Kondisi kesehatan Mbak Hani sudah mulai membaik, Mbak Hani juga sangat menerapkan gaya hidup yang sehat. Tentu saja kami semua bahagia mendengarnya. Mbak Hani juga memiliki semangat yang tinggi untuk sehat. Ia ingin menjadi Mama yang baik untuk Nadya.Arya dan Nadya juga sudah mulai kuliah di kampus yang sama tapi beda fakultas. Aku meminta Arya untuk menjaga Nadya. Ternyata benar dugaan Mbak Hani, Mas Kevin tidak mau membiayai Nadya kuliah. Dengan berbagai macam alasan. Untung saja Mbak Hani sudah menyiapkan semuanya.Untuk Arya, aku juga patut bersyukur. Mas Fahmi membantu biaya masuk kuliah. Arya juga bercerita kalau Yang Kung beberapa kali mentransfer uang untuk biaya hidup bulanan. Padahal kalau mereka tidak mau membantu biaya kuliah, Mas Ray juga sudah menyiapkannya. Hubungan kami dengan keluarga Mas Fahmi juga sangat baik. Beberapa kali aku mengajak Mas Ray ke rumah orang tua Mas Fahmi. Alhamdulillah mereka menerima kami dengan baik.Kehamilanku sendiri sudah memasuki bulan ke
"Dari mana kamu, Arya?" tanya Mas Fahmi pada Arya anak kami. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore dan Fahmi baru pulang dari sekolah. Padahal biasanya jam setengah tiga sudah sampai di rumah. Memang beberapa hari belakangan ini, Arya sering pulang terlambat. Tapi biasanya ia selalu memberitahu kalau ada kegiatan di sekolah."Dari rumah teman, Ayah," sahut Arya. Belum sempat Arya melangkah, Mas Fahmi sudah menghardiknya."Duduk!" perintah Mas Fahmi dengan suara yang keras. Aku jadi deg-degan mendengarnya. Jangan sampai terjadi keributan antara Mas Fahmi dan Arya.Akhir-akhir ini, aku lihat hubungan mereka sedang bermasalah. Entah Mas Fahmi yang terlalu posesif atau memang Arya yang sudah mulai bandel. Maklum seusia Arya, kelas sepuluh SMA, masanya mencari jati diri.Arya duduk di hadapan kami, dengan menundukkan wajahnya. Sepertinya ia enggan menatap kami. "Arya, kamu itu sudah besar. Bukan saatnya kamu bermain terus. Kamu harus rajin belajar, kurangi keluyuran. Nilai rapormu harus bagu
"Bu, aku izin mau menikah lagi. Jangan khawatir, nanti aku pasti akan bersikap adil," kata Mas Fahmi, membuatku bagai disambar petir. "Apa salahku, Mas, sampai kamu mau menikah lagi?" sahutku dengan menangis tersedu-sedu."Kamu nggak salah kok. Aku yang salah, tidak bisa menahan nafsu…."Aku menangis dengan keras, duniaku terasa runtuh. "Bu…Ibu.…" Kudengar suara memanggilku. Aku langsung membuka mataku, ternyata hanya mimpi. Aku langsung menangis."Alhamdulillah, Ibu sudah sadar. Tadi Ibu pingsan," kata Mas Fahmi.Aku mencoba mengingat-ingat apa yang sedang terjadi. Oh, iya tadi aku bangun dari tempat tidur, tahu-tahu langsung gelap. Aku pun menangis lagi."Kenapa menangis? Ada apa?" tanya Mas Fahmi, seperti khawatir denganku."Aku mimpi, Mas mau menikah lagi." Aku berkata dengan sesenggukan. Sempat kulihat wajah Mas Fahmi tampak kaget dan pucat."Ah, itu kan hanya mimpi," ucap Mas Fahmi untuk menghilangkan keterkejutannya."Ayah, ini tehnya," kata Adiva anak keduaku sambil membawa
Hari ini aku ingin menguasai Mas Fahmi. Sejak pulang dari rumah sakit, sampai menjelang zuhur ,aku sengaja tidak tidur. Padahal aku mengantuk sekali, karena minum obat. Takutnya nanti kalau aku tidur, ia malah pergi."Bu, aku mau pergi dulu ya? Sebentar saja," kata Mas Fahmi ketika kami sampai di rumah."Pergi kemana?" tanyaku penuh selidik."Ada urusan sebentar.""Urusan apa?""Urusan kantor.""Mas kan sudah izin nggak masuk kerja, kok masih sibuk ngurusin urusan kantor? Apa tidak ada orang lain yang bisa mengerjakan pekerjaan Mas?" tanyaku dengan kesal."Sebentar saja.""Aku ikut.""Kamu kan masih sakit.""Kalau tahu aku sakit, ya tungguin aku di rumah. Tahu istrinya sakit kok malah mau keluyuran.""Bukan keluyuran, tapi ada urusan.""Pokoknya kalau Mas pergi, aku ikut. Titik."Mak Fahmi terdiam, mukanya tampak kesal sekali. Ia sibuk mengutak-atik hpnya. Aku tahu kalau ia sebenarnya ingin marah denganku. Berhubung aku sedang sakit, jadi ia hanya diam saja."Kenapa sih, Mas, dari tad
