Aku segera menata semua makanan tersebut ke dalam piring dan mangkok plastik yang sudah kuambil. Kemudian membawanya ke ruang depan dan meletakkannya di depan Langit dan Bumi, seperti dugaanku, kedua anakku langsung terperanjat, pandangan mereka membulat melihat banyaknya makanan yang kusajikan.
“Ibu, ini makanan buat kita?” tanya Langit dengan pandangan berkaca-kaca.“Benar, sayang. Yuk Langit sama Bumi makan, ya.” Aku menyerahkan masing-masing piring berisi nasi dan potongan ikan kepada mereka.“Asiiikk, Bumi lapel banget, Bu. Tadi Bumi mau makan loti tapi bude Lum malahin kita ya, Kak? Tutur Bumi dengan suara cadelnya, membuat hatiku kembali perih mengingat hal menyakitkan tadi.“Lain kali kalau Ibu suruh Langit sama Bumi di rumah aja kalian harus nurut, ya! Ibu minta maaf tadi perginya kelamaan. Ibu tadi pergi ke desa sebelah untuk kerja, Alhamdulillah ada yang mau pakai jasa Ibu buat beres-beres rumah dan memasak. Nah, makanan ini dikasih sama orang yang memberi Ibu pekerjaan.”“Makanannya enak, Bu. Langit senang deh kita bisa makan enak kayak gini, terima kasih ya, Bu!” kata Langit dengan mulut penuh dengan nasi.“Ditelan dulu dong, Sayang! Nanti keselak lho.”“He … he … he, habis enak banget, Bu,” katanya lagi, membuatku tersenyum gemas.“Ayo dihabiskan segera, nanti setelah makan kalian mandi, ya! Ibu mau cuci baju dulu.” Aku segera beranjak meninggalkan anak-anakku yang makan dengan lahap.Aku harus mencuci baju sore ini, agar besok pagi bisa langsung pergi ke rumah bu Rosmalia untuk mulai bekerja. Ah senangnya, setidaknya aku akan bisa mendapatkan pemasukan untuk kebutuhanku dan anak-anak, di saat mas Jazi tidak ada kabar seperti ini. Kemana sebenarnya dia? Apa yang tadi itu benar mas Jazi? Kenapa dia tidak pulang terlebih dahulu ke rumah kami.Biasanya aku akan merendam pakaian dengan deterjen terlebih dahulu sebelum nanti aku sikat kembali, sambil menunggu cucian yang sedang aku rendam, aku putuskan untuk mengecek anak-anak, ternyata mereka sudah selesai makan, jadi kusuruh mereka untuk segera mandi dan aku membereskan bekas makanan mereka.Bersyukur makanannya masih bersisa banyak, bisa untuk kami makan nanti malam atau sarapan besok pagi, segera kusimpan makanan tersebut ke atas meja di samping kompor dan menutupnya dengan tutup saji yang terbuat dari anyaman bambu. Setelahnya aku bergegas menyapu dan mengepel lantai kontrakan dan setelah itu menyiapkan baju ganti untuk kedua putra kesayanganku.Tidak berapa lama, Langit dan Bumi sudah selesai mandi, Langit sudah pandai berpakaian sendiri, sedangkan Bumi masih harus aku bantu untuk berpakaian. Biasanya anak-anak akan langsung ke masjid untuk sholat ashar berjamaah dan setelahnya ikutan belajar mengaji bersama Ustad Faiz sampai menjelang maghrib.Aku memanfaatkan waktu sendiriku untuk mencuci pakaian yang tadi sudah kurendam dengan deterjen, kemudian setelah selesai mencuci dan menjemur pakaian, aku langsung mandi dan bergegas menunaikan sholat ashar, bagaimanapun sulitnya kehidupan yang kami jalani, sebisa mungkin kami tidak akan pernah melalaikan kewajiban kami sebagai seorang hamba untuk bermunajah kepada sang maha kuasa.Biasanya Langit dan Bumi baru akan sampai di rumah setelah sholat maghrib, aku beruntung memiliki anak-anak seperti mereka, walaupun hidup serba keterbatasan tapi mereka tumbuh menjadi anak yang baik dan rajin ibadah, biasanya mas Jazi yang menemani anak-anak belajar mengaji, tapi karena mas Jazi jalan pulang jadilah anak-anak mengaji dengan ustad Faiz.Aku sedang berdoa sehabis sholat maghrib, ketika mendengar pintu diketuk dengan keras disusul suara tangisan Bumi setelahnya. Tergesa aku berjalan menghampiri pintu depan, tanpa melepas mukena aku membuka pintu dan terkejut melihat Bumi yang menangis kencang, sedangkan Langit berpenampilan acak-acakan dengan kancing baju koko putihnya terlepas di bagian paling atas.“Ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis? Ini juga, kok kancing baju kamu copot, Ngit?” tanyaku panik demi melihat kondisi mereka.“Ibu! hu … hu … huuu, Kakak Langit dipukul, Bu,” tutur Bumi di tenga suara tangisnya.Aku shock. “Dipukul? Siapa yang pukul, Nak? Langit cerita sama Ibu, Sayang!”Kenapa Langit diam saja? Biasanya anak ini selalu menceritakan apapun yang dia alami kepadaku, tapi mengapa anak ini diam saja? Aku mengajak mereka berdua masuk ke dalam rumah, di luar sudah cukup gelap karena hari memang sudah lewat maghrib.Setelah masuk, aku mendudukan mereka di ruang tamu dan aku bergegas mengambilkan air minum untuk mereka berdua. Sehabis minum, kulihat Bumi sudah cukup tenang, tidak menangis lagi seperti tadi.Aku merasa ada yang aneh dengan sikap Langit sedari datang tadi, rasanya ada yang bocah lima tahun ini sembunyikan, tapi apa? Aku teringat perkataan Bumi tadi, jika kakaknya, Langit dipukul seseorang, ku telisik wajah putra sulungku itu dengan seksama. Benar, ada sedikit memar di rahang Langit, astaga siapa yang tega memukul anak usia lima tahun ini?Segera aku mengambil kotak obat yang isinya sangat sederhana, hanya ada betadin*, plester luka, kain kasa, minyak angin, vapor*b milik Bumi dan alcohol yang hanya tinggal setengah botol lagi. Aku juga memanaskan air untuk mengompres memar di wajah anakku. Kuusapkan dengan pelan wajah memar langit dengan sapu tangan, yang sudah kucelupkan ke air hangat terlebih dahulu, saat mengusap seperti ada yang berdenyut di lubuk hatiku, bagaimana bisa ada yang tega memukul anakku, sedangkan aku sebagai orang tuanya saja sekalipun tidak pernah berlaku kasar kepadanya?Sesekali Langit meringis menahan sakit di wajahnya, kuat sekali kamu, Nak. Rasanya ibu yang tidak kuat melihat kamu luka seperti ini, Sayang. Setelah selesai mengompres dengan air hangat, luka memar langit aku olesi vapor*b agar memarnya tidak membengkak.“Sudah selesai, Langit sudah mau cerita sama ibu belum, Nak?” pancingku ketika seraya mengusap-usap rambut lebat milik Langit.Kuhitung dalam hati hingga hitungan kesepuluh, namun bibir Langit masih terkatup, enggan untuk bercerita mungkin, biar sajalah dulu, nanti akan kutanyakan lagi ketika mood anak itu sudah baikan.Kubereskan semua peralatan yang tadi kugunakan untuk mengobati wajah langit, selanjutnya aku melepaskan baju koko milik Bumi dan menggantikan dengan pakaian tidur. Aku juga mengambilkan baju tidur milik Langit dan memintanya segera berganti pakaian, dia menurut dan berganti pakaian tanpa suara.“Bumi mau makan lagi, Nak?” tanyaku untuk mengalihkan perhatianku dari Langit.“Emangnya boleh, Bu?” tanyanya malu-malu.“Boleh dong, Sayang, sebentar ibu ambilkan, ya. Langit mau makan juga?”Langit tidak menjawab, hanya menggelang dan melanggang masuk ke dalam kamar. Ada apa sebenarnya dengan anak itu, tapi aku sadar, Langit tidak mungkin kupaksa untuk bercerita jika dia sendiri belum mau bercerita. Jika bertanya pada Bumi, kurasa tidak tepat, karena akan mengorek kembali luka yang menyebabkan psikologisnya tertekan karena kejadian yang mereka alami tadi. Jadi, biarlah aku tunggu sampai Langit bercerita atau besok akan kutanyakan kepada ustad Faiz.Kusiapkan makan malam untuk Bumi dan juga untukku, karena tadi akupun belum sempat makan karena sibuk beres-beres rumah. Bumi makan dengan lahap, walaupun tadi sore sudah makan, tapi pengaruh tidak makan dari pagi sampai siang membuat dia cepat lapar lagi sepertinya. Setelah selesai makan, aku mengajak Bumi untuk sholat isya bersama, kulihat Langit sebentar, hendak mengajaknya sholat bersama juga, tapi sepertinya dia sudah tertidur, kuusap lembut kepala Langit dan membisikan doa agar dia menjadi anak yang sholeh, sabar dan patuh kepada kedua orang tua, kemudian kutiupkan ubun-ubun kepalanya, hal itu rutin kulakukan kepada kedua putraku ketika mereka sedang tertidur.Setelah menunaikan sholat isya bersama Bumi, aku membimbingnya untuk segera naik ke atas kasur yang tanpa dialasi dipan. Kuajak dia berdoa sebelum tidur dan membacakan sedikit dongeng sebagai pengantar tidurnya. Bumi dan Langit sama-sama suka jika aku mendongeng untuk mereka sebelum tidur. Biasanya aku akan menceritakan
