MasukRara terbangun perlahan, seperti seseorang yang baru saja naik ke permukaan setelah terlalu lama tenggelam. Matanya membuka pelan, terlalu pelan, karena pagi itu tidak ada rasa cemas yang memaksanya sadar. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari penuh tekanan, ia bangun bukan karena mimpi buruk, bukan karena suara langkah di lorong kos, bukan karena ketukan pintu yang samar-samar merayap sampai ke mimpinya. Ia bangun karena… kenyamanan.
Senyum kecil muncul di sudut bibirnya sebelum ia sepenuhnya ingat di mana ia berada. Langit-langit rumah Lia berwarna putih gading, dengan lampu gantung mungil berbentuk bunga. Meja rias di pojok kanan penuh pernak-pernik lucu, boneka-boneka kecil duduk rapi, dan tirai biru laut di jendela bergoyang lembut tersapu angin pagi. Aroma roti panggang dan mentega tipis menyelinap dari dapur. Aroma rumah yang sesungguhnya. Ia menghembuskan napas panjang. “Akhirnya tidur beneran,” gumamnya lirih. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tidak tegang seperti benang yang ditarik paksa. Dan ia ingat, semalam, ia tidak pulang ke Kos Melati Indah, tapi diantar Ardan ke sini. Masih jelas dalam ingatannya, meski lebih menyerupai mimpi. Setelah menabrak Ardan di depan kantor dan hampir jatuh tersungkur, ia setengah histeris, setengah malu. Ardan tidak banyak bicara dan bertanya. Ia yang mengantar Rara keluar dari kawasan gedung, berjalan berdua menyusuri trotoar yang sunyi. “Lia di rumah?” tanya Ardan waktu itu. Rara mengangguk, bahkan tanpa berpikir, tanpa perlu menelepon untuk memastikan. Ia terlalu hafal jadwal Lia. Dan Ardan tidak bertanya lagi, hanya berkata, “Oke. Aku antar ya? Ngga baik cewek jalan sendiri malam-malam.” Ketika mereka sampai, Lia membuka pintu dengan mata kaget, kemudian berubah nakal dalam hitungan detik. “Oh, OH! Ini Ardan yang sering kamu sebut itu?” katanya sambil melirik ke Rara, jelas menahan senyum meledek. Rara langsung mendorong pelan lengan Lia. “Aku nggak sering nyebut dia.” Ardan hanya tersenyum tipis, mencuri pandang sekilas pada Rara. Lia pun menggoda, “Cieeee, cinderella jadi-jadian diantar pangeran pulang.” Rara ingin protes, tapi tenaganya belum pulih untuk menanggapi celetukan temannya lagi. Ardan pamit tak lama setelah memastikan Rara aman. Lia bahkan sempat berbisik, “Meskipun ada hantu, kalau ada cowok begitu di kos, aku pasti betah!” Rara merinding demi mendengar perkataan Lia itu. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu besar yang bersembunyi di balik dinding kosnya, menunggu untuk dibongkar seseorang. Terlalu banyak misteri dan keanehan yang terjadi. Namun, siapa yang bisa menahan godaan kasur lembut Lia dan kamarnya yang hangat? Pikiran tentang kosnya pun memudar ke langit-langit kamar yang temaram, dan tiba-tiba sudah tenggelam dalam alam bawah sadarnya. Untuk pertama kalinya setelah hari-hari yang melelahkan, ia tertidur tanpa beban. _ _ _ Rumah Lia berada di pinggiran kota, di cluster kecil yang lebih banyak diisi keluarga muda. Halamannya sempit tapi rapi; ibunya Lia suka menanam bunga-bunga mini di pot gantung. Rumah itu memiliki tiga kamar: kamar Lia, kamar adiknya Dimas, dan kamar Ibu. Dapurnya kecil tapi cerah, selalu wangi karena ibunya Lia suka membuat roti. Ketika Rara turun ke bawah, ia