Ku peluk erat tubuh sulungku itu, kasian sekali dia, hanya karena keterbasan ekonomi yang kami sandang, membuatnya harus menerima perlakuan buruk dari orang lain. Hati ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya disakiti orang lain yang bakan tidak ikut andil dalam memberikan nafkah.
“Langit enggak mau lagi mengaji di masjid, Bu. Langit takut diejek teman-teman karena Langit dan Adek Bumi anak miskin. Malu sekali, Bu.”Allah … hancur hati ini mendengarnya, bahaya bullying memang sangat berbahaya, karena korbannya akan merasa sangat tersakiti dan menjadi rendah diri, merasa dikucilkan serta tak memiliki ruang di tempat umum. Perilaku bullying bahkan sudah masuk ke dalam pelanggaran HAM, baik bullying secara verbal maupun non verbal seperti cyber bullying atau penghinaan melalui media sosial.“Langit, dengar ibu ya, Nak! Allah tidak pernah membeda-bedakan hambanya hanya karena dia orang kaya atau orang miskin. Allah hanya melihat hambanya dari keimanan dan ketaqwaannya saja. Walau orang itu miskin, tidak punya harta, selama dia beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan selalu sayang dan senang kepadanya. Jadi Langit jangan berkecil hati hanya karena kita miskin ya, Nak!” tuturku panjang lebar, walau masih kecil, Langit termasuk anak yang cerdas, dia pasti paham apa yang aku sampaikan.“Jadi Langit sama adek Bumi tetap boleh mengaji di masjid ya, Bu?” tanyanya bersemangat.“Boleh, Sayang. Allah senang sama anak-anak yang memakmurkan rumah-Nya dengan bacaan-bacaan Qur’an,”“Yeaay!! Langit gak jadi malu, Bu. Walau Langit anak miskin tapi kita beriman kan, Bu?”“Iya, Sayang. Insya Allah kita termasuk kedalam hamba-hamba Allah yang beriman, ya! Sekarang pesan ibu, Langit jangan mengulangi lagi perilaku Langit yang kemarin di warung bude Rum, ya!.Walaupun kita miskin, kelaparan, tapi jangan pernah mengambil apapun milik orang lain, nanti Allah marah dan tidak sayang lagi sama kita.”“Iya, Bu. Langit berjanji akan jadi anak baik, tidak mengambil milik orang lain lagi, biar Allah sayang sama kita iya kan, Bu?”“Benar, Sayang. Yuk, sekarang kita siap-siap sholat!.” Aku beranjak seraya menuntun Langit menuju kamar mandi untuk berwudhu.=================Aku sedang memasak ketika suara Bumi memanggilku dari arah kamar, sudah bangun rupanya, bergegas aku mematikan kompor dan menemui anak bungsuku tersebut. Bumi ketika bangun tidur memang masih harus ada aku di sampingnya, karena kalau tidak akan membuatnya menangis.“Anak ibu sudah bangun, ya?” tanyaku basa basi, seraya menggendongnya turun dari kasur.“Ibu, Bumi lapar, mau makan boleh?” ucapnya malu-malu.“Boleh dong, Sayang. Yuk ikut ibu ke dapur ya, kita angkat masakan ibu dulu.”“Asiik!!” teriak Bumi gembira, tangan kecilnya memeluk leherku kuat ketika aku mulai mengangkat dalam gendongan.Pagi ini kami sarapan dengan sisa sop ayam dan tahu tempe kemarin, senangnya hatiku melihat Langit dan Bumi makan dengan lahapnya. Aku akan berusaha untuk membuat mereka tidak pernah merasakan lapar lagi.“Mulai hari ini ibu sudah bekerja di rumahnya bu Rosmalia di desa sebelah. Beliau mengijinkan ibu boleh mengajak Langit dan Bumi ke sana. Tapi kalian berdua harus janji sama ibu, tidak boleh nakal, tidak boleh menatap makanan orang lain yang sedang makan, dan ….” Ucapaku terhenti karena Langit dan Bumi serentak memotongnya.