Share

3. Halo Rina

💙 Mas Rezky

Hari ini, biro perjalananku dapat orderan untuk handle acara dari sebuah Taman Kanak Kanak yang cukup terkenal di kota Semarang. TK Nuansa, sekolahnya anak-anak orang kaya atau pejabatnya kota Semarang.

Sebelumnya, aku belum pernah handle acara di sana. Tapi melihat bagaimana background sekolah dan orang-orang yang ada di sana, aku jadi mempersiapkan acara ini jauh-jauh hari supaya hasilnya bisa berjalan dengan maksimal, lancar, dan tak ada kesalahan yang fatal.

Bahkan aku dan karyawan-karyawanku di biro perjalanan sampai sering sekali mengadakan rapat khusus untuk membahas acara ini, tak seperti acara yang biasa kami tangani sebelumnya di tempat lain.

Dan aku benar-benar berharap, bahwa semoga acaranya nanti bisa berjalan dengan lancar. Pihak sekolah puas, dan dari acara ini bisa jadi batu loncatan untuk biro perjalananku supaya bisa semakin dikenal di kota Semarang.

Bismillah. Semoga gusti Allah paring kemudahan dan kelancaran.

"Yo, bis yang buat jemput anak-anak dan guru nanti udah dicek semua?"

Satrio, asistenku, langsung mengangguk mantap sekali sambil memberikan acungan jari jempolnya.

"Siap Mas, beres. Bis udah oke semua. Bensin penuh, full, pokoknya aman, Mas. Supirnya juga udah stand by semua."

Aku tersenyum puas. "Oke kalau gitu. Rokok buat supir sama keneknya udah disiapin juga kan?"

"Udah Mas. Beres."

"Oke. Buat snack, makanan, minuman, obat-obatan, sama doorprize buat di bis jangan lupa dicek lagi ya Yo. Jangan sampai ada yang kurang, atau ketinggalan."

"Siap Mas. Habis ini, aku muter lagi buat cek ulang."

"Sip. Nanti bilang sama Mita suruh nemuin aku dulu ya sebelum berangkat. Soalnya dia yang handle tim buat urus game pas di Cimory kan?"

Satrio langsung menganggukan kepalanya ke arahku. "Iya Mas, Mba Mita yang urus. Nanti aku bilangin Mba Mita biar ketemu sama Mas Rezky dulu."

"Oke. Terus, nanti, yang bawa mobilnya udah ready semua kan?"

"Udah Mas. Kita bawa 3 mobil. Supirnya nanti ada Dewo, Ogy, sama Andika. Mas Rezky bawa mobil sendiri?"

"Iya. Kaya biasa," jawabku, sambil memberikan anggukan kepalaku.

"Mau ditemenin Mas?"

"Ditemenin sama siapa? Sama kamu?"

"Bukan lah Mas. Ditemenin sama cewek. Biar seger waktu di jalan," Satrio berucap seperti itu sambil menaik-turunkan kedua alisnya padaku.

Mendengar ucapan nyeleneh dari Satrio, aku langsung menyambit pelan kepalanya. Tapi Satrio justru terkekeh dengan sangat bahagia.

"Semprul emang kamu Yo. Nggak perlu. Makasih. Aku sendiri aja."

"Mas Rezky masih doyan melon kan?"

"Sembarangan. Ngawur banget ngomongnya. Ya jelas masih suka lah. Aku normal ya Yo, masih suka sama cewek."

"Ya habisnya, selama kuliah dulu, sampai aku kerja sama Mas Rezky sekarang. Aku belum pernah lihat Mas Rezky gandeng cewek."

"Belum mukhrim, Yo. Jadi nggak boleh gandeng-gandeng begitu."

"Ya kan cari yang cocok, Mas."

"Halah alasan. Cari yang cocok nggak mesti harus pacaran, Yo. Kalau serius ya ajak nikah, bukan ajak pacaran."

Kini, Satrio sedang memegangi bagian dadanya yang sebelah kiri. Pura-pura seolah sedang tersakiti.

Dan aku langsung mendengus tanda geli.

Memang dasar alay karyawanku satu ini.

"Aduh Mas, ini yang namanya definisi sakit tapi tak berdarah. Omonganmu nylekit banget, Mas."

