“Kan ada jawaban lain yang bisa Anda berikan, kenapa tidak bilang saja kalau saya kasih pinjaman uang?” Mantyo tertegun, ingin rasanya mengelak meskipun ucapan Andika benar adanya. “Kenapa Bapak diam? Sekarang urusannya jadi melebar kan? Tapi kalau sudah dibilang itu dana tambahan, memangnya bagian keuangan tidak curiga itu dana dari mana?” Mantyo menggeleng perlahan, itu karena dia mengatakan jika dana itu didapat dari seorang dermawan yang berniat untuk memberikan dana secara cuma-cuma. “Dan mereka percaya begitu saja?” ucap Andika dengan mata melebar. “Begitulah ....” Andika menyibak rambutnya, merasa ada yang janggal dengan hal ini. “Ya sudah, itu artinya masalah selesai. Saya kira pungutan liar itu benar-benar diketahui, Pak ... Lain kali kasih infonya jangan setengah-setengah, bikin orang jantungan saja.” “Ya pegawai lainnya kan bisa saja menafsirkan macam-macam, Andika!” “Ah, itu sih cuma kekhawatiran Anda saja. Sepanjang pegawai baru yang kita bantu kemarin ti
Elkan mendengarkan penjelasan Nayara dengan saksama, kedua matanya menyipit saat sekretarisnya itu menyebut sesuatu tentang biaya tambahan. Beberapa hari berlalu damai, tapi tidak di kantor Andika. “... revisi lagi? Yang benar saja, Pak?” “Terus mau gimana lagi, kita ini satu tim! Kalau salah ya bakalan salah semua!” “Tapi bolak-balik revisi juga tidak baik, Pak ....” “Terus mau diapain lagi? Disetor apa adanya?” Andika menerobos masuk karena pintu yang tidak dikunci. “Maaf telat, biasa macet!” Mantyo menoleh, lalu mendengus pelan. “Bantu mikir sini!” “Ada apa sih, Pak? Masih pagi juga ....” “Masih pagi, masih pagi kepalamu.” Mantyo mendelik ke arah Andika dengan ekspresi murka. “Laporan keuangan jadi harus bolak-balik revisi supaya tidak ada yang curiga.” Andika mengedarkan pandangannya kepada orang-orang yang sedang sibuk menatap layar komputer. Kenapa jadi banyak orang begini sih, pikir Andika gusar. “Apa lagi yang mau direvisi, Pak? Bukankah kemarin-kema
“Apa mungkin kita membicarakan Pak Andika yang berbeda, Mbak? Siapa tahu nama Andika ada banyak di sana,” celetuk Egi yang belum lama bekerja. “Ya bisa jadi sih ...” Nayara mengangguk. “Memang Mbak kenal sama Pak Andika di sana?” “Gimana nggak kenal, dia kan mantan suaminya!” sahut Kalisa sambil nyengir. “Hussst!” desis Nayara. “Ya sudah, yang penting kan sekarang kamu sudah dapat kerjaan mapan. Berarti rejeki kamu memang di sini, Gi.” “Betul, Mbak.” Kalisa menoleh ke arah Nayara yang melamun. “Kenapa sih Nay, kamu tanya-tanya soal Andika? Masih berharap kamu rujuk sama dia?” Kalisa memastikan saat mereka kembali ke kantor. “Amit-amit jabang bayikkkkk, mana ada!” “Siapa tahu saja, Nay. Nggak ada yang tidak mungkin di dunia ini kan?” “Tapi sayangnya aku masih waras, Lis. Mana mau aku rujuk sama dia, kayak nggak ada pejantan lain saja di planet ini.” Kalisa nyengir sendiri mendengar Nayara ngomel-ngomel karena pertanyaan yang dia lontarkan. “Pak, Anda pasti tidak
“Ya iyalah satu cangkir, masa iya satu ember ...” gumam Nayara sambil cepat-cepat pergi sebelum Elkan mendengarnya. Setelah minum kopi, Nayara menumpang mobil Elkan yang memutuskan untuk mengemudi sendiri tanpa sopir. Mobil itu melaju kencang ke arah kantor tempat Andika bekerja. “Kalau boleh tahu tindakan apa yang akan Bapak ambil kalau sudah sampai di sana nanti?” Nayara tidak tahan jika tidak bertanya. “Tentu saja saya akan menindak tegas laporan keuangan yang tidak jelas itu.” “Tapi apakah Anda bisa memberikan mereka bukti kalau Bapak punya wewenang, sekalipun itu atas permintaan orang yang menyuruh Anda?” “Kamu lihat saja nanti, kamu tinggal memberikan poin-poin pendukung supaya mata mereka terbuka.” Nayara menelan saliva, sensasi akan membuat keributan di kantor orang lain ini membuatnya ketar-ketir. Terlebih lagi kantor yang dia tuju adalah kantor di mana mantan suaminya bekerja mencari nafkah. Demi alasan apa pun, Nayara enggan sekali untuk bersinggungan lagi de