melihat meja makan sudah diisi hidangan sederhana: telur dadar tebal, roti panggang, dan susu hangat. Ibu Lia, Bu Rindang, tersenyum ramah begitu melihatnya. “Rara, sayang, bangun juga. Tidurnya nyenyak?” “Nyenyak banget, Bu…” Rara duduk sambil mengusap mata, malu tapi nyaman. “Pantes wajahnya seger,” celetuk Lia sambil menyenggolnya. “Semalam kayak zombie.” Rara mencubit lengannya pelan. “Salah sendiri kamu tinggalkan aku lembur sendirian.” “Eh, aku kan ada urusan keluarga.” Percakapan mereka seperti biasa. Hangat, gaduh, penuh candaan. Tak lama kemudian, muncul Dimas. Remaja kelas XII dengan rambut acak-acakan namun ganteng polos. Dia berhenti di ambang pintu dapur, melihat Rara, lalu langsung memalingkan wajah sambil pura-pura merapikan rambut. “Halo… Kak Rara,” katanya, terlalu hati-hati. Lia langsung mendesis ke arah Rara, “Tuh kan, kan! Dia naksir kamu sejak kamu pertama kali ke sini. Ciee…” “Liaaa…” Rara melotot. Dimas langsung merah padam. “Mbak Lia jangan bilang gitu.” Bu Rindang hanya tertawa kecil. “Kalian ini dari dulu ribut terus kalau Rara datang.” Suasana meja makan menjadi hidup. Rara makan sambil merasakan sesuatu yang nyaris ia lupakan, yaitu rasa aman. Tiap gigitan roti, tiap tawa Lia dan keluarganya, tiap suara sendok yang beradu dengan piring, semuanya terasa seperti dunia normal yang sudah lama menjauhinya sejak ia tinggal di kos itu. “Rara,” kata Bu Rindang tiba-tiba, lembut. “Kalau kau masih takut, boleh tidur di sini beberapa hari dulu.” Lia langsung mengangguk, “Iya! Serius. Jangan balik dulu. Gila aja kamu kalau balik.” Rara terdiam sejenak. Ada rasa lega, tapi juga rasa bersalah karena merepotkan. “Tapi aku nggak mau ganggu...“ “Kamu nggak ganggu. Titik,” potong Lia. Dimas mengangguk semangat. “Iya, Kak. Nggak ganggu sama sekali kok.” Lia menyelidik wajah adiknya. Rara nyaris ngakak melihat ekspresi gugup bocah itu. Dan lagi-lagi hangat. Sungguh hangat. Sesaat ia lupa suara langkah di lorong kos. Ia lupa pintu kamarnya yang diketuk jam dua malam. Ia lupa ekspresi Bu Narti yang selalu membuat tengkuknya dingin. Ia lupa sesuatu dalam lemari arsip yang mengawasinya. Ia hanya menikmati sarapan, hal paling sederhana yang terasa seperti kemewahan bagi seseorang yang sudah beberapa hari hidup dalam ketakutan. _ _ _ Setelah sarapan, Lia menariknya ke ruang tamu. “Kamu kelihatan lebih hidup hari ini,” katanya sambil menyisir rambut sendiri. “Karena tidurku enak,” jawab Rara. Lia meneliti wajahnya. “Kupikir kamu bakal mimpi buruk lagi.” “Enggak… anehnya enggak.” Rara menatap keluar jendela. Angin membawa aroma roti dan wangi sabun lantai. “Padahal aku takut banget kemarin,” ucapnya pelan, hampir seperti pengakuan. Lia ikut memandang ke arah yang sama. “Kamu di sini dulu beberapa hari, Ra. Aku nggak tenang kalau kamu balik ke kos itu.” Rara terdiam sebentar. “Lia… kamu percaya hal-hal kayak gitu?” “Apa?” “Yang… semalam bikin aku lari.” Lia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Wajahnya berubah serius. “Aku percaya kamu. Itu cukup.” Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti benteng yang menahan semua kecemasan Rara. Ia mengangguk. Untuk pertama kalinya, tanpa harus memaksa diri kuat, Rara benar-benar merasa selamat. _ _ _ Rara kembali menatap langit-langit kamar Lia saat ia naik lagi ke atas untuk bersiap-siap. Cahaya matahari pagi menerobos tirai, jatuh lembut ke lantai keramik. Ia menempelkan punggung ke dinding. “Kenapa baru di sini aku bisa tidur kayak manusia normal,” gumamnya. Mungkin karena ada orang. Mungkin karena rumah Lia hangat. Atau mungkin karena ia tidak sendirian ketika pulang semalam. Ia teringat sekilas wajah Ardan. Tenang, tapi penuh tanda tanya yang tidak pernah ia pahami. Rara menghela napas panjang. Hari ini mungkin lebih baik. Dan untuk sesaat, ia ingin percaya itu.Pagi itu, udara di halaman rumah Lia masih menyimpan sisa embun. Rara melangkah keluar sambil merapikan rambutnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia benar-benar tersenyum bahkan sebelum matahari naik penuh. Rasanya ringan, seperti sesuatu yang membebani pundaknya selama ini tiba-tiba mengendur. Lia muncul dari pintu sambil menggembungkan pipinya karena terburu-buru memasukkan roti ke mulut. Di belakangnya, Dimas sudah rapi dengan seragam SMA dan tas biru yang tampak terlalu kecil untuk tubuhnya. Begitu melihat Rara, mata Dimas langsung berbinar dan melambai-lambaikan tangannya heboh, “Mbak Raraaa! Hati-hati di jalan!” Tapi setelah itu ia langsung berlari melewati gerbang rumah, tidak berani mengangkat kepala. Kelakuannya membuat beberapa ibu-ibu tetangga menoleh. Rara tertawa kecil, membalas lambaian itu dengan hangat. “Kamu juga! Jangan lari-lari nanti jatuh!” serunya. Demi mendengar hal itu, kedua pipi Dimas terasa panas, dan malah mempercepat larin
Rara terbangun perlahan, seperti seseorang yang baru saja naik ke permukaan setelah terlalu lama tenggelam. Matanya membuka pelan, terlalu pelan, karena pagi itu tidak ada rasa cemas yang memaksanya sadar. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari penuh tekanan, ia bangun bukan karena mimpi buruk, bukan karena suara langkah di lorong kos, bukan karena ketukan pintu yang samar-samar merayap sampai ke mimpinya. Ia bangun karena… kenyamanan.Senyum kecil muncul di sudut bibirnya sebelum ia sepenuhnya ingat di mana ia berada. Langit-langit rumah Lia berwarna putih gading, dengan lampu gantung mungil berbentuk bunga. Meja rias di pojok kanan penuh pernak-pernik lucu, boneka-boneka kecil duduk rapi, dan tirai biru laut di jendela bergoyang lembut tersapu angin pagi. Aroma roti panggang dan mentega tipis menyelinap dari dapur. Aroma rumah yang sesungguhnya.Ia menghembuskan napas panjang. “Akhirnya tidur beneran,” gumamnya lirih. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tidak tegang seperti benan
Lampu neon di langit-langit kantor menyalakan bunyinya sendiri -desis panjang, lalu getaran halus- seperti napas seseorang yang tidak terlihat. Rara duduk tegak di meja kerjanya, mencoba menyelesaikan revisi laporan yang seharusnya sudah selesai sebelum magrib. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tapi pikirannya tak bisa sepenuhnya fokus. Kantor sudah lama sunyi. Terlalu sunyi. Berbanding terbalik 180 derajat dengan isi kepalanya.Ia melirik jam dinding. 20:53. Bagus. Kalau lebih dari ini mungkin aku resmi berubah jadi fosil kantor.Ia menyandarkan punggungnya dan memijat kening. Sisa kejutan pagi tadi masih menempel seperti bayangan yang enggan pergi. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat dan berani, setidaknya itulah yang selalu diajarkan mendiang Ayah.Agar perempuan tidak dihina, diremehkan, terlebih lagi dilecehkan. Itulah prinsip Ayah yang ia pegang mati-matian selama ini. Namun, sekarang hatinya tidak yakin lagi. 23 tahun hidup, baru kali ini ia menjumpai ke
