“Permisi, Bu. Maaf pekerjaan sudah selesai, saya mau pamit sekarang boleh ya, Bu?” tanyaku ketika menemui beliau sedang berada di depan televisi.
“Oh iya boleh, Gi. Kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya.” Bu Rosmalia beranjak dari duduknya hendak menuju ke arah dapur.Aku menunggu dengan cemas, memikirkan anak-anakku yang pasti sudah sangat kelaparan di rumah. Tidak lama kemudian, Bu Rosmalia datang dengan membawa kantong kresek berwarna putih di tangannya.“Ini, kamu bawa makanan untuk Langit dan Bumi! pasti mereka sudah lapar. Kalau yang ini, upah kamu karena sudah bantu-bantu Ibu hari ini,” kata Bu Rosmalia seraya menyerahkan kantong kresek putih di tangannya dan sebuah amplop kepadaku.“Terima kasih, Bu, karena Ibu sudah berkenan menolong saya dengan memberikan pekerjaan kepada saya, anak-anak saya pasti senang, karena saya membawakan banyak makanan enak untuk mereka di rumah,” sahutku penuh haru. Ah baik sekali orang tua ini.“Sama-sama, Gi. Kamu juga sudah membantu saya hari ini, kalau tidak ada kamu, pasti saya sudah kerepotan untuk masak makanan kesukaan anak, mantu dan cucu saya. Oia, besok dan seterusnya kalau kamu mau, kamu boleh datang lagi kesini, kerja sama Ibu, ya. Ajak saja anak-anak mu, Ibu senang kalau rumah Ibu ramai.”Oh benarkah yang aku dengar barusan? Bu Rosmalia menawariku bekerja terus di rumahnya? Sungguh rejeki-Mu datang dari arah yang benar-benar tidak kuduga. Aku sangat senang, setidaknya dengan bekerja dengan Bu Rosmalia, aku bisa menambah pemasukan untuk keluargaku.“Tentu, Bu. Saya mau banget kerja lagi sama Ibu. Sekali lagi terima kasih ya, Bu. Saya pamit dulu, Langit dan Bumi pasti sudah menunggu saya di rumah.” Pamitku yang dijawab anggukan dan senyum tulus dari wajahnya, tidak lupa aku mencium tangannya, seperti aku mencium tangan ibu kandungku yang sudah berpulang sepuluh tahun yang lalu.Ku langkahkan kaki dengan tergesa, berharap aku bisa segera sampai ke kontrakan untuk bertemu kedua buah hatiku, Langit dan Bumi. Merekalah yang selama ini menjadi penguat hidupku di saat mas Jazirah jauh bekerja. Terbayang olehku pasti mereka senang aku bawakan makanan enak dari rumah bu Rosmalia ini.Satu tikungan lagi aku akan sampai di rumah kontrakan, namun langkah tergesaku terhenti, ketika tidak sengaja mata ini menangkap sosok yang teramat aku kenal, sosok yang kini sedang aku dan anak-anak rindukan, mas Jazirah, sedang duduk di depan stir mobil dengan seorang wanita muda di samping kursinya? Siapa dia?.Aku berusaha berteriak untuk memanggil namanya, tapi nihil, suaraku teredam oleh angina yang bertiup cukup kencang, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun.Mendadak hatiku merasa tidak enak, ada apa dengan mas Jazi? Kenapa dia tidak pulang, dan sekarang malah pergi dengan wanita lain? Lalu, mobil siapa yang dia gunakan tadi? Aku bahkan baru tau jika mas Jazi pandai mengendarai roda empat, karena selama ini kami hanya memiliki sepeda motor butut yang seringkali mogok.Aku mencoba menetralkan fikiranku, mencoba membuah jauh-jauh firasat buruk yang tiba-tiba saja bersarang di kepala. Apa mas Jazi sekarang menjadi sopir? Tapi mengapa dia tidak memberitahukan kepadaku? Banyak sekali pertanyaan mengenai suamiku di kepala ini, hingga akhirnya lamunanku teralihkan oleh suara ribut-ribut dari arah warung bude Rum.“Dasar anak enggak tau diri! beraninya kamu mencuri roti di warungku?!” terdengar suara teriakan dari bude Rum.“Ampun, Bude, ampun,” Ya Allah, itu suara anakku, Langit.Aku mempercepat langkahku menuju ke warung bude Rum, yang kini sudah penuh dengan kerumunan warga. Dengan sigap aku menerobos kerumunan dan betapa terkejutnya, ketika menyaksikan kedua lelaki kecilku terduduk ketakutan di tengah-tengah kerumunan. Langit memeluk erat tubuh mungil Bumi yang gemetar ketakutan, suara tangis terdengar nyaring dari mulutnya. Sangat memilukan.