“Tapi aku pegawai di kantor ini!” Andika mengacak rambutnya, mulai frustrasi. “Aku tahu, sudah ya? Aku juga nggak paham kenapa Elkan datang ke sini mau bertemu bosku.” “Kok kamu panik, Yang?” Andika tidak menjawab. Kenapa masalahnya jadi melebar begini? Mana Elkan ikut-ikutan muncul .... “Yang!” gertak Lika tidak sabar. “Apa sih, aku lagi pusing! Tolong pesankan kopi untuk semua orang yang ada di ruang rapat, Yang!” “Apa? Aku? Ih, ogah banget!” Andika hanya mampu menghela napas, setelah itu dia segera pergi dari hadapan Lika. “Ih, nyebelin banget sih! Aku kan juga pegawai penting di sini, Naya yang bukan siapa-siapa saja bisa masuk—argh!” Lika mengentakkan kakinya, lalu pergi untuk memanggil OB. “Pak Mantyo, ngapain Bapak di sini?” bisik Andika begitu dia melihat rekannya berlagak sibuk di ruangan rapat yang sudah bersih dan rapi. “Anda kan kepala pegawai, tidak ada hubungannya sama keuangan.” Alih-alih menanggapi pertanyaan Andika, Mantyo malah memberikan isyar
“Kamu kenapa, Yang?” “Ruang rapat sudah kosong belum?” “Aku nggak tahu, masih tutup rapat dari tadi.” Andika menarik napas panjang, wajahnya terlihat tertekan. “Kenapa sih? Kok bisa Elkan sampai datang ke sini?” “Aku juga nggak tahu, mana mantan istri aku juga ikut-ikutan datang ke sini lagi ....” “Itu dia yang nggak habis aku pikir, sok penting banget dia datang-datang ke kantor kita. Apa jangan-jangan dia punya niat jahat?” Andika menatap Lika dengan bingung. “Niat jahat apa, Yang?” “Iya siapa tahu lihat jahat buat menghancurkan nama baik perusahaan, mau membalas dendam sama kamu karena nggak terima sama perceraian kalian?” tebak Lika sok tahu. “Bisa jadi kan, Yang? Aku sering kok lihat di tayangan berita televisi, mantan istri yang menyimpan dendam karena nggak terima diceraikan ....” “Itu sih Kamu kebanyakan nonton sinetron sama berita kriminal,” celetuk Andika. “Lho siapa tahu, kan? Aku lihat sendiri gimana judesnya mantan istri kamu itu sama kita, tapi belakan
Sampai jam kerja berakhir, Elkan belum juga kembali ke kantor. Namun, Nayara merasa tidak memiliki kewajiban untuk menunggu kedatangan atasannya itu sehingga dia memilih untuk pulang bersama rekan-rekannya. “Heh Nay, sini kamu!” Suara Andika terdengar membahana di tengah riuhnya para pegawai yang memenuhi halaman. Nayara terlonjak kaget karena suara teriakan Andika. “Mau apa lagi dia datang ke sini?” tanya Kalisa heran. “Kamu samperin nggak, Nay?” “Itu tadi dia manggil nama aku, kan? Jangan-jangan dia mau ngajak ribut sama aku, Lis!” Sebelum Kalisa menjawab, Andika sudah keburu datang mendekat. “Mau ngapain kamu?” tanya Nayara dengan wajah waspada. “Mau ngapain? Tentu saja mau bikin perhitungan sama kamu!” “Aku nggak ada urusan apa-apa ya sama kamu ....” “Alah, mulut kamu ember!” gertak Andika, suaranya sukses mengalihkan perhatian para pegawai yang lewat di dekat mereka. “Sudah, jangan diladeni!” bisik Kalisa sembari menarik tangan Nayara supaya lanjut berjalan.
“Kamu saya pecat!” Wajah Andika yang sudah pucat mendadak jadi semakin pucat ketika mendengar vonis sang bos. “Tapi, Pak ... saya tidak melakukan kejahatan yang ....” “Mengambil pungutan liar, kamu pikir bukan kejahatan, hah?” Andika menundukkan wajahnya. “Tapi ... saya tidak korupsi, Pak ...” Bobi menatap murka ke arah Andika. “Saya juga sudah lama bekerja di kantor ini, setidaknya saya sedikit berjasa ... Tolonglah Pak, jangan pecat saya ....” Bobi mengembuskan napas panjang. “Kamu beruntung, Pak Alvi masih mempertimbangkan status kekerabatan kalian.” Andika menarik napas lega. “... tapi jabatan kamu akan diturunkan.” “Apa, Pak? Diturunkan?” “Ya, kamu tidak lagi jadi sekretaris saya mulai minggu depan.” Andika menggeleng lemah. Turun jabatan, kira-kira dia akan berganti jabatan menjadi apa? “Sisa hari ini bisa kamu pakai untuk membereskan barang-barang kamu. Minggu depan, kamu ganti seragam ....” “Pakai seragam, Pak?” sela Andika buru-buru. “Jadi offic