Share

6 Terkena Serangan Panik

“Setelah ini tugas apa lagi, Pak?” tanya Nayara sembari mengelap kaca.

“Kita pergi ke hotel,” jawab Elkan tegas.

“Ap—apa? Ke hotel?!”

“Ya.”

“Jangan bercanda, Pak!”

Elkan menatap wajah Nayara yang terlihat panik, pembalasan dendam akan dimulai sebentar lagi.

“Apa saya kelihatan bercanda?”

Nayara sontak gelisah, dia tidak mungkin menuruti perintah Elkan yang satu itu kan?

“Tapi ... tapi buat apa kita ke hotel, Pak?” tanya Nayara terbata.

“Untuk membuktikan ucapan kamu yang tadi.”

“Ucapan ...? Ucapan yang mana sih, Pak? Kapan?”

“Jangan pura-pura lupa kamu, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mau ajak saya ke hotel biar bisa tidur di ranjang yang mewah?”

Nayara langsung mematung dengan bibir terkatup rapat.

“Sa—saya ....”

“Kamu juga bilang kalau kamu yang akan membayar tarif hotelnya, jadi saya tagih janji kamu setelah pulang kerja.”

Mampus aku! Tubuh Nayara terasa panas dingin, dia terkena serangan panik yang luar biasa.

“Itu tadi ... hanya ... itu ....”

“Hanya apa? Itu apa?”

Nayara menelan ludah. Kalau di luar tadi dia bisa bersikap layaknya singa yang sedang murka, maka sekarang ini Nayara lebih terlihat seperti ayam kesakitan di hadapan Elkan.

“Itu hanya salah paham saja, Pak! Saya minta maaf!” Nayara terpaksa memohon-mohon. “Saya akan mengerjakan apa saja yang Bapak suruh, tapi jangan bawa-bawa hotel ....”

“Besar omong juga kamu ya, menyedihkan.” Elkan menarik napas. “Tapi sayang sekali, saya ini orangnya pendendam. Kamu sudah mempermalukan saya di depan umum, kamu juga mencaci maki saya seenak jidat kamu, sok-sokan pula nyuruh saya pergi ke hotel dan kamu yang bayar tarifnya ....”

“Saya akui saya salah, Pak. Saya minta maaf, sungguh.”

“Kata maaf kamu tidak akan bisa mengembalikan nama baik saya yang sudah kamu permalukan, jadi kita akan tetap ke hotel dan kamu yang bayar tarifnya seperti yang kamu sombongkan tadi.”

“Tapi, Pak ....”

“Tidak usah banyak alasan, atau kamu pilih dipecat saja? Banyak kok yang antre kerja di sini.”

Nayara meremas jemarinya. Sebentar lagi dia jadi janda, tidak ada lagi yang akan memberinya nafkah per bulan. Kalau dia dipecat, dia mau makan apa ke depannya?

“Jangan dipecat, Pak. Saya sudah lama kerja di sini sama atasan yang sebelumnya ....”

“Memangnya saya peduli? Itu sama sekali bukan urusan saya,” tukas Elkan kejam.

Nayara menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

“Baik, Pak. Nanti ... saya akan bayar tarif hotelnya, pilih hotel yang dekat-dekat sini saja, yang harganya juga terjangkau.”

“Enak saja, mana level saya hotel murah begitu. Biar saya sendiri yang akan pilih hotelnya, kamu tinggal siapkan dompet kamu saja.”

Nayara tidak memiliki daya sedikit pun untuk melawan, secepat itu situasi di antara mereka berbalik drastis seperti ini.

Tadi saja dia bisa menginjak-injak nama baik Elkan tanpa ampun, tapi kini gantian Elkan yang menindasnya tanpa belas kasihan.

“Ya sudah deh, Pak. Saya yang akan bayar hotelnya,” kata Nayara mengalah, dia memang tidak memiliki pilihan lain kan?

“Bagus, memang sudah seharusnya seperti itu. Jangan hanya besar omong saja,” sahut Elkan enteng. “Bereskan peralatan kamu, balik sana ke tempat di mana seharusnya kamu berada.”

Nayara menarik napas lega meskipun nada suara Elkan terdengar jelas sekali mengusirnya. Dia sudah tidak betah berada di ruangan yang sama dengan atasan baru itu lebih lama lagi, bisa-bisa meledak isi kepalanya.

“Nay, apa kamu baik-baik saja?”

Kalisa menyambut ketika Nayara kembali ke tempat mereka.