Rara tiba di kantor dengan napas masih memburu. Begitu mencapai meja kerjanya, ia langsung duduk, menarik napas panjang, kemudian menekan dadanya sendiri seperti sedang memaksa pikirannya untuk diam. Tenang, Ra. Itu cuma pagi yang aneh. Sayangnya, kalimat itu terdengar seperti kebohongan yang ia coba telan mentah-mentah.Rara tiba di kantor beberapa menit sebelum jam masuk. Ruangan masih setengah gelap; hanya lampu depan dan cahaya dari jendela yang menembus tirai kusam. Kantor itu selalu terlihat seperti tempat yang sedang menunggu kelelahan baru. Meja berantakan, komputer tua yang suka hang, dan tumpukan berkas yang tak pernah turun jumlahnya.Ia menaruh tas di meja, menarik kursi, dan baru saja ingin menyalakan komputer ketika suara klik terdengar dari belakang. Lemari arsip besar di sudut ruangan terbuka sendiri. Sangat pelan. Seolah ada jari-jari yang mendorongnya dari dalam.Rara menoleh cepat. Tidak ada siapa pun. Sinar matahari yang masuk dari jendela memantul pada gagang l
Rara membuka pintu kamarnya sambil memasukkan ponsel ke tas. Ia berniat turun untuk berangkat kerja, tapi langkahnya langsung membeku. Seorang lelaki berdiri di depan pintu, begitu dekat sampai Rara hampir menabrak dadanya. Lelaki itu terkejut sama besar; ia mundur sepersekian langkah sambil menahan napas, seolah tak menyangka pintu akan terbuka pada detik itu juga. Sosok itu tingginya hampir menyentuh kusen pintu. Tubuhnya tegap, pakaian sederhana: kaus gelap dan jaket tipis, caranya berdiri memberi kesan seseorang yang tahu cara menjaga jarak aman. Rambut hitamnya sedikit berantakan, mata gelapnya tajam, serius, tapi tidak menyeramkan. Ada keteduhan yang aneh di sorotnya, tenang, tapi terasa seperti ia selalu membaca gerak-gerik orang lain. “Eh, maaf,” ucapnya cepat, suaranya rendah dan hangat. “Aku Ardan.” Rara memegang gagang pintu lebih erat. “Ada perlu apa?” Ardan tersenyum kecil, tidak memaksa, tidak mencoba mendekat. “Aku saudara jauh Bu Narti. Tinggal di bawah,
Pagi di Kos Melati Indah terasa berbeda dari pagi di tempat mana pun yang pernah Rara tinggali. Udara di lorong tampak lebih dingin, seperti dinding-dindingnya menyimpan embun yang tidak pernah menguap. Rara berdiri di depan pintunya, memandangi bekas jari gelap di lantai yang semalam membuatnya tidak bisa tidur. Cahaya matahari yang masuk dari jendela lorong tidak mampu menghapus kesan bahwa bekas itu bukan milik manusia biasa. Ia jongkok, mendekatkan wajah untuk memastikan. Permukaannya tidak basah. Tidak menempel di kulit. Seolah bekas itu sudah ada sangat lama, namun baru muncul ketika disentuh sesuatu. Rara mundur selangkah, memeluk dirinya sendiri. Udah, Ra. Jangan makin dipikir. Bisa gila nanti. Ia mengambil tas kecil, mengunci pintu, lalu berjalan turun ke lantai bawah. Di teras, Bu Narti sedang menjemur kasur tipis. Perempuan itu menoleh sekilas ke arah Rara. Rara sudah membuka mulut, tapi Bu Narti lebih dulu angkat tangan. “Jangan dibahas lagi,” ujarnya datar. Ra