“Tidak boleh pegang-pegang barang milik orang lain. Ha ha ha” Mereka tertawa kompak.Ya, aku memang selalu mewanti-wanti anak-anakku, untuk selalu berlaku sopan jika berkunjung ke rumah orang lain, walaupun itu ke rumah nenek mereka. Beruntungnya anak-anakku bukan tipe anak yang lasak, ketika berada di rumah orang lain, mereka selalu menepati janjinya untuk tidak memegang barang apapun milik orang lain, tidak meminta makanan atau minuman kecuali jika sudah ditawari.Setelah mengunci pintu kontrakan, aku bersama Langit dan Bumi berjalan beriringan menuju rumah bu Rosmalia. Tempat di mana aku akan bekerja, agar bisa mendapatkan uang untuk makan kami bertiga. Entahlah dengan mas Jazirah, aku bahkan belum mengetahui di mana rimbanya. Aku hanya berharap agar dia segera pulang dan menemui aku dan anak-anak.“Hei keluarga kismin! Mau kemana kalian?” teriak bude Rum ketika kami melewati depan warung miliknya.Aku tak menghiraukan ucapan bude Rum, aku tau dia hanya ingin memancing emosiku saja, ku teruskan perjalanan ku tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Hingga saat kusadari ada sesuatu yang jatuh ke atas kepalaku.“Astaghfirullah! Bude Rum kenapa sih? Kok tega lempar-lempar kepala saya kayak gini?” tegurku menahan marah saat mengetahui jika bude Rum sudah melempar kepalaku dengan sebiji bawang merah.“Makanya kalau orang tua ngomong jangan dicueki! Sudah kismin , b*dek juga rupanya,” makinya lagi.Aku terus beristighfar, mencoba mendinginkan hati yang rasanya nyaris terbakar karena emosi, hanya karena kami miskin dan pernah berhutang di warungnya, dia tega memperlakukanku seperti ini. Tidak sepatutnya seorang manusia merendahkan manusia lain hanya karena status sosialnya, roda itu berputar, begitpun kehidupan. Mungkin saat ini keluargaku memang miskin, tapi tidak tau jika nanti Allah membalik keadaankan?.Setelah agak tenang, kembali aku membimbing Langit dan Bumi untuk meneruskan langkah, karena hari sudah semakin siang, kami harus cepat sampai ke rumah bu Rosmalia jika tidak ingin membuatnya kecewa karena telat di hari pertama bekerja.Sepuluh menit kemudian kami telah sampai di depan rumah bu Rosmalia. Ku ketuk pintu dan mengucapkan salam. Di luar dugaanku, ternyata bukan bu Rosmalia yang membukakan pintu, melainkan seorang pria yang sepertinya seumuran dengan suamiku.“Maaf, Pak. Apa bu Rosmalia nya ada?” tanyaku kikuk.“Ibu sedang keluar, kamu siapa?” tanya nya dingin.“Saya Gianira, Pak. Saya yang diminta bu Rosmalia untuk bantu-bantu di sini.”“Oh, masuklah!” perintahnya singkat, seraya membukakan pintu untuk kami bertiga.“Makasih, Pak.”Aku dan anak-anak segera masuk ke dalam rumah, canggung karena bingung apa yang harus kulakukan, kemana bu Rosmalia pergi? Apa beliau lupa jika menyuruhku untuk datang hari ini. Aku masih berdiri di ruang tamu ketika tidak tau apa yang harus ku lakukan. Hingga akhirnya pria tadi menyadari keberadaanku yang belum beranjak dari posisi dia duduk.“Kamu ngapain berdiri di situ, hah?” tanyanya ketus, membuatku yang tengah kebingungan terlonjak kaget.Aku dan anak-anak segera masuk ke dalam rumah, canggung karena bingung apa yang harus kulakukan, kemana bu Rosmalia pergi? Apa beliau lupa jika menyuruhku untuk datang hari ini. Aku masih berdiri di ruang tamu ketika tidak tau apa yang harus ku lakukan. Hingga akhirnya pria tadi menyadari keberadaanku yang belum beranjak dari posisi dia duduk.“Kamu ngapain berdiri di situ, hah?” tanyanya ketus, membuatku yang tengah kebingungan terlonjak kaget.=====================================================Aku sedang menyapu lantai dapur, ketika bu Rosmalia datang sambil meletakkan kantong plastik merah bawaannya ke atas meja dapur. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah mendekati kepala enam itu tersenyum kepadaku.“Maaf ya, Gi, ibu tadi dari warung sebentar. Kamu sudah dari tadi?” tanyanya kepadaku.“Baru saja kok, Bu. Tadi ada sedikit masalah di jalan, jadi agak telat sampai sini. Maaf ya, Bu,” tuturku merasa tidak enak.“Masalah apa, Gi? Anak-anakmu jadi ikut ke sini, kan
