Share

4. Calon Mak Comblang

💙 Mas Rezky

Hari-hariku berjalan seperti biasa. Kerja. Kerja. Kerja lagi, dan masih saja kerja.

Ya maklum, aku pria lajang yang belum punya tanggungan. Jadi hidupku memang masih hanya disibukan dengan kerja dan juga kerja. Selebihnya, tugasku adalah membahagiakan ibu negara tercinta, Ibu Sri yang paling ku cinta.

Dering ponselku tiba-tiba berbunyi.

Memang Ibu Sri telinganya peka sekali. Mungkin kuping Ibu berdenging karena sedang ku bicarakan sejak tadi. Karena buktinya, sekarang, beliau sudah meneleponku di siang bolong begini.

"Assalamu'alaikum Bu."

"Wa'alaikumsalam Dek."

"Ada apa Bu telepon siang-siang begini?"

"Memangnya nggak boleh kalau Ibu mau telepon anak Ibu sendiri?"

"Ya boleh, Bu. Tapi tumben aja Ibu telepon Rezky siang-siang begini. Ada apa?"

"Ini Adek lagi di mana?"

"Jangan panggil Adek dong Bu. Rezky kan udah gede. Udah 26 tahun. Jadi jangan dipanggil Adek kaya pas zaman Rezky masih SD."

"Ya kenapa si? Kamu kan emang anak bontot Ibu. Jadi ya wajar kalau kamu dipanggil Adek. Masa mau dipanggil Mas? Nanti Mas Rangga, Masmu, bisa sewot kalau Ibu begitu."

"Halah. Mas Rangga udah punya istri sama anak, masa masih aja suka sensi?"

"Ya udah, berarti kamu cari istri, biar ada yang panggil kamu Mas."

Aku menghela napas panjang sekali. Karena sepertinya Ibu negara sedang ingin memancing peperangan di siang hari ini.

"Nggih bu. Nanti Rezky cari."

"Cari beneran Dek. Jangan nggih nggih aja. Tapi kamu kasih janji palsu melulu sama Ibu."

"Kapan Rezky pernah kasih janji palsu sama Ibu? Ibu minta tas atau cincin baru, pasti Rezky kasih kan?"

"Ibu udah nggak minta tas atau cincin baru. Sekarang, Ibu maunya Adek bawa mantu buat Ibu."

"Kan udah ada Mba Nadia, Bu"

"Nadia kan mantu dari Mamas. Kalau mantu dari Adek, kan belum."

"Nggih Bu. Pangestune. Ibu doain ya semoga Rezky bisa segera dapat istri yang sholehah, menantu yang baik buat Ibu."

"Aamiin. Ibu lho nggak pernah lupa buat doain anak-anak Ibu. Ya Mamas, ya Adek, selalu, pasti Ibu doain."

"Ya berarti buat Rezky ditambahin, biar cepet diijabah sama Allah, jadi Ibu bisa segera punya mantu lagi dari Rezky."

"Iya. Aamiin. Tapi kamu cari beneran lho Dek. Jangan sibuk di bis atau di dapur terus. Keluar. Jalan-jalan. Biar ketemunya cewek cantik. Dandan. Biar wangi. Nggak cuma bau bensin atau bau amis ikan."

"Idih. Ibu mah sama anak malah menghina begitu. Bau bensin, bau amis begini, tabungan Rezky udah siap banget buat nikahin anak orang, Bu."

"Ya makannya cepetan cari. Jangan ndekem di kantor sama rumah makan terus. Keluar Dek, cari calon istri. Soalnya Ibu udah pengin punya mantu lagi."

"Astaga Ibu. Nggih Bu. Nggih. Kenapa Ibu jadi rewel begini si?"

"Ya habisnya Adek janji-janji melulu, tapi nggak bawa-bawa mantu buat Ibu."

"Iya. Nggih Bu. Habis ini. Tapi Rezky mau cari uang dulu."

"Nggak usah cari alasan lagi Dek."

"Nggak alasan, Bu. Rezky beneran mau kerja. Soalnya habis ini ada orang yang dateng mau bahas catering untuk acara nikahan anaknya."