Aku tertawa, "Ya bagus kalau kamu langsung nyadar. Biar kamu nggak gonta-ganti pacar mulu."

"Siap bosque. Nasihatnya saya simpan. Tapi pacarannya tetep jalan."

"Emang dasar kadal kamu Yo," dengusku lagi padanya.

"Damai bos. Jangan ngambek kaya cewek lagi PMS."

"Udah lah. Ngomong sama kamu lama-lama makin ngawur. Habis ini, kamu cek bis lagi, sama yang lain suruh siap-siap juga."

Mendengar perintah yang ku berikan padanya, kini Satrio langsung memasang sikap hormatnya. "Siap bos. Laksanakan!"

"Kamu gimana? Ikut mobil kantor apa bawa mobil sendiri?"

"Bawa mobil sendiri, Mas. Soalnya hari ini bawa buntut."

"Siapa? Pacar baru lagi?"

"Masih PDKT, Mas. Sama Silvi, karyawan baru di kantor. Mas Rezky tahu juga kan?" ucap Satrio sambil cengengesan.

"Nggak usah macem-macem ya Yo. Fokus kerja. Nyambi tebar pesona boleh, tapi kerjaan harus tetep beres."

"Siap Mas. Tenang aja kalau sama Satrio Suseno mah. Semuanya jalan. Kerjaan lancar, pacaran juga lancar."

"Emang dasar kampret. Udah lah. Sana kerja. Aku berangkat dulu ke sekolah buat nemuin dewan guru sama panitia di sana. Yang di sini, aku serahin ke kamu. Oke?"

"Siap Mas. Hati-hati di jalan. Dan jangan ngebut-ngebut. Karena ingat, Mas Rezky belum kawin, Mas."

"Dasar buaya! Nikah dulu Yo, baru kawin," seruku memperingati.

Sedangkan buaya yang saat ini sedang ku beri peringatan, justru tertawa semakin lebar karena kesenangan.

Memang dasar Satrio.

Kini, aku jadi menggelengkan kepalaku karena heran setiap kali melihat tingkah Satrio Suseno, karyawan setiaku dari awal aku membuka biro perjalanan ini. Dia adik tingkatku semasa kuliah dulu. Tingkahnya memang sengklek, tapi kerjanya oke. Dan karena hal itu, Satrio jadi salah satu karyawan yang sering ku jadikan sebagai kaki tanganku setiap ada acara atau event yang kuanggap penting seperti hari ini.

*****

Alhamdulillah, acara kelas mandiri di Cimory telah berjalan dengan lancar.

Acara outbond anak-anak dan juga permainan cerdas tangkas berjalan sukses tanpa ada kesalahan yang berarti.

Snack dan makan siang yang disediakan juga sepertinya cocok dan sesuai dengan selera anak-anak. Karena tadi, mereka tampak lahap dan ceria sekali.

Sejak acara berlangsung, aku cukup kagum dengan sikap dan tingkah laku anak-anak di TK Nuansa ini. Jauh dari ekspektasiku, yang awalnya, ku kira, acara akan berjalan sedikit alot dengan tangisan, jeritan, atau pun rengekan. Tapi ternyata, semua itu tak ada. Semua anak-anak sangat kooperatif dan berjalan sesuai instruksi. Hanya satu atau dua anak yang mungkin rewel karena takut. Tapi selebihnya, mereka mudah sekali untuk ditenangkan.

Aku juga salut dengan para dewan guru dan juga pendamping yang ada di sekolah ini. Karena mereka benar-benar memperhatikan keadaan anak satu per satu. Walaupun rangkaian acara ini sudah diserahkan pada tim biro perjalananku, tapi mereka tidak lepas tangan begitu saja. Mereka tetap ikut turun ke lapangan, untuk mendampingi dan menjaga anak-anak didik mereka.

Hebat.

Jadi ku rasa, biaya mahal yang dibayarkan oleh para orangtua murid benar-benar sepadan dengan fasilitas dan juga perhatian yang dicurahkan oleh staff dan para dewan guru yang ada di sini.

