Share

4 Sosok yang Menjadi Biang Kerok

“Sejak kapan perangai Andika seperti itu sama kamu, Nay?”

“Sejak kedatangan kakak sepupunya itu, Bu.”

“Sepupu yang mana?”

“Nggak tahu juga, katanya sepupu jauh yang aku bahkan nggak pernah lihat dia sebelum ini.”

“Kok aneh ....”

“Biar saja, Bu. Aku muak sama perlakuan Andika kemarin, apalagi saat aku lihat dia sedang mesra-mesraan sama perempuan lain di kamar yang dulu kami pakai ... Rasanya jijik banget, Bu.”

“Ya sudah, bercerai saja. Laki-laki kalau suka main tangan sama perempuan, susah sembuhnya.”

Nayara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Untung aku belum punya anak, pokoknya Ibu jangan pernah percaya kalau Andika atau keluarganya bilang aku selingkuh, itu fitnah kejam.”

“Tentu saja Ibu nggak percaya, ibu yang lebih tahu kamu seperti apa. Sudah sana berangkat, keburu siang.”

Nayara mengangguk, dia harus kembali bekerja dan tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Apalagi menangisi Andika yang telah melukai hati dan harga dirinya, Nayara tidak sudi.

Ketika taksi yang ditumpanginya mulai melaju dengan kecepatan sedang, Nayara mengarahkan pandangannya ke arah kaca untuk melihat pemandangan jalan.

Tepat ketika taksi melewati sebuah bengkel mobil, mata Nayara menangkap sosok yang telah menjadi biang kerok dalam masalah rumah tangganya.

Dialah Elkan!

“Pak, Pak, stop sebentar!”

“Di mana, Mbak? Nanti ongkosnya ...?”

“Nggak apa-apa, saya tambah ongkosnya. Berhenti dulu sebentar, Pak!”

Mau tak mau sopir taksi itu menghentikan lajunya sesuai permintaan Nayara.

Dengan langkah-langkah cepat, dia mendatangi Elkan dan mencolek-colek punggungnya.

Pria proporsional yang mengenakan kaos santai dipadu dengan celana jins panjang itu menoleh.

“Siapa ya? Ngapain colek-colek?”

Nayara berkacak pinggang dan langsung menyemburkan kemarahannya. “Jangan pura-pura lupa, aku ini istrinya Andika—eh, calon mantan istri! Gara-gara kamu, aku bercerai sama dia! Puas?”

Elkan menunduk dengan kening berkerut.

“Kamu Naya?”

“Iya, kenapa? Masih pura-pura hilang ingatan?”

“Aku bukan ....”

“Lagian kamu datang ke rumah orang tuh harusnya sadar diri, kenapa juga masuk ke kamar utama? Mana berani banget tidur di ranjang orang, jangan-jangan kamu ini memang nggak pernah tidur di kamar yang luas ya?”

“Sebentar, aku ini ....”

“Atau kamu belum pernah tidur di ranjang yang mewah?” sela Nayara dengan kilat amarah pada sorot matanya.

“Aku sudah bilang ....”

“Sana kamu pergi ke hotel, biar aku yang bayar. Tidur sana di ranjang mewah sampai puas, kasihan!”

Elkan mengatupkan bibirnya, wajah itu merah padam. Terlebih saat pegawai bengkel yang sedang memeriksa mobilnya sempat melirik ke arah mereka yang terlibat perdebatan.

“Sudah ngocehnya?”

“Belum,” geleng Nayara dengan kepala berasap, dia seakan tidak ingin berhenti jika belum mencaci maki Elkan sampai hatinya puas.

“Aku tidak ada urusan sama kamu,” tukas Elkan sembari melipat kedua tangan di dadanya yang bidang.

“Enak saja nggak ada urusan, gara-gara kedatangan kamu itu rumah tanggaku hancur!”

“Kita kan tidak ngapa-ngapain, kamu tahu itu.”

“Ya, tapi suami aku nggak mau dengar penjelasan aku! Jangan pura-pura lupa kamu, El!”

“Al, El, Al, El ... Jangan sok akrab.”

“Bodo amat, pokoknya aku sumpahin kamu nggak laku—eh nggak, tapi aku sumpahin kamu dapat jodoh yang menyebalkan, bikin makan hati dan merugikan hidup kamu!”

Elkan mengerjabkan matanya, Nayara juga. Berharap akan ada petir yang menyambar bumi sebagai pertanda jika semesta mengabulkan doa orang yang teraniaya seperti Nayara.