“Ini ada apa? Kenapa dengan anak-anakku bude?” teriakku seraya menghampiri Langit dan Bumi, memeluknya erat agar meredakan ketakutan mereka. Sakit sekali hati ini.“Lah ini dia biangnya. Anak kelaparan sampe mencuri di warungku, tapi ibunya malah enak pergi-pergi gak ngurusi. Dasar m*ling tidak tau diri!!” makian itu terdengar menyakitkan di telingaku.Kututup telinga kedua anakku, agar mereka tidak mendengar sumpah serapah yang di lontarkan bude Rum. Setelah Langit dan Bumi agak tenang, aku langsung menggendong Bumi, kasian sekali, tubuhnya masi menggigil ketakutan. Remuk sekali rasanya hati ini.“Anak-anak mencuri apa, Bude?” tanyaku lirih.“Tuh, si Langit mencuri roti di warungku, dasar anak m*ling, sudah misk*n, m*ling!!”“Astaghfirullah, benar begitu, Nak?” tanyaku beralih menatap wajah sulungku yang berurai air mata.“Maafin Langit, Bu, adek Bumi lapar, dia nangis terus karena minta makan, Langit cari-cari Ibu ke warung bude Rum, tapi Ibu enggak ada. Terus Bumi minta roti tapi bude Rum enggak mau beri utangan, jadi Langit ambil aja, langit bilang ke bude, kalau nanti Ibu pulang rotinya dibayarkan sama Ibu, tapi Bude Rum malah neriaki kami maling,” tutur Langit di sela-sela tangisnya.Ku peluk Langit, mencoba memberikan ketenangan untuknya.“Langit, lain kali tidak boleh diulangi lagi, ya! kalau tidak diberi, tandanya tidak boleh diambil. Langit sayangkan sama Ibu? Kalau Langit sayang sama Ibu, Langit harus jadi anak baik, sopan dan tidak boleh mengambil barang milik orang lain ya, Nak.” Aku mengusap-usap kepala anak sulungku.“Halah sudah. Jangan banyak drama! Sini kamu bayar roti yang sudah dicuri anak-anak kurang aj*rmu itu!!” teriak bude Rum, memotong percakapanku dengan Langit, sementara kerumunan warga sudah mulai membubarkan diri.“Ini bude uangnya, sekalian saya bayar hutang belanjaan saya yang kemarin. Totalnya jadi tujuh puluh dua ribu, kan?” kataku, seraya menyerahkan selembar uang merah, dari dalam amplop yang diberikan bu Rosmalia tadi.“Nah gitu dong, dibayar hutangmu kan enak, warungku perlu modal tau. Ini kembaliannya, dua puluh delapan ribu. Lain kali ajarin anak-anakmu buat enggak jadi m*ling!”“Baik, Bude. Terima kasih, dan maaf”Aku segera mengajak anak-anakku untuk pulang ke kontrakan kami, sepanjang perjalanan kami dihadiahi oleh tatapan permusuhan warga desa, mungkin mereka masih kesal karena ulah Langit barusan, aku berusaha tidak peduli dan segera mengajak Langit untuk mempercepat langkahnya agar segera sampai ke rumah.Setibanya di rumah, aku segera ke dapur untuk mengambil piring untuk makan anak-anakku. Langit dan Bumi terlihat masih diam saja, mungkin masih kepikiran peristiwa tadi, aku sungguh kasihan pada mereka berdua. Ini salahku karena meninggalkan mereka terlalu lama di rumah, hingga mereka pergi mencariku dan akhirnya membuat keributan.Segera aku keluarkan isi makanan dari dalam kresek putih, yang tadi diberikan bu Rosmalia kepadaku. Aku terpana, karena bu Rosmalia begitu banyak memberikan makanan untukku. Satu ekor ikan gurame asam manis berukuran jumbo, sayur sop ayam, tahu dan tempe goreng, tidak lupa nasi putih yang dibungkus menggunakan kertas nasi sebanyak tiga buah. Alhamdulillah, rejeki anak-anakku.Aku segera menata semua makanan tersebut ke dalam piring dan mangkok plastik yang sudah kuambil. Kemudian membawanya ke ruang depan dan meletakkannya di depan Langit dan Bumi, seperti dugaanku, kedua anakku langsung terperanjat, pandangan mereka membulat melihat banyaknya makanan yang kusajikan.“Ibu, ini makanan buat kita?” tanya Langit dengan pandangan berkaca-kaca.“Benar, sayang. Yuk Langit sama Bumi makan, ya.” Aku menyerahkan masing-masing piring berisi nasi dan potongan ikan kepada mereka.“Asiiikk, Bumi lapel banget, Bu. Tadi Bumi mau makan loti tapi bude Lum malahin kita ya, Kak? Tutur Bumi dengan suara cadelnya, membuat hatiku kembali perih mengingat hal menyakitkan tadi.“Lain kali kalau Ibu suruh Langit sama Bumi di rumah aja kalian harus nurut, ya! Ibu minta maaf tadi perginya kelamaan. Ibu tadi pergi ke desa sebelah untuk kerja, Alhamdulillah ada yang mau pakai jasa Ibu buat beres-beres rumah dan memasak. Nah, makanan ini dikasih sama orang yang memberi Ibu pekerjaan.”“
