Aku dan anak-anak segera masuk ke dalam rumah, canggung karena bingung apa yang harus kulakukan, kemana bu Rosmalia pergi? Apa beliau lupa jika menyuruhku untuk datang hari ini. Aku masih berdiri di ruang tamu ketika tidak tau apa yang harus ku lakukan. Hingga akhirnya pria tadi menyadari keberadaanku yang belum beranjak dari posisi dia duduk.
“Kamu ngapain berdiri di situ, hah?” tanyanya ketus, membuatku yang tengah kebingungan terlonjak kaget.=====================================================Aku sedang menyapu lantai dapur, ketika bu Rosmalia datang sambil meletakkan kantong plastik merah bawaannya ke atas meja dapur. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah mendekati kepala enam itu tersenyum kepadaku.“Maaf ya, Gi, ibu tadi dari warung sebentar. Kamu sudah dari tadi?” tanyanya kepadaku.“Baru saja kok, Bu. Tadi ada sedikit masalah di jalan, jadi agak telat sampai sini. Maaf ya, Bu,” tuturku merasa tidak enak.“Masalah apa, Gi? Anak-anakmu jadi ikut ke sini, kan?”“Tadi sedikit salah paham aja, Bu. Iya itu bu, anak-anak ada di samping sedang duduk-duduk.”“Oh, begitu. Yasudah, sekarang setelah kamu selesai beres-beres, tolong bantu ibu memasak lagi ya, Gi! Anak-anak kemarin cocok sama masakan kamu, katanya enak, enggak kalah sama masakan ibu.” ujar Bu Rosmalia dengan senyumnya.“Baik, Bu. Alhamdulillah jika anak-anak ibu suka dengan masakan saya.”Aku melanjutkan menyapu dapur dan melanjutkan menyapu semua ruangan di rumah ini, termasuk kamar bu Rosmalia dan anak-anaknya. Ketika sampai di depan kamar yang terletak di samping ruang tamu, aku sedikit tercenung, karena mendengar suara mendengkur dari arah dalam. Jadi aku putuskan untuk tidak membersihkannya, biar nanti saja, karena aku takut mengganggu penghuninya yang sedang tertidur.Setelah selesai menyapu semua ruangan, aku melanjutkan dengan mengepel lantainya, selanjutnya, menyapu halaman dari depan ke belakang rumah. Saat di akan menyapu belakang rumah, aku melihat Langit dan Bumi sedang bersama Bu Rosmalia dan seorang anak perempuan yang kutaksir usianya sama seperti Langit.“Ibu! Bumi lagi liat ikan nih, banyak lho bu, kata Uti ini ikan yang kemarin ibu masak buat kami,” ujar Bumi dengan semangat. Membuatku akhirnya menghampiri mereka.“Langit sama Bumi kan tadi ibu bilang apa? Tunggu ibu di teras samping, kan? Kok sekarnag malah ada di kolam ikan? Maafin anak-anak saya ya, Bu.”“Tidak apa-apa, gi. Tadi ibu yang ajak anak-anakmu untuk ke belakang, biar liat ikan dan tanaman di sini, jadi mereka tidak bosan menunggu kamu bekerja,” tutur Bu Rosmalia menjelaskan. Mungkin merasa tidak enak karena aku tadi menegur anak-anakku.“Kamu sudah selesai beres-beresnya, Gi? Kalau sudah ayo kita memasak! Biar anak-anakmu main sama Tiara di sini,” ajak Bu Rosmalia, yang membuatku mengikuti langkahnya masuk ke dapur.“Kamu jangan terlalu keras sama anak-anakmu, Gi. Langit dan Bumi anak yang baik. Tadi mereka sempat menolak saat ibu tawari liat ikan di belakang, katanya tidak boleh lasak sama kamu jika di rumah orang lain, tapi setelah ibu paksa dan bilang jika ibu sebagai tuan rumah mengijinkan, baru mereka mau ikut.“Iya, Bu. Mereka memang anak yang baik, saya dan suami saya beruntung sekali bisa memiliki anak seperti Langit dan Bumi. Saya hanya takut jika anak saya membuat ulah di rumah orang lain, makanya saya selalu berpesan untuk sopan jika berkunjung ke rumah orang.”“Ibu mengerti, ngomong-ngomong suami mu kerja di mana, Gi?” tanya Bu Rosmalia lagi, seraya memintaku untuk membersihkan ayam potong yang tadi di bawanya dari warung. Rencananya kami akan memasak ayam woku untuk anak-anak Bu Rosmalia, dan ayam goreng tepung untuk cucunya.“Mas Jazirah jaga warung sembako di pasar Gede Besar, Bu. Karena lokasinya yang lumayan jauh, jadi mas Jazi baru akan pulang sepekan sekali.”“Suami mu, Jazirah anaknya Sunarni, Gi?”Deg! Kenapa Bu Rosmalia mengenal ibunya mas Jazi?“Lho, ibu kenal sama mertua saya?”