Share

Bab 3 | Ada Apa Dengan Langit?

Aku segera menata semua makanan tersebut ke dalam piring dan mangkok plastik yang sudah kuambil. Kemudian membawanya ke ruang depan dan meletakkannya di depan Langit dan Bumi, seperti dugaanku, kedua anakku langsung terperanjat, pandangan mereka membulat melihat banyaknya makanan yang kusajikan.

“Ibu, ini makanan buat kita?” tanya Langit dengan pandangan berkaca-kaca.

“Benar, sayang. Yuk Langit sama Bumi makan, ya.” Aku menyerahkan masing-masing piring berisi nasi dan potongan ikan kepada mereka.

“Asiiikk, Bumi lapel banget, Bu. Tadi Bumi mau makan loti tapi bude Lum malahin kita ya, Kak? Tutur Bumi dengan suara cadelnya, membuat hatiku kembali perih mengingat hal menyakitkan tadi.

“Lain kali kalau Ibu suruh Langit sama Bumi di rumah aja kalian harus nurut, ya! Ibu minta maaf tadi perginya kelamaan. Ibu tadi pergi ke desa sebelah untuk kerja, Alhamdulillah ada yang mau pakai jasa Ibu buat beres-beres rumah dan memasak. Nah, makanan ini dikasih sama orang yang memberi Ibu pekerjaan.”

“Makanannya enak, Bu. Langit senang deh kita bisa makan enak kayak gini, terima kasih ya, Bu!” kata Langit dengan mulut penuh dengan nasi.

“Ditelan dulu dong, Sayang! Nanti keselak lho.”

“He … he … he, habis enak banget, Bu,” katanya lagi, membuatku tersenyum gemas.

“Ayo dihabiskan segera, nanti setelah makan kalian mandi, ya! Ibu mau cuci baju dulu.” Aku segera beranjak meninggalkan anak-anakku yang makan dengan lahap.

Aku harus mencuci baju sore ini, agar besok pagi bisa langsung pergi ke rumah bu Rosmalia untuk mulai bekerja. Ah senangnya, setidaknya aku akan bisa mendapatkan pemasukan untuk kebutuhanku dan anak-anak, di saat mas Jazi tidak ada kabar seperti ini. Kemana sebenarnya dia? Apa yang tadi itu benar mas Jazi? Kenapa dia tidak pulang terlebih dahulu ke rumah kami.

Biasanya aku akan merendam pakaian dengan deterjen terlebih dahulu sebelum nanti aku sikat kembali, sambil menunggu cucian yang sedang aku rendam, aku putuskan untuk mengecek anak-anak, ternyata mereka sudah selesai makan, jadi kusuruh mereka untuk segera mandi dan aku membereskan bekas makanan mereka.

Bersyukur makanannya masih bersisa banyak, bisa untuk kami makan nanti malam atau sarapan besok pagi, segera kusimpan makanan tersebut ke atas meja di samping kompor dan menutupnya dengan tutup saji yang terbuat dari anyaman bambu. Setelahnya aku bergegas menyapu dan mengepel lantai kontrakan dan setelah itu menyiapkan baju ganti untuk kedua putra kesayanganku.

Tidak berapa lama, Langit dan Bumi sudah selesai mandi, Langit sudah pandai berpakaian sendiri, sedangkan Bumi masih harus aku bantu untuk berpakaian. Biasanya anak-anak akan langsung ke masjid untuk sholat ashar berjamaah dan setelahnya ikutan belajar mengaji bersama Ustad Faiz sampai menjelang maghrib.

Aku memanfaatkan waktu sendiriku untuk mencuci pakaian yang tadi sudah kurendam dengan deterjen, kemudian setelah selesai mencuci dan menjemur pakaian, aku langsung mandi dan bergegas menunaikan sholat ashar, bagaimanapun sulitnya kehidupan yang kami jalani, sebisa mungkin kami tidak akan pernah melalaikan kewajiban kami sebagai seorang hamba untuk bermunajah kepada sang maha kuasa.

Biasanya Langit dan Bumi baru akan sampai di rumah setelah sholat maghrib, aku beruntung memiliki anak-anak seperti mereka, walaupun hidup serba keterbatasan tapi mereka tumbuh menjadi anak yang baik dan rajin ibadah, biasanya mas Jazi yang menemani anak-anak belajar mengaji, tapi karena mas Jazi jalan pulang jadilah anak-anak mengaji dengan ustad Faiz.

