Langit mengejar Bulan, sayangnya dia berhasil masuk lebih dulu ke dalam lift.
“Sial.”Gagal sudah rencana Langit membalas perlakuan Bulan padanya. Sampai di ruangannya, Langit melempar tasnya sembarangan. Atasannya itu yang tak lain dan tak bukan adalah istrinya, meminta semua orang pergi ke ruang meeting. Entah apa yang akan dilakukannya pagi ini, hal gila apalagi yang akan dia minta dari anggota lainnya.“Bisa nggak, kamu itu datang lebih awal, sama seperti yang lainnya,” ucap Bulan pada Langit.“Baik, Bu.”Langit tak ingin berdebat dengan Bulan di depan orang banyak, tak mau mereka curiga pada mereka berdua. Meeting yang berakhir pada pukul sepuluh itu membuat banyak orang termasuk Langit, pusing sendiri. Mereka memang sedang menangani banyak klien dengan macam-macam masalah. Namun tak seharusnya Bulan meminta mereka menyelesaikannya dalam waktu yang singkat.“Konyol,” ucap Langit sembari berjalan menuju ruangannya.Langit tak menyadari kehadiran Bulan yang berjalan di belakangnya.“Apa maksudmu, ini kerja cerdas, bukan konyol. Setidaknya kita tak membuang banyak waktu hanya untuk menangani satu klien.”Langit melengos, dia berpura-pura tak mendengar dan melanjutkan langkah, masuk ke dalam ruangannya yang kebetulan berseberangan dengan ruangan Bulan.Bulan yang hendak duduk menatap Langit tajam. Namun, Langit acuh tak acuh dan menganggap gadis gila itu tak ada di hadapannya.Bulan sungguh kesal dibuatnya. Dia mendudukkan tubuhnya dengan kasar.“Aduh, sakit,” ucapnya mengusap kakinya yang terantuk kursi miliknya.Bulan menghela nafas, sepertinya mulai hari ini dia harus memiliki banyak stok sabar untuk menghadapi Langit.Baru saja dia fokus pada pekerjaannya, sahabatnya yang berada di lantai atas kini sudah berada di ruangannya.“Kenapa,sih, masih pagi begini mukamu kusut, belum di setrika, tuh lihat bibirmu kelihatan keriting.”“Aku jomblo sejati, Mine.”Mine tergelak, dia satu-satunya yang tahu rencana konyol Bulan yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.“Jangan sampai kamu membuka mulut di mana-mana Mine. Aku bisa merobeknya!”Lagi, Mine tergelak mendengar ancaman sahabatnya. Baginya, kalimat yang terlontar dari mulut Bulan adalah sebuah candaan yang cukup menghiburnya,“Jadi, bagaimana malam pertama kalian?”Bulan mendongakkan kepalanya menatap Mine, dia menyandarkan tubuhnya pada kursi miliknya.“Menurutmu?”“Melihatmu seperti sekarang, aku yakin kalian tak melakukan malam pertama seperti pengantin pada umumnya.”“Nah, itu tahu, please jangan sampai kamu mewarisi kegilaan Mamaku. Aku muak dengan kalimat yang baru saja kamu lontarkan barusan. Bisa nggak, pertanyaannya diganti. Kamu tahukan pernikahan ini terjadi gara-gara Mama.”Bulan mendecap, hari ini emosinya benar- tidak stabil. Mine yang melihat wajah kusut dengan bibir yang mengerucut itu pun makin penasaran.Bulan yang mulai mengerti bahwa sahabatnya sedang kepo akut pun menceritakan apa yang terjadi dengannya dan Langit, tak lupa dia juga menceritakan Mamanya yang sudah memasang kamera CCTV di kamarnya.Mine yang mendengarnya tak sanggup menahan tawanya, dia tergelak sembari memegangi perutnya yang sakit karena tertawa terus-menerus.“Sialan, kamu menertawaiku sejak tadi, dasar teman nggak ada akhlak. Teganya kamu tertawa di atas penderitaanku.”“Tapi ini lucu, Bulan. Kenapa Tante bisa sekreatif itu. Sekarang aku jadi tahu, dari mana sifat gilamu itu. Dari mamamu.”Bulan yang kesal dengan Mine melemparkan kertas yang sudah dia gulung ke arah sahabatnya. Namun, dengan cepat Mine berhasil menangkapnya.Baru kali ini Mine melihat Bulan uring-uringan sejak pagi. Padahal itu semua konsekuensi dari apa yang dia rencanakan sejak awal.“Kalau boleh jujur, aku ingin bebas seperti kamu. Kamu tahu, memiliki hubungan itu rumit dan mengekang. Semua ini gara-gara Mama.”Mine tersenyum, dia mengerti bagaimana perasaan Bulan sekarang. Namun, dia yang memiliki sifat hampir sama dengan Bulan malah menggodanya.“Coba nikmati pernikahanmu dengannya, secara fisik Langit tampan, apa yang kurang darinya? Cuma sedikit kurang duit.”Di luar dugaan Bulan, dia tak menyangka sahabatnya itu memiliki pemikiran di luar nalar. Baginya, menikah membuat beban hidupnya bertambah, apalagi dengan Langit yang cerewet, sebelas dua belas dengan Mamanya.