Share

5 Atasan Baru

Mati aku, batin Nayara. Jadi mulai sekarang Elkan adalah atasanku? Kesialan macam apa lagi ini?

Degup jantung Nayara menjadi tidak terkendali, selama Elkan mengucapkan sepatah dua patah kata di hadapan para pegawai yang sebentar lagi akan dia pimpin.

Telinga Nayara mendadak tuli, dia hanya menundukkan kepala dalam-dalam, berharap supaya Elkan tidak bisa melihat keberadaannya.

‘Apa aku minta pindah cabang saja ya?’ pikir Nayara dalam hati. Cabang yang ditempati Andika juga tidak masalah, toh sebentar lagi mereka akan bercerai. Dia lebih memilih satu kantor bersama calon mantan suami daripada jadi bawahan Elkan.

Pria yang pernah dia maki-maki sesuka hati sebagai pelampiasan amarahnya karena keputusan sepihak Andika yang ingin bercerai.

‘Minta pindah saja deh ya,’ pikir Nayara lagi.

Di saat para pegawai sedang fokus menatap Elkan yang berbicara dengan penuh kharisma serta ketegasan tinggi, dia malah sibuk sendiri dengan isi kepalanya yang semrawut.

“... jadi paham sampai di sini?”

“Paham, Pak!”

Elkan tersenyum singkat selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia melihat kepala seseorang yang tertunduk dalam di belakang barisan pegawai yang berdiri tegak.

“Yang di sana paham, tidak?” tanya Elkan dengan intonasi yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Sontak saja beberapa pegawai terlonjak kaget dan saling lirik.

“Saya, Pak?”

“Bukan, yang di belakang itu!”

“Sa—saya?”

“Bukan, yang kepalanya nunduk itu!”

Kalisa menoleh, mencari-cari seseorang yang dimaksud Elkan.

“Nay,” bisiknya ketika melihat sang teman menunduk memandang lantai. “Naya!”

Setelah mendengar suara Kalisa, pegawai lainnya jadi ikut memanggil nama Nayara.

“Nay, dipanggil bos tuh!”

“Naya, jangan bengong!”

“Nay, sttt!”

Naya terperanjat dan buru-buru menegakkan kepala. Dilihatnya hampir seluruh pegawai kini menatap ke arahnya dengan tatapan menilai.

“Ada apa? Kenapa?”

Kalisa menatap tegang pada Naya. “Kamu dipanggil tuh!”

“Siapa yang manggil?”

“Pak Elkan, atasan kita.”

“Pak ... Elkan ...?” Nayara menelan saliva dengan susah payah, perlahan dia menoleh ke depan dan mentalnya langsung jatuh ketika Elkan melayangkan tatapan permusuhan ke arahnya.

“Iy—iya, Pak?” Nayara berusaha untuk bersikap tenang, tapi gagal. Jelas dalam situasi ini, Elkan jauh lebih diunggulkan karena statusnya sebagai atasan baru di tempatnya bekerja.

“Maju ke depan, sekarang.” Elkan memberi perintah, jauh sekali sikapnya ketika Nayara pertama kali bertemu dengannya di rumah Andika.

Mati aku, batin Nayara shock. Bayangan Elkan akan membalas dendam dengan mempermalukannya di depan para pegawai membuat kedua lutut Nayara lemas.

“Nay?” panggil Kalisa dengan isyarat supaya Nayara segera maju ke depan sesuai perintah atasan baru mereka.

Apa boleh buat, aku harus profesional. Nayara membatin lagi sembari melangkahkan kedua kaki jenjangnya yang mengenakan sepatu hak tinggi menuju tempat Elkan sedang berdiri menunggu.

“Bapak memanggil saya?” tanya Nayara, sebisa mungkin membuat nada suaranya terdengar formal.

Namun, kenapa justru suaranya bergetar hebat ketika lolos dari kerongkongan?

Elkan pasti merasa di atas angin dan sudah tidak sabar ingin segera menindasnya.

“Siapa nama kamu?” tanya Elkan tegas.

“Nayara ....”

“Nama lengkap!”

“Nayara Crystalia, Pak.”

Elkan menatap lurus ke arah Nayara, tapi perempuan itu menundukkan pandangan. Sama sekali tidak kelihatan amarah yang tadi sempat dia kobarkan dengan penuh keberanian.

“Saat saya bicara panjang lebar tadi, kamu mendengarkan?”

Hati Nayara kebat-kebit saat Elkan bertanya dengan suara penuh tekanan, hawa-hawa balas dendam begitu terasa di udara.