Kami sampai ke rumah dan mas Jazi langsung dipersilahkan masuk untuk menemui bapak mertua, sedangkan aku dan anak-anak? Disuruh masuk pun kami tidak. Aku dan anak-anak memutuskan untuk menunggu mas Jazi di teras rumah.Sungguh perih, setidaknya biarkan anak-anakku masuk. Mereka kepanasan menunggu di teras. Langit mereka minta makan, karena memang tadi kami belum sempat sarapan di rumah, tapi bagaimana mungkin, bahkan pintu rumah pun tertutup rapat. Akhirnya aku mengajak langit dan Bumi pulang dulu ke kontrakan untuk makan.=====================================================Sesampainya di kontrakan aku segera menyiapkan makanan untuk Langit dan Bumi, anak-anak makan dengan lahap sekali, selain kelaparan, mereka juga kehausan, menunggu cukup lama di teras rumah dari pagi hingga siang hari tentu membuat mereka kelelahan. Akhirnya setela selesai makan kedua anakku tertidur, sementara aku membereskan bekas makan mereka.Hari sudah beranjak malam, tapi belum ada tanda-tanda mas Jazi pula
Aku menata semua masakan yang telah matang di atas meja makan, tidak lupa aku menata piring dan gelas untuk ku isi air putih juga. Setelah semua sudah siap, aku menghampiri bu Rosmalia untuk memberitahukan jika makanan suda terhidang. Tapi langkahku terhenti ketika tanpa sengaja, telingaku menangkap suara tangisan dari dalam kamar mas Riza. Siapa yang menangis? Apa mas Riza?.=====================================================Aku baru saja akan beranjak dari depan kamar mas Riza ketika tiba-tiba saja pintu kamar tersebut terbuka, menampilkan sosok pria yang tadi pagi terlihat sangat ketus, tapi siang ini terlihat cukup rapuh, ada air mata tersemat di ujung matanya, menandakan suara yang tadi kudengar adalah benar tangisannya.“Ngapaain kamu di depan kamar saya?” tanya mas Riza, ketika tatapan kami bersirobok. Kesan rapuh seketika hilang, berganti wajah ketus di sana.“Hmm anu Mas, ta – tadi saya tidak sengaja sedang lewat depan kamar Mas Riza, terus mendengar suara ta….” Belum sem
Mas Riza langsung berlari menuju mobilnya, tidak lama ia kembali dengan kota perkakas, dibukannya kotak itu dan menemukan sebatang palu berukuran besar. Segera saja Mas Riza memukul-mukul engsel dengan palu, berhasil, engselnya rusak, tapi belum terbuka. Kembali Mas Riza mengetukkan palunya, kali ini berhasil, Mas Riza mencopot engselnya dan mencongkel, akhirnya pintu kamar Bu Rosmalia terbuka. Kami segera masuk, alangkah terkejutnya dengan apa yang kami lihat di dalam kamar.=====================================================Kami semua terkejut melihat posisi Bu Rosmalia yang tersungkur tak sadarkan diri di lantai, Mbak Rima teriak histeris, Tiara tidak mau kalah dengan tantenya tersebut, dia menangis sekencang yang dia bisa sambil terus memanggil neneknya. Sementara Mas Riza, dia terlihat sangat shock, sehingga hanya bergeming di posisinya berdiri.Aku yang menyadari jika keadaan Bu Ros tidak baik-baik saja, segera menghampirinya dan membawanya ke pangkuanku. Hal pertama yang aku