"Kamu ngurus catering di nikahan orang lancar, terus kapan mau ngurus catering di nikahan sendiri?"

Aku langsung mengurut pelipisku. Karena tiba-tiba kepalaku jadi terasa pening sekali setelah mendengar sindiran dari Ibu.

"Sindir aja terus Bu. Ledek terus."

Ibu malah tertawa sangat bahagia di seberang sana.

"Ya sudah. Adek jangan lupa makan. Jaga kesehatan. Dan jangan sampai sakit di kota orang."

"Nggih Bu. Ibu juga jangan lupa makan dan jaga kesehatan ya."

"Jelas dong. Habis ini, Ibu mau jalan-jalan sama mantu dan cucu Ibu."

"Nggih Bu. Hati-hati ya. Walaupun siang, jangan lupa tetep pakai jaket ya Bu. Dan sampaikan salam Rezky buat Mba Nadia sama Rio."

"Salam buat Mamas juga nggak?"

"Iya. Salam buat Mas Rangga juga."

"Oke, nanti Ibu sampein."

"Ya udah. Rezky matiin dulu ya Bu teleponnya. Soalnya kayaknya, habis ini, tamunya mau datang."

"Iya. Jangan lupa pesan Ibu ya Dek. Adek harus cari mantu buat Ibu."

"Astaga. Iya Bu, iya. Udah ya Bu, Rezky tutup dulu teleponnya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Aku menghela napas cukup panjang setelah selesai melakukan panggilan telepon bersama Ibu.

Kenapa akhir-akhir ini, Ibu jadi rewel sekali memintaku untuk segera menikah?

Padahal seingatku, Ibu tak pernah sampai ngomel-ngomel seperti itu hanya karena meminta dibawakan seorang menantu.

Melihat Ibu yang seperti ini, aku jadi khawatir, kalau saat ini Ibu sedang terkena virus nyinyiran tetangga yang suka sekali bertanya-tanya, 'Bu, kapan anaknya nikah?'

Kalau sudah menikah, ditanya lagi, 'Kapan punya cucu?'

Kalau sudah punya cucu satu, ditanya lagi, 'Kapan mau nambah lagi, Bu? Ini kakaknya udah besar lho.'

Seperti itu terus, tak akan pernah ada habisnya. Selalu ditanya tentang sesuatu yang sebenarnya kita tak pernah bisa tahu apa dan bagaimana jawaban pastinya.

Tapi yang namanya manusia, walau sudah tahu kalau pertanyaannya akan menyinggung perasaan yang lainnya, tapi tetap saja diutarakan dan tak mau memperdulikan bagaimana perasaan orang yang ditanya.

Tak peduli bagaimana kondisinya, yang penting bertanya. Padahal dirinya sendiri juga menyadari kalau pertanyaannya adalah sesuatu besar yang hanya diketahui jawabannya oleh Sang Maha Pencipta.

Tentang jodoh, maut, dan keturunan yang kita punya. Itu kan sesuatu besar yang berada di luar jangkauan dan kuasa kita sebagai manusia. Tapi kenapa orang-orang tetap saja selalu bertanya?

Apa mereka tidak tahu bahwa pertanyaan mereka yang seperti itu benar-benar sangat berhasil untuk menyakiti hati seseorang yang ditanya?

Astaga.

Memikirkan semua itu, aku benar-benar jadi takut jika saat ini Ibu sedang terhasut dengan pertanyaan-pertanyaan para tetangga tentang aku.

Kalau benar iya, maka sepertinya aku harus segera menelepon Mas Rangga, supaya Mba di rumah ditambah untuk semakin menjaga Ibu supaya Ibu terhindar dari ghibahan dan omongan para tetangga.

*****

"Baik Bu. Jadi nanti, makanannya semua masakan nusantara ya?" tanyaku lagi pada Bu Widya, orang yang memesan catering di rumah makanku untuk acara pernikahan anak perempuannya.

