Bagaikan mimpi, kini keduanya sudah sah menjadi pasangan suami istri. Mama bulan memeluk mereka berdua bergantian. Rona bahagia tak bisa ditutupinya sama sekali.
“Akhirnya anak Mama satu-satunya menikah. Malam ini kalian harus membuatkan cucu untuk Mama.”“Ma, malu, Ma!”“Kenapa harus malu, kalian sudah sah menjadi suami istri. Mama akan tetap mengawasi kalian. Biar Mama yakin kalau kamu benar-benar melakukan malam pertama dengan suamimu. ”Mama Bulan mengarahkan jari telunjuk dan tengahnya ke arah putrinya lalu ke arah matanya sendiri. Pertanda Bulan dan Langit tak akan bisa lolos dari pengawasannya.Mama Bulan pun menyuruh keduanya naik ke kamar Bulan. Walaupun tak ada perayaan apapun, tetap saja Mama Bulan tahu kalau keduanya cukup lelah, sehingga menyuruh mereka beristirahat.“Jangan coba-coba membohongi Mama, Mama sudah memasang CCTV di kamarmu.”“Apa! Mama mau menonton kami live streaming, Ma, jangan lupa ada UU pornografi. Mama! Apa perlu Bulan mengantarkan Mama periksa?”“Kamu pikir Mama gila!”Langit meninggalkan dua perempuan yang sedang berdebat, dia memilih masuk ke dalam kamar dan memeriksa CCTV seperti yang dikatakan Mama mertuanya. Dia ingin tahu kebenarannya, dia menemukan empat kamera di titik yang berbeda di kamar Bulan.Langit menyugar rambutnya frustrasi, bagaimana mungkin mama mertuanya bisa terpikir hal gila itu. Sepertinya dia sungguh terjebak dalam permainannya sendiri kali ini.Langit merebahkan dirinya di atas ranjang, menatap nanar langit-langit kamar yang akan dia tinggali entah sampai kapan. Walaupun uang yang diberikan Bulan cukup besar dan bisa membuatnya tak perlu bekerja menjadi pacar-pacar pura-pura lagi, namun dia merasa bahwa kebebasannya benar-benar terenggut.Bulan masuk ke dalam kamar, dia berdiri di hadapan Langit, “Cepat bangun, ini tempat tidurku!”“Lebih baik kamu jelaskan padaku, kenapa semuanya jadi begini!”“Kamu sudah menerima uangku, jadi jangan banyak tanya! Lebih baik kamu ganti pakaianmu sekarang juga. Oh, ya kamu bisa tidur di sofa sana!”Bulan menunjuk sofa yang berada di sudut ruangan. Kemudian berlalu pergi dari hadapan Langit, masuk ke kamar mandi. Dia butuh membersihkan diri dan mengalirkan darah yang ada di kepalanya agar bisa berpikir jernih.Langit yang mengira Bulan masih berada di dalam pun dengan santainya melepas pakaian yang dikenakannya. Tak peduli walau ada kamera pengawas. Seperti kata pepatah, terlanjur basah ya sudah basah sekalian.Bulan yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat penampakan di depannya. Seperti yang mama katakan padanya sebelumnya, Langit sungguh-sungguh menggoda. Punggungnya yang lebar dan kokoh membuat Bulan meneguk salivanya kasar.“Damn it!”Langit menoleh ke arah sumber suara.“Kenapa, mengumpatku!”“Kamu bisa nggak sih, jangan ganti baju di sini.”Langit tersenyum, senyuman menggoda dengan smirk di salah satu sudut bibirnya, dia berjalan mendekati Bulan dan berbisik di telinganya.“Kamu ingin menyentuhku, bukan? Daripada kamu mengomeliku lebih baik kamu ganti bajumu. Dadamu rata.”Setelah berbisik di telinga Bulan Langit pun masuk ke dalam kamar mandi dan menutupnya dengan keras.Bulan yang mulai sadar dengan kalimat yang diucapkan Langit padanya berteriak kesal.