“Ya kenalah, Gi. Siapa yang enggak kenal sama mertuamu si Sunarni dan Suteja itu?.”Aku tidak menjawab lagi, hanya tersenyum tanda mengerti. Ya, siapa yang tidak kenal dengan mertuaku? Seorang pemilik tambak lele yang lumayan besar di desa tempatku tinggal. Sebenarnya mas Jazi bukanlah berasal dari kurang mampu. Bapak sama ibu mas Jazirah, selain memiliki beberapa tambak lele, juga memiliki banyak sawah yang luasnya mencapai lima hektar.Tapi sayang, karena nekat menikahi anak yatim piatu yang miskin sepertiku, membuat mas Jazi dikucilkan oleh keluarganya. Mereka malu jika memiliki menantu yang tidak sepadan dengan mereka. Awalnya kami hidup baik-baik saja, mas Jazi bekerja sebagai ojek dengan motor butut miliknya. Satu-satunya harta yang boleh dibawanya dari rumah kedua orang tuanya.Karena jangankan fasilitas, restu saat menikahpun tidak kami kantongi, hingga akhirnya anak keduaku, Bumi lahir ke dunia, keadaan ekonomi kami semakin sulit, motor milik mas Jazi sering mogok, yang membuatnya tidak bisa bekerja sebagai ojek. Akirnya mas Jazi memutuskan bekerja di pasar, hingga akhirnya menjadi penjaga toko sembako di Gede Besar.Bukannya mas Jazi tidak ingin bekerja yang lebih layak. Tapi semua berkas Ijazah pendidikan mas Jazirah ditahan oleh kedua orang tuanya. Katanya mereka mahal meyekolahkan anaknya itu, makanya, ketika mas Jazi nekat menikah denganku walau tanpa restu mereka, Ibu dan Bapak menahan semua pemberiannya kepada mas Jazi, termasuk ijazah sekolah. Tanpa ijazah, sangat sulit bagi suamiku itu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.Sungguh jauh dari kata manis, masa-masa pengantin baru kami diisi berbagai drama keluarga. Sesaat setelah akad nikah yang kami lakukan di KUA desa, mas Jazirah mengajakku untuk berkunjung ke rumah orang tuanya. Berharap mereka luluh karena kamipun sudah menikah, namun jauh api dari panggang, kami diusir seperti pengemis yang meminta sedekah.Akhirnya kami memutuskan untuk mengontrak rumah dengan sisa uang tabunganku dari hasil bekerja di rumah makan. Berbagai usaha kami lakukan agar membuat keluarga mas Jazi menerima pernikahan kami, tapi hasilnya nihil. Kami seperti tidak dianggap di mata mereka. Bahkan saat kelahiran Langit, mas Jazi berniat mengenalkan anak kami kepada kakek neneknya, namun kedatangan kami di sambut dengan siraman air dari tambak lele. Kotor dan Bau sekali.Hancur hatiku kala itu, perlakuan keluarga mas Jazi benar-benar sudah di luar batas, tidak apa-apa mereka tidak bisa menerimaku, tapi setidaknya mereka bisa menerima cucu kandung mereka sendiri, langit adalah darah daging anaknya, ada darah keluarga mereka mengalir di tubuh anak-anakku. Sejak saat itu kuputuskan untuk tidak lagi berkunjung ke rumah mertuaku.Hingga akhirnya kami mendengar kabar jika bapak mertuaku sakit keras, mas Jazi ditelpon oleh adik nya untuk segera pulang, karena bapak terus memanggil nama anak lelaki satu-satunya tersebut. Setelah menerima kabar itu, kami bergegas ke rumah mertuaku menggunakan motor butut mas Jazi.Kami sampai ke rumah dan mas Jazi langsung dipersilahkan masuk untuk menemui bapak mertua, sedangkan aku dan anak-anak? Disuruh masuk pun kami tidak. Aku dan anak-anak memutuskan untuk menunggu mas Jazi di teras rumah.Sungguh perih, setidaknya biarkan anak-anakku masuk. Mereka kepanasan menunggu di teras. Langit mereka minta makan, karena memang tadi kami belum sempat sarapan di rumah, tapi bagaimana mungkin, bahkan pintu rumah pun tertutup rapat. Akhirnya aku mengajak langit dan Bumi pulang dulu ke kontrakan untuk makan.Bersambung ….Haduh … kasian bener ya nasib Gianira dan anak-anaknya 😭Hmm … nantikan kelanjutan ceritanya ya kakak!Jangan lupa like, komen dan kasih bintang lima di cerita Kami Bisa Tanpamu Mas, ya!Dan jangan lupa follow akun othor jugaHappy Reading semua❤️Kami sampai ke rumah dan mas Jazi langsung dipersilahkan masuk untuk menemui bapak mertua, sedangkan aku dan anak-anak? Disuruh masuk pun kami tidak. Aku dan anak-anak memutuskan untuk menunggu mas Jazi di teras rumah.Sungguh perih, setidaknya biarkan anak-anakku masuk. Mereka kepanasan menunggu di teras. Langit mereka minta makan, karena memang tadi kami belum sempat sarapan di rumah, tapi bagaimana mungkin, bahkan pintu rumah pun tertutup rapat. Akhirnya aku mengajak langit dan Bumi pulang dulu ke kontrakan untuk makan.