Share

Malam Pertama

Langit mengekori Mama mertuanya keluar dari kamar. Sampai di depan pintu, Mama mertuanya tiba-tiba berhenti dan berkata, “Tidak jadi, kamu tidur saja. Awas kalau Mama dengar kalian ribut. Kalian akan menerima akibatnya. Bulan, dia suamimu, jadi layani dia dengan baik.”

“Tapi, Ma.”

“Mama nggak mau dengar alasan darimu lagi. Langit, nikmati malam pertamamu, buat dia tak berkutik dan kelelahan. Kalau dia macam-macam, katakan pada Mama.”

Langit tersenyum dan mengangguk, saat mertuanya menutup pintu dia tak sanggup lagi menahan tawanya. Langit tertawa terbahak-bahak.

Bulan yang kesal melemparkan bantal ke arah Langit. Namun, Langit berhasil menangkapnya, hal itu membuat Bulan makin kesal. Bibirnya mengerucut, dengan wajah merah padam.

“Jangan marah, marah bisa membuatmu cepat tua dan makin kurus. Segini saja kamu rata apalagi kalau kurus. Aku tak bisa membayangkannya.”

“Dasar omes, pikiranmu nggak jauh-jauh dari sana!”

Bulan menendang lelaki yang sudah menjadi suaminya itu. Langit yang tak siap dengan gerakan Bulan hampir saja jatuh terjerembap.

“Ma...!” seru Langit.

“Tutup mulutmu, Langit!”

“Kamu mau aku memanggil Mamamu, ini malam pertama kita dan kamu berani melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Kamu lupa apa yang barusan Mama katakan.”

“I don’t care!”

“Ya, sudah kalau begitu besok kita cerai.”

Dengan cepat Bulan menghampiri Langit dan menutup kembali mulut lelaki itu dengan telapak tangannya.

Bulan menggeram, “Jangan sembarangan bicara kamu. Kamu mau kita berdua mati bersama!”

Langit menggelengkan kepalanya, Bulan melepaskan telapak tangan yang menutup mulut suaminya.

“Kamu saja yang mati, aku enggak mau. Aku masih mau mengencani gadis-gadis cantik di luar sana.”

Langit menghela nafas, bukan nikah seperti ini yang dia mau, tapi, apa daya penyesalan tiada guna. Hanya karena uang, serta rasa kasihan membuatnya terjebak bersama Bulan dengan kegilaannya.

“Sudahlah aku capek, aku mau tidur, berdebat denganmu makin membuatku menggila. Sana tidur di sofa!”

“Maaa..!”

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Bulan menarik Langit dan membuatnya tidur di samping Bulan.

“Jangan macam-macam denganku, kamu nggak boleh melewati batas yang sudah aku buat.”

“Dih, siapa juga yang mau sama kamu, aku nggak bakalan melewati batas, aku nggak tertarik, kamu rata dari atas sampai ke bawah.”

Bulan tak memedulikan ocehannya, rasa kantuk yang mulai datang menyerangnya membuatnya membelakangi Langit, matanya mulai terpejam, tak butuh waktu lama Bulan sudah berada di alam mimpi.

Sama halnya dengan Bulan, Langit yang kelelahan pun tertidur pulas, keduanya tak sadar saling memeluk, melewati batas yang sudah mereka sepakati.

Langit fajar menjingga indah, malam pun mulai tersingkirkan, lama kelamaan, mentari menampakkan cahayanya. Sinarnya yang hangat menerobos masuk ke dalam kamar Bulan.

Perlahan-lahan Bulan membuka matanya, hal pertama yang dia lihat adalah kakinya yang sedang berada di atas pinggang Langit.

“Sial!”

Dengan hati-hati dia menurunkan kakinya yang sudah lancang melewati batas dan melingkar pada tubuh Langit. Dia tak mau kalau sampai Langit tahu apa yang sudah dilakukannya.

Dalam hati dia terus saja berdoa semoga Langit tak bangun.

“Ya, Tuhan, bantu aku kali ini.”

Baru saja dia mengatakan itu, tubuh Langit tiba-tiba saja bergerak, refleks Bulan pun menendang Langit hingga jatuh ke lantai.

“Apa-apaan kamu!” serunya kesal sembari mengucek matanya yang masih sedikit memejam.

“Kamu sudah melewati garis yang aku buat.”

“Apa kamu yakin dengan ucapanmu barusan?”

“Whatever, aku mau mandi, aku tak mau terlambat bekerja gara-gara meladeni kamu.”

