Share

Mulai

Author: en nasrie
last update Huling Na-update: 2025-12-08 22:57:44

Pagi itu, udara di halaman rumah Lia masih menyimpan sisa embun. Rara melangkah keluar sambil merapikan rambutnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia benar-benar tersenyum bahkan sebelum matahari naik penuh. Rasanya ringan, seperti sesuatu yang membebani pundaknya selama ini tiba-tiba mengendur. Lia muncul dari pintu sambil menggembungkan pipinya karena terburu-buru memasukkan roti ke mulut. Di belakangnya, Dimas sudah rapi dengan seragam SMA dan tas biru yang tampak terlalu kecil untuk tubuhnya.

Begitu melihat Rara, mata Dimas langsung berbinar dan melambai-lambaikan tangannya heboh, “Mbak Raraaa! Hati-hati di jalan!” Tapi setelah itu ia langsung berlari melewati gerbang rumah, tidak berani mengangkat kepala.

Kelakuannya membuat beberapa ibu-ibu tetangga menoleh. Rara tertawa kecil, membalas lambaian itu dengan hangat. “Kamu juga! Jangan lari-lari nanti jatuh!” serunya.

Demi mendengar hal itu, kedua pipi Dimas terasa panas, dan malah mempercepat larinya. Lia menatap adeknya itu sambil geleng-geleng, roti panggang masih mengisi mulutnya. “Dia itu, kalau sama kamu perhatian, beda banget kalau sama aku,” gumamnya. Rara hanya tersenyum, senyum yang bahkan Lia sendiri hampir tidak percaya bisa muncul dari wajah itu setelah apa yang terjadi di kantor dan kos. Pagi ini terasa berbeda, seperti hidup sedang mengatur ulang dirinya sendiri.

Mereka berjalan berdampingan menyusuri trotoar. Lalu lintas mulai padat, suara kendaraan berebutan mengangkasa. Langit biru pucat bersih. Dedaunan pinggir jalan terlihat lebih segar. Angin berhembus pelan, memeluk pipi Rara seperti tangan lembut yang menenangkan. Rara menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

“Kayaknya… hidup nggak separah itu, ya?” gumam Rara setengah sadar, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Lia meliriknya, menaikkan satu alis. “Aduh, siapa ini? Rara yang aku kenal biasanya bilang ‘hidup itu ujian masuk neraka’.”

Rara terkekeh. “Hari ini beda.” Dan memang begitu.

_ _ _

Kantor terlihat normal. Sangat normal, sampai Rara sempat ragu apakah semua kejadian aneh sebelumnya hanya mimpi buruk karena terlalu lelah. Lampu-lampu terang tanpa berkedip, suara mesin printer tidak lagi seperti tarikan napas makhluk, dan lorong panjang menuju ruangan mereka hanya lorong biasa. Tidak terasa tanpa ujung, menyempit, atau bahkan hidup.

“Raraaa!” seru seorang karyawan wanita dari divisi berbeda. “Kok cerah banget hari ini?”

Rara tersenyum, mengangguk singkat. Lia menjengit lucu. “Aku sumpahin semua orang hari ini bakal shock liat kamu.”

Mereka masuk pantry untuk mengambil kopi. Suasananya ramai seperti biasa. Maklum, tempat perhentian pertama sebelum memasuki medan perang masing-masing. Bau roti panggang, tawa kecil beberapa staf, dan suara gelas beradu menguar memenuhi ruang. Semua begitu manusiawi.

Seorang pria tinggi dari divisi sebelah, Dani, tiba-tiba menghampiri Rara. Ia memegang cangkir kopi seolah sedang bersiap tampil stand-up comedy. “Rara, aku harus bilang ini.”

Rara mengangkat alis. “Apa?”

“Sebenernya aku udah lama merhatiin kamu. Hari ini kamu... beda,” katanya sambil menunjuk wajah Rara. “Senyummu manis. Cerah. Seger. Kemarin-kemarin… sumpah kayak kain pel belum dicuci!”

Lia membelalak di samping Rara. “Dani!”

Dani tertawa, santai. “Eh tapi serius. Kamu kelihatan lebih hidup hari ini. Entah kenapa. Mau cerita? Sambil makan malam bareng? Ada tempat ramen baru buka di sebelah gedung bank. Traktir deh.” Senyumnya mengembang.

