Share

Bab 6 | Terkenang Masa Lalu

Aku dan anak-anak segera masuk ke dalam rumah, canggung karena bingung apa yang harus kulakukan, kemana bu Rosmalia pergi? Apa beliau lupa jika menyuruhku untuk datang hari ini. Aku masih berdiri di ruang tamu ketika tidak tau apa yang harus ku lakukan. Hingga akhirnya pria tadi menyadari keberadaanku yang belum beranjak dari posisi dia duduk.

“Kamu ngapain berdiri di situ, hah?” tanyanya ketus, membuatku yang tengah kebingungan terlonjak kaget.

=====================================================

Aku sedang menyapu lantai dapur, ketika bu Rosmalia datang sambil meletakkan kantong plastik merah bawaannya ke atas meja dapur. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah mendekati kepala enam itu tersenyum kepadaku.

“Maaf ya, Gi, ibu tadi dari warung sebentar. Kamu sudah dari tadi?” tanyanya kepadaku.

“Baru saja kok, Bu. Tadi ada sedikit masalah di jalan, jadi agak telat sampai sini. Maaf ya, Bu,” tuturku merasa tidak enak.

“Masalah apa, Gi? Anak-anakmu jadi ikut ke sini, kan?”

“Tadi sedikit salah paham aja, Bu. Iya itu bu, anak-anak ada di samping sedang duduk-duduk.”

“Oh, begitu. Yasudah, sekarang setelah kamu selesai beres-beres, tolong bantu ibu memasak lagi ya, Gi! Anak-anak kemarin cocok sama masakan kamu, katanya enak, enggak kalah sama masakan ibu.” ujar Bu Rosmalia dengan senyumnya.

“Baik, Bu. Alhamdulillah jika anak-anak ibu suka dengan masakan saya.”

Aku melanjutkan menyapu dapur dan melanjutkan menyapu semua ruangan di rumah ini, termasuk kamar bu Rosmalia dan anak-anaknya. Ketika sampai di depan kamar yang terletak di samping ruang tamu, aku sedikit tercenung, karena mendengar suara mendengkur dari arah dalam. Jadi aku putuskan untuk tidak membersihkannya, biar nanti saja, karena aku takut mengganggu penghuninya yang sedang tertidur.

Setelah selesai menyapu semua ruangan, aku melanjutkan dengan mengepel lantainya, selanjutnya, menyapu halaman dari depan ke belakang rumah. Saat di akan menyapu belakang rumah, aku melihat Langit dan Bumi sedang bersama Bu Rosmalia dan seorang anak perempuan yang kutaksir usianya sama seperti Langit.

“Ibu! Bumi lagi liat ikan nih, banyak lho bu, kata Uti ini ikan yang kemarin ibu masak buat kami,” ujar Bumi dengan semangat. Membuatku akhirnya menghampiri mereka.

“Langit sama Bumi kan tadi ibu bilang apa? Tunggu ibu di teras samping, kan? Kok sekarnag malah ada di kolam ikan? Maafin anak-anak saya ya, Bu.”

“Tidak apa-apa, gi. Tadi ibu yang ajak anak-anakmu untuk ke belakang, biar liat ikan dan tanaman di sini, jadi mereka tidak bosan menunggu kamu bekerja,” tutur Bu Rosmalia menjelaskan. Mungkin merasa tidak enak karena aku tadi menegur anak-anakku.

“Kamu sudah selesai beres-beresnya, Gi? Kalau sudah ayo kita memasak! Biar anak-anakmu main sama Tiara di sini,” ajak Bu Rosmalia, yang membuatku mengikuti langkahnya masuk ke dapur.

“Kamu jangan terlalu keras sama anak-anakmu, Gi. Langit dan Bumi anak yang baik. Tadi mereka sempat menolak saat ibu tawari liat ikan di belakang, katanya tidak boleh lasak sama kamu jika di rumah orang lain, tapi setelah ibu paksa dan bilang jika ibu sebagai tuan rumah mengijinkan, baru mereka mau ikut.

