Mobil sang calon mantan suami sudah terparkir di garasi, sehingga Nayara langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, berharap tidak diusir lagi.
“Mas Andika?” Nayara pergi ke dapur, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Dia lantas menaiki tangga menuju kamar yang menjadi saksi bisu atas kesalahan besar yang tidak pernah dilakukannya.Begitu tiba, Nayara lihat kamar itu terbuka lebar dan terdengar suara-suara cekikikan yang membuat bulu kuduknya berdiri semua.“Nakal ih kamu ....”“... makanya jangan genit kamu ....”“Genit-genit begini, tapi kamu suka kan Yang?”“Iya, Yang ... Nambah lagi boleh?”Nayara mengerutkan kening, obrolan menjijikkan macam apa itu?Didesak oleh rasa ingin tahu yang tinggi, Nayara menerobos masuk ke dalam kamar utama dan matanya terbelalak sempurna.Jantung Nayara terasa seperti diiris-iris sebilah belati ketika dia menyaksikan dua insan berbeda jenis itu sedang saling membelit penuh gelora di hadapannya.“Andika!” teriak Nayara dengan suara yang memekakkan telinga. “Jadi begini kelakuan kamu yang sebenarnya?”Wanita yang berada di bawah impitan tubuh Andika tersentak dan tangannya memukul-mukul bahu lelaki itu.“Ada penyusup, Yang!”Andika menoleh dan mengerutkan keningnya saat melihat keberadaan Nayara di dalam kamar.“Cih, ngganggu saja. Mau ngapain lagi kamu datang ke sini?”Nayara tidak menyangka jika respons Andika akan sesantai itu, pada awalnya dia pikir suami yang telah menceraikannya itu akan gugup, ketakutan atau bahkan malu karena Nayara telah melihat kelakuan mesumnya dengan sangat jelas.Namun, ternyata dia salah besar.“Tadinya aku datang ke sini untuk meluruskan apa yang terjadi antara aku sama Elkan, tapi ... ternyata justru kamu yang ada main sama perempuan gatal ini!”“Hei, siapa yang gatal?” sentak wanita yang menjadi rekan berbuat mesum dengan Andika tadi.“Kamu lah, belum nikah kok mau-maunya disentuh. Terlalu murah, tahu nggak?”Wajah wanita itu merah padam.“Apa urusannya sama kamu?” hardik Andika. “Ingat ya Nay, kamu itu sudah aku ceraikan! Sadar diri makanya, masuk main nyelonong saja. Ini sudah bukan rumah kamu lagi, aku sudah usir kamu semalam! Lupa?”Wanita itu terkikik. “Aduh, sudah jadi mantan istri ternyata?”Nayara diam saja.“Kamu tuh yang nggak punya malu, datang ke sini pasti mau ngemis cinta Andika lagi ya? Haduh, kayak nggak punya harga diri lagi ....”“Tutup mulut kamu ya, situ nggak ngaca?” tukas Nayara dengan kedua bahu naik turun.“Kamu yang seharusnya tutup mulut! Lika benar, kamu nggak ada harga dirinya sama sekali. Aku kan sudah bilang kalau kamu bukan istriku lagi, apa masih kurang jelas?”“Tapi secara hukum, kita masih suami istri!”“Itu kan maunya kamu, Andika sudah membuang kamu tuh!” Lika mencemooh dari balik selimut yang menutupi tubuhnya yang berpakaian minim.Nayara menelan saliva dengan gusar, matanya memanas, tapi dia tidak ingin air matanya luruh demi lelaki seperti Andika.“Baru semalam kamu marah besar karena aku nggak sengaja berada sekamar sama Elkan, itu pun kami nggak ngapa-ngapain ... Lihat apa yang kamu lakukan sama perempuan gatal ini, jauh lebih buruk tahu nggak!”Andika berdecak, sementara Lika asyik menonton pertunjukan gratis itu.“Aku berhubungan sama Lika setelah aku menceraikan kamu, jadi perbuatanku nggak bisa kamu anggap sebagai pengkhianatan. Beda sama kamu yang berhubungan sama Elkan di saat kita masih suami istri, paham kamu?”“Aku sama Elkan nggak melakukan apa-apa!” bantah Nayara untuk kesekian kalinya. “Aku cuma masuk ke kamar kita di waktu yang salah, cuma itu ....”