“Justru itu, aku ke sini mau bilang, jika aku tengah mengurus proses perceraian kita, kamu tunggu saja suratnya datang, tidak perlu datang ke pengadilan!. Anak-anak biar ikut kamu saja, lagi pula keluargaku maupun Jamilah tidak menginginkan mereka. Jadi aku minta sama kamu, sampaikan kepada mereka jika aku bukan bapaknya lagi!” ujaranya lancar.Ingin ku sumpal mulutnya dengan tomat busuk, di mana fikirannya sebagai ayah? Kenapa bisa-bisanya dia memutuskan pertalian darah antara dirinya dengan anak-anak?“Yaudah yuk kita pulang, katanya Mas Jazi mau ngajak aku belanja.” Lagi, wanita tidak tahu malu itu bergelayut manja.“Iya sayang, sebentar.”“Dek, sudah ya, aku pamit, surat cerai akan segera ku kirim. Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi, ya!” ujarnya seraya melenggang meninggalkanku mematung di depan pintu.=====================================================Aku masih terpaku dengan perasaan yang entah seperti apa harus ku gambarkan, bagaimana bisa seorang ayah memutuskan pe
Saat hendak memasukan kabel posel milik Mas Riza, lagi lagi mataku menangkap hal tak terduga, sebuah bingkai foto berukuran 5R teronggok di sela-sela antara dipan kasur dan meja kerja milik mas Riza, bukan berniat kurang ajar, aku hanya ingin meletakannya di atas meja. Kupandangi sejenak wajah yang ada di dalam foto tersebut, seorang wanita yang sepertinya tengah mengandung besar. Seyum manis nan tulus tersemat di wajahnya, cantik adalah kesan yang kutangkap dari gambaran wajah tersebut. Apa dia istrinya mas Riza? Sepertinya wajah ini tidak asing untukku, aku seperti pernah melihatnya, tapi di mana? Tidak ingin berlama-lama di sana, aku segera meletakan foto tersebut di atas meja dan beranjak meninggalkan kamar milik ayahnya Tiara tersebut.=====================================================Aku kembali ke kamar tamu dan ikut bergabung dengan anak-anak untuk segera tidur, karena besok pagi aku harus siap-siap ke rumah sakit mengantarkan pakaian ganti untuk bu Ros dan anak-anaknya
Ucapannya membuat aku tersentak. Jadi Tiara tidak memiliki ibu? Pantas anak ini terlihat kurang terawat. Tubuhnya kurus dan terlihat kurang ceria, padahal mas Riza orang berada, tidak mungkin Tiara kurang makan.“Maafin tante ya, Sayang. Tante tidak tahu kalau ibunya Tiara sudah meninggal,” kataku, seraya memeluknya sebentar dan kemudian mengajaknya memeprcepat langkah menuju ruangan.=====================================================Saat aku tiba di depan ruangan tempat bu Rosmalia dirawat, aku dikejutkan dengan suasana menegangkan, bu Rosmalia sempat berhenti bernafas dan tidak merespon kerja dari alat automated external defibrillator atau yang disingkat AED. Sebuah alat medis yang dapat menganalisis irama jantung secara otomatis dan memberikan kejutan listrik untuk mengembalikan irama jantung.Terlihat kepanikan dan kesedihan diwajah-wajah anak bu Rosmalia, Tiara yang tadi tenang bersamaku pun akhirnya ikut menangis, aku mencoba menenangkan cucu perempuannya bu Rosmalia ini.S
“Bumi kok menangis, Nak? Ada apa? Langit, adek Bumi kenapa, Sayang?” tanyaku lagi.“Tadi saat kita lagi makan, ada ayah sama nenek, Bu. Mereka juga mau makan, tapi Langit sama Bumi panggil-panggil, ayah enggak menjawab, terus kami samperin ayah, tapi malah dimarahi nenek, katanya Langit dan Bumi bukan anak ayah lagi. Ayah juga usir kami berdua, Bu,” tutur Langit, membuatku terkaget.Jadi tadi ada mas Jazi dan Ibunya di sini? Sedang apa mereka? Apa Ibunya mas Jazi sakit? Tapi mengapa mereka tega mengusir anak-anak ini, darah dagingnya. Jadi mas Jazirah serius dengan ucapannya semalam, yang ingin anak-anak tidak lagi menganggap dirinya ayah mereka. Keterlaluan kamu, mas.=====================================================Mbak Rima menatapku dengan tatapan menyelidik, seakan mengajukan pertanyaan lewat tatapan matanya kepadaku. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum membalas tatapannya. Cukup lama waktu yang aku butuhkan untuk mengembalikan keceriaan di wajah Langit dan Bumi, mungkin