Share

2 Istri Pengkhianat

Nayara langsung berlari untuk menyerangnya dengan frontal.

“Puas kamu? Gara-gara kelancangan kamu masuk kamar sembarangan, Mas Andika jadi menceraikan aku! Tanggung jawab kamu!”

Elkan terperanjat ketika Nayara berteriak-teriak histeris di depan wajahnya.

“Itu benar, Dik?”

Andika mengangguk, membuat Elkan termangu. Pria itu merasa bahwa keputusan adik sepupu yang menceraikan istrinya karena sebuah salah paham, merupakan keputusan yang berlebihan.

Namun, sebagai orang lain, Elkan tidak ingin ikut campur dalam masalah rumah tangga mereka.

“Apa kamu kamu tidak mau memikirkan ulang keputusan kamu ini?” tanya Elkan ketika Nayara sudah pergi meninggalkan mereka.

“Aku nggak mau punya istri pengkhianat, El.”

“Tapi kami tidak berbuat apa pun, aku bersumpah ....”

“Kamu tidur kan tadi? Memangnya kamu tahu betul apa yang terjadi?”

Elkan sontak diam, dia memang sempat tertidur sehingga tidak mengetahui dengan pasti kapan Nayara masuk kamar.

“Daripada nanti kamu menyesal, Andika.”

“Aku nggak akan nyesal, itu memang kebiasaan buruk Naya.”

“Maksud kamu?”

“Dia nggak bisa setia jadi istri. Sebelum kamu, dia sudah sering curi-curi kesempatan sama pria lain. Aku sudah gerah dan hanya menunggu waktu yang tepat untuk menceraikannya.”

Sampai di sini, Elkan tidak bisa berkomentar apa-apa lagi.

Sementara itu Nayara sedang memasukkan baju-baju miliknya ke dalam koper, dia beberapa kali menyusut air matanya yang terus berjatuhan membasahi wajah.

Andika sudah menceraikannya, bahkan menyuruh Nayara untuk pergi dari rumah. Maka tidak ada alasan baginya untuk mengemis maaf, apalagi dia tidak pernah melakukan hal terlarang dengan Elkan.

“Kenapa cuma itu saja yang kamu bawa? Mana barang-barang lainnya?” selidik Andika ketika Nayara menuruni tangga dengan koper di tangannya.

“Besok-besok aku ambil lagi,” jawab Nayara dingin, dia melempar pandang penuh kebencian terhadap Elkan yang duduk tidak jauh dari Andika.

Elkan yang ditatap sedemikian rupa, jadi merasa dihakimi.

Karena tidak memiliki tujuan, mau tidak mau Naraya pulang ke rumah orang tuanya.

“Kok kamu bawa-bawa koper, apa yang terjadi?” sambut ibu Naraya ketika melihat putrinya yang berdiri di depan pintu rumah.

“Aku diceraikan, Bu.” Naraya menitikkan air mata meskipun rasanya sudah lelah menangis.

Alih-alih bertanya, ibu cepat-cepat membawa masuk Nayara ke dalam rumah dan langsung berpapasan dengan ayah tirinya.

“Ada apa ini, datang-datang kok nangis.”

“Naya Cuma kangen, biarkan dia istirahat di kamar.” Ibu segera menarik tubuh rapuh sang putri melewati suami keduanya.

“Bu, gimana kalau ayah tahu aku sudah diceraikan?” ratap Nayara begitu mereka tiba di kamar tamu.

“Memangnya apa alasan Andika menceraikan kamu, Nay?”

“Gara-gara ... kakak sepupunya Andika tidur di ranjang kami dan aku nggak tahu ... Aku masuk seperti biasa dan ....”

Ibu Nayara terbelalak. “Kalian tidur bersama?”

Naraya menggeleng kuat-kuat. “Sumpah, kami nggak melakukan hal kotor itu, Bu! Elkan bahkan juga mengakuinya.”

“Elkan siapa?”

“Kakak sepupu Andika.”

Ibu menarik napas. “Jadi Andika cuma salah paham? Kalau begitu jelaskan saja.”

“Sudah Bu, tapi Mas Andika nggak percaya! Dia tetap yakin sama penglihatannya kalau aku sudah tidur sama sepupunya!”

Ibu mengusap-usap bahu Nayara untuk menenangkannya.

“Sudah, berhenti nangisnya. Jangan cerita apa-apa sama ayah tiri kamu, nanti dia ngomel panjang lebar kalau tahu masalahmu sama Andika.”