“Cukup ya, aku bilang kita pisah ya pisah! Kamu ngerti bahasa manusia nggak sih? Begini nih kalau asal mungut perempuan yang pendidikannya rendah kayak kamu, suka telat mikir!”Lika terkikik saat menyaksikan Andika bicara buruk dengan menoyor keningnya menggunakan ujung jari.Namun, setelah itu ....Plak!Tangan Nayara balas menampar wajah menyebalkan Andika hingga lelaki itu mengumpat kesakitan.“Berengsek ya kamu!” Andika menarik lengan Nayara dan menyeretnya keluar kamar.“Dadah, mantan menyedihkan!” Lika bersorak penuh kemenangan.“Istri nggak tahu diuntung! Jangan pernah datang lagi ke rumah ini ....”“Tapi sebagian barang-barang aku masih di sana!”“Nanti aku paketkan, sambil mengurus berkas perceraian kita!”Andika mengempaskan Nayara begitu saja ke jalan, Kalisa yang melihatnya langsung keluar dari taksi dan mendatangi mereka.“Kok kasar banget sih kamu?”“Ajarin tuh teman kamu, masuk rumah nggak pakai permisi!”Andika yang hanya mengenakan celana pendek saja, tiba-tiba meludah di depan kaki Nayara.“Ingat omonganku baik-baik, aku haramkan kamu untuk datang lagi ke rumah aku! Awas kalau kamu memperlihatkan muka kamu lagi selain di sidang cerai nanti!”“Orang gila!” umpat Nayara dengan dada bergemuruh hebat. “Aku akan bikin kamu nyesal, Dika! Andika berengsek ....”Kalisa mengusap-usap punggung Nayara yang tergugu di jalan, lalu membujuknya untuk masuk ke dalam taksi.“Suami kamu sudah nggak waras,” gumam Kalisa sambil bergidik. “Sabar ya, Nay?”“Dia yang nuduh aku nggak setia lah, selingkuh lah, pengkhianat ... Sedangkan tadi aku lihat sendiri dia mesra-mesraan sama simpanannya!”Kalisa mengangguk sambil terus menenangkan Nayara. “Kita ke apartemen aku saja.”Nayara tidak menjawab, dia merasa kecewa untuk yang kedua kalinya.Niat hati menuruti nasehat ibu untuk menyelamatkan rumah tangganya dari perpisahan, tapi yang dia lihat justru Andika sudah secepat itu mencari wanita lain untuk menggantikan kedudukannya.***Setelah dua hari cuti kerja, Nayara memutuskan untuk kembali beraktivitas seperti biasa. Itu juga karena ayah tirinya selalu berkomentar miring terkait keberadaannya di rumah sang istri.“Sudah mau dicerai, sebentar lagi jadi janda ... Eh, kerja malas-malasan pula.”Meski baru beberapa hari tinggal menumpang, telinga Nayara seakan sudah kebal dengan ocehan ayah tirinya yang tidak bermanfaat itu.“Ibu kamu sudah tua lho, kamu nggak kepikiran untuk cari uang buat masa tuanya nanti?”Nayara sibuk mengunyah roti selai dan tidak menjawab.“Aku belum setua itu, Mas!” Ibu yang protes. “Nayara anakku, sudah sering aku bilang kan? Jadi biar aku yang urus. Kamu juga cepat berangkat sana, ada aku yang harus kamu nafkahi.”Ayah tiri Nayara bersungut-sungut tidak terima, meski begitu dia tetap menuruti perintah istrinya juga.“Terima kasih sudah mau bela aku, Bu.”“Sudah sewajarnya kan? Ibu sangat berat mengatakan ini sama kamu ....”“Soal apa, Bu?”“Ibu nggak tega kamu jadi janda di usia muda, tapi kalau dengar cerita Kalisa tentang bagaimana Andika memperlakukan kamu bahkan sampai meludah, ibu jauh lebih rela kamu jadi janda daripada harus jadi istri laki-laki kasar itu.”Nayara tersenyum haru, lagi-lagi matanya memanas. Ah, dia memang mudah sensitif akhir-akhir ini.“Sejak kapan perangai Andika seperti itu sama kamu, Nay?”Bersambung—“Sejak kapan perangai Andika seperti itu sama kamu, Nay?” “Sejak kedatangan kakak sepupunya itu, Bu.” “Sepupu yang mana?” “Nggak tahu juga, katanya sepupu jauh yang aku bahkan nggak pernah lihat dia sebelum ini.” “Kok aneh ....” “Biar saja, Bu. Aku muak sama perlakuan Andika kemarin, apalagi saat aku lihat dia sedang mesra-mesraan sama perempuan lain di kamar yang dulu kami pakai ... Rasanya jijik banget, Bu.” “Ya sudah, bercerai saja. Laki-laki kalau suka main tangan sama perempuan, susah sembuhnya.” Nayara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Untung aku belum punya anak, pokoknya Ibu jangan pernah percaya kalau Andika atau keluarganya bilang aku selingkuh, itu fitnah kejam.” “Tentu saja Ibu nggak percaya, ibu yang lebih tahu kamu seperti apa. Sudah sana berangkat, keburu siang.” Nayara mengangguk, dia harus kembali bekerja dan tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Apalagi menangisi Andika yang telah melukai hati dan harga dirinya, Nayara tidak sudi. Ketika taksi yang ditu