=====================================================Sesampainya di kontrakan aku segera menyiapkan makanan untuk Langit dan Bumi, anak-anak makan dengan lahap sekali, selain kelaparan, mereka juga kehausan, menunggu cukup lama di teras rumah dari pagi hingga siang hari tentu membuat mereka kelelahan. Akhirnya setela selesai makan kedua anakku tertidur, sementara aku membereskan bekas makan mereka.Hari sudah beranjak malam, tapi belum ada tanda-tanda mas Jazi pula
Aku menata semua masakan yang telah matang di atas meja makan, tidak lupa aku menata piring dan gelas untuk ku isi air putih juga. Setelah semua sudah siap, aku menghampiri bu Rosmalia untuk memberitahukan jika makanan suda terhidang. Tapi langkahku terhenti ketika tanpa sengaja, telingaku menangkap suara tangisan dari dalam kamar mas Riza. Siapa yang menangis? Apa mas Riza?.=====================================================Aku baru saja akan beranjak dari depan kamar mas Riza ketika tiba-tiba saja pintu kamar tersebut terbuka, menampilkan sosok pria yang tadi pagi terlihat sangat ketus, tapi siang ini terlihat cukup rapuh, ada air mata tersemat di ujung matanya, menandakan suara yang tadi kudengar adalah benar tangisannya.“Ngapaain kamu di depan kamar saya?” tanya mas Riza, ketika tatapan kami bersirobok. Kesan rapuh seketika hilang, berganti wajah ketus di sana.“Hmm anu Mas, ta – tadi saya tidak sengaja sedang lewat depan kamar Mas Riza, terus mendengar suara ta….” Belum sem
Mas Riza langsung berlari menuju mobilnya, tidak lama ia kembali dengan kota perkakas, dibukannya kotak itu dan menemukan sebatang palu berukuran besar. Segera saja Mas Riza memukul-mukul engsel dengan palu, berhasil, engselnya rusak, tapi belum terbuka. Kembali Mas Riza mengetukkan palunya, kali ini berhasil, Mas Riza mencopot engselnya dan mencongkel, akhirnya pintu kamar Bu Rosmalia terbuka. Kami segera masuk, alangkah terkejutnya dengan apa yang kami lihat di dalam kamar.=====================================================Kami semua terkejut melihat posisi Bu Rosmalia yang tersungkur tak sadarkan diri di lantai, Mbak Rima teriak histeris, Tiara tidak mau kalah dengan tantenya tersebut, dia menangis sekencang yang dia bisa sambil terus memanggil neneknya. Sementara Mas Riza, dia terlihat sangat shock, sehingga hanya bergeming di posisinya berdiri.Aku yang menyadari jika keadaan Bu Ros tidak baik-baik saja, segera menghampirinya dan membawanya ke pangkuanku. Hal pertama yang aku
“Justru itu, aku ke sini mau bilang, jika aku tengah mengurus proses perceraian kita, kamu tunggu saja suratnya datang, tidak perlu datang ke pengadilan!. Anak-anak biar ikut kamu saja, lagi pula keluargaku maupun Jamilah tidak menginginkan mereka. Jadi aku minta sama kamu, sampaikan kepada mereka jika aku bukan bapaknya lagi!” ujaranya lancar.Ingin ku sumpal mulutnya dengan tomat busuk, di mana fikirannya sebagai ayah? Kenapa bisa-bisanya dia memutuskan pertalian darah antara dirinya dengan anak-anak?“Yaudah yuk kita pulang, katanya Mas Jazi mau ngajak aku belanja.” Lagi, wanita tidak tahu malu itu bergelayut manja.“Iya sayang, sebentar.”“Dek, sudah ya, aku pamit, surat cerai akan segera ku kirim. Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi, ya!” ujarnya seraya melenggang meninggalkanku mematung di depan pintu.=====================================================Aku masih terpaku dengan perasaan yang entah seperti apa harus ku gambarkan, bagaimana bisa seorang ayah memutuskan pe
