Share

Kaca

Author: en nasrie
last update Last Updated: 2025-12-04 04:59:39

Lampu neon di langit-langit kantor menyalakan bunyinya sendiri -desis panjang, lalu getaran halus- seperti napas seseorang yang tidak terlihat. Rara duduk tegak di meja kerjanya, mencoba menyelesaikan revisi laporan yang seharusnya sudah selesai sebelum magrib. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tapi pikirannya tak bisa sepenuhnya fokus. Kantor sudah lama sunyi. Terlalu sunyi. Berbanding terbalik 180 derajat dengan isi kepalanya.

Ia melirik jam dinding. 20:53. Bagus. Kalau lebih dari ini mungkin aku resmi berubah jadi fosil kantor.

Ia menyandarkan punggungnya dan memijat kening. Sisa kejutan pagi tadi masih menempel seperti bayangan yang enggan pergi. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat dan berani, setidaknya itulah yang selalu diajarkan mendiang Ayah.

Agar perempuan tidak dihina, diremehkan, terlebih lagi dilecehkan. Itulah prinsip Ayah yang ia pegang mati-matian selama ini. Namun, sekarang hatinya tidak yakin lagi. 23 tahun hidup, baru kali ini ia menjumpai keadaan seperti ini. Semua bermula sejak kepindahannya ke kos Melati Indah.

Detik berikutnya, dentingan kecil terdengar dari arah lorong, memutus lamunannya. Seperti suara benda logam yang jatuh ke lantai. Rara reflek menoleh, lorong tampak kosong. Lampu di ujung koridor berkelip satu kali, pelan, lalu terang kembali. Biasanya ia tidak akan memedulikan hal-hal sekecil itu. Tapi sekarang, entah kenapa, dadanya terasa seperti diikat.

Rara berdiri, memastikan apakah ada seseorang atau... sesuatu. Ia mencoba untuk memikirkan hal-hal normal yang mungkin terjadi, meski otaknya sendiri pun tak bisa berkompromi.

Tidak ada. Lorong lengang, lantai bersih, hanya jejak kilap dari pel tadi sore. Tiba-tiba ia teringat ucapan petugas kebersihan tadi pagi. Seseorang hilang dari kos Melati Indah? Aku harus mencari tahu hal itu nanti.

Rara berdiri di tengah lorong. Oke. Mungkin cuma baut rak entah di mana yang longgar dan terjatuh. Ia menelan ludah. Pikirannya sendiri terdengar sumbang dalam kepalanya.

Ia kembali duduk dan mengetik. Anginnya AC menusuk-nusuk, membuat kedua tangannya dingin seperti batu. Namun beberapa menit kemudian, angin itu mati. AC berhenti begitu saja. Langkahnya melambat, seperti seseorang baru saja mematikan saklar di luar ruangan.

Kemudian… sunyi. Sunyi sekali.

Rara mengangkat wajah dari layar. AC kantor jarang rusak. Tapi ia belum sempat berdiri ketika komputer depannya mendadak bergetar halus. Monitornya berkedip, lalu sebuah jendela aplikasi terbuka sendiri. Kosong. Putih.

Tiba-tiba printer di belakangnya menyala sendiri. Roller-nya berputar, menarik selembar kertas kosong tanpa perintah. Kertas itu keluar perlahan, dengan suara bising di tengah kehehingan, hingga keluar seutuhnya. Printer berhenti.

Dengan hati yang mulai tak karuan, Rara bergerak mendekat. Kertas itu tidak tertulis apapun, hanya putih. Ia mengembuskan napas lega, seperti baru saja selamat dari sesuatu yang membahayakan.

Ia mengambil kertas itu, ternyata di salah satu sudutnya… ada bekas noda hitam, seolah tadi ada yang menyentuhnya. Bentuknya seperti jari manusia, tapi lebih panjang, tebal, pekat, dan berjumlah tiga.

Rara berdiri begitu cepat sampai kursinya terseret dan jatuh terbalik.

