Share

Bab 2 | Pekerjaan Baru

“Permisi, Bu. Maaf pekerjaan sudah selesai, saya mau pamit sekarang boleh ya, Bu?” tanyaku ketika menemui beliau sedang berada di depan televisi.

“Oh iya boleh, Gi. Kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya.” Bu Rosmalia beranjak dari duduknya hendak menuju ke arah dapur.

Aku menunggu dengan cemas, memikirkan anak-anakku yang pasti sudah sangat kelaparan di rumah. Tidak lama kemudian, Bu Rosmalia datang dengan membawa kantong kresek berwarna putih di tangannya.

“Ini, kamu bawa makanan untuk Langit dan Bumi! pasti mereka sudah lapar. Kalau yang ini, upah kamu karena sudah bantu-bantu Ibu hari ini,” kata Bu Rosmalia seraya menyerahkan kantong kresek putih di tangannya dan sebuah amplop kepadaku.

“Terima kasih, Bu, karena Ibu sudah berkenan menolong saya dengan memberikan pekerjaan kepada saya, anak-anak saya pasti senang, karena saya membawakan banyak makanan enak untuk mereka di rumah,” sahutku penuh haru. Ah baik sekali orang tua ini.

“Sama-sama, Gi. Kamu juga sudah membantu saya hari ini, kalau tidak ada kamu, pasti saya sudah kerepotan untuk masak makanan kesukaan anak, mantu dan cucu saya. Oia, besok dan seterusnya kalau kamu mau, kamu boleh datang lagi kesini, kerja sama Ibu, ya. Ajak saja anak-anak mu, Ibu senang kalau rumah Ibu ramai.”

Oh benarkah yang aku dengar barusan? Bu Rosmalia menawariku bekerja terus di rumahnya? Sungguh rejeki-Mu datang dari arah yang benar-benar tidak kuduga. Aku sangat senang, setidaknya dengan bekerja dengan Bu Rosmalia, aku bisa menambah pemasukan untuk keluargaku.

“Tentu, Bu. Saya mau banget kerja lagi sama Ibu. Sekali lagi terima kasih ya, Bu. Saya pamit dulu, Langit dan Bumi pasti sudah menunggu saya di rumah.” Pamitku yang dijawab anggukan dan senyum tulus dari wajahnya, tidak lupa aku mencium tangannya, seperti aku mencium tangan ibu kandungku yang sudah berpulang sepuluh tahun yang lalu.

Ku langkahkan kaki dengan tergesa, berharap aku bisa segera sampai ke kontrakan untuk bertemu kedua buah hatiku, Langit dan Bumi. Merekalah yang selama ini menjadi penguat hidupku di saat mas Jazirah jauh bekerja. Terbayang olehku pasti mereka senang aku bawakan makanan enak dari rumah bu Rosmalia ini.

Satu tikungan lagi aku akan sampai di rumah kontrakan, namun langkah tergesaku terhenti, ketika tidak sengaja mata ini menangkap sosok yang teramat aku kenal, sosok yang kini sedang aku dan anak-anak rindukan, mas Jazirah, sedang duduk di depan stir mobil dengan seorang wanita muda di samping kursinya? Siapa dia?.

Aku berusaha berteriak untuk memanggil namanya, tapi nihil, suaraku teredam oleh angina yang bertiup cukup kencang, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun.

Mendadak hatiku merasa tidak enak, ada apa dengan mas Jazi? Kenapa dia tidak pulang, dan sekarang malah pergi dengan wanita lain? Lalu, mobil siapa yang dia gunakan tadi? Aku bahkan baru tau jika mas Jazi pandai mengendarai roda empat, karena selama ini kami hanya memiliki sepeda motor butut yang seringkali mogok.

Aku mencoba menetralkan fikiranku, mencoba membuah jauh-jauh firasat buruk yang tiba-tiba saja bersarang di kepala. Apa mas Jazi sekarang menjadi sopir? Tapi mengapa dia tidak memberitahukan kepadaku? Banyak sekali pertanyaan mengenai suamiku di kepala ini, hingga akhirnya lamunanku teralihkan oleh suara ribut-ribut dari arah warung bude Rum.

“Dasar anak enggak tau diri! beraninya kamu mencuri roti di warungku?!” terdengar suara teriakan dari bude Rum.

“Ampun, Bude, ampun,” Ya Allah, itu suara anakku, Langit.