“Apa aku kelihatan baik-baik saja, Lis?”

“Eh ...?”

Kalisa mengerutkan keningnya saat Nayara terduduk lesu di kursinya.

“Kamu nggak dikasih surat peringatan kan?”

“Enggak sih.”

“Syukurlah, aku kira kamu disuruh pulang lebih cepat atau apa. Terus tadi Pak Elkan suruh kamu ngapain saja, kok lama banget baliknya?”

Nayara mengeluh. “Aku banting setir jadi OB tadi, disuruh bersih-bersih ruangan ... Padahal aku lihat sudah bersih dan rapi semua, kayaknya Pak Elkan memang sengaja ngerjain aku deh, Lis.”

“Kamu sih, kenapa nggak perhatikan saat Pak Elkan pidato?”

“Aku kan nggak ngapa-ngapain, Lis! Aku tuh diam, nggak ribut, nggak tidur juga, aku cuma diam saja. Eh, malah dikerjain kayak begini.” Nayara menggerutu. “Untung saja aku lagi butuh duit, kalau enggak kan aku pilih berhenti dari kantor ini.”

“Ya jangan dong, mungkin saja Pak Elkan memang begitu karakternya. Bukan berarti dia jahat sama kamu kan, Nay?”

“Kok kamu malah bela Pak Elkan?”

“Bukan begitu juga, aku cuma berpikir kalau karakter orang kan beda-beda. Mungkin saja Pak Elkan memang nggak suka kalau dicuekin, itu maksud aku.”

Nayara menghela napas. “Apes banget sih hidup, punya atasan baru yang galaknya melebihi Pak Ryan, aku mau ikut Pak Ryan saja ....”

Kalisa geleng-geleng kepala, baru kali ini dia melihat Nayara mengeluh dan meratapi kehidupan sampai separah itu.

“Dengar-dengar Pak Ryan ambil cuti panjang untuk pengobatan, jadi mana bisa kamu ngikut! Sudahlah, mungkin saja kita cuma perlu membiasakan diri sama karakter Pak Elkan. Disiplin bukan berarti jahat kan?”

Nayara tidak menjawab, entah akan seperti apa suasana kantor kelak di bawah kepemimpinan Elkan.

Yang pasti bagi Nayara, itu adalah mimpi buruk sepanjang sejarah hidupnya.

Ketika jam kerja sudah berakhir, Nayara terlihat ogah-ogahan pergi meninggalkan kantor.

“Kamu kenapa sih, Nay? Biasanya paling semangat kalau jam pulang kantor kayak begini,” komentar Kalisa yang sudah selesai beres-beres meja.

“Nggak apa-apa kok, kamu duluan saja.”

“Yakin nih?”

“Yakin lah ....”

“Jangan gantung diri tapi.”

“Sialan kamu Lis!”

Hampir saja Nayara menimpuk kepala Kalisa menggunakan gunting yang ada di atas meja, beruntung Kalisa langsung kabur meninggalkan ruangan sambil tertawa-tawa.

Dengan wajah lesu, Nayara menjadi pegawai terakhir yang meninggalkan ruang kerja. Dia memang sengaja tidak muncul jika bukan Elkan yang memanggilnya keluar.

Syukur-syukur atasan barunya itu lupa dan langsung pergi meninggalkan kantor.

“Betapa merdekanya diriku,” gumam Nayara sambil mempercepat langkahnya.

“Siapa bilang kamu sudah merdeka dari saya?”

Suara bariton di belakangnya membuat jantung Nayara serasa melompat dari tempatnya, dia berbalik dan melihat Elkan yang berwajah masam.

“Eh, lho ... Bapak belum pulang?” Nayara meringis seraya melontarkan basa-basi kepada atasan barunya.

“Kalau saya sudah pulang, saya tidak mungkin berdiri di hadapan kamu sekarang ini.”

“Oh iya!”

“Kamu biasanya pakai apa kalau pulang pergi ke kantor?”

“Taksi, Pak.”

“Bagus, kalau begitu kamu bisa numpang mobil saya.”

“Ki—kita ... maksud saya, Bapak jadi pergi ke ho—hotel?”

Elkan menyipitkan matanya setelah mendengar pertanyaan Nayara.

“Kamu kelihatannya sangat bersemangat untuk pergi ke hotel bersama saya, ya?”

“Jangan nuduh, Pak!”

Elkan tersenyum sinis. “Tidak usah sok alim, bukankah kamu sendiri yang menawari saya untuk pergi ke hotel mewah?”

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status