Mati aku, batin Nayara. Jadi mulai sekarang Elkan adalah atasanku? Kesialan macam apa lagi ini? Degup jantung Nayara menjadi tidak terkendali, selama Elkan mengucapkan sepatah dua patah kata di hadapan para pegawai yang sebentar lagi akan dia pimpin. Telinga Nayara mendadak tuli, dia hanya menundukkan kepala dalam-dalam, berharap supaya Elkan tidak bisa melihat keberadaannya. ‘Apa aku minta pindah cabang saja ya?’ pikir Nayara dalam hati. Cabang yang ditempati Andika juga tidak masalah, toh sebentar lagi mereka akan bercerai. Dia lebih memilih satu kantor bersama calon mantan suami daripada jadi bawahan Elkan. Pria yang pernah dia maki-maki sesuka hati sebagai pelampiasan amarahnya karena keputusan sepihak Andika yang ingin bercerai. ‘Minta pindah saja deh ya,’ pikir Nayara lagi. Di saat para pegawai sedang fokus menatap Elkan yang berbicara dengan penuh kharisma serta ketegasan tinggi, dia malah sibuk sendiri dengan isi kepalanya yang semrawut. “... jadi paham sampai di sini?”
“Setelah ini tugas apa lagi, Pak?” tanya Nayara sembari mengelap kaca. “Kita pergi ke hotel,” jawab Elkan tegas. “Ap—apa? Ke hotel?!” “Ya.” “Jangan bercanda, Pak!” Elkan menatap wajah Nayara yang terlihat panik, pembalasan dendam akan dimulai sebentar lagi. “Apa saya kelihatan bercanda?” Nayara sontak gelisah, dia tidak mungkin menuruti perintah Elkan yang satu itu kan? “Tapi ... tapi buat apa kita ke hotel, Pak?” tanya Nayara terbata. “Untuk membuktikan ucapan kamu yang tadi.” “Ucapan ...? Ucapan yang mana sih, Pak? Kapan?” “Jangan pura-pura lupa kamu, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mau ajak saya ke hotel biar bisa tidur di ranjang yang mewah?” Nayara langsung mematung dengan bibir terkatup rapat. “Sa—saya ....” “Kamu juga bilang kalau kamu yang akan membayar tarif hotelnya, jadi saya tagih janji kamu setelah pulang kerja.” Mampus aku! Tubuh Nayara terasa panas dingin, dia terkena serangan panik yang luar biasa. “Itu tadi ... hanya ... itu ....” “Hanya apa? Itu
"Kamu kelihatannya sangat bersemangat untuk pergi ke hotel bersama saya, ya?""Jangan nuduh, Pak!"Elkan tersenyum sinis. "Tidak usah sok alim, bukankah kamu sendiri yang menawari saya untuk pergi ke hotel mewah?"Nayara jelas tidak dapat berkutik lagi, diam-diam dia mengutuk mulutnya yang tidak pernah bisa direm setiap kali dalam keadaan emosi."Saya ... duduk di belakang saja ya, Pak?" kata Nayara ketika dia dan Elkan sampai di parkiran."Kamu pikir saya sopir?""Bukan begitu, tapi ....""Sudah jangan banyak alasan, cepat masuk."Nayara mati kutu, biarlah dia ikuti apa maunya atasan galak ini. Daripada dipecat, kehidupan justru akan lebih buruk setelah dia resmi menyandang gelar janda."Menurut kamu, hotel di sana bagus tidak?" tanya Elkan sembari menyebut salah satu hotel di kota besar."Jangan, Pak! Mahal, yang lain saja ....""Kalau hotel di dekat gedung olahraga?""Itu kelasnya para artis, Pak. Dompet saya bisa langsung kritis ini ...." Elkan berdecak sembari mengemudi."Hotel y