Tiba-tiba Lia bertepuk tangan norak, membuat beberapa orang lain menoleh. “Wah, gila! Baru nginep semalam di rumahku aja udah berubah kayak gini. Gimana kalau nginep setiap malam?”

“Wah, jangan,” Dani sok-sokan menepuk jidat, “Bisa-bisa sainganku sekantor!”

Lia dan Dani tertawa kompak, senang sekali bisa menjaili Rara. Sedangkan pipi Rara merah padam, tangannya menyikut Lia. Diam-diam dalam hati ia turut gembira, bukan karena godaan sahabatnya itu atau Dani, tapi ia bersyukur punya orang-orang baik di sekelilingnya. Bayangan Ardan berkelebat di kepalanya. Ia segera menggeleng-gelengkan kepala.

“Ada apa, Ra? Oh ya, gimana jawabanmu?” Dani berhenti tertawa, memasang wajah sok serius.

Rara tersenyum sopan. Lembut. Tidak kaku. “Maaf ya, Dan. Aku sudah ada janji makan malam.”

Dani tampak kecewa kecil. Juga Lia. “Oh gitu… sama Lia?”

Rara menggeleng. “Sama adiknya Lia. Dimas.”

“Apa?!” Dani terkejut. Juga Lia. Tak menduga sedikit pun jawaban yang keluar dari mulut Rara. Hening sepersekian detik. Dani berkedip tiga kali. “Sama anak SMA?”

“Ya,” jawab Rara polos.

Lia hampir tersedak kopi. “Kamu kok bisa setenang itu ngomongnya.”

Mungkin sekantor tahu Dimas gara-gara tahun lalu ia berteriak di depan kantor, memanggil-manggil nama kakaknya, alih-alih masuk dan bertanya kepada satpam. Bermula dari Lia yang lupa bawa mapnya, dan minta tolong Dimas yang lagi libur sekolah untuk mengantarnya. Berakhir di Lia yang menahan malu seminggu karena teman-teman kantor menggodanya, dan mendadak viral.

Dani akhirnya tertawa pasrah. “Ya udah deh. Kalau kamu bahagia, kami semua ikut bahagia.” Ia mengangkat cangkirnya, lalu pergi sambil mengulang pelan, “Anak SMA… gila sih…”

Rara hanya tersenyum.

_ _ _

Begitu sampai di ruangan, Lia langsung memelototinya, menginterogasinya di bawah cahaya lampu neon. Wajahnya hanya beberapa sentimeter di depan wajah Rara. “Eh, jangan bercanda. Kalian janjian mau dinner!?”

Demi melihat kehebohan di wajah temannya itu, Rara tak bisa menahan lagi, tertawa terbahak-bahak, memegangi perutnya. “Aduh, sakit! Lihat ekspresimu deh!”

Lia mencubit pinggang Rara, hampir menimpuknya dengan kopi panas di tangan satunya. “Ih, nggak lucu! Aku harus ngomong apa sama Ibu?!”

Rara mengaduh kesakitan, mengusap air mata, lalu menarik tangan Lia dan mendudukkannya di kursinya. “Tenang, ayo kita duduk dulu.”

Lia melipat tangan depan dada. Tiba-tiba seperti teringat sesuatu, ekspresinya berubah 180 derajat. “Eh, tapi sebenarnya aku mau sih jadi kakak iparmu.”

Giliran mata Rara sekarang melotot. “Lia! Nanti malam kita kan makan bareng sama ibu dan Dimas di rumah! Aku nggak salah, kan?”

“Iya, sih. Tapi itu beda cerita. Kenapa kamu nolak undangan Dani?”

“Nggak tahu, Li. Lagi nggak mau deket sama siapa pun. Kayak...”

“Iya. Aku paham kok,” sahut Lia sambil tersenyum. “Kamu baru mulai mengatur hidup lagi. Setelah semua yang terjadi. Aku selalu support kamu.”

Lia balik badan dan mulai membuka tugas-tugasnya, membiarkan Rara yang tersenyum sendiri di belakang. “Makasih, Li.”

“Tapi, kenapa kamu bawa-bawa adekku? Jangan-jangan...”

Rara menimpuk temannya itu dengan tisu, membuatnya terkekeh, lalu balik badan merapikan mejanya sendiri, mouse, dan papan ketik.

Aneh. Kenapa pipiku terasa hangat?