Nayara mengangguk karena ayah tirinya itu memang hobi mengomel, apa saja bisa dia komentari dengan mulut lemasnya.

***

“Apa-apaan ini anak kamu nggak pulang-pulang ke rumah suaminya?”

Pagi itu ayah tiri Nayara mengawali hari yang cerah dengan mengomel.

“Istri macam apa, suami ditinggal pergi, ngadu masalah ke orang tua? Harusnya kamu paham di umur-umur segini, sudah saatnya menyenangkan hati orang tua! Kasih cucu kek, kasih aset, uang bulanan ....”

“Stop, sudah cukup. Mas nggak perlu berisik, Naya putriku. Biar aku yang didik dia, oke?”

“Cih, didik apaan? Didik tuh yang benar!” Ayah tiri Nayara terus mengomel, membuat telinga Nayara terasa panas mendidih.

“Ibu kok betah banget sih punya suami kayak ayah?” Nayara bergidik.

“Sudah, kok jadi membicarakan ibu? Kamu sarapan, terus kompres mata kamu pakai timun. Setelah itu coba kamu hubungi Andika baik-baik.”

Nayara menggeleng, dia sudah diceraikan. Dia tahu itu, jadi untuk apa menghubungi Andika lagi?

“Sekalian suruh sepupunya untuk bersaksi kalau kalian nggak melakukan apa-apa.”

“Sudah, Bu. Elkan sudah bersumpah, tapi Mas Andika yang nggak mau percaya!” pekik Nayara emosional. “Sakit hati aku, Bu. Kayak laki-laki cuma tinggal dia saja!”

Ibu menarik napas. “Kamu sudah siap jadi janda di usia muda?”

“Justru karena aku masih muda kan, Bu? Pasti suatu saat nanti banyak yang mau sama aku.”

“Kok percaya diri sekali kamu?”

Nayara mengangkat bahu. “Aku sudah minta maaf berkali-kali sama Mas Andika, tapi dia tetap menuduhku melakukan perbuatan haram itu ... Jadi buat apa aku merendahkan harga diri aku, Bu?”

“Kamu siap jadi bahan gunjingan satu komplek? Mulut mereka tajam-tajam, Nay!”

“Masih lebih tajam tuduhan Mas Andika, aku nggak akan peduli omongan orang selagi aku nggak ganggu hidup mereka.”

Ibu mengusap puncak kepala Nayara.

“Yang penting Ibu percaya sama aku, kan?” tanya Nayara lirih.

“Tentu, anak ibu nggak mungkin bohong.”

Nayara memeluk ibunya, lagi dan lagi air matanya luruh membasahi bumi.

Sorenya, ketika kondisi wajah sudah tidak lagi bengkak, Nayara menelepon sahabatnya untuk ketemuan di kafe langganan.

“Menyedihkan banget itu muka, aku ikut sedih sama apa yang kamu alami, Nay ....”

Kalisa menatap Nayara yang sedang menghabiskan jus jambu.

“Makanya habis ini, tolong temani aku ambil barang-barang di rumah Andika ya?”

“Beres, aku masih nggak percaya kalau dia setega itu sama kamu.”

“Biarlah Lis, aku sudah lelah menangisi Andika semalam suntuk. Pagi tadi ibuku menyarankan aku untuk mencoba bicara lagi baik-baik sama dia, siapa tahu dia emosi sesaat gara-gara sakitnya itu.”

Kalisa mengangguk-angguk setuju. “Nggak ada salahnya, hubungan kalian kan sudah tahap rumah tangga.”

Nayara sependapat. Biarlah, ini untuk yang terakhir. Bukannya dia takut menjadi janda, tetapi dia lebih khawatir lagi jika fitnah itu terus tumbuh subur setelah dirinya berpisah dari Andika nanti.

“Sudah siapkan mental?” tanya Kalisa kepada Nayara ketika taksi yang mereka tumpangi mulai melaju menuju rumah Andika.

“Siap nggak siap,” angguk Nayara.”

Setelahnya mereka berdua tidak bicara apa-apa lagi selama perjalanan.

“Aku tunggu di sini, Nay? Sukses pokoknya!”

“Doakan aku.” Nayara melangkah gugup seakan-akan memasuki rumah orang asing yang tidak dia kenal, padahal rumah berlantai dua yang dikelilingi pilar megah itu adalah tempat tinggalnya selama membina rumah tangga bersama Andika.

Mobil sang calon mantan suami sudah terparkir di garasi, sehingga Nayara langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, berharap tidak diusir lagi.

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status