"Kamu kelihatannya sangat bersemangat untuk pergi ke hotel bersama saya, ya?"
"Jangan nuduh, Pak!"Elkan tersenyum sinis. "Tidak usah sok alim, bukankah kamu sendiri yang menawari saya untuk pergi ke hotel mewah?"Nayara jelas tidak dapat berkutik lagi, diam-diam dia mengutuk mulutnya yang tidak pernah bisa direm setiap kali dalam keadaan emosi."Saya ... duduk di belakang saja ya, Pak?" kata Nayara ketika dia dan Elkan sampai di parkiran."Kamu pikir saya sopir?""Bukan begitu, tapi ....""Sudah jangan banyak alasan, cepat masuk."Nayara mati kutu, biarlah dia ikuti apa maunya atasan galak ini. Daripada dipecat, kehidupan justru akan lebih buruk setelah dia resmi menyandang gelar janda."Menurut kamu, hotel di sana bagus tidak?" tanya Elkan sembari menyebut salah satu hotel di kota besar."Jangan, Pak! Mahal, yang lain saja ....""Kalau hotel di dekat gedung olahraga?""Itu kelasnya para artis, Pak. Dompet saya bisa langsung kritis ini ...."Elkan berdecak sembari mengemudi."Hotel yang dekat universitas?""Apalagi yang itu, hotelnya terlalu eksklusif untuk saya yang cuma budak korporat dan Bapak yang baru saja naik jabatan jadi pemimpin perusahaan."Kesabaran Elkan yang hanya setipis tisu dibagi dua, akhirnya mengambil keputusan sepihak untuk mereka."Saya mau hotel yang kamu bilang eksklusif itu, kamu yang harus bayar sesuai kesepakatan."Mata Nayara terbelalak hingga nyaris keluar dari rongganya."Mana bisa, Pak? Sudah saya bilang kalau hotel yang itu terlalu eksklusif, kita tidak bisa datang sewaktu-waktu untuk pesan kamar.""Terus?""Kita harus booking dulu jauh-jauh hari.""Masa sih? Jangan sok tahu kamu, bilang saja kalau kamu mau ingkar janji."Tidak terima karena terus dicibir Elkan, Nayara berusaha keras memberi penjelasan tentang profil hotel yang sempat dia ketahui gara-gara Andika pernah berencana ingin bulan madu di hotel tersebut, tapi batal karena dana yang terbatas."... jadi tidak sembarang orang bisa pesan, selain itu sulit kalau kita mau pesan kamar dadakan. Percaya deh sama saya, Pak."Elkan mendengus. "Kita akan tetap pergi ke hotel itu, saya mau membuktikannya sendiri.""Kok Bapak tidak percaya sama saya sih, Pak?""Apa untungnya saya percaya sama kamu?""Setidaknya saya ini orang yang jujur, Pak. Daripada di sana nanti Bapak malu-malui di depan resepsionis, lebih baik saya carikan hotel lain saja. Yang standar, asal bersih dan pelayanannya bagus ....""Tidak, saya mau hotel yang mewah."Nayara menepuk keningnya beberapa kali."Pak, uang saya terbatas.""Bukan urusan saya, salah sendiri suka mengobral janji. Katanya saya bisa bebas tidur di ranjang mewah dan kamu yang bayar sewa hotelnya."Ingin rasanya Nayara menangis meraung-raung detik itu juga, tapi dia susah payah menahan diri.Elkan bisa semakin merasa menang kalau Nayara menunjukkan kelemahannya sebagai pegawai.Apa boleh buat, terpaksa tabungan selama beberapa tahun ini jadi tumbal gara-gara kelakuan atasan baru. Nayara mengeluh dalam hati.Dalam diam, Elkan mengemudikan mobilnya menuju hotel yang dia incar. Tidak tanggung-tanggung, dia memilih hotel kelas atas yang sangat dihindari oleh Nayara sejak awal.Hotel Alteza."Bapak mau memeras saya?" tanya Nayara lemas ketika mobil Elkan memasuki pelataran