Setelah itu, terdengar suara langkah-langkah kecil dari lorong kiri. Rara membekap mulut sendiri. Jantungnya memukul dada seperti hendak melarikan diri. Langkah itu bergerak perlahan, menyisir ubin satu per satu. Ritmenya bukan seperti sepatu kantor. Lebih pelan. Lebih berat. Seperti sesuatu yang berjalan tanpa tujuan… atau mencari seseorang.

Ia menyambar tasnya. Tidak peduli isinya lengkap atau tidak. Ia harus keluar. Sekarang. Ketika ia menoleh ke pintu lemari arsip, pintu itu bergerak membuka beberapa sentimeter. Tanpa suara. Padahal pintu tua itu selalu berderit ketika membuka.

Rara mundur. Napasnya mulai tersengal. Ia ingin berteriak, tapi suaranya mati di tenggorokan, ditelan rasa takut yang naik seperti uap panas.

Lalu terdengar sesuatu dari dalam lemari. Suara gesekan. Pelan. Berulang. Seperti seseorang menarik jari-jari mereka di sepanjang rak besi.

Rara membeku. Lalu pintunya terbuka lebih lebar. Masih tanpa suara. Menampakkan isi lemari yang hanya gelap. Tunggu... itu hitam yang lain. Ada sosok hitam yang berbeda dengan gelap lemari.

Itu cukup. Lebih dari cukup.

Rara berlari keluar dari ruang kerjanya, menabrak meja, hampir jatuh, tapi terus berlari. Lorong panjang terasa seperti terowongan yang menelan cahaya dan tidak berujung. Lampu menyala dan mati bergantian, seolah langkahnya memaksa seluruh gedung bereaksi. Tangannya meraih pintu keluar kantor dan menariknya kasar.

Pintu terbuka dan brak! Tubuhnya menghantam seseorang dengan keras. Rara nyaris terjungkal ke belakang, tapi orang itu menangkap lengannya sebelum ia terjatuh.

“Rara?” suara itu terdengar terkejut sekaligus khawatir. “Kamu kenapa lari kayak dikejar setan?”

Rara mengangkat wajahnya. Ardan.

Napas Rara kacau, rambutnya berantakan, lututnya lemas. Ia bahkan tak bisa menyusun kalimat. Ardan menatapnya dengan mata melebar, lalu tanpa menunggu penjelasan, ia menarik Rara menjauh dari pintu kantor.

“Ayo. Kita pergi dulu dari sini.” Nada suaranya tegas, terdengar cemas.

Rara hanya bisa mengangguk kecil, seperti seorang anak yang baru terjaga dari mimpi buruk. Mereka berjalan cepat menyusuri trotoar gelap. Ardan mengambil tas Rara dan membawakannya, memastikan tangan Rara yang lemas tidak menjatuhkannya. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk sampai ke tulang.

Setelah mereka cukup jauh dari gedung kantor, barulah Ardan membuka mulut. “Ada apa di kantor?”

Rara menggeleng. “Aku… aku nggak tahu.”

“Rara.” Ardan berhenti dan menatapnya. “Kamu gemetaran hebat.”

Rara menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba bernapas lebih dalam. “Ada yang… ada sesuatu di kantor. Di lorong. Di lemari.” Suaranya pecah, nyaris berbisik.

Ardan mengamati ekspresinya lama, seolah menimbang apakah ia harus menanyai lebih lanjut atau justru membawanya pulang. Tapi sebelum ia sempat bicara lagi, Rara spontan menoleh ke belakang, hanya untuk memastikan mereka benar-benar sudah jauh dari gedung.

Dan di detik itu… ia melihatnya. Dari balik pintu kaca kantor yang gelap, dua titik cahaya samar tampak memantul. Seperti sepasang mata yang mengintip dari balik kegelapan. Tidak bergerak. Tidak berkedip. Hanya mengawasi mereka pergi, seakan memastikan Rara tidak pernah melupakan bahwa ada sesuatu yang masih tertinggal di dalam sana.

Rara memegang lengan Ardan lebih erat tanpa sadar. Ardan melihat ketakutan itu di wajahnya dan segera memalingkan Rara menjauh dari gedung.