Bu Widya tersenyum, lalu memberikan anggukan kepalanya padaku. "Iya Mas. Semua masakan nusantara. Nanti, untuk makanan berat dan ringan, dipisah dan dibuat stand makanan gitu bisa kan Mas?"

"Iya Bu. Bisa. Nanti akan kami buat semacam stand makanan. Petugasnya juga akan kami sediakan, Bu. Untuk menu makanan utama, apa ada permintaan khusus?"

"Nggak ada, Mas. Tapi saya mau minta ada stand khusus untuk makanan Padang ya? Bisa? Soalnya besan saya, ayahnya calon menantu saya, asli dari Padang. Ya walaupun sudah lama pindah dan tinggal di Jawa, tapi besok banyak keluarga yang datang dari sana. Gimana? Apa bisa?"

Aku langsung mengangguk dengan mantap. "Nggih Bu. Bisa. Nanti akan kami siapkan. Dua hari lagi, nanti, kita bisa ketemu untuk pemilihan menu pastinya. Nanti dari saya dan tim akan menyerahkan usulan menunya. Lalu Bu Widya bisa cek, barang kali ada menu yang mau ditambah atau dirubah. Begitu Bu. Bagaimana?"

Bu Widya tersenyum ke arahku. Dan senyum beliau benar-benar teduh sekali seperti Ibu.

Ah jadi rindu Ibu Sri di Purwokerto.

"Oke Mas. Saya setuju. Nanti dua hari lagi, kita ketemu lagi di sini untuk menentukan menu makanannya apa saja."

"Oya bu, dari kami juga menyediakan tester. Jadi nanti setelah menunya selesai dipilih, satu atau dua hari berikutnya, Ibu dan keluarga bisa datang kembali ke sini untuk mencoba langsung menunya sebagai bahan percobaan. Jadi bisa disesuaikan dengan selera Ibu dan keluarga. Apa mau ditambah rasa asin, manis, pedas, atau asamnya. Begitu Bu."

Kedua mata Bu Widya langsung berbinar sangat bahagia. "Wah tambah mantap itu Mas. Kebetulan sekali, anak dan menantu perempuan saya, suka makan. Apalagi kalau yang kuah dan pedas. Calon menantu laki-laki saya, juga suka makan dia, apa aja dia telan. Cucu saya juga, yang penting nggak pedes dan nggak alot, dia nggak akan pernah rewel atau pilih-pilih makanan."

Aku terkekeh pelan.

Karena sepertinya, Bu Widya adalah tipe ibu yang sangat memperhatikan bagaimana anak-anaknya. Bahkan beliau sampai hafal betul apa saja yang disuka dan tidak oleh mereka.

"Alhamdulillah, Bu. Jadi Bu Widya nggak harus pusing mikirin anak-anak mau makan apa nggih Bu."

Bu Widya ikut terkekeh bersamaku. "Sekarang, iya Mas. Kalau dulu, waktu anak-anak masih kecil, ya suka pusing juga kalau anak-anak susah makan. Bapaknya anak-anak ikut ngomel, tambah pusing lha Ibu. Sekarang, kalau anak mogok makan, ya tinggal klik, delivery order aja makanan yang dia suka. Beres. Iya nggak Mas?"

Aku terkekeh lagi.

Tak menyangka bahwa ternyata Bu Widya juga tipe ibu yang update sekali dengan perkembangan zaman yang ada. Pasti Bu Widya juga rajin sekali scroll HP untuk belanja. Ya aku maklum, orang kaya, jadi pasti semua hal serba bisa dibuat mudah oleh mereka.

"Nggih Bu. Kalau lagi pengin seafood, dan nggak bisa keluar, bisa delivery order juga dari sini, Bu. Nanti akan siap kami antar sampai ke rumah."

Bu Widya langsung memberikan acungan jempolnya ke arahku. "Siap Mas. Anak-anak sama cucu saya juga suka sekali sama seafood. Jadi nanti pasti bakal ngerepotin Mas Rezky buat bikinin pesanan kita sekeluarga."

Aku tersenyum bahagia mendengar cerita Bu Widya tentang anak-anaknya, benar-benar sangat berhasil membuatku jadi rindu dengan Ibu dan semua kasih sayang yang beliau punya.

