LOGINLangit menggantung rendah, kelabunya pekat dan berat seperti kain basah yang belum diperas. Angin berembus malas, membawa bau tanah yang belum tersentuh hujan. Rara berdiri di dekat jendela ruang tengah rumah Lia, memperhatikan awan bergerak perlahan, seolah ragu menjatuhkan isinya. Beberapa menit kemudian, rintik turun dengan halus, mengetuk genteng dengan irama yang menenangkan.Hujan ringan itu menjadi latar yang pas untuk malam yang terasa hangat. Meja makan dipenuhi suara tawa. Bu Rindang menggeser piring dengan cekatan, wajahnya tenang, matanya berbinar melihat rumahnya kembali riuh.“Dimas, sumpah, lemparan kamu tadi tuh miring,” kata Rara sambil menyendok nasi.“Bukan miring, itu strategi,” bantah Dimas cepat. “Biar lawan bingung.”“Yang bingung kamu sendiri,” potong Lia.Bu Rindang tertawa kecil. “Yang penting pulang bawa keringat, bukan bawa masalah.”Rara ikut tertawa. “Aku lihat lemparanmu. Yang satu bagus, yang tiga… niatnya bagus.”Dimas melotot pura-pura tersingg
Angkot itu pengap, bau bensin bercampur dengan sisa keringat sore yang menempel di jok-jok vinilnya. Musik dangdut lama mengalun dari radio kecil di dekat setir, suaranya pecah dan sumbang. Penumpang duduk rapat, sebagian menatap kosong ke luar jendela, sebagian terkantuk memeluk tas. Cahaya lampu kabin temaram memantul di kaca buram, membuat bayangan wajah terlihat ganda dan samar. Saat Rara dan Dimas naik, belum sempat duduk dengan benar, mesin sudah meraung, dan angkot kembali melaju. Rara duduk di dekat pintu, Dimas di sampingnya. Dari balik kaca angkot, mata Dimas menyelidik ke luar. Orang yang mengikuti mereka telah menghilang. Ke mana perginya?Angkot melaju pelan, berhenti–jalan, berhenti–jalan, membuat hati Dimas semakin tak nyaman. Melewati bangunan-bangunan toko kecil, warung, lalu deretan rumah yang mulai jarang. Lampu jalan menyala satu-satu.“Dim,” panggil Rara. Tidak dijawab. “Dimas?” Masih diam.Rara menepuk lengan Dimas pelan. “Hei. Kamu kenapa?”Dimas tersent
Langit sore menggantung rendah, warnanya lembut seperti permen kapas yang meleleh. Angin berembus pelan dari arah barat, membawa aroma debu lapangan dan daun kering. Lamat-lamat suara bola yang beradu dengan lapangan terdengar berirama. Suara sepatu bergesek, tawa, dan seruan menambah sorak-sorai kegembiraan setelah jam pulang sekolah.Dari kejauhan, mata Rara sudah menemukannya. Bahkan, sebenarnya Rara tak perlu mencari. Dimas senang sekali bermain basket. Bahkan ia kapten tim basket sekolahnya. Jadi ke sanalah ia sekarang. Langkahnya mantap tapi ringan; energi hari ini memang berbeda.Rara datang tanpa memberi kabar lebih dulu. Ia berhenti di bawah pohon ketapang besar di sisi lapangan, duduk di bangku panjang yang cat hijaunya sudah sedikit mengelupas. Dari sana, ia bisa melihat seluruh lapangan dengan jelas.Dimas tertawa lepas ketika berhasil mencuri bola dari temannya. Rara tersenyum. Ada nyeri kecil yang hangat di dadanya. Anak itu… bukan lagi anak kecil. Bahunya menurun leb
Pagi itu, udara di halaman rumah Lia masih menyimpan sisa embun. Rara melangkah keluar sambil merapikan rambutnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia benar-benar tersenyum bahkan sebelum matahari naik penuh. Rasanya ringan, seperti sesuatu yang membebani pundaknya selama ini tiba-tiba mengendur. Lia muncul dari pintu sambil menggembungkan pipinya karena terburu-buru memasukkan roti ke mulut. Di belakangnya, Dimas sudah rapi dengan seragam SMA dan tas biru yang tampak terlalu kecil untuk tubuhnya. Begitu melihat Rara, mata Dimas langsung berbinar dan melambai-lambaikan tangannya heboh, “Mbak Raraaa! Hati-hati di jalan!” Tapi setelah itu ia langsung berlari melewati gerbang rumah, tidak berani mengangkat kepala. Kelakuannya membuat beberapa ibu-ibu tetangga menoleh. Rara tertawa kecil, membalas lambaian itu dengan hangat. “Kamu juga! Jangan lari-lari nanti jatuh!” serunya. Demi mendengar hal itu, kedua pipi Dimas terasa panas, dan malah mempercepat larin
Rara terbangun perlahan, seperti seseorang yang baru saja naik ke permukaan setelah terlalu lama tenggelam. Matanya membuka pelan, terlalu pelan, karena pagi itu tidak ada rasa cemas yang memaksanya sadar. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari penuh tekanan, ia bangun bukan karena mimpi buruk, bukan karena suara langkah di lorong kos, bukan karena ketukan pintu yang samar-samar merayap sampai ke mimpinya. Ia bangun karena… kenyamanan.Senyum kecil muncul di sudut bibirnya sebelum ia sepenuhnya ingat di mana ia berada. Langit-langit rumah Lia berwarna putih gading, dengan lampu gantung mungil berbentuk bunga. Meja rias di pojok kanan penuh pernak-pernik lucu, boneka-boneka kecil duduk rapi, dan tirai biru laut di jendela bergoyang lembut tersapu angin pagi. Aroma roti panggang dan mentega tipis menyelinap dari dapur. Aroma rumah yang sesungguhnya.Ia menghembuskan napas panjang. “Akhirnya tidur beneran,” gumamnya lirih. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tidak tegang seperti benan
Lampu neon di langit-langit kantor menyalakan bunyinya sendiri -desis panjang, lalu getaran halus- seperti napas seseorang yang tidak terlihat. Rara duduk tegak di meja kerjanya, mencoba menyelesaikan revisi laporan yang seharusnya sudah selesai sebelum magrib. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tapi pikirannya tak bisa sepenuhnya fokus. Kantor sudah lama sunyi. Terlalu sunyi. Berbanding terbalik 180 derajat dengan isi kepalanya.Ia melirik jam dinding. 20:53. Bagus. Kalau lebih dari ini mungkin aku resmi berubah jadi fosil kantor.Ia menyandarkan punggungnya dan memijat kening. Sisa kejutan pagi tadi masih menempel seperti bayangan yang enggan pergi. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat dan berani, setidaknya itulah yang selalu diajarkan mendiang Ayah.Agar perempuan tidak dihina, diremehkan, terlebih lagi dilecehkan. Itulah prinsip Ayah yang ia pegang mati-matian selama ini. Namun, sekarang hatinya tidak yakin lagi. 23 tahun hidup, baru kali ini ia menjumpai ke