_ _ _

Sisa hari itu berjalan mudah. Tidak ada lembur. Tidak ada pekerjaan mendadak. Tidak ada panggilan dari atasan yang membuat perut mual. Semua mengalir seperti hari kerja normal yang seharusnya; sebuah kemewahan yang jarang Rara dapatkan. Khususnya sejak pindah ke kos Melati Indah.

Saat jam pulang tiba, Rara menyiapkan barangnya dengan ringan. Ia berdiri di samping Lia yang sedang memeriksa ponselnya.

“Lia, aku sudah siap.”

“Oh iya…” Lia terdiam sejenak, lalu menatap Rara. “Aku ada urusan sebentar. Bisa jemput Dimas nggak? Dia pulang cepat hari ini.”

Rara mengangguk tanpa ragu. “Tentu.”

Mereka berjalan keluar gedung kantor bersama. Sinarnya, langkah karyawan lain, hiruk-pikuk sore, semua terasa wajar. Hal yang biasanya tidak diperhatikan kini terekam jelas oleh Rara. Seolah dunia mengizinkannya untuk bernapas sebentar sebelum badai berikutnya datang.

Dan di belakang mereka, dari lantai dua gedung kantor yang lensanya gelap, sepasang bayangan samar berdiri diam, memperhatikan Rara melangkah menjauh. Di tangannya terdapat sebuah foto seorang perempuan yang wajahnya mirip Rara.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kamar 2A   Mulai

    Pagi itu, udara di halaman rumah Lia masih menyimpan sisa embun. Rara melangkah keluar sambil merapikan rambutnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia benar-benar tersenyum bahkan sebelum matahari naik penuh. Rasanya ringan, seperti sesuatu yang membebani pundaknya selama ini tiba-tiba mengendur. Lia muncul dari pintu sambil menggembungkan pipinya karena terburu-buru memasukkan roti ke mulut. Di belakangnya, Dimas sudah rapi dengan seragam SMA dan tas biru yang tampak terlalu kecil untuk tubuhnya. Begitu melihat Rara, mata Dimas langsung berbinar dan melambai-lambaikan tangannya heboh, “Mbak Raraaa! Hati-hati di jalan!” Tapi setelah itu ia langsung berlari melewati gerbang rumah, tidak berani mengangkat kepala. Kelakuannya membuat beberapa ibu-ibu tetangga menoleh. Rara tertawa kecil, membalas lambaian itu dengan hangat. “Kamu juga! Jangan lari-lari nanti jatuh!” serunya. Demi mendengar hal itu, kedua pipi Dimas terasa panas, dan malah mempercepat larin

  • Kamar 2A   Hangat

    Rara terbangun perlahan, seperti seseorang yang baru saja naik ke permukaan setelah terlalu lama tenggelam. Matanya membuka pelan, terlalu pelan, karena pagi itu tidak ada rasa cemas yang memaksanya sadar. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari penuh tekanan, ia bangun bukan karena mimpi buruk, bukan karena suara langkah di lorong kos, bukan karena ketukan pintu yang samar-samar merayap sampai ke mimpinya. Ia bangun karena… kenyamanan.Senyum kecil muncul di sudut bibirnya sebelum ia sepenuhnya ingat di mana ia berada. Langit-langit rumah Lia berwarna putih gading, dengan lampu gantung mungil berbentuk bunga. Meja rias di pojok kanan penuh pernak-pernik lucu, boneka-boneka kecil duduk rapi, dan tirai biru laut di jendela bergoyang lembut tersapu angin pagi. Aroma roti panggang dan mentega tipis menyelinap dari dapur. Aroma rumah yang sesungguhnya.Ia menghembuskan napas panjang. “Akhirnya tidur beneran,” gumamnya lirih. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tidak tegang seperti benan

  • Kamar 2A   Kaca

    Lampu neon di langit-langit kantor menyalakan bunyinya sendiri -desis panjang, lalu getaran halus- seperti napas seseorang yang tidak terlihat. Rara duduk tegak di meja kerjanya, mencoba menyelesaikan revisi laporan yang seharusnya sudah selesai sebelum magrib. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tapi pikirannya tak bisa sepenuhnya fokus. Kantor sudah lama sunyi. Terlalu sunyi. Berbanding terbalik 180 derajat dengan isi kepalanya.Ia melirik jam dinding. 20:53. Bagus. Kalau lebih dari ini mungkin aku resmi berubah jadi fosil kantor.Ia menyandarkan punggungnya dan memijat kening. Sisa kejutan pagi tadi masih menempel seperti bayangan yang enggan pergi. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat dan berani, setidaknya itulah yang selalu diajarkan mendiang Ayah.Agar perempuan tidak dihina, diremehkan, terlebih lagi dilecehkan. Itulah prinsip Ayah yang ia pegang mati-matian selama ini. Namun, sekarang hatinya tidak yakin lagi. 23 tahun hidup, baru kali ini ia menjumpai ke