“Langiiiii..t, awas saja kamu!”Bulan yang tak mau kalah pun mematikan lampu kamar mandi. Terdengar sumpah serapah dari dalam kamar mandi yang ditujukan pada Bulan. Bulan tergelak, tertawa penuh kemenangan.Detik berikutnya Langit mengeluarkan tangannya, meraba-raba tembok di luar hendak menghidupkan sakelar lampu, sayangnya tangannya yang nakal itu malah tak sengaja menyentuh dada Bulan yang sejak tadi bersandar di sebelah sakelar.“Langiiiit...!”“Jangan salahkan aku, salahkan diri kamu sendiri, kenapa harus berdiri di situ. Lagian rata, jadi aku tak bisa merasakannya.”Langit tertawa terbahak, dengan mengenakan handuk sepinggang dia keluar dan menghidupkan lampu kembali.Bulan yang marah mengentakkan kaki dan langsung menuju wardrobe. Belum sehari dia menikah dengan Langit, tapi, kesialan datang bertubi-tubi .Setelah keduanya membersihkan diri, Langit langsung naik ke atas ranjang Bulan. Tentu saja Bulan tak membiarkannya begitu saja.“Minggir, kamu tidur di sofa.”“Enggak, kamu yang tidur di sana, itu terlalu kecil, kamu pikir aku bisa tidur di sana. Kamu yang memintaku menjadi suamimu, jadi kamu yang harus bertanggung jawab.”“Aku perempuan, Langit, bagaimana mungkin kamu setega itu membiarkan aku tidur di sana!”“I don’t care! Kamu bahkan tega membuatku menikah denganmu!”Tanpa mereka berdua sadari, saat ini Mama Bulan sedang menguping pembicaraan mereka dari luar. Sejak tadi wanita itu begitu tertarik dengan keributan yang dibuat putri dan menantunya. Samar-samar dia mendengar apa yang dikatakan Bulan dan Langit walau hanya sebagian. Tanpa mengetuk pintu, Mama Bulan langsung masuk begitu saja ke dalam kamar hingga membuat Langit terkejut dan jatuh dari atas ranjang.“Kalian berisik! Sejak tadi Mama mendengar kalian ribut terus. Bukankah sudah Mama katakan, kalau Mama mengawasi kalian berdua.”Bulan hampir tak percaya, tapi, setelah mamanya menunjuk pada kamera pengawas yang sudah terpasang di sudut kamarnya, mendadak tubuhnya melemas. Jadi malam ini, mau tak mau, ingin tak ingin, dia harus tidur satu ranjang dengan Langit.“Maju kena mundur kena,” lirihnya hampir tak terdengar.Sayangnya Mama bulan yang memiliki pendengaran yang sangat tajam, masih bisa mendengar ucapan putrinya, hingga membuatnya mengulas senyum tipis.Langit senang, setidaknya malam ini dan malam-malam selanjutnya dia tidak harus meringkuk di sofa yang panjang dan lebarnya tak seberapa itu.“Ma, memang harus, Mama memasang kamera pengawas, memangnya Mama nggak malu menonton malam pertama kami berdua?”“Kenapa harus malu, Mama bahkan pernah melakukannya, paling juga gayanya begitu-begitu saja.”Langit yang mendengar ocehan mertuanya kini tak sanggup lagi menahan gelak tawanya, dia tertawa terbahak.“Langit!” seru Bulan kesal.“Sorry, Bulan, tapi, apa yang dikatakan Mama benar, lagi pula Mama lebih berpengalaman ketimbang kita.”“Tutup mulutmu!”Langit mengatupkan kedua bibirnya rapat. Mama bulan menatap Langit gemas, membuat bulu kuduk Langit berdiri. Mama Bulan mendekati ranjang dan mengembalikan bantal yang sudah Bulan lemparkan di sofa.“Bulan, kamu harus tidur dengan suamimu, kamu sendiri lho, yang memilihnya menjadi suamimu.”“Pacar, Ma, bukan memilihnya jadi suami!”