Ya, aku juga menyadari, kalau tak semua hal bisa diukur dari uang dan biaya yang mahal. Banyak sekolah biasa dengan biaya yang amat sangat terjangkau tapi pendidikannya bagus, juga ada. Tapi di sini, aku sedang sedikit menilai dan mengamati, satu sekolah Taman Kanak-Kanak yang sudah terkenal se-antero kota Semarang dengan biaya mahal dan juga lingkungan yang penuh dengan fasilitas serba canggih. Dan setelah masuk dan bekerjasama dengan orang-orang yang ada di sekolah ini, aku melihat sendiri, bahwa mereka benar-benar sesuai dengan pandangan eksklusifnya. Karena semuanya memang tertata. Dan aku jadi setuju, bahwa sekolah ini memang layak dengan bayaran yang mahal. Karena fasilitas dan dewan gurunya juga jempolan. Jadi sepadan antara gaji dan kinerja yang mereka berikan.

Anak-anaknya juga berhasil membuatku terpana. Anak-anak umur 5 tahunan yang ku pikir kebanyakan akan manja dan mudah sekali untuk menuntut. Tapi tadi, aku melihat banyak dari mereka yang sangat mandiri dan juga terampil.

Mereka berbaris teratur. Tak berebut. Tertib mengantri. Dan mereka makan makanan mereka sendiri tanpa harus disuapi. Bahkan mereka juga pandai meminta izin, dan pergi ke toilet ketika mereka ingin buang air kecil.

Mereka benar-benar merubah pandanganku tentang anak-anak yang kupikir semuanya akan membuat pusing dan repot. Tapi nyatanya, mereka benar-benar terdidik dengan baik. Mereka pintar, tapi juga bisa berperilaku dengan baik. Ya walau tetap ada anak-anak yang menangis karena minta disuapi, atau mengompol di celana, tapi tak banyak, dan itu wajar.

Karena aku saja dulu, seingatku, waktu TK pernah pulang karena ngompol tapi tak mau ganti celana di sekolah.

Selesai dengan semua pikiranku tentang semua hal yang telah terjadi di separuh hari ini, kini, aku dan Mita sedang berjalan beriringan menuju ruang kepala sekolah untuk memberikan sedikit kenang-kenangan dari biro perjalanan kami. Berupa kaos untuk seluruh staff dan juga dewan guru. Serta beberapa sisa doorprize di bis yang tadi belum terbagikan.

"Mit, bajunya udah kamu hitung bener kan? Nggak ada yang kurang?" tanyaku pada Mita sambil tetap berjalan.

"Sudah Mas. Beres. Jumlah semuanya ada 28 untuk dewan guru dan juga pendamping. Udah aku tambahin 3 atau 4, buat jaga-jaga kalau semisalnya nanti kurang."

"Oke. Sip kalau gitu."

*****

Aku dan Mita telah selesai berbincang dengan Bu Wulan, kepala sekolah di TK Nuansa. Dan menurut pandanganku, beliau adalah orang yang benar-benar peduli dengan pendidikan karakter anak. Jadi pantas saja kalau anak-anak di sini terjaga sopan santun dan juga perilakunya. Dan jangan lupakan, kalau prestasi akademik di sekolah ini juga sangat patut untuk diacungi jempol.

"Mas, acara hari ini sukses besar ya," ucap Mita girang sekali setelah kami berdua keluar dari ruang kepala sekolah.

Aku langsung mengangguk tanda setuju. "Iya Mit, alhamdulillah. Gusti Allah sing paring." (Allah yang memberi)

"Iya Mas, alhamdulillah. Acaranya sukses, duitnya juga gede ya Mas. Terus tadi bener-bener lancar jaya, anak-anaknya juga anteng-anteng banget. Bikin gemes. Nggak banyak yang rewel."

Aku tersenyum. "Habis ini, jangan lupa itung duitnya lagi ya Mit, buat dibagi sama tim yang kerja hari ini. Dan laporannya jangan lupa kirim ke aku kalau udah beres."

"Siap Mas. Kalau gitu, habis ini, aku langsung balik ke kantor ya Mas. Dewo sama yang lain juga udah nunggu di mobil."

"Oke."