hotel megah itu."Sesuai sama apa yang kamu janjikan tadi.""Lagian percuma, Pak. Saya sudah bilang kalau hotel ini tuh eksklusif, tidak sembarang orang bisa langsung ambil kamar. Mereka harus booking dulu jauh-jauh hari ....""Tidak usah cerewet, buktikan saja di depan resepsionis nanti."Nayara yang tadinya masih sungkan, kini jengkel setengah mati."Kalau mau dipermalukan jangan ajak-ajak lah, Pak.""Siapa yang mau mempermalukan diri?""Pak, serius deh. Daripada nanti Bapak mundur dengan tangan kosong, lebih baik Bapak cari hotel lain saja. Kan yang penting bisa tidur di ranjang, namanya hotel pasti kamarnya jauh lebih baik daripada kontrakan petak. Boro-boro ranjang, bisa tidur di tikar saja sudah bagus."Elkan tidak mendengarkan Nayara yang sedang tadi terus nyerocos tanpa henti. Dia harus menuntaskan misi balas dendam ini, supaya ke depannya Nayara tidak asal bicara sembarangan lagi."Sini biar saya yang pesan," kata Nayara."Wah, wah, kelihatannya kamu sudah tidak sabar ingin segera pesan kamar untuk kita.""Apa? Kan Bapak sendiri yang minta, kenapa jadi kita sih?"Elkan menatap Nayara dengan tatapan meremehkan, dia teringat kembali dengan ucapan Andika yang mengatakan bahwa Nayara bukanlah istri yang bisa menjaga kesetiaan.Jadi tidak salah kan kalau Elkan bermain-main sejenak dengan pegawainya ini? Toh sebentar lagi Nayara juga akan diceraikan Andika."Sudah cepat pesan kamar sekarang, jangan banyak bicara."Nayara menurut dan segera mendekati petugas resepsionis."Permisi, Mbak ....""Ada yang bisa saya bantu, Ibu?""Saya mau pesan kamar untuk satu malam saja.""Sebelumnya apakah Ibu sudah pesan jauh-jauh hari?"Nayara menggeleng. "Saya pesan dadakan, Mbak. Buat bos saya, bisa?"Elkan sengaja berdiri agak jauh untuk melihat bagaimana Nayara melobi petugas resepsionis."Maaf, Bu. Di hotel ini tidak bisa pesan mendadak, harus jauh-jauh hari.""Dicek dulu lah, Mbak. Siapa tahu masih ada kamar kosong, orang hotelnya sebesar ini juga ....""Mohon maaf, memang aturannya seperti itu. Mungkin Ibu mau booking untuk minggu depan?"Nayara menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal."Berarti tidak bisa ya, Mbak?""Mohon maaf, tidak bisa, Bu."Nayara menarik napas, lalu mengucapkan terima kasih kepada petugas resepsionis itu."Apa saya bilang?" Nayara berdiri tegak di hadapan Elkan dengan wajah kesal yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi. "Kamarnya tidak bisa dibooking mendadak, Bapak pikir ini tahu bulat yang bisa dadakan?"Elkan balas menatap Nayara dengan tenang."Masa tidak bisa? Kamu kali yang tidak pandai melobi," katanya meremehkan."Saya sudah berusaha ya, Pak? Kalau tidak percaya, coba saja sendiri!""Kok jadi ngegas ngomongnya?""Ya karena Bapak nuduh terus sih, kalau tidak percaya silakan coba sendiri sana."Nayara melipat kedua tangannya di dada ketika Elkan berdiri dan berjalan ke arah meja resepsionis.Tutorial mempermalukan diri sendiri, ejek Nayara dalam hati.Setelah bercakap-cakap sebentar dengan resepsionis yang berjaga, Elkan berbalik dan kembali ke hadapan Nayara yang menunggu."Betul kan apa yang saya bilang? Makanya jangan keras kepala kalau dikasih tahu," cerocos Nayara dengan nada menang. "Tidak selamanya pegawai itu salah