Langit yang sudah tak bisa menahan keinginan buang air, pun berlari lebih dulu masuk ke kamar mandi. Bulan yang tak mau kalah pun menarik baju yang dikenakan Langit.

“Aku dulu, Langit.”

“Aku dulu, aku lelaki, Bulan.”

“Memangnya kenapa kalau kamu lelaki, aku dulu yang mandi.”

“Lihat ini, lihat, aku harus segera ke kamar mandi.”

Langit memperlihatkan bagian yang seharusnya tak Bulan lihat.

“Langit...t, brengsek! Dasar omes!”

Bulan melepas tarikan pada baju Langit membiarkannya masuk ke dalam kamar mandi lebih dulu.

Langit yang tak mau kalah pun berteriak dari dalam.

“Kamu yang pikiran kotor, sedewasa ini masih belum mengerti juga. Laki-laki kalau pagi hari itu on, bodoh!

“Siapa yang bodoh!”

“Kamu yang bodoh!”

Bulan yang makin kesal pun menggedor-gedor pintu kamar mandi, tak dipedulikannya jika mamanya mampu mendengar keributan mereka berdua. Syukur-syukur kalau sampai mamanya marah dan meminta mereka bercerai, bukankah itu sebuah keberuntungan.

Hampir lima belas menit Langit berada di dalam kamar mandi dan masih belum juga keluar. Bulan yang sejak tadi sudah menunggu, memilih keluar dari kamar dan mengadu pada mamanya,

“Mama, aku mau mandi,’ sungutnya kesal.”

“Sudah selesai malam pertama kalian. Mama dengar ramai sekali, memang semenarik itu, ya, Langit.”

Bulan mengerucutkan bibirnya, mamanya malah membuatnya makin kesal. Dia pun berlalu pergi dari hadapan mamanya.

“Mama kepo!”

Bulan kembali memutar tubuhnya dan masuk ke kamarnya kembali. Dilihatnya Langit yang sudah mengenakan kemeja dan celana bahannya.

“Brengsek!”

“Begini-begini kamu yang memintaku jadi suamimu. Kamu lupa ingatan.”

“Rasanya aku pengen hilang ingatan dan menendangmu dari sini. Kalau tahu begini aku nggak bakalan meminta bantuanmu.”

“Ya, sudah ayo, cerai,” tantang Langit.

Bulan melengos, dia melenggang masuk ke kamar mandi. Dia harus bekerja hari ini setelah kemarin mengambil cuti.

Keduanya kini sudah duduk di mobil masing-masing, mereka yang sama-sama kesal memilih tidak sarapan. Walaupun mama Bulan sudah memaksa tetap saja keduanya menolak.

Mobil mereka beriringan menuju kantor. Jalanan yang cukup ramai, membuat keduanya terjebak di traffic light. Mobil Langit yang kebetulan berada di belakang mobil Bulan pun mengklakson Bulan agar segera maju.

Bulan melirik spion. Langit hari ini sungguh membuatnya naik darah dan bertingkah.

Bulan pun membalas klakson Langit. Langit tersenyum simpul, dia berhasil memprovokasi Bulan, mengganggu perempuan itu memang cukup menyenangkan.

“Argh, Langit, jangan teruskan kegilaanmu,” gumamnya pada dirinya sendiri.

Namun, dia masih saja tersenyum-senyum sendiri saat mengingat perdebatan mereka tadi pagi. Hidupnya yang bisanya monoton sekaan lebih seru dari biasanya.

Kini merek berdua sudah sampai di kantor. Saat Bulan keluar dari mobil yang sudah diparkirnya dia menghampiri langit dan mengancamnya.

“Awas saja jika sampai ada yang tahu kalau aku dan kamu menikah. Tamat riwayatmu. Aku akan membuka kedokmu selama ini.”

“Kamu mengancamku!”

“Menurutmu?”

“Katakan saja pada mereka kalau aku memiliki pekerjaan sampingan menjual jasa menjadi pacar pura-pura, aku yakin mereka pasti berbaris menyewaku. Secara nggak langsung kamu membantuku promosi.”

Langit bukannya takut, dia malah menantang Bulan. Langit tersenyum mengejek ke arah Bulan. Sejauh ini memang hanya beberapa dari teman mereka di kantor yang tahu tentang pacar sewaan yang dilakukan Langit.

Bulan meremat pahanya sendiri, melampiaskan kekesalannya, tapi seketika itu juga dia mendekati Langit dan menginjak kakinya dengan hells tujuh senti yang dipakainya, lalu segera berlari menjauh sembari menjulurkan lidahnya.

“Aduh, damn it! Bulaaan....!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status