"Siap Bu. Nanti, kalau Bu Widya mau pesan, bisa langsung hubungi saya saja. Nanti biar saya sendiri yang akan memasaknya."

"Wah makin mantap itu Mas. Kapan lagi kan dimasakin langsung sama yang punya restoran, mana ganteng pula."

Aku jadi tertawa, "Wah, Bu Widya bisa saja buat saya jadi GR, Bu."

(GR = Gede Rasa)

Bu Widya ikut tertawa bersamaku. "Lha tenan kok Mas. Mas Rezky itu, itungannya ganteng lho wajahnya."

(Tenan = Benar/Sungguh)

"Terimakasih untuk pujiannya, Bu. Saya tersanjung sekali mendengarnya."

Bu Widya tersenyum semakin bahagia ke arahku. "Mas Rezky asli Semarang?"

"Sanes Bu. Saya pendatang di sini. Anak rantau."

(Sanes = Bukan)

"Wah, pekerja keras berarti. Perantau, tapi bisa sukses di sini."

"Aamiin. Pangestune Bu. Sedang merintis di kota orang, Bu. Mudah-mudahan Allah paring kemudahan dan kelancaran."

(Pangestune = Mohon doa restunya, Paring = Memberi)

"Aamiin. InsyaAllah, kalau usahanya serius, doanya juga kenceng, Allah pasti akan ijabah Mas."

"Aamiin aamiin aamiin. Nggih Bu, leres."

(Nggih = Iya, Leres = Betul)

"Mas Rezky asli mana?"

"Saya dari Purwokerto, Bu"

"Wah, kebetulan sekali lagi. Menantu perempuan saya, juga asli dari Purwokerto, Mas"

Aku masih saja tersenyum ke arah Bu Widya, yang saat ini sedang sangat berbinar ketika menyinggung soal menantu perempuannya.

Siapapun menantu perempuan Bu Widya, selamat Mba, sampean disayang sekali sama ibu mertua.

(Sampean = Kamu)

"Anak dan istri, ikut di Semarang juga, Mas?"

Mendengar tembakan pertanyaan dari Bu Widya kali ini, aku jadi tersenyum kikuk sekali. "Saya masih lajang, Bu."

"Wah maaf Mas, Ibu jadi menyinggung ya? Maaf ya Mas, Ibu nggak tahu."

"Mboten nopo-nopo Bu. Usia saya memang harusnya sudah pantas jika punya istri dan anak," jawabku tenang, mencoba untuk mengurangi rasa bersalah yang pasti sedang Bu Widya rasakan.

(Mboten nopo-nopo = Tidak apa-apa)

"Tapi kalau pacar, sudah punya?"

Aku langsung menggelengkan kepalaku. "Dereng Bu."

(Dereng = Belum)

"Wah, apa anak gadis sekarang suka pilih-pilih ya? Masa cah bagus dan mapan kaya Mas Rezky masih jomblo?"

(Cah bagus = Anak ganteng)

Aku terkekeh pelan, "Mungkin nggak mau sama saya, karena saya bau ikan, Bu. Saking seringnya ngubek-ubek kompor dan dapur."

"Mas Rezky wangi kok Mas. Ganteng juga. Jadi tenang aja. Dilepas di pasaran, jelas harganya pasti akan langsung melambung tinggi."

Aku langsung tertawa.

Astaga. Ternyata, Bu Widya mempunyai selera humor yang lumayan besar juga.

"Berarti saya termasuk bibit unggul ya Bu?"

Bu Widya langsung menganggukan kepala beliau. "Iya Mas. Udah ganteng, mapan, pekerja keras, sopan. Wis genah payu adole, Mas. Udah pulen. Kalau kata anak perempuan saya, udah mantap betul."

(Wis genah payu adole = Sudah jelas laku jualnya)

Aku tertawa lepas.

Benar-benar lepas sampai-sampai telapak tanganku jadi menutupi bagian mulutku yang terbuka.

Astaga. Bu Widya benar-benar luar biasa.