Saat hendak memasukan kabel posel milik Mas Riza, lagi lagi mataku menangkap hal tak terduga, sebuah bingkai foto berukuran 5R teronggok di sela-sela antara dipan kasur dan meja kerja milik mas Riza, bukan berniat kurang ajar, aku hanya ingin meletakannya di atas meja. Kupandangi sejenak wajah yang ada di dalam foto tersebut, seorang wanita yang sepertinya tengah mengandung besar. Seyum manis nan tulus tersemat di wajahnya, cantik adalah kesan yang kutangkap dari gambaran wajah tersebut. Apa dia istrinya mas Riza? Sepertinya wajah ini tidak asing untukku, aku seperti pernah melihatnya, tapi di mana? Tidak ingin berlama-lama di sana, aku segera meletakan foto tersebut di atas meja dan beranjak meninggalkan kamar milik ayahnya Tiara tersebut.=====================================================Aku kembali ke kamar tamu dan ikut bergabung dengan anak-anak untuk segera tidur, karena besok pagi aku harus siap-siap ke rumah sakit mengantarkan pakaian ganti untuk bu Ros dan anak-anaknya
Ucapannya membuat aku tersentak. Jadi Tiara tidak memiliki ibu? Pantas anak ini terlihat kurang terawat. Tubuhnya kurus dan terlihat kurang ceria, padahal mas Riza orang berada, tidak mungkin Tiara kurang makan.“Maafin tante ya, Sayang. Tante tidak tahu kalau ibunya Tiara sudah meninggal,” kataku, seraya memeluknya sebentar dan kemudian mengajaknya memeprcepat langkah menuju ruangan.=====================================================Saat aku tiba di depan ruangan tempat bu Rosmalia dirawat, aku dikejutkan dengan suasana menegangkan, bu Rosmalia sempat berhenti bernafas dan tidak merespon kerja dari alat automated external defibrillator atau yang disingkat AED. Sebuah alat medis yang dapat menganalisis irama jantung secara otomatis dan memberikan kejutan listrik untuk mengembalikan irama jantung.Terlihat kepanikan dan kesedihan diwajah-wajah anak bu Rosmalia, Tiara yang tadi tenang bersamaku pun akhirnya ikut menangis, aku mencoba menenangkan cucu perempuannya bu Rosmalia ini.S
“Bumi kok menangis, Nak? Ada apa? Langit, adek Bumi kenapa, Sayang?” tanyaku lagi.“Tadi saat kita lagi makan, ada ayah sama nenek, Bu. Mereka juga mau makan, tapi Langit sama Bumi panggil-panggil, ayah enggak menjawab, terus kami samperin ayah, tapi malah dimarahi nenek, katanya Langit dan Bumi bukan anak ayah lagi. Ayah juga usir kami berdua, Bu,” tutur Langit, membuatku terkaget.Jadi tadi ada mas Jazi dan Ibunya di sini? Sedang apa mereka? Apa Ibunya mas Jazi sakit? Tapi mengapa mereka tega mengusir anak-anak ini, darah dagingnya. Jadi mas Jazirah serius dengan ucapannya semalam, yang ingin anak-anak tidak lagi menganggap dirinya ayah mereka. Keterlaluan kamu, mas.=====================================================Mbak Rima menatapku dengan tatapan menyelidik, seakan mengajukan pertanyaan lewat tatapan matanya kepadaku. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum membalas tatapannya. Cukup lama waktu yang aku butuhkan untuk mengembalikan keceriaan di wajah Langit dan Bumi, mungkin
“Bu, jadi benar ayah bukan ayah kita lagi?” lirih Langitku.Tidak ada jawaban yang keluar, hanya ada sebuah isakan yang lolos dari mulutku, ternyata ada yang lebih sakit dari diceraikan suami tanpa sebab, yaitu melihat sang buah hati menangis karena hatinya terluka akan kenyataan pahit yang harus dihadapinya.Langit, Bumi, ibu janji, Nak. Kita bertiga akan kuat berpijak, tidak perlu khawatir, Nak. Ibu akan berjuang untuk hidup kalian. Ibu tidak akan membiarkan ada hal yang lebih menyakitkan lagi, yang akan kalian hadapi setelah ini. Kuat ya, Nak. Bantu ibu untuk bertahan, Sayang.=====================================================Langit dan Bumi menolak untuk diberikan makan siang, mereka lebih memilih ke kamar untuk tidur siang. Sedihku bertambah karena melihat mereka murung tanpa gairah. Andai saja aku bisa merebut hati keluarganya mas Jazirah, pastilah hal buruk ini tidak akan pernah terjadi. Tapi apalah daya ku, sebagai manusia kami sangat dilarang untuk berandai-andai, karen