“Dengar, Pak.” Nayara menjawab lirih.

“Kalau begitu tadi saya bicara apa saja?”

“Eh, nggg ... Saya lupa, Pak. Maaf ....”

Aduh, pekik Nayara gengsi. Hancur sudah harga diri aku karena minta maaf sama orang yang telah menjadi biang kerok perceraian aku sama Andika!

“Maaf, kamu bilang?” Elkan menanggapi, Kalisa dan yang lain harus menahan napas ketika menyaksikan apa yang terjadi di hadapan mereka. “Kamu pikir saya tidak tahu kalau kamu tidak memerhatikan?”

Nayara memejamkan matanya sebentar, lalu menarik napas untuk meredakan degup jantungnya yang bertalu-talu.

Degup jantung yang menandai dimulainya perang dingin antara anak buah dengan atasannya.

“Maaf, Pak.”

“Bersihkan ruangan saya, itu sanksi untuk kamu.” Elkan menjatuhkan titahnya, kemudian memandang pegawai lainnya. “Selama di dalam lingkungan kerja, saya minta kalian fokus dan jangan melamun seperti Nayara tadi. Paham?”

“Paham, Pak!”

“Sangat paham, mohon kerja samanya!”

Nayara mendongak dengan pandangan tidak terima.

“Kenapa, mau protes?” Elkan membungkam bibir Nayara sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata pun. “Bersihkan ruangan saya sekarang.”

Kepala pelayan yang tadi mendampingi Elkan, seketika mengingatkan.

“Maaf Pak, ruangan Anda tadi sudah dibersihkan OB ....”

“Tidak masalah, saya harus menegur pegawai seperti Nayara jika dia lengah seperti tadi.”

Tanpa menunggu respons dari kepala pegawai, Elkan melangkah pergi meninggalkan ruang rapat.

“Kita ... sudah boleh ngomong belum, Pak?”

Kepala pegawai itu melongok ke arah luar, lalu mengangkat jempolnya. “Aman.”

Sebagian pegawai menarik napas lega, seperti lega karena baru saja lolos dari maut.

“Kok atasan kita yang sekarang malah lebih parah sih?”

“Padahal Naya tadi cuma nunduk lho, dia nggak ribut dan nggak bercanda juga.”

Kepala pelayan menatap beberapa pegawainya.

“Masalahnya Naya tidak menyimak apa yang dikatakan Pak Elkan, wajar saja jika bos merasa tidak dihargai.”

Para pegawai lantas mengangguk-angguk mengerti.

Sementara itu di ruangan atasan lama yang sekarang dihuni oleh Elkan, Nayara celingukan karena bingung apa lagi yang harus dia bereskan. Meja sudah rapi dengan alat tulis masih berada di dalam kotaknya. Lantai juga sudah licin karena biasanya OB sudah diperintah untuk menyapu dan mengepel setiap pagi.

Kayaknya dia cuma ngerjain aku, batin Nayara geram meskipun tidak mungkin melawan Elkan di kantor.

“Bengong lagi,” sentak Elkan dengan suara tegas. “Di ruang rapat juga bengong, kamu ini kerjanya di bagian apa sih? Tukang halu?”

Nayara berbalik, tapi tidak mengatakan apa-apa.

“Saya ini bicara sama kamu,” sentak Elkan lagi.

“Maaf, Pak. Saya cuma ... bingung, ruangan Bapak sudah rapi begini ....”

Elkan mengibaskan tangannya dan duduk di kursi pimpinan yang kosong. Dia lantas menyuruh Nayara untuk membersihkan sofa, mengelap kaca, dan merapikan pigura foto.

“Ta—tapi Pak, itu tugas cleaning service. Saya bukan OB, kerjaan saya di data-data administrasi kantor.” Nayara berusaha menjelaskan dengan bahasa yang sopan, dia tidak berani berkacak pinggang dan bicara kasar seperti yang dilakukannya tadi pagi.

“Kerjakan sekarang atau kamu mau saya pecat?” Elkan menyandarkan punggungnya dan menatap tajam Nayara karena sekarang dia yang paling punya kuasa di kantor.

“Jangan dipecat, Pak!” Nayara terpaksa memohon dan balik badan untuk mengambil alat-alat kebersihan. Dendam terhadap Elkan semakin menjadi-jadi saja rasanya.

“Setelah ini tugas apa lagi, Pak?” tanya Nayara sembari mengelap kaca.

“Kita pergi ke hotel,” jawab Elkan tegas.

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status