  • Kamar 2A   Hilang

    Rara tiba di kantor dengan napas masih memburu. Begitu mencapai meja kerjanya, ia langsung duduk, menarik napas panjang, kemudian menekan dadanya sendiri seperti sedang memaksa pikirannya untuk diam. Tenang, Ra. Itu cuma pagi yang aneh. Sayangnya, kalimat itu terdengar seperti kebohongan yang ia coba telan mentah-mentah.Rara tiba di kantor beberapa menit sebelum jam masuk. Ruangan masih setengah gelap; hanya lampu depan dan cahaya dari jendela yang menembus tirai kusam. Kantor itu selalu terlihat seperti tempat yang sedang menunggu kelelahan baru. Meja berantakan, komputer tua yang suka hang, dan tumpukan berkas yang tak pernah turun jumlahnya.Ia menaruh tas di meja, menarik kursi, dan baru saja ingin menyalakan komputer ketika suara klik terdengar dari belakang. Lemari arsip besar di sudut ruangan terbuka sendiri. Sangat pelan. Seolah ada jari-jari yang mendorongnya dari dalam.Rara menoleh cepat. Tidak ada siapa pun. Sinar matahari yang masuk dari jendela memantul pada gagang l

  • Kamar 2A   Lelaki

    Rara membuka pintu kamarnya sambil memasukkan ponsel ke tas. Ia berniat turun untuk berangkat kerja, tapi langkahnya langsung membeku. Seorang lelaki berdiri di depan pintu, begitu dekat sampai Rara hampir menabrak dadanya. Lelaki itu terkejut sama besar; ia mundur sepersekian langkah sambil menahan napas, seolah tak menyangka pintu akan terbuka pada detik itu juga. Sosok itu tingginya hampir menyentuh kusen pintu. Tubuhnya tegap, pakaian sederhana: kaus gelap dan jaket tipis, caranya berdiri memberi kesan seseorang yang tahu cara menjaga jarak aman. Rambut hitamnya sedikit berantakan, mata gelapnya tajam, serius, tapi tidak menyeramkan. Ada keteduhan yang aneh di sorotnya, tenang, tapi terasa seperti ia selalu membaca gerak-gerik orang lain. “Eh, maaf,” ucapnya cepat, suaranya rendah dan hangat. “Aku Ardan.” Rara memegang gagang pintu lebih erat. “Ada perlu apa?” Ardan tersenyum kecil, tidak memaksa, tidak mencoba mendekat. “Aku saudara jauh Bu Narti. Tinggal di bawah,

  • Kamar 2A   Mata

    Pagi di Kos Melati Indah terasa berbeda dari pagi di tempat mana pun yang pernah Rara tinggali. Udara di lorong tampak lebih dingin, seperti dinding-dindingnya menyimpan embun yang tidak pernah menguap. Rara berdiri di depan pintunya, memandangi bekas jari gelap di lantai yang semalam membuatnya tidak bisa tidur. Cahaya matahari yang masuk dari jendela lorong tidak mampu menghapus kesan bahwa bekas itu bukan milik manusia biasa. Ia jongkok, mendekatkan wajah untuk memastikan. Permukaannya tidak basah. Tidak menempel di kulit. Seolah bekas itu sudah ada sangat lama, namun baru muncul ketika disentuh sesuatu. Rara mundur selangkah, memeluk dirinya sendiri. Udah, Ra. Jangan makin dipikir. Bisa gila nanti. Ia mengambil tas kecil, mengunci pintu, lalu berjalan turun ke lantai bawah. Di teras, Bu Narti sedang menjemur kasur tipis. Perempuan itu menoleh sekilas ke arah Rara. Rara sudah membuka mulut, tapi Bu Narti lebih dulu angkat tangan. “Jangan dibahas lagi,” ujarnya datar. Ra

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status