“Sudah Pak, antar saya ke kantor.” Nayara masuk lagi ke dalam taksi setelah puas mencaci maki Elkan di depan umum.

Semoga saja nggak viral ya, malu juga aku. Nayara membatin dalam hati.

***

“Aku kira kamu nggak masuk kerja lagi, Nay.”

Kalisa melongokkan kepala dari balik meja kerjanya.

“Cutiku sudah habis, Lis. Nggak mungkin izin lagi, aku juga butuh uang untuk melanjutkan hidup ....”

“Sabar ya?”

“Aku nggak bisa sabar,” cetus Nayara, teringat dengan kejadian tadi ketika dia menghujat Elkan di depan bengkel mobil.

“Terus rencana kamu apa?”

“Gugat cerai Andika, semoga belum keduluan dia.”

Kalisa mengangguk saja, tidak sampai hati untuk berkomentar lebih jauh mengingat ujian apa saja yang telah Nayara alami dengan Andika.

“Jangan khawatir Lis, aku nggak apa-apa kok.” Nayara tersenyum kepada Kalisa sebelum duduk di kursinya sendiri.

“Kalau butuh apa-apa, kamu cerita saja sama aku.”

“Oke, Lis.”

Nayara menatap layar komputernya yang belum menyala. Saat ini dia sedang benci setengah mati terhadap Andika, beruntung mereka berdua kerja di tempat yang terpisah meskipun masih satu grup perusahaan.

“Ayo kerja, atau mau bikin kopi dulu?” tanya Kalisa membuyarkan lamunan Nayara.

“Aku langsung kerja saja, Lis.”

Nayara menyalakan komputer dan menepuk-nepuk wajahnya beberapa kali begitu Kalisa berlalu.

“Semangat Nay, mulai hari ini hidupmu bukan lagi tanggung jawab suamimu!”

Nayara menarik napas dalam-dalam, kemudian mulai mengimput data stok barang dengan super teliti.

Dua jam berlalu tanpa terasa.

“Makan siang masih lama,” gumam Nayara sambil melirik arloji di pergelangan tangannya. “Sabar ya perut ....”

Setengah jam sebelum makan siang tiba, seorang rekan kerja dari bagian gudang muncul dengan tergesa-gesa.

“Kumpul, kumpul! Kita mau ada pimpinan baru, ayo! Kita harus sambut dengan sebaik mungkin!”

Nayara membereskan meja kerjanya dengan tidak bersemangat, dia hanya ingin segera bertemu dengan semangkok bakso pedas level sepuluh.

“Memangnya pimpinan yang lama ke mana?”

“Pensiun mungkin, kan sudah senior juga.”

“Semoga pimpinan kali ini lebih longgar ....”

“Iya, yang lama terlalu kaku. Susah dapat izin kalau aku ada keperluan.”

Bisik-bisik terus merambat hingga ke telinga Nayara yang perutnya sudah mulai keroncongan.

Semoga sambutannya nggak usah lama-lama, batin Nayara berharap.

Setibanya di ruang rapat, seluruh pegawai sudah berkumpul dengan raut wajah tegang.

“Itu dia bos baru kita, semua berdiri cepat!”

Pegawai yang masih duduk pun segera bangkit dari posisinya, Nayara yang berdiri di belakang Kalisa menegakkan kepala karena ikut penasaran dengan sosok pimpinan perusahaan mereka yang baru.

“Silakan masuk, Pak! Bagaimana perjalanannya?”

“Lumayan lancar.”

“Saya senang mendengarnya, itu mereka para pegawai Anda.”

Seorang pria melangkah masuk dengan diikuti beberapa orang di belakangnya, hawa di dalam ruangan serta merta berganti senyap.

Para pegawai menatap segan ke arah pria yang semakin dekat dengan posisi mereka, termasuk Nayara.

Lalu mendadak saja dia terkesiap.

‘Orang itu!’ jerit Nayara dalam hati ketika mendapati siapa pria yang baru saja memasuki ruangan. ‘Aku nggak salah lihat kan?’

Nayara bahkan harus mengedipkan matanya hingga beberapa kali, tapi tetap saja sosok itu tidak juga berubah wujud.

“Perkenalkan, beliau Pak Elkan Paramayoga. Mulai hari ini akan meneruskan perjalanan memimpin perusahaan menuju puncak kesuksesan.” Kepala pegawai memberi penjelasan singkat kepada mereka.

Mati aku, batin Nayara. Jadi mulai sekarang Elkan adalah atasanku? Kesialan macam apa lagi ini?

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status