Aku sedang berdoa sehabis sholat maghrib, ketika mendengar pintu diketuk dengan keras disusul suara tangisan Bumi setelahnya. Tergesa aku berjalan menghampiri pintu depan, tanpa melepas mukena aku membuka pintu dan terkejut melihat Bumi yang menangis kencang, sedangkan Langit berpenampilan acak-acakan dengan kancing baju koko putihnya terlepas di bagian paling atas.

“Ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis? Ini juga, kok kancing baju kamu copot, Ngit?” tanyaku panik demi melihat kondisi mereka.

“Ibu! hu … hu … huuu, Kakak Langit dipukul, Bu,” tutur Bumi di tenga suara tangisnya.

Aku shock. “Dipukul? Siapa yang pukul, Nak? Langit cerita sama Ibu, Sayang!”

Kenapa Langit diam saja? Biasanya anak ini selalu menceritakan apapun yang dia alami kepadaku, tapi mengapa anak ini diam saja? Aku mengajak mereka berdua masuk ke dalam rumah, di luar sudah cukup gelap karena hari memang sudah lewat maghrib.

Setelah masuk, aku mendudukan mereka di ruang tamu dan aku bergegas mengambilkan air minum untuk mereka berdua. Sehabis minum, kulihat Bumi sudah cukup tenang, tidak menangis lagi seperti tadi.

Aku merasa ada yang aneh dengan sikap Langit sedari datang tadi, rasanya ada yang bocah lima tahun ini sembunyikan, tapi apa? Aku teringat perkataan Bumi tadi, jika kakaknya, Langit dipukul seseorang, ku telisik wajah putra sulungku itu dengan seksama. Benar, ada sedikit memar di rahang Langit, astaga siapa yang tega memukul anak usia lima tahun ini?

Segera aku mengambil kotak obat yang isinya sangat sederhana, hanya ada betadin*, plester luka, kain kasa, minyak angin, vapor*b milik Bumi dan alcohol yang hanya tinggal setengah botol lagi. Aku juga memanaskan air untuk mengompres memar di wajah anakku. Kuusapkan dengan pelan wajah memar langit dengan sapu tangan, yang sudah kucelupkan ke air hangat terlebih dahulu, saat mengusap seperti ada yang berdenyut di lubuk hatiku, bagaimana bisa ada yang tega memukul anakku, sedangkan aku sebagai orang tuanya saja sekalipun tidak pernah berlaku kasar kepadanya?

Sesekali Langit meringis menahan sakit di wajahnya, kuat sekali kamu, Nak. Rasanya ibu yang tidak kuat melihat kamu luka seperti ini, Sayang. Setelah selesai mengompres dengan air hangat, luka memar langit aku olesi vapor*b agar memarnya tidak membengkak.

“Sudah selesai, Langit sudah mau cerita sama ibu belum, Nak?” pancingku ketika seraya mengusap-usap rambut lebat milik Langit.

Kuhitung dalam hati hingga hitungan kesepuluh, namun bibir Langit masih terkatup, enggan untuk bercerita mungkin, biar sajalah dulu, nanti akan kutanyakan lagi ketika mood anak itu sudah baikan.

Kubereskan semua peralatan yang tadi kugunakan untuk mengobati wajah langit, selanjutnya aku melepaskan baju koko milik Bumi dan menggantikan dengan pakaian tidur. Aku juga mengambilkan baju tidur milik Langit dan memintanya segera berganti pakaian, dia menurut dan berganti pakaian tanpa suara.

“Bumi mau makan lagi, Nak?” tanyaku untuk mengalihkan perhatianku dari Langit.

“Emangnya boleh, Bu?” tanyanya malu-malu.

“Boleh dong, Sayang, sebentar ibu ambilkan, ya. Langit mau makan juga?”

Langit tidak menjawab, hanya menggelang dan melanggang masuk ke dalam kamar. Ada apa sebenarnya dengan anak itu, tapi aku sadar, Langit tidak mungkin kupaksa untuk bercerita jika dia sendiri belum mau bercerita. Jika bertanya pada Bumi, kurasa tidak tepat, karena akan mengorek kembali luka yang menyebabkan psikologisnya tertekan karena kejadian yang mereka alami tadi. Jadi, biarlah aku tunggu sampai Langit bercerita atau besok akan kutanyakan kepada ustad Faiz.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status