MasukRara tiba di kantor dengan napas masih memburu. Begitu mencapai meja kerjanya, ia langsung duduk, menarik napas panjang, kemudian menekan dadanya sendiri seperti sedang memaksa pikirannya untuk diam. Tenang, Ra. Itu cuma pagi yang aneh. Sayangnya, kalimat itu terdengar seperti kebohongan yang ia coba telan mentah-mentah.
Rara tiba di kantor beberapa menit sebelum jam masuk. Ruangan masih setengah gelap; hanya lampu depan dan cahaya dari jendela yang menembus tirai kusam. Kantor itu selalu terlihat seperti tempat yang sedang menunggu kelelahan baru. Meja berantakan, komputer tua yang suka hang, dan tumpukan berkas yang tak pernah turun jumlahnya. Ia menaruh tas di meja, menarik kursi, dan baru saja ingin menyalakan komputer ketika suara klik terdengar dari belakang. Lemari arsip besar di sudut ruangan terbuka sendiri. Sangat pelan. Seolah ada jari-jari yang mendorongnya dari dalam. Rara menoleh cepat. Tidak ada siapa pun. Sinar matahari yang masuk dari jendela memantul pada gagang lemari itu, membuat celah di pintunya terlihat lebih gelap dari biasanya. Ia menelan ludah. “Pasti angin,” gumamnya. Tapi jendela tertutup. Dan lemari itu berat, angin tidak cukup kuat untuk membukanya. Ia mendekat perlahan, lebih karena rasa tanggung jawab daripada keberanian. Ketika ia ingin menutup lemari itu lagi, ponselnya tiba-tiba bergetar keras, terasa seperti menghantam keheningan ruangan. Rara menghela napas lega kecil. Notifikasi telepon masuk. Nomornya… tak dikenal. Ia mengangkat. Tidak ada suara. Hanya dengusan napas. Berat. Panjang. Terlalu dekat dengan mikrofon. Rara mematung. “Halo? Siapa?” Hening. Lalu klik. Terputus. Ia menatap layar: No Caller ID. 00:12 detik. Suara napas itu terlalu nyata untuk sekadar salah sambung. --- Rekan kerja mulai masuk satu per satu. Suara sandal gesek lantai, pintu terbuka-tutup, obrolan biasa yang harusnya membuat suasana lebih ringan. Tapi Rara tetap merasa seseorang sedang mengawasinya dari celah lemari di belakangnya. Ketika komputer akhirnya menyala dengan suara kipas keras, Rara langsung membuka file laporan. Ia mencoba fokus. Kerja. Jangan memikirkan kos. Jangan memikirkan Bu Narti tadi pagi. Setengah jam berlalu. Rara hampir berhasil menenangkan diri. Komputer mulai berjalan lancar, dan suara aktivitas kantor menutupi kecemasan yang tersisa. Namun perasaan tak nyaman itu membandel. Tepat ketika ia mengetik lembar ketiga, tiba-tiba layar monitornya berkedip. Sekali. Dua kali. Lalu padam sejenak sebelum hidup kembali, menampilkan layar putih kosong. Bukan hal aneh di kantor tua seperti ini. Tapi yang membuat Rara membeku adalah keyboardnya tiba-tiba mengetik sendiri, dengan perlahan, satu-satu, huruf demi huruf. Ia belum sadar hingga tersusun kalimat di layar: JANGAN PULANG SENDIRI. Font standar. Merah. Di tengah layar putih kosong. Rara menjauh dari kursi. Darahnya turun setengah derajat. “Ini pasti kerjaan anak IT yang iseng,” gumamnya, meski tidak yakin siapa yang cukup iseng, atau cukup bodoh, untuk main-main saat jam kerja dan risiko teguran HR. Ia menekan tombol escape. Tidak hilang. Tekan backspace. Tidak hilang. Ketika ia mengambil napas, tulisan itu perlahan menghilang sendiri, huruf demi huruf. Ia melihat keyboard sekali lagi, dengan hati yang mulai tidak karuan. Ternyata benar, tombol delete menekan sendiri, seakan ada jari tak terlihat yang menekannya. Lalu mendadak semua tombol di keyboard itu seperti ditekan sembarangan dengan kasar, membabibuta, diiringi gerungan seperti orang marah. Memenuhi layar putih itu dengan tulisan merah bertumpuk-tumpuk. Rara terpaku di tempatnya, tidak bisa beranjak. Lehernya seperti terkunci untuk tetap melihat layar itu, hingga terdengar suara halus di belakang tengkuknya. