“Yang, bagi duit ya?” pinta Lika yang langsung mengambil ponsel milik Andika. Sebetulnya dia hanya modus karena ingin memeriksa aplikasi pesan instan kekasihnya itu, dan kebetulan dia melihat kontak Nayara muncul di pembaruan status.“Janda kamu banyak duit nih,” sinis Lika seraya menunjukkan status itu. “Jangan-jangan yang dia pakai adalah nafkah yang dulu kamu kasih.”Andika langsung menatap Lika dengan tidak mengerti.“Maksudnya gimana, Yang?”Lika berdecak dengan tidak sabar.“Kamu pasti rutin kasih nafkah sama Naya selama dia jadi istri kamu kan? Pasti uang itu yang dia pakai foya-foya seperti ini.”Mata Andika membulat ketika Lika menunjukkan pembaruan status milik Nayara.“Hotel Alteza? Naya menginap di sana?”“Lihat saja statusnya tuh, menyebalkan banget.”Lika mengulurkan ponsel itu ke tangan Andika yang langsung memeriksa status yang dimaksud.Benar saja, keterangan yang Nayara tulis seolah menampar Andika yang pernah berstatus sebagai suaminya sebelum bercerai.“Kok dia mam
Senyum itu, kemungkinan besar tidak akan bisa Elkan lupakan di masa yang akan datang.Nayara tidak mau ambil pusing dengan perjumpaannya bersama Elkan tadi, toh dia tidak melakukan pelanggaran kerja sama sekali.Hari ini adalah harinya untuk bersenang-senang, Nayara tidak akan mau diganggu oleh urusan pekerjaan sedikit pun.Di pinggir trotoar, kalau pagi-pagi begini sudah ramai orang yang membuka tenda jualannya. Meskipun harus berjalan cukup jauh, tapi Nayara tetap datang ke sana untuk memilih menu sarapan yang menggugah selera makannya.“Bubur ayam enak nih,” gumam Nayara sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak sulit untuk menemukan penjual bubur ayam incarannya yang sudah dikerubungi banyak pembeli.Nayara mempercepat langkahnya dan menempati meja yang masih kosong.“Mbak, bubur ayam satu!” pinta Nayara kepada perempuan yang sedang lewat sembari membawa nampan kosong di tangannya.“Minumnya apa, Mbak?”“Lemon tea panas saja.”“Baik, silakan ditunggu.”Nayara
Sambil tersenyum kecut, Nayara berlalu pergi ke ruangan Elkan. Kira-kira perintah apa lagi yang akan dia berikan kepadanya?Kok aku agak deg-degan begini ya, batin Nayara.“Permisi, Pak?” Elkan mendongak ketika Nayara muncul dari balik pintu.“Ada apa Bapak memanggil saya?” “Tentu saja karena ada kerjaan untuk kamu, kalau tidak ada mana mungkin saya suruh kamu datang ke sini.”Nayara tidak menanggapi, dia berusaha tenang meskipun bibirnya gatal ingin menjawab.“Kenapa diam? Kalau ada orang bicara itu ditanggapi, bukan cuek seperti ini. Punya etika kan ....”“Kalau begitu apa pekerjaan saya hari ini, Pak?” tanya Nayara dengan kesabaran setipis tisu dibagi tiga.Elkan menyandarkan punggungnya yang tegak dan memandang Nayara lurus-lurus.“Jangan menyela kalau orang sedang bicara.”Nayara menarik napas. “Pak, tolong deh. Ini masih pagi, jangan bikin saya emosi.”“Bikin emosi kamu juga tidak membuat saya jadi kaya,” timpal Elkan tenang.“Pak El, cepat katakan untuk apa saya
“Aku nggak mau tahu, Nay. Aku minta kamu segera kembalikan uang itu, berapa pun jumlahnya.” “Uang apa sih, aku nggak ngerti!” “Alah, nggak usah pura-pura polos!” sentak Lika semena-mena. “Kalau kamu punya malu, seharusnya kamu kembalikan tuh uang bulanan yang sudah kamu tilep selama ini!” Nayara bengong, dia berani bersumpah bahwa dia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang mereka ributkan. “Oh, jadi dia pelakor gitu?” “Kayaknya deh, soalnya yang dibahas dari tadi soal uang kan?” “Iya ya, pasti selama ini dia menguasai uang dari isper.” “Apaan isper? Gue tahunya casper ....” “Istri pertama, hih katro deh kamu!” Suara-suara sumbang mulai saling menyahut, membuat wajah Nayara terbakar oleh rasa malu. Untung saat itu sudah malam hari, tidak kebayang seandainya kejadian itu berlangsung saat siang hari .... “Tapi yang jadi isked juga nggak kalah cantik kok, natural gitu.” “Isked apalagi dah?” “Istri kedua, bambwang!” Nayara melirik ke arah Andika dan Lika yang terlihat puas
“Kalau kamu menuntut nafkah yang dulu kamu berikan supaya dikembalikan lagi, maka seharusnya kamu juga bisa mengembalikan mahkota Naya.”Andika mengepalkan tangan. Ingin sekali dia menjawab, “Heh, bego ya? Keperawanan yang sudah jebol, mana bisa bisa dibalikin lagi!”Enggan menyia-nyiakan kesempatan ini, Nayara balas merangkul pinggang pria itu.“Beb, bisa usir mereka dari kedai ini nggak?”Pria itu menatap Nayara dari balik maskernya.“Tentu saja, Sayang.”“Aku mau makan dengan tenang, tapi dari tadi mereka bikin selera makan aku jadi hilang.”Pria bermasker itu mengangguk, lalu menatap Andika dan Lika yang masih bersikap pongah.“Pak, tolong usir mereka berdua!” perintah pria itu tegas.“Heh, kami ini juga bayar ya?” protes Lika tidak terima.“Main usir saja, memangnya ini kedai punya bapakmu?” timpal Andika.“Aduh Mas, Mbak, tolong kasihani dagangan kami! Kami ini sedang cari rejeki, kalau mau ribut silakan pindah saja ....”“Mereka yang sejak awal bikin keributan kan?
