Share

Bab 5 | Cap Keluarga Miskin

Ku peluk erat tubuh sulungku itu, kasian sekali dia, hanya karena keterbasan ekonomi yang kami sandang, membuatnya harus menerima perlakuan buruk dari orang lain. Hati ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya disakiti orang lain yang bakan tidak ikut andil dalam memberikan nafkah.

“Langit enggak mau lagi mengaji di masjid, Bu. Langit takut diejek teman-teman karena Langit dan Adek Bumi anak miskin. Malu sekali, Bu.”

Allah … hancur hati ini mendengarnya, bahaya bullying memang sangat berbahaya, karena korbannya akan merasa sangat tersakiti dan menjadi rendah diri, merasa dikucilkan serta tak memiliki ruang di tempat umum. Perilaku bullying bahkan sudah masuk ke dalam pelanggaran HAM, baik bullying secara verbal maupun non verbal seperti cyber bullying atau penghinaan melalui media sosial.

“Langit, dengar ibu ya, Nak! Allah tidak pernah membeda-bedakan hambanya hanya karena dia orang kaya atau orang miskin. Allah hanya melihat hambanya dari keimanan dan ketaqwaannya saja. Walau orang itu miskin, tidak punya harta, selama dia beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan selalu sayang dan senang kepadanya. Jadi Langit jangan berkecil hati hanya karena kita miskin ya, Nak!” tuturku panjang lebar, walau masih kecil, Langit termasuk anak yang cerdas, dia pasti paham apa yang aku sampaikan.

“Jadi Langit sama adek Bumi tetap boleh mengaji di masjid ya, Bu?” tanyanya bersemangat.

“Boleh, Sayang. Allah senang sama anak-anak yang memakmurkan rumah-Nya dengan bacaan-bacaan Qur’an,”

“Yeaay!! Langit gak jadi malu, Bu. Walau Langit anak miskin tapi kita beriman kan, Bu?”

“Iya, Sayang. Insya Allah kita termasuk kedalam hamba-hamba Allah yang beriman, ya! Sekarang pesan ibu, Langit jangan mengulangi lagi perilaku Langit yang kemarin di warung bude Rum, ya!.

Walaupun kita miskin, kelaparan, tapi jangan pernah mengambil apapun milik orang lain, nanti Allah marah dan tidak sayang lagi sama kita.”

“Iya, Bu. Langit berjanji akan jadi anak baik, tidak mengambil milik orang lain lagi, biar Allah sayang sama kita iya kan, Bu?”

“Benar, Sayang. Yuk, sekarang kita siap-siap sholat!.” Aku beranjak seraya menuntun Langit menuju kamar mandi untuk berwudhu.

=================

Aku sedang memasak ketika suara Bumi memanggilku dari arah kamar, sudah bangun rupanya, bergegas aku mematikan kompor dan menemui anak bungsuku tersebut. Bumi ketika bangun tidur memang masih harus ada aku di sampingnya, karena kalau tidak akan membuatnya menangis.

“Anak ibu sudah bangun, ya?” tanyaku basa basi, seraya menggendongnya turun dari kasur.

“Ibu, Bumi lapar, mau makan boleh?” ucapnya malu-malu.

“Boleh dong, Sayang. Yuk ikut ibu ke dapur ya, kita angkat masakan ibu dulu.”

“Asiik!!” teriak Bumi gembira, tangan kecilnya memeluk leherku kuat ketika aku mulai mengangkat dalam gendongan.

Pagi ini kami sarapan dengan sisa sop ayam dan tahu tempe kemarin, senangnya hatiku melihat Langit dan Bumi makan dengan lahapnya. Aku akan berusaha untuk membuat mereka tidak pernah merasakan lapar lagi.

“Mulai hari ini ibu sudah bekerja di rumahnya bu Rosmalia di desa sebelah. Beliau mengijinkan ibu boleh mengajak Langit dan Bumi ke sana. Tapi kalian berdua harus janji sama ibu, tidak boleh nakal, tidak boleh menatap makanan orang lain yang sedang makan, dan ….” Ucapaku terhenti karena Langit dan Bumi serentak memotongnya.