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh. Ia berusaha menoleh tapi tertahan oleh sesuatu yang tidak tampak. Jari-jari kurus itu mulai menarik bahunya ke belakang, hingga ia terlompat dari kursi. Spontan ia memekik dan menunduk ketakutan. “Rara!” Rara mengangkat kepala, freeze beberapa detik melihat wajah temannya yang tak kalah terkejut. “Ada apa, Ra? Mukamu kayak liat setan!” Nafas Rara masih tidak beraturan. Butuh beberapa saat sampai akhirnya ia sanggup membalas, “Nggak. Kayaknya komputernya error.” Padahal ia tahu, komputer kantor setua ini tidak mungkin bisa membuat pesan misterius lalu menghapusnya sendiri seperti itu. Ada yang sedang memperingatkannya. Atau mengamatinya. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Ya sudah, aku mau ke pantry dulu. Nitip apa?” Sepertinya Lia baru sampai kantor, meletakkan tas di mejanya. Mereka berdua bagian administrasi di ruangan yang sama. Rara langsung menggamit lengan sahabatnya itu, dan bergegas menariknya keluar. “Aku ikut, ya!” Lia tersenyum ganjil. “Tumben. Biasanya kamu paling ngga bisa lepas sedetik pun dari kursimu.” “Lihat kamu jalan ke pantry kayaknya menyenangkan.” Lia tertawa. “Apanya yang menyenangkan? Bosan malah!” Di belakang mereka, komputer Rara berkedip lagi. Berkali-kali. _ _ _ Pantry pagi itu dipenuhi aroma kopi sachet yang baru diseduh dan sisa parfum murahan yang terbawa dari lorong kantor. Lampunya terang, tapi suasananya tetap kusam seperti tak ada warna kehidupan yang masuk. Meja panjang penuh cangkir tak bertuan, dispenser menetes pelan, dan kulkas kecil bergetar halus seakan protes karena terlalu sering dibanting tutupnya. Rara berdiri di dekat rak gelas, berusaha memusatkan pikirannya agar tidak memikirkan kejadian-kejadian aneh sejak pagi. Beberapa karyawan sudah berkumpul, menjalankan rutinitas pagi yang seperti ritual wajib: ada yang rebutan sendok, ada yang membaca chat grup sambil menyumpahi pekerjaan, ada yang tertawa terlalu keras pada lelucon yang sebenarnya tidak lucu. Obrolan mereka melayang-layang. Tentang target mingguan, drama artis yang gosipnya basi, dan keluhan soal AC kantor yang tidak pernah stabil. Semuanya berjalan biasa saja, monoton, dunia di luar dinding kantor tidak punya hak mengganggu ritme mereka. Hingga seorang karyawan muda yang baru masuk kerja bulan lalu menatap Rara dan bertanya santai, “Mbak Rara pindah, ya? Kos yang baru di mana?” Rara menjawab seadanya, sambil menyendok gula dan kopi hitam. Lia sedang menuang air panas di sebelahnya. Beberapa obrolan basa-basi terjadi. Seorang lelaki tua -petugas kebersihan yang sedang mengaduk kopi hitam di samping pintu masuk- menarik tangan Rara yang melangkah keluar pantry, menatapnya tajam. “Kos Melati Indah?” tanyanya pelan. Saat Rara mengangguk, pria tua itu bergumam, “Dulu pernah ada orang yang hilang dari sana. Sampai sekarang nggak pernah ketemu.” Suasana pantry yang tadinya riuh mendadak mengerut menjadi hening yang tidak nyaman di kepala Rara, seperti seseorang baru saja mematikan musik di tengah pesta. _ _ _ Rara sudah berharap bisa pulang cepat, setidaknya sebelum langit berubah gelap, tapi nasib rupanya sedang ingin bercanda dengannya. Menjelang