang menidurkan Wibi dipelukannya mulai berkomentar melihat Gandi.Setelah keduanya menghabiskan minuman di gelas itu, bersamaan langsung memberikannya kepada Piona.“Enggak deh Win, nggak jadi ngeluh deh. “ ucap Gandi yang masih merebahkan tubuhnya di sofa.Edwin mengambil sebuah voucher di
Perasaan tidak menentu mulai menyelimuti pikiran Edwin, bagaimana tidak, seorang yang ada di telepon adalah saudara kembarnya. Banyak hal yang belum diceritakan ke Piona, walaupun papa Edwin sudah tahu semuanya, karena perasaan orang tua tidak bisa di bohongi. Mereka tahu perbedaan antara Edwin dan saudara kembarnya itu. Secepat kilat Edwin melajukan mobilnya untuk sampai di perusahaan, setelah membuka pintu ruangan kantornya. Dia mendudukkan dirinya di sofa yang ada di ruangannya itu, dia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk menelpon saudara kembarnya itu. “Kring, Kring, Kring.” Suara handphone berdering, saudara kembar Edwin sudah otomatis menerima panggilan dari Edwin yang merupakan adik kembarnya itu. “Lama sekali kamu menjawab pesanku?” suara yang tidak asing menyapa di telinga Edwin. “Aku harus menjauh dari istriku dulu, baru aku bisa menghubungimu.” Jawab Edwin sambil membetulkan posisi duduknya. “Salah sendiri ka
Edwin dan Piona sama-sama masuk ke dalam kamar Wibi dan Wiska, mereka menangis sudah bersiap dengan tangan menengadah untuk minta di gendong.“Mama, hiks”“Papa, hiks”Piona dan Edwin tersenyum melihat anak mereka yang begitu manja,“Anak mama udah bangun, sini sayangku!” Piona berhasil menggendong Wiska.“Sini sama papa, Wibi ganteng , haus ya?” Edwin berhasil menggendong Wibi.Piona dengan cekatan membuatkan susu di dekat box mereka sembari menggendong Wiska, setelah di gendong anak kembar itu berhenti menangis, menunggu susu di dalam botol yang di buatkan oleh Piona jadi.“Dua botol sudah jadi,” Piona mengumumkan membuat anak mereka sudah siap untuk berbaring di pangkuan papa dan mamanya.Piona menyerahkan satu botol kepada Edwin, lalu dia mengambil sebotol lagi untuk di berikan kepada Wiska.Dikamar itu mereka menunggu susu yang di berikan habis di minum anak kembar mereka.“Sayang, anak kita semakin lahap saa
Nafas yang terus memburu membuat Dina dan Gandi sedikit terengah-engah sejenak mengambil nafas, menarik ciuman itu sebentar sambil saling memandang dengan begitu intens, Gandi membetulkan sehelai rambut Dina yang menutupi wajahnya, lalu menyingkirkan rambutnya ke belakang telinganya, “Bolehkah aku melakukannya sekarang?” Gandi masih memandang istrinya itu dengan intens. Dina mengangguk pelan sambil memandang suaminya yang benar-benar membuatnya terbuai saat itu juga, Gandi menyentuh bibir itu lagi. Memagutnya pelan membuat Dina menggeliat, suara desahan mulai nyaring terdengar, ketika dengan liar Gandi membuka kancing baju atas Dina dan memainkan jarinya disana. Gandi melepaskan kaosnya, kembali membuai istrinya itu dengan sentuhan yang beralih ke lehernya, Dina tak kuasa menahan desahan yang membuatnya sedikit meronta, Gandi mulai menelusuri tubuh Dina hingga ke area yang paling sensitif, perlahan segalanya terlepas dari tubuh mereka masing-masing, Gandi menar
“Nggak dong, sayang. Lagian ini sudah jam pulang kantor, biarkan saja!Yuk, aku kangen kedua anak kita,” Piona langsung menggeret lengan Edwin untuk pergi meninggalkan perusahaan saat itu juga. Edwin langsung berjalan bersama dengan istrinya itu,”Kamu memang istriku yang sangat hebat, sayang. Kamu mulai bisa seperti mama,” komentar Edwin yang membukakan pintu mobil untuknya. Piona masuk ke mobil dan disusul Edwin yang bersiap menyetir mobilnya, “Aku harus menjalankan amanat mama dengan baik, dia sudah mempercayakan perusahaan ini padaku, aku nggak mungkin kan akan menelantarkannya dan membuat perusahaan ini menurun?” “Aku terlalu bangga sama istriku yang satu ini, pinter ngurus rumah, ngurus anak, ngurus perusahaan, kamu memang nggak ada duanya sayang. Eh tadi kamu bilang kangen kedua anak kita, la kamu nggak kangen aku?” Puji Edwin membuat pipi Piona sedikit memerah dan sedikit ingin tertawa karena suaminya itu. “Jangan berlebihan!Nanti aku ngga