Ku peluk erat tubuh sulungku itu, kasian sekali dia, hanya karena keterbasan ekonomi yang kami sandang, membuatnya harus menerima perlakuan buruk dari orang lain. Hati ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya disakiti orang lain yang bakan tidak ikut andil dalam memberikan nafkah.“Langit enggak mau lagi mengaji di masjid, Bu. Langit takut diejek teman-teman karena Langit dan Adek Bumi anak miskin. Malu sekali, Bu.” Allah … hancur hati ini mendengarnya, bahaya bullying memang sangat berbahaya, karena korbannya akan merasa sangat tersakiti dan menjadi rendah diri, merasa dikucilkan serta tak memiliki ruang di tempat umum. Perilaku bullying bahkan sudah masuk ke dalam pelanggaran HAM, baik bullying secara verbal maupun non verbal seperti cyber bullying atau penghinaan melalui media sosial.“Langit, dengar ibu ya, Nak! Allah tidak pernah membeda-bedakan hambanya hanya karena dia orang kaya atau orang miskin. Allah hanya melihat hambanya dari keimanan dan ketaqwaannya saja. Walau orang
Aku dan anak-anak segera masuk ke dalam rumah, canggung karena bingung apa yang harus kulakukan, kemana bu Rosmalia pergi? Apa beliau lupa jika menyuruhku untuk datang hari ini. Aku masih berdiri di ruang tamu ketika tidak tau apa yang harus ku lakukan. Hingga akhirnya pria tadi menyadari keberadaanku yang belum beranjak dari posisi dia duduk.“Kamu ngapain berdiri di situ, hah?” tanyanya ketus, membuatku yang tengah kebingungan terlonjak kaget.=====================================================Aku sedang menyapu lantai dapur, ketika bu Rosmalia datang sambil meletakkan kantong plastik merah bawaannya ke atas meja dapur. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah mendekati kepala enam itu tersenyum kepadaku.“Maaf ya, Gi, ibu tadi dari warung sebentar. Kamu sudah dari tadi?” tanyanya kepadaku.“Baru saja kok, Bu. Tadi ada sedikit masalah di jalan, jadi agak telat sampai sini. Maaf ya, Bu,” tuturku merasa tidak enak.“Masalah apa, Gi? Anak-anakmu jadi ikut ke sini, kan
Kami sampai ke rumah dan mas Jazi langsung dipersilahkan masuk untuk menemui bapak mertua, sedangkan aku dan anak-anak? Disuruh masuk pun kami tidak. Aku dan anak-anak memutuskan untuk menunggu mas Jazi di teras rumah.Sungguh perih, setidaknya biarkan anak-anakku masuk. Mereka kepanasan menunggu di teras. Langit mereka minta makan, karena memang tadi kami belum sempat sarapan di rumah, tapi bagaimana mungkin, bahkan pintu rumah pun tertutup rapat. Akhirnya aku mengajak langit dan Bumi pulang dulu ke kontrakan untuk makan.=====================================================Sesampainya di kontrakan aku segera menyiapkan makanan untuk Langit dan Bumi, anak-anak makan dengan lahap sekali, selain kelaparan, mereka juga kehausan, menunggu cukup lama di teras rumah dari pagi hingga siang hari tentu membuat mereka kelelahan. Akhirnya setela selesai makan kedua anakku tertidur, sementara aku membereskan bekas makan mereka.Hari sudah beranjak malam, tapi belum ada tanda-tanda mas Jazi pula