“Kalaupun di dunia ini hanya dia satu-satunya pria. Aku lebih baik jadi jomblo sejati, Mine.”Mine terkekeh, ”Jangan denial, awal cinta itu berasal dari benci dan penolakan yang kamu lakukan terus-menerus.”Bulan menghela nafas, dia selalu kehabisan kata-kata setiap kali berbincang dengan Mine. Gadis itu selalu punya jawaban yang bisa membantahnya.Bulan memalingkan wajah, ruangannya yang dikelilingi kaca transparan membuatnya mampu menatap wajah suaminya yang tampaknya sedang berbicara dengan kliennya.Di saat yang bersamaan Langit pun menoleh dan menatap ke arahnya. Awalnya Bulan ingin berpura-pura tak melihatnya, tapi, rupanya Langit tersenyum ke arahnya. Bulan pun segera mengganti mimik wajahnya, dari yang datar menjadi melotot.Mine yang melihatnya tak sanggup menahan tawa, lagi dan lagi dia tertawa terbahak-bahak. Tak menyangka bulan akan melakukan itu pada Langit.“Mine keluar saja dari ruanganku, sejak kamu datang kemari, kamu terus-terusan meledekku,” ucapnya kesal.“Bukankah sejak tadi aku menghiburmu.”“Ck.. kamu bukan menghiburku, tapi membuatku makin kesal. Dari tadi aku yang terlihat menghiburmu.”Tok..tok..Mereka berdua menatap ke arah sumber suara. Bulan dan Mine saling melempar pandang. Lelaki yang sejak tadi menjadi bahan pembicaraan mereka kini sudah berdiri di depan pintu.“Masuk. Ada apa!”“Bisa nggak sih, bicaramu nggak ketus begitu, ini di kantor.”“I don’t care.”“But i care,” balas Langit tak mau kalah.Mine yang menyaksikan perdebatan mereka mengulum senyum. Tanpa bertanya pada suaminya, Bulan mengerti maksud kedatangan Langit ke ruangannya. Dia mengulurkan tangan meminta berkas yang berada di genggaman suaminya.Sembari menunggu Bulan memeriksa berkas, dia pun mendudukkan tubuhnya di kursi yang tepat berada di depan meja Bulan.“Eh..eh siapa yang menyuruhmu duduk,” hardiknya.Langit menghela nafas, dia menurut. Langit bangkit dari duduknya, dan berdiri di dekat Mine.“Begini amat jadi bawahan,” keluhnya seraya mengusap dadanya yang bidang.“Sabar, Langit, semua ada masanya. Nanti kalau dia sudah sadar, dia pasti berubah.”“Bu Mine bisa saja, berubah jadi apa, Bu? Power rangers pink?”Mine tertawa, dia mengacungkan ibu jarinya pada Langit. Obrolan Langit dan Mine membuat Bulan tak konsentrasi memeriksa berkas klien milik Langit. Bulan mengambil kertas, menulis sebuah kata di atasnya, lalu memperlihatkan kertas itu pada keduanya.Suasana yang tidak kondusif membuat Mine pun memilih berpamitan pada Bulan, dia tak mau mengganggu suami istri yang sedang dalam mode waspada level lima.“Aku balik dulu, Langit jaga dia baik-baik. Singa ini kadang liar, tapi kadang mudah dijinakkan.”Langit tak menjawab, dia malah mengedipkan sebelah matanya, mengiyakan ucapan Mine. Langit tersenyum, menatap lekat Mine hingga bayangannya menghilang dari pandangan. Bulan yang melihat keakraban mereka berdua memasang raut wajah tidak terima.Setelah Mine menghilang, Bulan yang kesal pun menggerutu.“Dasar gatal!”Langit menatap bulan penuh selidik, “Kamu sedang cemburu denganku?”“Ish, ge-er, jangan terlalu percaya diri.”“Lalu kenapa mengataiku seperti itu barusan.”“Memang ada kalimatku yang menyebut namamu? Nggak, kan?”Langit menghela nafas, istri jadi-jadiannya itu memang suka sekali menyulut pertengkaran antara mereka. Walaupun dibayar dengan nilai yang tak biasa, tetap saja dia jengkel. Dia merasa tak dihargai sama sekali. Bulan tetap sama, baginya uang bisa membungkam siapa saja yang membantahnya. Perlahan Langit mendekati Bulan, berusaha mengikis jarak yang tercipta antara mereka meski dipisahkan sebuah meja kerja di depan Bulan. Namun, setidaknya Langit bisa melihat dengan jelas wajah ayu milik istrinya yang tampak serius membaca berkas di hadapannya.“Cantik, tapi sayang....”Bulan mendongakkan kepalanya, manik matanya menatap lekat ke arah suaminya.“Apa? Mau mengataiku apa? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mencampuradukkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi.”