"Oya Mas, Mas Rezky ikut aku ke mobil dulu ya sebentar. Bawa snack. Soalnya tadi masih ada sisa lumayan. Karena kita juga dikasih banyak bonus sama bakery."

"Anak-anak yang lain udah dibagi juga kan?"

"Udah Mas. Beres. Tenang aja."

"Oke kalau gitu," jawabku, sambil memberikan anggukan kepalaku.

*****

Aku berjalan santai sambil membawa kotak yang penuh dengan kue di tangan kananku.

Acara hari ini benar-benar berjalan dengan sukses. Jadi setelah ini, aku mau langsung pulang, lalu tidur, supaya nanti malam aku bisa begadang untuk menonton bola.

Tapi aku jadi sedikit terkejut, saat melihat bahwa ternyata masih ada cukup banyak anak-anak yang berseliweran di halaman sekolah. Sepertinya, mereka masih menunggu jemputan datang.

Diberi pemandangan yang sangat berhasil untuk menenangkan hati, aku langsung tersenyum karena melihat bagaimana anak-anak yang kini masih terlihat sangat ceria dan berlari ke sana-ke mari. Memang ya, tenaga anak-anak seperti tak ada habisnya. Padahal aku saja sudah ingin segera pulang supaya bisa rebahan di atas kasur kesayangan.

Baru saja ingin berbelok ke arah parkiran, langkahku tiba-tiba jadi terhenti, dan kedua mataku langsung terpaku karena melihat gadis cilik yang saat ini sedang bersenandung seorang diri di atas ayunan.

Dan aku ingat anak itu, gadis cilik cerewet yang sedari tadi telah sangat berhasil menarik perhatianku.

Tenang. Jangan khawatir. Aku bukan pedofil. Dan aku bisa pastikan, kalau aku adalah pria yang sangat normal.

Aku tertarik pada gadis kecil itu karena wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Terutama mata dan dagunya, juga pipi tembamnya. Cara bicaranya yang ceriwis dan keberanian serta kecerdasannya untuk tampil di depan umum, mengingatkan aku pada seorang gadis yang telah menarik hatiku di masa lalu.

Tanpa sadar, ternyata, kini kakiku sudah berjalan untuk mendekat ke arah gadis kecil itu. Bahkan sekarang aku juga sudah berani untuk mendudukan diriku di samping ayunan yang dia mainkan sejak tadi.

"Halo," sapaku.

Gadis kecil itu menoleh, lalu sedikit membolakan kedua matanya, mungkin karena dia terkejut dengan kedatanganku. Tapi tak lama setelahnya, dia bisa langsung mengatur ekspresi wajahnya dengan memberikan senyum polosnya ke arahku.

"Halo Om," jawabnya ceria.

"Kok masih di sini? Belum dijemput?"

"Iya Om. Nunggu Mama jemput."

"Oya, namanya siapa? Dari tadi waktu di Cimory, kita belum kenalan lho."

"Om yang punya bis banyak, yang tadi jemput El sama temen-temen El?"

Aku terkekeh pelan. Tak menyangka dengan pertanyaan gadis kecil ini yang jadi terdengar sangat menggemaskan.

"Bisa dibilang begitu. Jadi gimana? Mau kenalan sama Om?"

Gadis kecil itu menganggukan kepalanya ke arahku.

Lucunya, batinku gemas.

"Rezky," kenalku, sambil mengulurkan tangan kananku.

"Namaku Elysia Zivana Almaira. Om bisa panggil aku El," balasnya sambil menerima uluran tangan dariku.

Benar-benar anak yang manis.

"Nama El bagus," pujiku tulus.

"Terimakasih Om. Nama Om juga bagus."

Aku terkekeh lagi. Kembali tak menyangka bahwa gadis sekecil ini sudah bisa memberikan balasan pujian yang terdengar manis sekali.

"Oya, El mau kue? Om bawa banyak nih," tawarku sambil membuka kotak kue yang sedari tadi kubawa di dalam genggamanku.

Elysia menoleh cepat ke arahku, dan kedua matanya benar-benar langsung berbinar karena menatap kue-kue penuh dengan lelehan coklat yang tadi ditawarkan olehku.

"Boleh?" tanyanya seperti meminta izin.