Kusiapkan makan malam untuk Bumi dan juga untukku, karena tadi akupun belum sempat makan karena sibuk beres-beres rumah. Bumi makan dengan lahap, walaupun tadi sore sudah makan, tapi pengaruh tidak makan dari pagi sampai siang membuat dia cepat lapar lagi sepertinya. Setelah selesai makan, aku mengajak Bumi untuk sholat isya bersama, kulihat Langit sebentar, hendak mengajaknya sholat bersama juga, tapi sepertinya dia sudah tertidur, kuusap lembut kepala Langit dan membisikan doa agar dia menjadi anak yang sholeh, sabar dan patuh kepada kedua orang tua, kemudian kutiupkan ubun-ubun kepalanya, hal itu rutin kulakukan kepada kedua putraku ketika mereka sedang tertidur.Setelah menunaikan sholat isya bersama Bumi, aku membimbingnya untuk segera naik ke atas kasur yang tanpa dialasi dipan. Kuajak dia berdoa sebelum tidur dan membacakan sedikit dongeng sebagai pengantar tidurnya. Bumi dan Langit sama-sama suka jika aku mendongeng untuk mereka sebelum tidur. Biasanya aku akan menceritakan
Ku peluk erat tubuh sulungku itu, kasian sekali dia, hanya karena keterbasan ekonomi yang kami sandang, membuatnya harus menerima perlakuan buruk dari orang lain. Hati ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya disakiti orang lain yang bakan tidak ikut andil dalam memberikan nafkah.“Langit enggak mau lagi mengaji di masjid, Bu. Langit takut diejek teman-teman karena Langit dan Adek Bumi anak miskin. Malu sekali, Bu.” Allah … hancur hati ini mendengarnya, bahaya bullying memang sangat berbahaya, karena korbannya akan merasa sangat tersakiti dan menjadi rendah diri, merasa dikucilkan serta tak memiliki ruang di tempat umum. Perilaku bullying bahkan sudah masuk ke dalam pelanggaran HAM, baik bullying secara verbal maupun non verbal seperti cyber bullying atau penghinaan melalui media sosial.“Langit, dengar ibu ya, Nak! Allah tidak pernah membeda-bedakan hambanya hanya karena dia orang kaya atau orang miskin. Allah hanya melihat hambanya dari keimanan dan ketaqwaannya saja. Walau orang
Aku dan anak-anak segera masuk ke dalam rumah, canggung karena bingung apa yang harus kulakukan, kemana bu Rosmalia pergi? Apa beliau lupa jika menyuruhku untuk datang hari ini. Aku masih berdiri di ruang tamu ketika tidak tau apa yang harus ku lakukan. Hingga akhirnya pria tadi menyadari keberadaanku yang belum beranjak dari posisi dia duduk.“Kamu ngapain berdiri di situ, hah?” tanyanya ketus, membuatku yang tengah kebingungan terlonjak kaget.=====================================================Aku sedang menyapu lantai dapur, ketika bu Rosmalia datang sambil meletakkan kantong plastik merah bawaannya ke atas meja dapur. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah mendekati kepala enam itu tersenyum kepadaku.“Maaf ya, Gi, ibu tadi dari warung sebentar. Kamu sudah dari tadi?” tanyanya kepadaku.“Baru saja kok, Bu. Tadi ada sedikit masalah di jalan, jadi agak telat sampai sini. Maaf ya, Bu,” tuturku merasa tidak enak.“Masalah apa, Gi? Anak-anakmu jadi ikut ke sini, kan