Matahari mulai tergelincir ke arah barat, senja yang indah pun mulai menyapa. Jam dinding menunjukkan waktu di mana jam kerja mereka berakhir.Setelah perdebatan sengit yang terjadi beberapa jam yang lalu keduanya tampak acuh tak acuh.Bulan memilih pulang lebih dulu. Baru saja dia keluar dari ruangannya, ponselnya bergetar, mamanya mengirimkan pesan yang menyuruhnya untuk pulang bersama Langit. “Argh, sial, bagaimana aku bisa lupa kalau dia suamiku sekarang. Damn it!”Bulan memutar tubuhnya, dia mendorong pintu ruangan Langit.“Langit, ayo pulang!”“Nggak, aku masih ada urusan setelah ini.”“Mama menyuruh kita pulang bersama.”“Bilang saja pada Mama kalau aku sibuk. Aku mau ketemu calon pacarku yang baru.”“Gila ya, kamu. Bukankah kita baru saja menikah, dan kamu mau bekerja begitu lagi. Bagaimana kalau Mama tahu, bisa nggak sih kamu menahannya sebentar. Apa masih kurang uang yang kamu terima dariku?”Langit mengendikan bahunya, dan mulai merapikan barang-barangnya. Saat h
“Ah, lupakan aku mau masuk ke kamar.”Bulan mengelak, dia mengalihkan perhatian mereka. Langit yang masih penasaran mengekori istrinya hingga masuk ke kamar. “Jadi kecurigaanku benar? Kamu mengambil keuntungan dariku?”“Enggak, aku nggak melakukan apa pun. Coba ingat-ingat kembali, bukankah tadi pagi aku yang menendangmu hingga terjatuh. So, you know what i mean.”Langit tampak berpikir, dia mengingat dengan jelas kejadian tadi pagi. Kalau dipikir-pikir memang tak mungkin Bulan melakukan sesuatu padanya. Mengingat gadis itu memperlakukannya dengan kasar.Dari pada lelah berpikir tentang hal yang tidak penting, lebih baik dia membersih diri sebelum Bulan masuk lebih dulu ke kamar mandi.Sayangnya, baru saja dia hendak meraih handle pintu, suara Bulan menyapa telinganya.“Langit, aku dulu.”“Tadi pagi kamu sudah duluan, kan, sekarang giliranku,” protes Langit, “Daripada kita ribut terus bagaimana kalau kita mandinya bareng. Lebih adil, kan?”Bulan tersenyum mencurigakan, dia
Bulan diam saja, dia tampak berpikir siapa yang mamanya temui malam ini.Dia yang melamun tak sadar kalau tangannya menggenggam tangan langit di dalam box pop corn.“Ini tanganku, bukan pop corn.”“Oh, sorry.”“Tumben lembut.”“Sudahlah jangan menyulut pertengkaran, kamu nggak ingat pesan Mama mertuamu tadi? Ngit, Kira-kira surprise Mama apa, ya? Apa mungkin kita mengenalnya?” “Kamu pikir aku cenayang, aku mana tahu, dia mama mertuaku, tapi dia ibumu, seharusnya kamu lebih tahu dari aku.”Bulan menaikkan kedua alisnya, lalu acuh tak acuh. Kembali menyeruput cola dan melanjutkan menonton film yang tersaji di hadapan mereka. Dia tak mau menerka-nerka lebih dalam lagi, tapi perasaannya mengatakan bahwa dia tahu siapa yang mamanya temui.“Ngit, pulang, aku bosan.”“Sebentar lagi, aku masih menunggu adegan unboxing.”“Sialan!” seru Bulan melempar pop corn yang hendak masuk ke mulutnya.Mau tak mau Bulan mengikuti arah pandangan Langit. Bulan memutar bola matanya malas. Melirik
Bulan mendorong tubuh Langit menjauh, memberi jarak antara mereka berdua.“Apa saya mengganggu kalian?”Langit dan Bulan menggeleng. Terlihat Mama Bulan bersama dengan pemilik firma hukum di mana mereka bekerja.“Selamat malam, Pak,” sapa Bulan dan Langit bersamaan.“Kompak sekali kalian.”“Langit memang suka begitu, Pak, ikut-ikutan.”Bulan melotot ke arah Langit seakan menyuruhnya mengiyakan ucapannya. Langit menurut, dia mengangguk pasrah. Mereka berpamitan, lagi pula Bintang harus pulang dan tak mau mengganggu mereka bertiga.Selama perjalanan pulang ke rumah, Bulan yang penasaran pun mencecar mamanya dengan banyak pertanyaan.“Jadi yang Mama katakan tadi itu Pak Bintang?”Mama Bulan mengangguk, dia makin penasaran. Ada urusan apa mamanya dengan Bintang?“Ada urusan apa mama dengannya?”“Kenapa? Mau tahu atau mau tahu banget?”“Apa urusan pekerjaan?”Mama bulan tak menjawab, dia hanya tersenyum tipis, hal itu justru ikut membuat Langit penasaran. Entah kenapa di hati