"Dek, Kak Arya suka cerita apa sama kamu?" tanyaku pada Adiva.Aku sengaja ke kamar Adiva, alasanku ingin menemaninya belajar."Cerita apa, Bu?" tanya Adiva."Apa sih yang suka kalian bicarakan berdua?" sahutku lagi."Cerita tentang lagu, film juga tentang teman sekolah. Juga sering bercerita tentang masa depan.""Pernah nggak cerita tentang Ayah atau Ibu?""Pernah.""Cerita apa?" "Ayah yang suka marah-marah.""Terus?""Ayah yang selalu sibuk, nggak ada waktu untuk kami lagi. Kalau di rumah sibuk main hp.""Memangnya Ayah sekarang seperti itu, ya?" tanyaku penasaran."Iya. Sekarang Ayah sudah jarang mengajak kita makan diluar. Jarang ngobrol juga. Terlalu sibuk atau pura-pura sibuk ya, Bu?""Kok kamu ngomongnya kayak gitu?""Habis Ayah memang seperti itu sekarang.""Menurutmu, hubungan Ayah dan Mas Arya gimana?""Entahlah Bu. Kayaknya sekarang Mas Arya sering sekali dimarahi oleh Ayah. Padahal hanya masalah sepele. Ayah sekarang sensi, kayak perempuan saja."Ternyata bukan aku saja y
Pulang dari sekolah aku sengaja mampir ke rumah Bapak. Dengan mengendarai motor, aku mampir ke toko kue dan toko buah. Membelikan makanan dan buah kesukaan Bapak dan Ibu.Aku bekerja di sebuah TK, dibawah naungan sebuah yayasan pendidikan. Sebenarnya aku merupakan seorang sarjana pendidikan bahasa Inggris. Aku pernah mengajar di sebuah SMP swasta. Setelah aku hamil anak kedua, yaitu Adiva, aku mengundurkan diri dari SMP tersebut. Karena mengurus dua anak yang terpaut usia dua tahun sangat merepotkan. Aku tidak sanggup membagi waktu antara pekerjaan sekolah dan keluarga. Mas Fahmi mendukung keputusanku.Setelah Adiva berumur dua tahun, aku mulai bosan di rumah. Atas bantuan Opik, aku dipercaya memegang dan mengelola TK yang baru saja didirikan. Dengan kemampuan yang ada, aku berusaha semangat mengajar di TK. Arya termasuk siswa angkatan pertama di TK yang aku kelola. Aku bekerja sambil mengasuh dua anak. Untung saja pihak yayasan tidak mempermasalahkannya. Saat itu hanya ada tiga orang
Azan subuh berkumandang, aku terbangun dari mimpiku. Kulihat Mas Fahmi masih tidur di sebelahku. Segera aku bangun dan bersiap untuk menjalankan kewajiban sebagai umat muslim. Aku menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Anak-anak juga sudah bangun. Mereka melakukan aktivitas wajib, yaitu membantuku membersihkan rumah. Arya menyapu dan mengepel lantai. Adiva mencuci pakaian. Kulihat Mas Fahmi juga sudah bangun dari tidurnya. Seperti biasa, setiap pagi aku selalu menyiapkan kopi untuknya. Masih dalam kondisi diam tidak bertegur sapa, aku memberikan segelas kopi di meja. Aku melanjutkan lagi aktivitas pagi ini. Anak-anak sudah selesai melakukan tugasnya, mereka mandi bergantian. Aku pun mandi dan bersiap untuk berangkat kerja. Sarapan pagi kami lalui seperti tadi malam, tanpa ada percakapan. Benar-benar sepi dan sunyi rumah ini. "Bu, kami berangkat, ya?" pamit Adiva. "Iya, hati-hati ya?" jawabku. Arya sudah di atas motor bersiap mengantarkan Adiva sekolah, baru kemudian ia be
Kami semua menoleh ke arah yang ditunjuk Adiva."Benar, itu Bude Hani," kataku pelan. Aku shock melihat Mbak Hani ada di restoran ini, karena ia bersama dengan Kak Rizal. Kak Rizal adalah mantan kekasih Mbak Hani waktu kuliah. Mereka merupakan pasangan yang sangat serasi waktu itu, tapi aku tidak tahu mengapa mereka sampai berpisah. Mbak Hani menikah dengan Mas Kevin dan Kak Rizal menikah dengan perempuan bernama Renita. "Dengan siapa Bude Hani Itu, Bu?" tanya Adiva. "Oh, mungkin temannya." "Kok hanya berdua saja, apa nanti tidak menimbulkan fitnah? Kata Ibu, perempuan yang sudah menikah itu harus menjaga pergaulannya. Apalagi Bude Hani sedang bermasalah rumah tangganya. Nanti malah memperkeruh keadaan." Adiva tetap nyerocos saja. "Sudah, Dek. Nggak usah banyak komentar. Itu bukan urusan kita. Kamu kebanyakan nonton sinetron ikan terbang sih, makanya kamu berpikiran seperti itu." Arya yang tadi diam, akhirnya mengeluarkan pendapatnya. "Iya, benar kata Kak Arya." Mas Fahmi juga