Dan jelas kalau aku langsung memberikan anggukan kepalaku padanya. "Boleh dong. El boleh ambil mana aja kue yang El mau."

Elysia langsung tersenyum bahagia sekali ke arahku. "El mau donatnya satu ya Om," ucapnya sambil meraih satu donat dengan topping coklat nutela di atasnya. "Makasih Om Eky," tambahnya lagi.

"Om Eky?" tanyaku ingin memastikan. Karena aku takut kalau tadi aku salah dengar tentang kalimat yang Elysia ucapkan.

Elysia memberikan anggukan kepalanya untukku.

Jadi, tadi aku tak salah dengar ?

Elysia benar-benar memanggil namaku dengan panggilan 'Om Eky' ?

"Iya Om. Biar gampang."

"Oke deh," jawabku setuju.

"Cuma biar gampang ya Om. El bisa kok ngomong R lancar. Tapi biar gampang aja, jadi El manggilnya Om Eky."

Aku langsung terkekeh.

Astaga. Gadis kecil ini benar-benar pintar sekali berbicara.

Padahal aku juga terima-terima saja jika dipanggil Om Eky. Tapi Elysia menjelaskan alasannya dengan begitu detail. Seakan takut atau khawatir jika aku akan keberatan dengan panggilan darinya. Padahal sebenarnya tak apa. Aku benar-benar menerimanya dengan sangat sukarela.

Elysia benar-benar bibit unggul, calon anak pintar yang akan terampil sekali untuk sesi debat dan juga presentasi.

Kini, aku larut memandangi Elysia yang sedang asik mengunyah donat yang ada di tangan kanannya. Dan dari sini, melihat Elysia sedekat ini, aku benar-benar jadi kembali menyadari bahwa wajah cantiknya memang mengingatkan aku dengan seseorang. Cara Elysia mengunyah, binar matanya, semuanya benar-benar mirip sekali dengan seorang gadis yang dulu pernah singgah di masa laluku.

"El."

Aku sedikit tersentak saat mendengar seseorang memanggil nama Elysia.

Dan Elysia yang dipanggil langsung menyahut dengan begitu girangnya. "Mama!"

Aku sama sekali tak pernah menyangka, kalau duniaku detik ini serasa berjalan sangat lambat saat aku melihat siapa wanita yang Elysia panggil dengan sebutan Mama.

Dan kini, kakiku pun sepertinya ikut tak tahu diri. Sebab aku justru sudah berdiri dengan senyum kelewat lebar di hadapan wanita dewasa yang Elysia panggil dengan sebutan Mama sejak tadi.

"Rina?" panggilku masih dengan rasa sedikit tak percaya.

Dan saat wanita itu mengangguk dengan sedikit ragu, lalu mulai meneliti wajahku, sampai akhirnya ia menyebutkan namaku.

"Mas Rezky?"

Maka rasanya semesta benar-benar sedang menunjukan bahwa dirinya tidak setuju dengan ucapanku beberapa detik yang lalu.

Elysia, gadis kecil yang wajahnya mengingatkanku pada seseorang, ternyata adalah putri dari seorang Rina. Gadis yang kukira benar-benar hanya singgah di masa lalu, tapi ternyata, sekarang dia hadir kembali di masa kini, tepat sedang berdiri dengan sangat tenang di hadapanku.

Rina, jangan tersenyum, ingin sekali aku berucap seperti itu.

Karena tanpa Rina tahu, sebenarnya, sungguh, saat ini, ia seperti sedang menghancurkan semua ingatan yang sangat ingin untuk kututup dari 8 tahun yang lalu.

Sampai Rina dan Elysia telah berlalu dari hadapanku, ternyata efek kejut dari mereka masih tetap ku rasa sampai benar-benar berhasil memporak-porandakan pertahanan hatiku. Bahkan kakiku, masih tetap bertahan dan belum mau beranjak dari tempat berdiriku.

Aku tersenyum remeh untuk diriku sendiri, "Halo Rina."

Dan setelahnya, aku langsung kembali merutuki nasib diriku tentang perasaan yang selama ini masih kupunya. "Kayaknya aku memang harus move on ya. Rina aja udah punya anak TK, tapi aku masih tetap sendiri aja."

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status