Udara pagi yang sejuk menyapa lembut wajah Bulan. Tubuhnya masih bergelung di bawah selimut yang sama dengan Langit. Perlahan dia membuka mata. Ditariknya tangannya yang sudah lancang memeluk Langit. Dia memukulnya pelan. “Dasar nggak tahu diri,” lirihnya. Lagi-lagi dia sendiri yang melanggar batasan yang sudah dia atur sedemikian rupa. Masih teringat jelas bagaimana perdebatan mereka semalam saat Langit tidur di sebelahnya. Rencananya tidur sendiri gagal total. Langit bukannya tidur di sofa, dia malah mengekspansi sebagian ranjangnya. Bulan membuka pintu balkon lebih lebar. Angin sepoi-sepoi menampar wajahnya yang polos tanpa make up. Sesekali dia menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinganya. “Sudah bangun?” Suara maskulin Langit menyapa di telinganya. Tanpa menoleh ke arah lelaki itu bulan menjawab. “Seperti yang kamu lihat, kalau aku di sini artinya aku sudah bangun. Basa-basimu basi.” “ini masih pagi, Sayang, nggak usah ngegas, kita tidak sedang berada di arena balapa
Setelah obrolan mereka yang sedikit serius, kini keduanya terlihat menonton film bersama. Sungguh sebuah keajaiban selama pernikahan mereka. Ponsel milik Langit berdering. Secepat kilat Langit menjawabnya. Dia sedikit menjauh dari Bulan. Bulan mencebik, tapi berusaha memasang telinganya baik-baik, berusaha mencuri dengar obrolan mereka. Baru kali ini dia kepo urusan orang lain di telepon. Menyadari kegilaannya dia memukul kepalanya sendiri. “Dasar bodoh.” Langit yang baru saja selesai menerima panggilan langsung masuk ke walk in closet. Dia terburu-buru mengganti pakaiannya. “Mau ke mana?” tanya Bulan padanya. “Keluar.” “Ke mana? Dengan siapa. Aku boleh ikut?” Langit memicingkan mata, dia tak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. “Kamu baik-baik saja?” Bulan mengangguk, “Tentu saja aku baik-baik saja.” “Nggak kesurupan, kan?” “Lha setannya, kan, kamu.” “Nikmati waktumu di rumah. Aku mau bertemu seseorang. Kamu bisa mengacaukan segalanya.” Mendengar jawaban Langit,
Bintang tak langsung menjawab, dia menyeruput kopinya lebih dulu. Sedangkan Bulan menunggunya dengan harap-harap cemas. Dia tak mau berpikir yang bukan-bukan tentang mamanya dan Bintang. Namun, obrolannya dengan Langit tadi pagi membuatnya memberanikan diri bertanya pada Bintang.“Kenapa kamu bertanya padaku? Seharusnya kamu tanya langsung pada Mamamu. Kali ini aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Jadi lebih baik kamu tanyakan sendiri pada Mamamu.”Misinya gagal kali ini, dia makin bertanya-tanya sebenarnya apa yang sudah mereka sembunyikan darinya?“Mau makan sesuatu?” tanya Bintang lembut.“No, thanks, aku tak terlalu suka makan makanan berat jam segini.”“Kamu takut gendut? Yang aku lihat kamu bukan perempuan seperti itu.”“Hanya tak terbiasa.”Bintang mengangguk-angguk. Dia menatap Bulan dengan intens. Dia mengingat bagaimana pertama kali bertemu dengan Bulan. Sosoknya yang cantik dan teduh membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. Bulan yang mulai merasa tak nyaman p