Share

Bab 4 | Anak Miskin

Kusiapkan makan malam untuk Bumi dan juga untukku, karena tadi akupun belum sempat makan karena sibuk beres-beres rumah. Bumi makan dengan lahap, walaupun tadi sore sudah makan, tapi pengaruh tidak makan dari pagi sampai siang membuat dia cepat lapar lagi sepertinya.

Setelah selesai makan, aku mengajak Bumi untuk sholat isya bersama, kulihat Langit sebentar, hendak mengajaknya sholat bersama juga, tapi sepertinya dia sudah tertidur, kuusap lembut kepala Langit dan membisikan doa agar dia menjadi anak yang sholeh, sabar dan patuh kepada kedua orang tua, kemudian kutiupkan ubun-ubun kepalanya, hal itu rutin kulakukan kepada kedua putraku ketika mereka sedang tertidur.

Setelah menunaikan sholat isya bersama Bumi, aku membimbingnya untuk segera naik ke atas kasur yang tanpa dialasi dipan. Kuajak dia berdoa sebelum tidur dan membacakan sedikit dongeng sebagai pengantar tidurnya. Bumi dan Langit sama-sama suka jika aku mendongeng untuk mereka sebelum tidur.

Biasanya aku akan menceritakan kisah-kisah nabi ataupun sahabat nabi, seperti kisahnya Abu Bakar Ash Shidiq yang selalu mendukung dakwah Rosulullah dengan harta dan kesetiaannya, juga kisah kepahlawanan Umar bin Khatab, yang membuat setanpun lari tunggang langgang ketika bertemu jalan dengannya. Ya, sebisa mungkin aku mengenalkan pahlawan-pahlawan muslim, agar mereka bisa mencontoh sifat dan perilaku mereka.

Malam ini aku menceritakan kisahnya Bilal bin Rabbah kepada Bumi, seorang budak miskin yang memiliki warna kulit sangat gelap, selalu disiksa dan dikasari oleh tuannya, seakan tidak ada harapan untuknya bertahan karena siksaan yang dialaminya, tapi tidak meyurutkan keyakinannya akan ke-Esaan Allah SWT. Terbukti, karena keteguhan dirinya mempertahankan aqidah, dia rela disiksa dengan batu besar yang ditimpakan di atas tubuhnya di tengah padang kering nan panas gersang.

Terbayang akan beratnya batu besar tersebut yang bisa menindih bahkan mengelupaskan kulit si budak hitam. Hingga datanglah seorang sahabat rosul yang bernama Utsman bin Affan yang menebusnya kepada sang tuan. Akhirnya Bilal bin Rabbah terlepas dari kejahilan tuannya. Kini dia menjadi orang merdeka, yang bisa menjalankan ibadah sesuai dengan perintah Tuhannya.

“Nah, Bumi, dari kisah Bilal bin Rabbah tadi, kira-kira apa pesan yang bisa kita ambil, Nak?” tanyaku ketika selesai membacakan cerita. Ini ku lakukan agar mengetahui jika mereka benar-benar menyerap cerita yang ku kisahkan atau tidak.

“Apa ya, Bu? Bial kita sabal, ya?” tanyanya ragu.

“Benar, Sayang. Agar kita mencontoh sikap sabar Bilal bin Rabbah, dan tetap teguh pada keyakinan kita akan Allah SWT. Apapun masalah ataupun cobaan yang kita hadapi, kita wajib berbaik sangka sama Allah, percaya kalau pertolongan Allah pasti da …?”

“Tang!” teriak Bumi melanjutkan ucapanku.

“Benar, Bumi pintar sekali, Nak. Ibu bangga sama Bumi dan Kakak Langit, kalian harus jadi anak yang sabar, ya. Kalau Kakak Langit nanti hilang sabar, Bumi yang ingatkan, ya!” tuturku seraya mengusap-usap kepala Bumi agar segera terlelap.

==============

Aku tersentak bangun dari tidur lelap ketika tidak sengaja mendengar suara benda terjatuh di ruang depan, bergegas aku turun dari kasur dan menghampiri sumber kegaduhan. Tidak ada angin maupun hujan, bingkai foto mas Jazirah terjatuh dari dinding ke lantai, sehingga kacanya pecah berhamburan. Kulirik jam di atas nakas, baru menunjukan pukul tiga dini hari. Mengapa perasaanku kembali menjadi tidak enak?

Segera kuambil sapu dan pengki untuk membersihan serpihan kaca yang terberai, takut jika nanti Langit atau Bumi terkena pecahannya, setelah selesai lanjut aku pel lantainya sekalian agar benar-benar yakin jika sudah tidak ada lagi serpihan yang tersisa.