Kami sampai ke rumah dan mas Jazi langsung dipersilahkan masuk untuk menemui bapak mertua, sedangkan aku dan anak-anak? Disuruh masuk pun kami tidak. Aku dan anak-anak memutuskan untuk menunggu mas Jazi di teras rumah.Sungguh perih, setidaknya biarkan anak-anakku masuk. Mereka kepanasan menunggu di teras. Langit mereka minta makan, karena memang tadi kami belum sempat sarapan di rumah, tapi bagaimana mungkin, bahkan pintu rumah pun tertutup rapat. Akhirnya aku mengajak langit dan Bumi pulang dulu ke kontrakan untuk makan.=====================================================Sesampainya di kontrakan aku segera menyiapkan makanan untuk Langit dan Bumi, anak-anak makan dengan lahap sekali, selain kelaparan, mereka juga kehausan, menunggu cukup lama di teras rumah dari pagi hingga siang hari tentu membuat mereka kelelahan. Akhirnya setela selesai makan kedua anakku tertidur, sementara aku membereskan bekas makan mereka.Hari sudah beranjak malam, tapi belum ada tanda-tanda mas Jazi pula
Aku menata semua masakan yang telah matang di atas meja makan, tidak lupa aku menata piring dan gelas untuk ku isi air putih juga. Setelah semua sudah siap, aku menghampiri bu Rosmalia untuk memberitahukan jika makanan suda terhidang. Tapi langkahku terhenti ketika tanpa sengaja, telingaku menangkap suara tangisan dari dalam kamar mas Riza. Siapa yang menangis? Apa mas Riza?.=====================================================Aku baru saja akan beranjak dari depan kamar mas Riza ketika tiba-tiba saja pintu kamar tersebut terbuka, menampilkan sosok pria yang tadi pagi terlihat sangat ketus, tapi siang ini terlihat cukup rapuh, ada air mata tersemat di ujung matanya, menandakan suara yang tadi kudengar adalah benar tangisannya.“Ngapaain kamu di depan kamar saya?” tanya mas Riza, ketika tatapan kami bersirobok. Kesan rapuh seketika hilang, berganti wajah ketus di sana.“Hmm anu Mas, ta – tadi saya tidak sengaja sedang lewat depan kamar Mas Riza, terus mendengar suara ta….” Belum sem
Mas Riza langsung berlari menuju mobilnya, tidak lama ia kembali dengan kota perkakas, dibukannya kotak itu dan menemukan sebatang palu berukuran besar. Segera saja Mas Riza memukul-mukul engsel dengan palu, berhasil, engselnya rusak, tapi belum terbuka. Kembali Mas Riza mengetukkan palunya, kali ini berhasil, Mas Riza mencopot engselnya dan mencongkel, akhirnya pintu kamar Bu Rosmalia terbuka. Kami segera masuk, alangkah terkejutnya dengan apa yang kami lihat di dalam kamar.=====================================================Kami semua terkejut melihat posisi Bu Rosmalia yang tersungkur tak sadarkan diri di lantai, Mbak Rima teriak histeris, Tiara tidak mau kalah dengan tantenya tersebut, dia menangis sekencang yang dia bisa sambil terus memanggil neneknya. Sementara Mas Riza, dia terlihat sangat shock, sehingga hanya bergeming di posisinya berdiri.Aku yang menyadari jika keadaan Bu Ros tidak baik-baik saja, segera menghampirinya dan membawanya ke pangkuanku. Hal pertama yang aku
“Justru itu, aku ke sini mau bilang, jika aku tengah mengurus proses perceraian kita, kamu tunggu saja suratnya datang, tidak perlu datang ke pengadilan!. Anak-anak biar ikut kamu saja, lagi pula keluargaku maupun Jamilah tidak menginginkan mereka. Jadi aku minta sama kamu, sampaikan kepada mereka jika aku bukan bapaknya lagi!” ujaranya lancar.Ingin ku sumpal mulutnya dengan tomat busuk, di mana fikirannya sebagai ayah? Kenapa bisa-bisanya dia memutuskan pertalian darah antara dirinya dengan anak-anak?“Yaudah yuk kita pulang, katanya Mas Jazi mau ngajak aku belanja.” Lagi, wanita tidak tahu malu itu bergelayut manja.“Iya sayang, sebentar.”“Dek, sudah ya, aku pamit, surat cerai akan segera ku kirim. Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi, ya!” ujarnya seraya melenggang meninggalkanku mematung di depan pintu.=====================================================Aku masih terpaku dengan perasaan yang entah seperti apa harus ku gambarkan, bagaimana bisa seorang ayah memutuskan pe