Aku menata semua masakan yang telah matang di atas meja makan, tidak lupa aku menata piring dan gelas untuk ku isi air putih juga. Setelah semua sudah siap, aku menghampiri bu Rosmalia untuk memberitahukan jika makanan suda terhidang. Tapi langkahku terhenti ketika tanpa sengaja, telingaku menangkap suara tangisan dari dalam kamar mas Riza. Siapa yang menangis? Apa mas Riza?.=====================================================Aku baru saja akan beranjak dari depan kamar mas Riza ketika tiba-tiba saja pintu kamar tersebut terbuka, menampilkan sosok pria yang tadi pagi terlihat sangat ketus, tapi siang ini terlihat cukup rapuh, ada air mata tersemat di ujung matanya, menandakan suara yang tadi kudengar adalah benar tangisannya.“Ngapaain kamu di depan kamar saya?” tanya mas Riza, ketika tatapan kami bersirobok. Kesan rapuh seketika hilang, berganti wajah ketus di sana.“Hmm anu Mas, ta – tadi saya tidak sengaja sedang lewat depan kamar Mas Riza, terus mendengar suara ta….” Belum sem
Mas Riza langsung berlari menuju mobilnya, tidak lama ia kembali dengan kota perkakas, dibukannya kotak itu dan menemukan sebatang palu berukuran besar. Segera saja Mas Riza memukul-mukul engsel dengan palu, berhasil, engselnya rusak, tapi belum terbuka. Kembali Mas Riza mengetukkan palunya, kali ini berhasil, Mas Riza mencopot engselnya dan mencongkel, akhirnya pintu kamar Bu Rosmalia terbuka. Kami segera masuk, alangkah terkejutnya dengan apa yang kami lihat di dalam kamar.=====================================================Kami semua terkejut melihat posisi Bu Rosmalia yang tersungkur tak sadarkan diri di lantai, Mbak Rima teriak histeris, Tiara tidak mau kalah dengan tantenya tersebut, dia menangis sekencang yang dia bisa sambil terus memanggil neneknya. Sementara Mas Riza, dia terlihat sangat shock, sehingga hanya bergeming di posisinya berdiri.Aku yang menyadari jika keadaan Bu Ros tidak baik-baik saja, segera menghampirinya dan membawanya ke pangkuanku. Hal pertama yang aku
“Justru itu, aku ke sini mau bilang, jika aku tengah mengurus proses perceraian kita, kamu tunggu saja suratnya datang, tidak perlu datang ke pengadilan!. Anak-anak biar ikut kamu saja, lagi pula keluargaku maupun Jamilah tidak menginginkan mereka. Jadi aku minta sama kamu, sampaikan kepada mereka jika aku bukan bapaknya lagi!” ujaranya lancar.Ingin ku sumpal mulutnya dengan tomat busuk, di mana fikirannya sebagai ayah? Kenapa bisa-bisanya dia memutuskan pertalian darah antara dirinya dengan anak-anak?“Yaudah yuk kita pulang, katanya Mas Jazi mau ngajak aku belanja.” Lagi, wanita tidak tahu malu itu bergelayut manja.“Iya sayang, sebentar.”“Dek, sudah ya, aku pamit, surat cerai akan segera ku kirim. Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi, ya!” ujarnya seraya melenggang meninggalkanku mematung di depan pintu.=====================================================Aku masih terpaku dengan perasaan yang entah seperti apa harus ku gambarkan, bagaimana bisa seorang ayah memutuskan pe
Saat hendak memasukan kabel posel milik Mas Riza, lagi lagi mataku menangkap hal tak terduga, sebuah bingkai foto berukuran 5R teronggok di sela-sela antara dipan kasur dan meja kerja milik mas Riza, bukan berniat kurang ajar, aku hanya ingin meletakannya di atas meja. Kupandangi sejenak wajah yang ada di dalam foto tersebut, seorang wanita yang sepertinya tengah mengandung besar. Seyum manis nan tulus tersemat di wajahnya, cantik adalah kesan yang kutangkap dari gambaran wajah tersebut. Apa dia istrinya mas Riza? Sepertinya wajah ini tidak asing untukku, aku seperti pernah melihatnya, tapi di mana? Tidak ingin berlama-lama di sana, aku segera meletakan foto tersebut di atas meja dan beranjak meninggalkan kamar milik ayahnya Tiara tersebut.=====================================================Aku kembali ke kamar tamu dan ikut bergabung dengan anak-anak untuk segera tidur, karena besok pagi aku harus siap-siap ke rumah sakit mengantarkan pakaian ganti untuk bu Ros dan anak-anaknya