“Tetap saja kalian ini pasangan, tak bagus kalau tidurnya terpisah, jangan sekali-kali kamu membohongi Mama. Mama bisa melihat kalian dari atas sana. Dan kamu Langit, sekarang juga kamu ikut Mama, ada hal yang ingin Mama bicarakan denganmu.”Langit menoleh ke arah Bulan, seolah bertanya apa yang akan terjadi lagi, tapi, Bulan memilih acuh tak acuh, dia masih kesal dengan Langit.“Memangnya apa yang ingin Mama bicarakan dengan Langit, Mama barusan mengatakan pada kalau kami harus menikmati malam pertama.”Bulan melotot, kedua matanya membulat mendengar ucapan Langit. Ingin sekali dia menjambak-jambak rambut lelaki itu dan menaruh lakban di mulutnya yang lancang. Namun situasinya tak memungkinkan. Mamanya masih berdiri tegak seperti monumen di sana, tak tergoyahkan.“Langit, ikut Mama sekarang!”Langit mendengarkan suara di seberang sana. Namun, tak butuh waktu lama, dia mengakhiri panggilan dari Baby.“Tumben?”Langit cengengesan, dia tak mau kehilangan momen bersama istrinya. Biar saja Baby marah dengannya. Kali ini dia tak mau menyesal lagi. Di saat dia sudah tahu pasti perasaan istrinya. Di tambah lagi Bulan datang jauh-jauh ke Korea hanya untuk memintanya tetap menjadi suaminya. Suaminya sebenarnya, bukan suami yang hanya tertulis di atas kertas.“Aku ingin waktu berhenti sejenak. Menikmati apa yang terjadi hari ini. Even itu hanya sebuah ekspektasi yang tidak mungkin terjadi.”“Ini bukan ekspektasi, Langit. Aku ada di depanmu. Kamu bahkan bisa menyentuhku, melakukan apa saja yng kamu inginkan dariku.”Langit tertawa dia memeluk istrinya lagi, menidurkannya kembali di sisnya sembari menaikkan selimut hingga menutupi kedua tubuh mereka berdua. Langit tak bisa tidur meski langit masih menggelap. Matahari seakan enggan menampakkan wajahnya, matahari tak ingin menggangg
Kini Bulan sudah duduk di dalam pesawat yang sebentar lagi take off. Dia meremas kedua telapak tangannya yang sedikit berkeringat. Meskipun ini bukan pertama kalinya dia pergi ke Korea, tapi entah kenapa perasaannya menjadi gugup. Dia memiliki banyak ketakutan tersendiri. Takut misinya akan gagal kali ini dan pulang dalam keadaan terluka. Walaupun sudah membulatkan tekadnya tetap saja dia hanyalah manusia biasa.Perjalanan tujuh jam dua puluh delapan menit akhirnya berhasil dia lewati tanpa kendala apapun. Pesawat mendarat dengan sempurna. Bulan keluar dari imigrasi dan langsung menuju hotel yang sudah dia booking sebelumnya.“Seoul, im in love,” gumannya sembari menuju taksi yang akan mengantarkannya ke tempat dia akan beristirahat.Sampai di hotel dan check ini, Bulan mengirimkan pesan pada suaminya. Waktu seolah berputar terlalu lambat. Hamir sepuluh menit berlau dan suaminya masih belum membaca pesan yang dikirimkannya. Entah apa yang sedang dia lakukan sekarang. Mungkinkah sua
Bulan ingin sekali pergi menjenguk mertuanya, dia sendiri masih bingung kenapa Ibu Langit bisa sampai masuk ICU.Bulan ingin bertanya pada Langit tapi dia berusaha menahan jarinya untuk tak mengirimkan pesan pada suaminya.“Nanti malam sepulang kerja bagaimana?”Bulan bertanya pada Mine, sebab dia yang tahu di mana ibu mertuanya di rawat. Lagi pula selama Langit pergi dia selalu kesepian di rumah. Rumahnya kosong. Mamanya belum pulang dari Jepang, sedangkan Mine sekarang sudah memiliki kekasih yang tiap malam selalu datang ke apartemennya.“Boleh, tapi aku tak bisa menemanimu lama-lama. Aku ada janji kencan malam ini.”Bulan melemparkan map ke arah sahabatnya. Mine tertawa, dia berhasil menghindar dan menangkap map milik Bulan lalu meletakkannya kembali ke atas meja.“Aku kembali dulu ke ruanganku, nanti aku kemari, aku ada janji dengan klien. Oiya, kalau aku jadi kamu aku akan menyusul suamimu dan membawanya pulang bersamamu. Cinta itu tak memandang gender, mau siapa pun yang m