dan atasan selalu menang."Elkan tersenyum, lalu melambaikan selembar kartu di depan wajah Nayara."Saya sudah dapat kamarnya."Mata Nayara kembali terbelalak."Kok bisa sih? Bapak nyogok ya?" tuduh Nayara spontan. "Dosa lho, Pak. Sadar dong ....""Eh, ngomong apa kamu?"Nayara tidak menjawab, melainkan kembali mendatangi resepsionis tadi."Mbak, katanya tidak bisa pesan kamar. Kok bos saya bisa sih?"Petugas resepsionis itu menatap Nayara, kemudian ganti menatap Elkan.Bersambung—"Ya, hiduplah dengan lebih baik lagi bersama keluarga kecil kamu." Gio mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi Nia untuk segera pergi.Sesaat setelah Nia keluar, sebuah taksi menepi di depan Kafe dan Kalila melangkah turun."Aku sudah sampai, nih ... Masih lama? Ya sudah, aku tunggu!" Kalila mengakhiri percakapan dengan seseorang, kemudian menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam tas.Namun, langkah Kalila sontak terhenti saat seseorang menabraknya tepat setelah dia melangkah masuk ke dalam kafe."Gio! Kok main tabrak saja?"Kalila terhuyung sebentar sebelum akhirnya bisa menyeimbangkan diri."Hati-hati kalau jalan!" imbuhnya sedikit kesal.Gio menyipitkan matanya."Mentang-mentang kita sudah bercerai, apa harus kamu seangkuh ini di depanku?"Kalila balas menatap Gio yang wajahnya sedikit memerah."Aku tidak mengerti kamu ngomong apa."Kalila bergegas pergi menjauh untuk mencari meja yang masih kosong. Jika sesuai rencana, seharusnya Zia akan menyusul lima belas menit kemudian.Na
"Terus kenapa menatapnya penuh curiga begitu? Saya ini bukan tukang tipu," sela Elkan sedikit tersinggung. "Bukan curiga, Pak. Aneh saja, kenapa tidak ambil pegawai lain saja untuk jadi asisten pribadi?" "Suka-suka saya, hanya saya lihat akhir-akhir ini kerjaan kamu beres semua ...." "Yang kemarin-kemarin tidak beres memangnya?" potong Nayara berani. "Beres sih, tapi akhir-akhir ini kamu gesit. Kebetulan saya akan sangat sibuk ke depannya." Nayara langsung memegang keningnya. Bayangan seberapa banyak pekerjaan jika menjadi asisten pribadi Elkan membuatnya tegang duluan. "Kenapa wajahmu begitu, seharusnya kamu bahagia karena ini penawaran langsung dari bos." Nayara memutar bola matanya dengan malas. "Gajinya berapa, Pak?" "Soal gaji, saya tidak pernah mengecewakan. Saya naikkan lima belas persen, lumayan kan?" "Cuma lima belas persen?" "Kenapa, kurang?" Nayara sibuk menimbang-nimbang. "Gimana, ya? Kalau dua puluh lima persen saya mau, Pak!" "Wah, mata duitan." Nayara ce
"Aku tidak bilang begitu, hanya saja apa kalian sudah mampu dari segi modal?"Pertanyaan Elkan tak urung membuat Andika dan Lika diam membisu."Justru itu! Kami sedang berusaha mencari investor yang mau kasih pinjam modal ke kita," kata Andika pongah."Kenapa tidak mengumpulkan modal sendiri dari gaji kalian? Minim risiko dan jelas lebih aman.""Kelamaan kalau kami harus mengumpulkan uang dulu, El." Kali ini Lika yang menjawab. "Berapa sih gaji pegawai seperti kami ini?""Tentu lumayan kalau digabungkan berdua," sahut Elkan kalem. "Saranku, kalian menabung dulu sambil memikirkan gambaran bisnis apa yang ingin kalian wujudkan. Investor kaya sekalipun, dia akan tetap mempertanyakan proposal bisnis kalian."Andika melirik Lika dengan isyarat seolah dia sudah menduga jika menemui Elkan adalah perbuatan yang sia-sia saja.Jaka tiba untuk mengantarkan minuman sesuai permintaan Nayara."Maaf menunggu lama, Pak ....""Apa Nayara tidak kasih tahu kamu kalau saya ada tamu?" tanya Elkan."Sudah