sore, supervisor menghampiri dengan wajah penuh permintaan maaf standar: “Rara, bisa lembur sebentar? Deadlinenya mepet.” Tidak ada ruang untuk menolak. Lia, yang biasanya pulang bareng, satu-satunya harapan yang tersisa, mengangkat tangan pasrah. “Maaf, Ra. Aku harus jemput adik. Nggak bisa nungguin kamu malam ini.” Satu per satu karyawan mulai berkemas dan pergi, meninggalkan suara langkah yang makin lama makin sedikit. Begitu jam kerja resmi berakhir, kantor benar-benar lengang. Kursi-kursi didorong masuk ke bawah meja, lampu-lampu lorong dipadamkan perlahan, dan suara percakapan terakhir menghilang di balik pintu lift. Rara terduduk di meja kerjanya, ditemani lampu neon yang berdesis pelan, layar monitor yang memantulkan wajah lelahnya, dan keheningan yang mulai terasa terlalu tebal untuk ukuran kantor kecil. Tidak ada siapa pun lagi, hanya dia dan satu malam yang harus ia lewati.Pagi itu, udara di halaman rumah Lia masih menyimpan sisa embun. Rara melangkah keluar sambil merapikan rambutnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia benar-benar tersenyum bahkan sebelum matahari naik penuh. Rasanya ringan, seperti sesuatu yang membebani pundaknya selama ini tiba-tiba mengendur. Lia muncul dari pintu sambil menggembungkan pipinya karena terburu-buru memasukkan roti ke mulut. Di belakangnya, Dimas sudah rapi dengan seragam SMA dan tas biru yang tampak terlalu kecil untuk tubuhnya. Begitu melihat Rara, mata Dimas langsung berbinar dan melambai-lambaikan tangannya heboh, “Mbak Raraaa! Hati-hati di jalan!” Tapi setelah itu ia langsung berlari melewati gerbang rumah, tidak berani mengangkat kepala. Kelakuannya membuat beberapa ibu-ibu tetangga menoleh. Rara tertawa kecil, membalas lambaian itu dengan hangat. “Kamu juga! Jangan lari-lari nanti jatuh!” serunya. Demi mendengar hal itu, kedua pipi Dimas terasa panas, dan malah mempercepat larin
Rara terbangun perlahan, seperti seseorang yang baru saja naik ke permukaan setelah terlalu lama tenggelam. Matanya membuka pelan, terlalu pelan, karena pagi itu tidak ada rasa cemas yang memaksanya sadar. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari penuh tekanan, ia bangun bukan karena mimpi buruk, bukan karena suara langkah di lorong kos, bukan karena ketukan pintu yang samar-samar merayap sampai ke mimpinya. Ia bangun karena… kenyamanan.Senyum kecil muncul di sudut bibirnya sebelum ia sepenuhnya ingat di mana ia berada. Langit-langit rumah Lia berwarna putih gading, dengan lampu gantung mungil berbentuk bunga. Meja rias di pojok kanan penuh pernak-pernik lucu, boneka-boneka kecil duduk rapi, dan tirai biru laut di jendela bergoyang lembut tersapu angin pagi. Aroma roti panggang dan mentega tipis menyelinap dari dapur. Aroma rumah yang sesungguhnya.Ia menghembuskan napas panjang. “Akhirnya tidur beneran,” gumamnya lirih. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tidak tegang seperti benan
Lampu neon di langit-langit kantor menyalakan bunyinya sendiri -desis panjang, lalu getaran halus- seperti napas seseorang yang tidak terlihat. Rara duduk tegak di meja kerjanya, mencoba menyelesaikan revisi laporan yang seharusnya sudah selesai sebelum magrib. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tapi pikirannya tak bisa sepenuhnya fokus. Kantor sudah lama sunyi. Terlalu sunyi. Berbanding terbalik 180 derajat dengan isi kepalanya.Ia melirik jam dinding. 20:53. Bagus. Kalau lebih dari ini mungkin aku resmi berubah jadi fosil kantor.Ia menyandarkan punggungnya dan memijat kening. Sisa kejutan pagi tadi masih menempel seperti bayangan yang enggan pergi. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat dan berani, setidaknya itulah yang selalu diajarkan mendiang Ayah.Agar perempuan tidak dihina, diremehkan, terlebih lagi dilecehkan. Itulah prinsip Ayah yang ia pegang mati-matian selama ini. Namun, sekarang hatinya tidak yakin lagi. 23 tahun hidup, baru kali ini ia menjumpai ke