"Aamiin aamiin aamiin Bu. Mudah-mudahan nggih Bu."

"Nanti, kapan-kapan, kenalan sama menantu perempuannya Ibu ya Mas. Sama-sama asli dari Purwokerto, jadi insyaAllah, pasti akan langsung gampang akrabnya."

"Nggih Bu. Kenalan buat minta dicariin jodoh ya Bu? Karena siapa tahu, menantu Ibu punya teman yang masih jomblo."

Bu Widya hanya tersenyum ke arahku.

Dan karena senyuman beliau yang seperti itu, aku jadi cukup bingung dan kikuk harus membalasnya seperti apa. Sebab dari senyum teduhnya, Bu Widya seperti sedang menaruh harapan yang sangat besar di sana.

Bu Widya seperti akan membuka mulutnya, tapi tiba-tiba ponsel beliau berbunyi sehingga jadi menggagalkan rencana berbicaranya.

"Sebentar ya Mas, ada yang telepon."

Aku langung menganggukan kepalaku. "Nggih Bu, monggo." (Iya Bu, silahkan)

"Assalamu'alaikum."

Aku mengalihkan pandanganku ke arah komputer yang ada di sampingku.

Karena aku tak mau dianggap kurang sopan jika berani menguping pembicaraan orang yang ada di dekatku.

"Oya, tunggu sebentar ya, sebentar lagi Ibu pulang. Iya, wa'alaikumsalam."

Sepertinya, Bu Widya telah selesai dengan panggilan teleponnya. Jadi aku kembali mengalihkan pandanganku kepadanya.

"Mas Rezky, kita lanjutin lagi obrolannya dua hari ke depan ya? Soalnya sekarang Ibu sudah harus pulang. Karena menantu dan cucu perempuan Ibu mau datang."

"Wah, padahal Bu Widya belum coba makanan di restoran ini, Bu."

"Gampang, Mas. Besok-besok, Ibu pasti main ke sini lagi, sekalian sama anak-anak juga."

Aku mengangguk dengan sangat bahagia. "Nggih Bu, akan saya tunggu kedatangan Bu Widya beserta keluarga."

Bu Widya langsung balas memberikan anggukan kepalanya padaku. "Kalau gitu, Ibu pamit dulu ya Mas? Nak Rezky sehat-sehat. Dan semoga semua usahanya berjalan dengan lancar dan barokah. Biar kapan-kapan, Mas Rezky bisa ketemu sama anak-anak saya, menantu perempuan dan cucu saya juga."

"Nggih Bu. Aamiin. Kalau begitu, mari, saya antar Bu Widya sampai ke depan ya Bu."

Bu Widya menganggukan kepalanya, lalu berdiri dari duduknya dengan bantuan tongkat yang beliau bawa.

"Bu Widya dijemput?"

"Nggak Mas. Ibu ke sini dengan sopir. Anak-anak masih kerja kalau jam segini."

"Kalau begitu, saya antar Bu Widya sampai ke parkiran nggih Bu."

"Makasih ya Mas. Maaf kalau Ibu jadi merepotkan."

"Mboten Bu. Sama sekali tidak merepotkan. Karena memang sudah seharusnya saya berbakti dengan orang tua seperti Bu Widya."

(Mboten = Tidak)

"Nak Rezky jawabannya persis banget kaya menantu Ibu kalau jawab."

Aku langsung memberikan senyum simpulku.

Karena ya, Bu Widya memang benar-benar menyayangi menantu perempuannya.

Aku jadi penasaran.

Apa memang sebegitu kuatnya hubungan yang terjalin di antara mertua dan menantu perempuan, sehingga Ibu juga mulai rewel meminta tambahan menantu baru dariku?

Semoga, Ibu juga bisa mendapatkan seorang menantu perempuan yang baik seperti menantu Bu Widya. Jadi Ibu juga akan selalu berbinar dan bahagia setiap kali bercerita tentang kebaikan menantunya seperti Bu Widya.

Ya Allah, semoga Kau ijabah doaku, sehingga aku bisa segera membawa menantu untuk Ibuku. Aamiin.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status