Nayara tidak menjawab, melainkan kembali mendatangi resepsionis tadi.“Mbak, katanya tidak bisa pesan kamar. Kok bisa saya bisa sih?” Petugas resepsionis itu menatap Nayara, kemudian ganti menatap Elkan.“Maaf Bu, tapi ....”“Pasti bos saya ini nyogok kan? Laporkan saja ke pemilik hotel ini, Mbak!”Petugas resepsionis itu menatap ke arah Elkan sebentar, lalu ekspresi wajahnya berubah.“Apa sih? Jangan nuduh sembarangan!” sentak Elkan.Namun, Nayara telanjur dikuasai emosi.“Mbak kalau kerja yang benar dong!”“Maaf, Ibu ....”“Tadi bilang sama saya katanya pesan kamar tidak bisa dadakan, tapi kenapa bos saya bisa dapat kamar kalau tidak nyogok?”“Bukan begitu, Bu ....”“Jangan begitu lah, Mbak. Saya ini juga pegawai, tapi saya mana mau dapat sogokan. Kasihan nanti pemilik hotel ini kalau dikasih uang panas, Mbak! Bisa sakit nanti, kan?”“Oke, terima kasih ya!” ucap Elkan sambil buru-buru mendorong Nayara untuk menjauh dari meja resepsionis.“Bapak apa-apaan sih, malu ya
“Siapa yang cari suami, Mas? Bukankah kamu yang bujuk aku supaya mau jadi istri kamu?” balas ibu dengan nada keberatan.Nayara melengos, dia memang sudah lama curiga kepada ayah tirinya itu. “Lho, apa bedanya? Toh aku sama kamu saling membutuhkan.”“Dulu aku kira begitu, sebelum akhirnya aku merasakan sendiri. Punya suami seperti nggak punya suami ....”“Istri sukanya nuntut ya kalau penghasilan suami sedikit? Harusnya bersyukur kek.”“Aku akan bersyukur kalau kamu setiap hari rajin banting tulang untuk menafkahi aku, Mas. Ini apa?”Tangan Nayara mengusap lembut lengan ibunya, dia memang tidak tahu menahu bagaimana kehidupan rumah tangga sang ibu bersama suaminya yang baru.“Sayang ....”Sementara itu di apartemen, Lika sedang melabuhkan kepalanya di pelukan Andika.“Sayang?” panggil Lika untuk kesekian kali karena Andika tidak kunjung merespons.“Apa sih, Yang? Aku ngantuk ini ....”“Dih, selalu saja begitu. Kamu serius nggak sih sama aku?”“Serius lah.”“Terus kapan ka
“Sudah, kamu tidak usah ngeles. Andika sudah cerita semuanya, coba kalau selingkuhan kamu itu bukan sepupu dia, kami pasti sudah melaporkan kamu atas tuduhan perzinahan.”Tenggorokan Nayara yang baru saja menelan makanan kini tercekat sepenuhnya karena mendengar tuduhan dari calon mantan ibu mertua.“Kenapa?” Ibu bertanya ketika Nayara menyerahkan ponsel itu ke tangannya.“Biasa, dikata-katain.”“Dikatain gimana?”“Katanya aku tukang selingkuh, ngancem mau melaporkan aku dengan tuduhan pasal perzinahan.”Mata ibu langsung melotot tajam. “Mertua kamu bilang begitu, Nay?”“Calon mantan mertua, Bu.”“Iya, calon. Dia serius bilang begitu sama kamu?”“Iya ....”“Kok kamu nggak lawan sih?” tuntut ibu seolah kecewa. “Lawan dong kalau memang kamu nggak salah, enak saja.”Nayara menghela napas.“Percuma Bu, Andika itu ternyata licik banget. Sudah dia fitnah aku selingkuh, dia juga ngomong yang enggak-enggak sama kakak sepupunya itu. Dia bilang kalau aku adalah istri yang nggak bisa
Kalisa melirik ke arah belakang kepala Nayara. “Nay, dicari tuh!” “Siapa? Pak Elkan?” “Ih, kok ngarep banget—bukan, si Andika!” “Ngapain dia ke sini?” Meskipun Kalisa memberi kode kepadanya berulang kali, tapi Nayara tidak mau repot-repot menoleh. “Nay, aku mau ngomong.” Andika sudah tiba di hadapan mereka. Kalisa melirik Nayara yang tidak mempedulikan keberadaan Andika. “Nay, jangan sombong. Sudah mau jadi janda juga ...” celetuk Andika semena-mena. “Aku nggak ganggu kan, Lis?” Kalisa menggeleng. “Aku sih enggak, tapi ....” “Kalau begitu kamu pindah meja dulu sebentar, aku mau bicara penting sama Naya.” “Ih, ya nggak bisa begitu dong.” “Sebentar saja, Lis.” Nayara menatap Andika dengan sorot mata permusuhan. “Enak saja suruh-suruh orang, sana kamu sendiri yang pergi.” “Aku datang baik-baik lho, Nay.” “Yang kayak begini kamu bilang baik-baik? Lagian kamu mau ngomong apa lagi sih, Ndik? Besok-besok juga kita ketemu di pengadilan kan?” “Justru itu ....” “Ya sudah, ngapai