Rara tiba di kantor dengan napas masih memburu. Begitu mencapai meja kerjanya, ia langsung duduk, menarik napas panjang, kemudian menekan dadanya sendiri seperti sedang memaksa pikirannya untuk diam. Tenang, Ra. Itu cuma pagi yang aneh. Sayangnya, kalimat itu terdengar seperti kebohongan yang ia coba telan mentah-mentah.Rara tiba di kantor beberapa menit sebelum jam masuk. Ruangan masih setengah gelap; hanya lampu depan dan cahaya dari jendela yang menembus tirai kusam. Kantor itu selalu terlihat seperti tempat yang sedang menunggu kelelahan baru. Meja berantakan, komputer tua yang suka hang, dan tumpukan berkas yang tak pernah turun jumlahnya.Ia menaruh tas di meja, menarik kursi, dan baru saja ingin menyalakan komputer ketika suara klik terdengar dari belakang. Lemari arsip besar di sudut ruangan terbuka sendiri. Sangat pelan. Seolah ada jari-jari yang mendorongnya dari dalam.Rara menoleh cepat. Tidak ada siapa pun. Sinar matahari yang masuk dari jendela memantul pada gagang l
Rara membuka pintu kamarnya sambil memasukkan ponsel ke tas. Ia berniat turun untuk berangkat kerja, tapi langkahnya langsung membeku. Seorang lelaki berdiri di depan pintu, begitu dekat sampai Rara hampir menabrak dadanya. Lelaki itu terkejut sama besar; ia mundur sepersekian langkah sambil menahan napas, seolah tak menyangka pintu akan terbuka pada detik itu juga. Sosok itu tingginya hampir menyentuh kusen pintu. Tubuhnya tegap, pakaian sederhana: kaus gelap dan jaket tipis, caranya berdiri memberi kesan seseorang yang tahu cara menjaga jarak aman. Rambut hitamnya sedikit berantakan, mata gelapnya tajam, serius, tapi tidak menyeramkan. Ada keteduhan yang aneh di sorotnya, tenang, tapi terasa seperti ia selalu membaca gerak-gerik orang lain. “Eh, maaf,” ucapnya cepat, suaranya rendah dan hangat. “Aku Ardan.” Rara memegang gagang pintu lebih erat. “Ada perlu apa?” Ardan tersenyum kecil, tidak memaksa, tidak mencoba mendekat. “Aku saudara jauh Bu Narti. Tinggal di bawah,
Pagi di Kos Melati Indah terasa berbeda dari pagi di tempat mana pun yang pernah Rara tinggali. Udara di lorong tampak lebih dingin, seperti dinding-dindingnya menyimpan embun yang tidak pernah menguap. Rara berdiri di depan pintunya, memandangi bekas jari gelap di lantai yang semalam membuatnya tidak bisa tidur. Cahaya matahari yang masuk dari jendela lorong tidak mampu menghapus kesan bahwa bekas itu bukan milik manusia biasa. Ia jongkok, mendekatkan wajah untuk memastikan. Permukaannya tidak basah. Tidak menempel di kulit. Seolah bekas itu sudah ada sangat lama, namun baru muncul ketika disentuh sesuatu. Rara mundur selangkah, memeluk dirinya sendiri. Udah, Ra. Jangan makin dipikir. Bisa gila nanti. Ia mengambil tas kecil, mengunci pintu, lalu berjalan turun ke lantai bawah. Di teras, Bu Narti sedang menjemur kasur tipis. Perempuan itu menoleh sekilas ke arah Rara. Rara sudah membuka mulut, tapi Bu Narti lebih dulu angkat tangan. “Jangan dibahas lagi,” ujarnya datar. Ra