Aku mempercepat langkahku menuju ke warung bude Rum, yang kini sudah penuh dengan kerumunan warga. Dengan sigap aku menerobos kerumunan dan betapa terkejutnya, ketika menyaksikan kedua lelaki kecilku terduduk ketakutan di tengah-tengah kerumunan. Langit memeluk erat tubuh mungil Bumi yang gemetar ketakutan, suara tangis terdengar nyaring dari mulutnya. Sangat memilukan.

“Ini ada apa? Kenapa dengan anak-anakku bude?” teriakku seraya menghampiri Langit dan Bumi, memeluknya erat agar meredakan ketakutan mereka. Sakit sekali hati ini.

“Lah ini dia biangnya. Anak kelaparan sampe mencuri di warungku, tapi ibunya malah enak pergi-pergi gak ngurusi. Dasar m*ling tidak tau diri!!” makian itu terdengar menyakitkan di telingaku.

Kututup telinga kedua anakku, agar mereka tidak mendengar sumpah serapah yang di lontarkan bude Rum. Setelah Langit dan Bumi agak tenang, aku langsung menggendong Bumi, kasian sekali, tubuhnya masi menggigil ketakutan. Remuk sekali rasanya hati ini.

“Anak-anak mencuri apa, Bude?” tanyaku lirih.

“Tuh, si Langit mencuri roti di warungku, dasar anak m*ling, sudah misk*n, m*ling!!”

“Astaghfirullah, benar begitu, Nak?” tanyaku beralih menatap wajah sulungku yang berurai air mata.

“Maafin Langit, Bu, adek Bumi lapar, dia nangis terus karena minta makan, Langit cari-cari Ibu ke warung bude Rum, tapi Ibu enggak ada. Terus Bumi minta roti tapi bude Rum enggak mau beri utangan, jadi Langit ambil aja, langit bilang ke bude, kalau nanti Ibu pulang rotinya dibayarkan sama Ibu, tapi Bude Rum malah neriaki kami maling,” tutur Langit di sela-sela tangisnya.

Ku peluk Langit, mencoba memberikan ketenangan untuknya.

“Langit, lain kali tidak boleh diulangi lagi, ya! kalau tidak diberi, tandanya tidak boleh diambil. Langit sayangkan sama Ibu? Kalau Langit sayang sama Ibu, Langit harus jadi anak baik, sopan dan tidak boleh mengambil barang milik orang lain ya, Nak.” Aku mengusap-usap kepala anak sulungku.

“Halah sudah. Jangan banyak drama! Sini kamu bayar roti yang sudah dicuri anak-anak kurang aj*rmu itu!!” teriak bude Rum, memotong percakapanku dengan Langit, sementara kerumunan warga sudah mulai membubarkan diri.

“Ini bude uangnya, sekalian saya bayar hutang belanjaan saya yang kemarin. Totalnya jadi tujuh puluh dua ribu, kan?” kataku, seraya menyerahkan selembar uang merah, dari dalam amplop yang diberikan bu Rosmalia tadi.

“Nah gitu dong, dibayar hutangmu kan enak, warungku perlu modal tau. Ini kembaliannya, dua puluh delapan ribu. Lain kali ajarin anak-anakmu buat enggak jadi m*ling!”

“Baik, Bude. Terima kasih, dan maaf”

Aku segera mengajak anak-anakku untuk pulang ke kontrakan kami, sepanjang perjalanan kami dihadiahi oleh tatapan permusuhan warga desa, mungkin mereka masih kesal karena ulah Langit barusan, aku berusaha tidak peduli dan segera mengajak Langit untuk mempercepat langkahnya agar segera sampai ke rumah.

Setibanya di rumah, aku segera ke dapur untuk mengambil piring untuk makan anak-anakku. Langit dan Bumi terlihat masih diam saja, mungkin masih kepikiran peristiwa tadi, aku sungguh kasihan pada mereka berdua. Ini salahku karena meninggalkan mereka terlalu lama di rumah, hingga mereka pergi mencariku dan akhirnya membuat keributan.

Segera aku keluarkan isi makanan dari dalam kresek putih, yang tadi diberikan bu Rosmalia kepadaku. Aku terpana, karena bu Rosmalia begitu banyak memberikan makanan untukku. Satu ekor ikan gurame asam manis berukuran jumbo, sayur sop ayam, tahu dan tempe goreng, tidak lupa nasi putih yang dibungkus menggunakan kertas nasi sebanyak tiga buah. Alhamdulillah, rejeki anak-anakku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
nurdianis
rezeki anak mu gia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status