“Good morning. Semangat, Bulan, dunia masih berputar meski tak ada Langit di sisimu. Ada langit lain yang selalu mengayomi kamu.”“Sial.”Bulan mengumpat kesal.Mine terkekeh, dia bukannya menghibur Bulan yang sedang patah hati, tapi malah menggodanya terus-menerus.“Kenapa tak membalas pesan darinya?”Bulan menghela nafas, dia teringat terakhir kali melihat Langit saat senja di tepi pantai. Dia sadar betul bahwa Langit memiliki perasaan yang sama dengannya, tapi kenapa lelaki itu mau menerima begitu saja permintaan Baby padanya. Berapa banyak uang yang Baby bakar untuknya?“Malas, untuk apa dia berbasa-basi nggak jelas, padahal dia sedang sibuk menyuapi dan meninabobokan bayinya.”Mine tak mampu menahan tawanya, dia tertawa terbahak-bahak. Di saat kesal begitu, amarah Bulan malah membuatnya tertawa terpingkal. Bulan mendesah melihat sahabatnya cukup terlihat puas dan bahagia dengan kalimatnya barusan.“Bagus, lanjutkan saja kebahagiaanmu menertawai penderitaanku. Kamu mema
Selesai makan, mereka berdua berbincang santai setelah sejak tadi berada pada kecanggungan yang hakiki. Setelah beberapa menit berlalu, Langit membuka suara kembali. “Ayo, aku akan mengajakmu ke suatu tempat.” “Ke mana?” “Nanti kamu juga akan tahu.” Mereka berdua bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Menggunakan mobil Langit keduanya kini sudah berada di kemacetan yang cukup panjang. Bulan menghela nafas, dia memandang keluar jendela, menatap masa depannya yang masih tampak buram. Sesekali Langit melirik istrinya yang beberapa kali terlihat menghela nafas. Seolah sedang berusaha melepaskan beban hidup yang cukup berat yang sedang dipikulnya. “Ada yang kamu pikirkan?” tanya Langit memecah keheningan di antara mereka. Bulan menggeleng pelan. Tepat di lampu merah mereka berhenti, Langit menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya. Selama beberapa tahun terakhir, dia mengagumi perempuan itu. Dan pada akhirnya dia bisa dipersatukan oleh keadaan. Perempuan keras k
Setelah malam itu entah kenapa keduanya menjaga jarak, bahkan sudah beberapa malam langit memilih tidur di sofa meski tersiksa. sementara bulan tidur sendirian di ranjang dengan kebisuannya.Walau keduanya sama-sama tak nyaman, tak ada satu pun dari mereka yang mengubah keadaan. Langit apatis dan Bulan yang egois membuat keadaan semakin sulit.Tepat di hari yang sudah ditunggu Langit. Hari ini adalah hari kepergiannya ke Korea bersama Baby. Mungkin semuanya memang harus berjalan seperti yang takdir inginkan. Sekuat apapun Langit menunjukkan perasaannya, si keras kepala itu masih saja tak peka.“Aku pergi hari ini,” pamit Langit pada istrinya yang masih mengenakan bathrobe miliknya seraya memencet tombol remote bergantian.Ada sesak merundung dadanya tapi dia berusaha keras mengalihkannya.“Aku tak perlu mengantarkan kamu ke bandara, kan?”Langit menggeleng pelan, dia duduk menyandarkan punggungnya pada sofa yang didudukinya. Memandang ke arah istrinya yang baru saja selesai