Begitu dirasa sudah bersih semua, aku putuskan untuk melaksanakan sholat malam, agar hatiku yang sedang gundah gelisah menjadi tenang.

“Ya Allah, Tuhanku yang maha pengasih dan maha penyayang. Tidak ada upaya yang bisa hamba lakukan melainkan sesuai ketentuanmu. Ya Allah, jagalah suamiku mas Jazirah, lindungi di manapun dia berada, sampaikan rinduku dan anak-anak ke dalam hatinya, gerakkan hati mas Jazi untuk segera pulang menemui kami ya Allah.”

“Ya Allah, jagalah kedua buah hatiku, Langit dan Bumi, lindungi mereka, jadikan mereka anak yang soleh dan cerdas, jauhi mereka dari orang-orang jahat. Aamiin.”

Aku melangitkan doa dan harapan-harapanku kepada yang Maha Tinggi, hanya kepada-Nya segala angan dan harapan ku gantungkan, karena aku sadar, ketika harapan itu di letakkan di pundak manusia, makan kita harus menyiapkan hati untuk kecewa. Aku titipkan suamiku mas Jazi kepada Robb-Nya, agar dia segera ingat jika ada anak-anak dan istrinya yang menunggu dia di rumah.

Kini perasaan menjadi lebih tenang setelah melaksanakan sholat malam, aku kembali ke kamar untuk melihat anak-anakku. Mereka masih tertidur sangat pulas, sebentar lagi waktu subuh berkumandang, walaupun masih terlalu kecil, tetapi aku sudah membiasakan mereka untuk bangun sholat subuh, walaupun biasanya mereka akan tertidur kembali setelah menunaikan sholat dua rakaat tersebut.

Kuusap lembut kepala Langit, menciuminya agar dia segera bangun. Tidak lama kemudian, tubuh bongsornya menggeliat menandakan si empunya tubuh sudah bangun dari alam mimpinya. Kubimbing Langit melafalkan doa bangun tidur dan langsung memberikannya air minum yang sengaja aku letakkan di atas nakas.

“Bu, maafin Langit, ya. Semalam Langit cuekin Ibu.” Langit memeluk tubuhku erat, sepertinya dia menangis.

“Langit kenapa, Sayang? Ibu enggak marah sama Langit, tapi Ibu minta Langit cerita ya sama Ibu, kenapa wajah Langit memar? Siapa yang pukul, Nak?” tanyaku seraya menghapus air matanya yang mengalir deras.

“Tapi janji Ibu enggak sedih dan marah, ya?”

“Iya sayang, ibu janji enggak akan sedih dan marah. Ayo, sekarang Langit cerita!”

Langit membenarkan posisi duduknya sebelum memulai cerita.

“Jadi kemarin setelah sholat maghrib, Langit sama Bumi mau ambil air minum gelas yang ada di masjid, tapi katanya Anom enggak boleh, minum itu untuk anak baik, bukan untuk pencuri kayak Langit dan adek Bumi. Terus Anom juga ejek kami, katanya kami anak miskin, enggak boleh mengaji di masjid. Emang benar ya bu kalau anak miskin itu enggak boleh ngaji di masjid?” tutur Langit bercerita.

Anom adalah anaknya pakde Timbul yang usianya dua tahun di atas Langit, rumahnya persis di samping masjid. Mungkin kemarin Anom melihat saat insiden Langit diteriaki maling oleh bude Rum.

“Terus Langit ajak adek Bumi buat pulang dan minum di rumah aja, tapi baru aja kami mau jalan, kaki adek Bumi dijegal sama Anom, adek Bumi nangis, Langit mau bantu adek Bumi berdiri tapi Anom malah dorong Langit juga, karena kesal Langit bangun untuk balas dorong Anom, eh Anom malah pukul Langit di wajah kayak gini. Tapi saat Langit mau balas, ustad Faiz datang dan melerai.”

Ya Allah, bagaimana bisa anak sekecil Anom sudah berlaku jahat seperti itu? Apa pakde Timbul dan istrinya tidak mengajari Anom tata karma dan kasih sayang? Miris, terkadang pergaulan dan tontonan di televisi, acap kali menjadi tuntunan dan contoh teladan bagi anak-anak, yang dibiarkan bebas tanpa pengawasan, sehingga masa-masa golden age mereka justru diisi dengan hal-hal buruk, yang berpengaruh ke dunia nyata mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status