“Tidak boleh pegang-pegang barang milik orang lain. Ha ha ha” Mereka tertawa kompak.

Ya, aku memang selalu mewanti-wanti anak-anakku, untuk selalu berlaku sopan jika berkunjung ke rumah orang lain, walaupun itu ke rumah nenek mereka. Beruntungnya anak-anakku bukan tipe anak yang lasak, ketika berada di rumah orang lain, mereka selalu menepati janjinya untuk tidak memegang barang apapun milik orang lain, tidak meminta makanan atau minuman kecuali jika sudah ditawari.

Setelah mengunci pintu kontrakan, aku bersama Langit dan Bumi berjalan beriringan menuju rumah bu Rosmalia. Tempat di mana aku akan bekerja, agar bisa mendapatkan uang untuk makan kami bertiga. Entahlah dengan mas Jazirah, aku bahkan belum mengetahui di mana rimbanya. Aku hanya berharap agar dia segera pulang dan menemui aku dan anak-anak.

“Hei keluarga kismin! Mau kemana kalian?” teriak bude Rum ketika kami melewati depan warung miliknya.

Aku tak menghiraukan ucapan bude Rum, aku tau dia hanya ingin memancing emosiku saja, ku teruskan perjalanan ku tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Hingga saat kusadari ada sesuatu yang jatuh ke atas kepalaku.

“Astaghfirullah! Bude Rum kenapa sih? Kok tega lempar-lempar kepala saya kayak gini?” tegurku menahan marah saat mengetahui jika bude Rum sudah melempar kepalaku dengan sebiji bawang merah.

“Makanya kalau orang tua ngomong jangan dicueki! Sudah kismin , b*dek juga rupanya,” makinya lagi.

Aku terus beristighfar, mencoba mendinginkan hati yang rasanya nyaris terbakar karena emosi, hanya karena kami miskin dan pernah berhutang di warungnya, dia tega memperlakukanku seperti ini. Tidak sepatutnya seorang manusia merendahkan manusia lain hanya karena status sosialnya, roda itu berputar, begitpun kehidupan. Mungkin saat ini keluargaku memang miskin, tapi tidak tau jika nanti Allah membalik keadaankan?.

Setelah agak tenang, kembali aku membimbing Langit dan Bumi untuk meneruskan langkah, karena hari sudah semakin siang, kami harus cepat sampai ke rumah bu Rosmalia jika tidak ingin membuatnya kecewa karena telat di hari pertama bekerja.

Sepuluh menit kemudian kami telah sampai di depan rumah bu Rosmalia. Ku ketuk pintu dan mengucapkan salam. Di luar dugaanku, ternyata bukan bu Rosmalia yang membukakan pintu, melainkan seorang pria yang sepertinya seumuran dengan suamiku.

“Maaf, Pak. Apa bu Rosmalia nya ada?” tanyaku kikuk.

“Ibu sedang keluar, kamu siapa?” tanya nya dingin.

“Saya Gianira, Pak. Saya yang diminta bu Rosmalia untuk bantu-bantu di sini.”

“Oh, masuklah!” perintahnya singkat, seraya membukakan pintu untuk kami bertiga.

“Makasih, Pak.”

Aku dan anak-anak segera masuk ke dalam rumah, canggung karena bingung apa yang harus kulakukan, kemana bu Rosmalia pergi? Apa beliau lupa jika menyuruhku untuk datang hari ini. Aku masih berdiri di ruang tamu ketika tidak tau apa yang harus ku lakukan. Hingga akhirnya pria tadi menyadari keberadaanku yang belum beranjak dari posisi dia duduk.

“Kamu ngapain berdiri di situ, hah?” tanyanya ketus, membuatku yang tengah kebingungan terlonjak kaget.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status