“Ayo,” katanya lirih, suaranya berubah lebih dalam, lebih serius daripada sebelumnya. “Kita pulang sekarang.”

“Tunggu..” Rara menyipitkan mata, fokus melihat sosok di balik pintu. Dan alangkah terkejutnya ketika sinar bulan memantul samar di wajah yang ia kenali itu. “Petugas kebersihan??”

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Ardan bertanya kebingungan.

Rara tiba-tiba melepas tangan Ardan pelan, membuatnya lebih bertanya-tanya. Sebelum lelaki itu berkata, Rara menjawab, “Aku malam ini tidak bisa pulang ke kos dulu.”

Ardan terdiam beberapa detik, mencermati perkataan Rara satu-satu. “Oke. Kamu mau ke mana?”

Rara tersenyum.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kamar 2A   Mulai

    Pagi itu, udara di halaman rumah Lia masih menyimpan sisa embun. Rara melangkah keluar sambil merapikan rambutnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia benar-benar tersenyum bahkan sebelum matahari naik penuh. Rasanya ringan, seperti sesuatu yang membebani pundaknya selama ini tiba-tiba mengendur. Lia muncul dari pintu sambil menggembungkan pipinya karena terburu-buru memasukkan roti ke mulut. Di belakangnya, Dimas sudah rapi dengan seragam SMA dan tas biru yang tampak terlalu kecil untuk tubuhnya. Begitu melihat Rara, mata Dimas langsung berbinar dan melambai-lambaikan tangannya heboh, “Mbak Raraaa! Hati-hati di jalan!” Tapi setelah itu ia langsung berlari melewati gerbang rumah, tidak berani mengangkat kepala. Kelakuannya membuat beberapa ibu-ibu tetangga menoleh. Rara tertawa kecil, membalas lambaian itu dengan hangat. “Kamu juga! Jangan lari-lari nanti jatuh!” serunya. Demi mendengar hal itu, kedua pipi Dimas terasa panas, dan malah mempercepat larin

  • Kamar 2A   Hangat

    Rara terbangun perlahan, seperti seseorang yang baru saja naik ke permukaan setelah terlalu lama tenggelam. Matanya membuka pelan, terlalu pelan, karena pagi itu tidak ada rasa cemas yang memaksanya sadar. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari penuh tekanan, ia bangun bukan karena mimpi buruk, bukan karena suara langkah di lorong kos, bukan karena ketukan pintu yang samar-samar merayap sampai ke mimpinya. Ia bangun karena… kenyamanan.Senyum kecil muncul di sudut bibirnya sebelum ia sepenuhnya ingat di mana ia berada. Langit-langit rumah Lia berwarna putih gading, dengan lampu gantung mungil berbentuk bunga. Meja rias di pojok kanan penuh pernak-pernik lucu, boneka-boneka kecil duduk rapi, dan tirai biru laut di jendela bergoyang lembut tersapu angin pagi. Aroma roti panggang dan mentega tipis menyelinap dari dapur. Aroma rumah yang sesungguhnya.Ia menghembuskan napas panjang. “Akhirnya tidur beneran,” gumamnya lirih. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tidak tegang seperti benan

  • Kamar 2A   Kaca

    Lampu neon di langit-langit kantor menyalakan bunyinya sendiri -desis panjang, lalu getaran halus- seperti napas seseorang yang tidak terlihat. Rara duduk tegak di meja kerjanya, mencoba menyelesaikan revisi laporan yang seharusnya sudah selesai sebelum magrib. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tapi pikirannya tak bisa sepenuhnya fokus. Kantor sudah lama sunyi. Terlalu sunyi. Berbanding terbalik 180 derajat dengan isi kepalanya.Ia melirik jam dinding. 20:53. Bagus. Kalau lebih dari ini mungkin aku resmi berubah jadi fosil kantor.Ia menyandarkan punggungnya dan memijat kening. Sisa kejutan pagi tadi masih menempel seperti bayangan yang enggan pergi. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat dan berani, setidaknya itulah yang selalu diajarkan mendiang Ayah.Agar perempuan tidak dihina, diremehkan, terlebih lagi dilecehkan. Itulah prinsip Ayah yang ia pegang mati-matian selama ini. Namun, sekarang hatinya tidak yakin lagi. 23 tahun hidup, baru kali ini ia menjumpai ke