Andika terperanjat ketika Lika menyodorkan ponselnya yang sedang memutar sebuah video keributan yang terjadi di kedai bubur ayam tadi. “Kita dihujat, Yang!” ratap Lika. “Masa di situ pada komen kalau aku tukang nyinyir, sirik sama Naya yang sudah nggak jomlo lagi?” Andika urung menonton video itu sampai habis, harga dirinya tercoreng sudah! “Kurang ajar Naya, masa kita jadi viral kayak begini sih?” “Memang dasar gila itu mantan istri kamu, dia pasti sirik sama kita!” hujat Lika sampai terengah-engah. “Padahal harusnya dia puas karena sudah berhasil makan uang nafkah yang kamu kasih selama ini kan?” “Namanya juga istri yang kurang bersyukur dia itu, makanya aku cari yang lain!” “Terus gimana ini urusannya? Kalau sampai teman-teman nongkrong kita tahu, apalagi teman-teman kerja ... mau taruh di mana muka aku yang cantik ini, Yang?” Andika ikut pusing memikirkannya. “Tenang saja, Yang. Aku akan paksa Naya untuk menghapus video itu, enak saja dia mempermalukan kita di depan umum d
“Kalau bukan kamu yang posting, terus siapa?” “Mana aku tahu?” Andika berdecak. “Kembalikan nafkah aku kalau begitu!” Nayara melepas sepatu hak tingginya, lalu bersiap melemparnya ke wajah Andika. “Pergi dari sini, atau aku lempar muka kamu pakai sepatu!” ancam Nayara dengan wajah bengis. “Laki-laki kok nggak punya harga diri sedikit sih?” “Apa kamu bilang?” “Nggak punya harga diri, kenapa? Nggak terima?” Tangan Andika terkepal. Belum juga dia menanggapi, sudah ada seorang satpam yang mendatangi mereka. “Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut ....” “Itu Pak, pegawai kantor sebelah yang duluan nyari gara-gara!” Nayara langsung mengadu. “Usir saja Pak, tolong ....” “Urusan kita belum selesai ya, Nay?” ancam Andika. “Kamu kalau bukan pegawai sini, jangan bikin onar.” Satpam itu menegur Andika baik-baik. “Apalagi kalau ada masalah pribadi, sebaiknya diselesaikan di luar.” Andika yang masih ingin meluapkan amarahnya kepada Nayara, mau tak mau harus berbalik dengan tangan kosong. “
“Mengundurkan diri?” “Iya, sejak Pak Ryan keluar tuh rasanya aku jadi malas kerja.” “Tapi kan sekarang sudah ada Pak Elkan, Nay.”“Iya aku tahu, tapi aku juga kayaknya nggak sreg kerja sama dia.” “Lho, kenapa sih? Cakep begitu, bikin betah dlihatin lama-lama ... aduh!” Kalisa meringis ketika Nayara menjitak kepalanya pelan. “Kita di sini tuh kerja, bukan buat melihat kegantengan orang.” “Iya tahu, tapi aneh kamu. Seharusnya asyik-asyik saja kerja sama Pak Elkan, bisa cuci mata sekalian kerja.” Nayara tersenyum kecut. “Asyik, asyik ... Kamu belum pernah kena marah kan sama dia? Aku nih, berkali-kali kena semprot! Disuruh sana-sini, dilempar ke mana saja kayak bola ... Capek, Bu!” Kalisa berpikir sebentar. “Iya juga ya, sejak kerja sama Pak Elkan tuh kamu jadi jarang ada di ruangan ini.” “Ya itu karena aku disuruh macam-macam sama atasan baru kita itu,” sungut Nayara geram. “Disuruh macam-macam? Ih wow!” Nayara langsung menepuk keningnya, menyesal dengan pemilihan kata yang k