“Sudah dari tadi, Bu!” Nayara sengaja mengeraskan suaranya, seraya melirik ayah tirinya. “Anak datang kok nggak disuruh masuk sih,” omel ibu sambil menggamit lengan Nayara. “Ngomel terus perasaan, bikin pusing lama-lama di rumah ....” “Jangan di rumah kalau begitu, kerja sana!” “Aku ini suami lho, kepala keluarga, kok dibentak-bentak begini ... Kualat gimana?” “Nggak akan kualat kalau kepala keluarganya kayak kamu,” gertak ibu. “Yuk Nay, kita masuk saja.” Ayah tiri Nayara melengos, kemudian keluar dari rumah sambil mengentakkan kakinya. “Kok kayaknya aku datang di saat yang salah ya, Bu?” tanya Nayara tidak enak. “Aku pikir sudah lama nggak nengok Ibu, makanya sengaja datang. Tapi ayah malah marah-marah nggak jelas, memang aku yang salah sih ... Nggak pernah kirim kabar, apalagi kirim uang.” Ibu mengembuskan napas panjang. “Ibu lihat kamu sehat begini saja sudah senang, kamu tambah kinclong ... Itu artinya kamu bahagia, kurang apa lagi, coba?” “Kurang membaha
Andika hanya meringis, dia bersedia melakukan segala cara supaya bisa meraih simpati Elkan kembali. “Besok Anda ada kunjungan kerja, Pak.” Nayara memberi tahu Elkan di hari pertama akhir bulan. “Bersama Pak Kalandra dari Lazuardi, agenda kegiatannya meninjau pabrik daur ulang ... Saya tidak ikut kan, Pak?” Nayara mendongak menatap Elkan yang sedang menyeruput kopinya. “Pak?” Elkan hanya balas menatap Nayara dengan cangkir masih menempel di bibirnya. “Pak!” “Ohok!” Elkan langsung tersedak dan terbatuk-batuk. “Eh maaf, Pak!” Nayara jadi merasa bersalah karena memanggil Elkan di saat atasannya itu sedang minum kopi, buru-buru diulurkannya beberapa lembar tisu kepada Elkan. “Kamu ini ya ...” Elkan masih terbatuk-batuk. “Mau bunuh saja?” “Kejam amat, tersedak saja tidak akan membuat Anda lewat, Pak!” Elkan tidak menjawab, melainkan sibuk membersihkan tumpahan air kopi sembari masih terbatuk-batuk kecil. “Saya pesankan kopi baru ya, Pak!” Lagi-lagi Elkan tida
Elkan mendengus. “Saya kok tidak percaya.” “Lho, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa untuk percaya, apalagi orangnya juga belum saya temukan.” Elkan tidak bicara lagi, melainkan fokus mengemudi karena sudah ada pekerjaan yang menunggunya di kantor. “Argh, menyebalkan!” Lika memukul-mukul tangannya sendiri dengan kesal. “Kenapa sih janda satu itu selalu saja nempel sama Elkan? Bikin aku jadi susah untuk melancarkan pesonaku, padahal aku yakin kalau Elkan sebenarnya ramah ... Semua gara-gara si janda!” Lika mengembuskan napas gusar, dia memperbaiki posisi duduknya kemudian mengambil bedak untuk merias ulang wajahnya yang merah padam. “Semoga saja apa yang aku lakukan baru-baru ini bisa bikin Andika mendapatkan jabatan sekretaris lagi, uang jajanku sudah menipis ... Aku nggak mau hidup hemat kayak orang susah,” gumam Lika yang tidak bisa menutupi perasaan gusarnya. Salah satu alasan dia bersedia menjalin hubungan dengan Andika adalah karena pria itu sangat loyal da