  • Kamar 2A   Hilang

    Rara tiba di kantor dengan napas masih memburu. Begitu mencapai meja kerjanya, ia langsung duduk, menarik napas panjang, kemudian menekan dadanya sendiri seperti sedang memaksa pikirannya untuk diam. Tenang, Ra. Itu cuma pagi yang aneh. Sayangnya, kalimat itu terdengar seperti kebohongan yang ia coba telan mentah-mentah.Rara tiba di kantor beberapa menit sebelum jam masuk. Ruangan masih setengah gelap; hanya lampu depan dan cahaya dari jendela yang menembus tirai kusam. Kantor itu selalu terlihat seperti tempat yang sedang menunggu kelelahan baru. Meja berantakan, komputer tua yang suka hang, dan tumpukan berkas yang tak pernah turun jumlahnya.Ia menaruh tas di meja, menarik kursi, dan baru saja ingin menyalakan komputer ketika suara klik terdengar dari belakang. Lemari arsip besar di sudut ruangan terbuka sendiri. Sangat pelan. Seolah ada jari-jari yang mendorongnya dari dalam.Rara menoleh cepat. Tidak ada siapa pun. Sinar matahari yang masuk dari jendela memantul pada gagang l

  • Kamar 2A   Lelaki

    Rara membuka pintu kamarnya sambil memasukkan ponsel ke tas. Ia berniat turun untuk berangkat kerja, tapi langkahnya langsung membeku. Seorang lelaki berdiri di depan pintu, begitu dekat sampai Rara hampir menabrak dadanya. Lelaki itu terkejut sama besar; ia mundur sepersekian langkah sambil menahan napas, seolah tak menyangka pintu akan terbuka pada detik itu juga. Sosok itu tingginya hampir menyentuh kusen pintu. Tubuhnya tegap, pakaian sederhana: kaus gelap dan jaket tipis, caranya berdiri memberi kesan seseorang yang tahu cara menjaga jarak aman. Rambut hitamnya sedikit berantakan, mata gelapnya tajam, serius, tapi tidak menyeramkan. Ada keteduhan yang aneh di sorotnya, tenang, tapi terasa seperti ia selalu membaca gerak-gerik orang lain. “Eh, maaf,” ucapnya cepat, suaranya rendah dan hangat. “Aku Ardan.” Rara memegang gagang pintu lebih erat. “Ada perlu apa?” Ardan tersenyum kecil, tidak memaksa, tidak mencoba mendekat. “Aku saudara jauh Bu Narti. Tinggal di bawah,

  • Kamar 2A   Mata

    Pagi di Kos Melati Indah terasa berbeda dari pagi di tempat mana pun yang pernah Rara tinggali. Udara di lorong tampak lebih dingin, seperti dinding-dindingnya menyimpan embun yang tidak pernah menguap. Rara berdiri di depan pintunya, memandangi bekas jari gelap di lantai yang semalam membuatnya tidak bisa tidur. Cahaya matahari yang masuk dari jendela lorong tidak mampu menghapus kesan bahwa bekas itu bukan milik manusia biasa. Ia jongkok, mendekatkan wajah untuk memastikan. Permukaannya tidak basah. Tidak menempel di kulit. Seolah bekas itu sudah ada sangat lama, namun baru muncul ketika disentuh sesuatu. Rara mundur selangkah, memeluk dirinya sendiri. Udah, Ra. Jangan makin dipikir. Bisa gila nanti. Ia mengambil tas kecil, mengunci pintu, lalu berjalan turun ke lantai bawah. Di teras, Bu Narti sedang menjemur kasur tipis. Perempuan itu menoleh sekilas ke arah Rara. Rara sudah membuka mulut, tapi Bu Narti lebih dulu angkat tangan. “Jangan dibahas lagi,” ujarnya datar. Ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status