“Iya, Bu. Mereka memang anak yang baik, saya dan suami saya beruntung sekali bisa memiliki anak seperti Langit dan Bumi. Saya hanya takut jika anak saya membuat ulah di rumah orang lain, makanya saya selalu berpesan untuk sopan jika berkunjung ke rumah orang.”

“Ibu mengerti, ngomong-ngomong suami mu kerja di mana, Gi?” tanya Bu Rosmalia lagi, seraya memintaku untuk membersihkan ayam potong yang tadi di bawanya dari warung. Rencananya kami akan memasak ayam woku untuk anak-anak Bu Rosmalia, dan ayam goreng tepung untuk cucunya.

“Mas Jazirah jaga warung sembako di pasar Gede Besar, Bu. Karena lokasinya yang lumayan jauh, jadi mas Jazi baru akan pulang sepekan sekali.”

“Suami mu, Jazirah anaknya Sunarni, Gi?”

Deg! Kenapa Bu Rosmalia mengenal ibunya mas Jazi?

“Lho, ibu kenal sama mertua saya?”

“Ya kenalah, Gi. Siapa yang enggak kenal sama mertuamu si Sunarni dan Suteja itu?.”

Aku tidak menjawab lagi, hanya tersenyum tanda mengerti. Ya, siapa yang tidak kenal dengan mertuaku? Seorang pemilik tambak lele yang lumayan besar di desa tempatku tinggal. Sebenarnya mas Jazi bukanlah berasal dari kurang mampu. Bapak sama ibu mas Jazirah, selain memiliki beberapa tambak lele, juga memiliki banyak sawah yang luasnya mencapai lima hektar.

Tapi sayang, karena nekat menikahi anak yatim piatu yang miskin sepertiku, membuat mas Jazi dikucilkan oleh keluarganya. Mereka malu jika memiliki menantu yang tidak sepadan dengan mereka. Awalnya kami hidup baik-baik saja, mas Jazi bekerja sebagai ojek dengan motor butut miliknya. Satu-satunya harta yang boleh dibawanya dari rumah kedua orang tuanya.

Karena jangankan fasilitas, restu saat menikahpun tidak kami kantongi, hingga akhirnya anak keduaku, Bumi lahir ke dunia, keadaan ekonomi kami semakin sulit, motor milik mas Jazi sering mogok, yang membuatnya tidak bisa bekerja sebagai ojek. Akirnya mas Jazi memutuskan bekerja di pasar, hingga akhirnya menjadi penjaga toko sembako di Gede Besar.

Bukannya mas Jazi tidak ingin bekerja yang lebih layak. Tapi semua berkas Ijazah pendidikan mas Jazirah ditahan oleh kedua orang tuanya. Katanya mereka mahal meyekolahkan anaknya itu, makanya, ketika mas Jazi nekat menikah denganku walau tanpa restu mereka, Ibu dan Bapak menahan semua pemberiannya kepada mas Jazi, termasuk ijazah sekolah. Tanpa ijazah, sangat sulit bagi suamiku itu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.

Sungguh jauh dari kata manis, masa-masa pengantin baru kami diisi berbagai drama keluarga. Sesaat setelah akad nikah yang kami lakukan di KUA desa, mas Jazirah mengajakku untuk berkunjung ke rumah orang tuanya. Berharap mereka luluh karena kamipun sudah menikah, namun jauh api dari panggang, kami diusir seperti pengemis yang meminta sedekah.

Akhirnya kami memutuskan untuk mengontrak rumah dengan sisa uang tabunganku dari hasil bekerja di rumah makan. Berbagai usaha kami lakukan agar membuat keluarga mas Jazi menerima pernikahan kami, tapi hasilnya nihil. Kami seperti tidak dianggap di mata mereka. Bahkan saat kelahiran Langit, mas Jazi berniat mengenalkan anak kami kepada kakek neneknya, namun kedatangan kami di sambut dengan siraman air dari tambak lele. Kotor dan Bau sekali.

Hancur hatiku kala itu, perlakuan keluarga mas Jazi benar-benar sudah di luar batas, tidak apa-apa mereka tidak bisa menerimaku, tapi setidaknya mereka bisa menerima cucu kandung mereka sendiri, langit adalah darah daging anaknya, ada darah keluarga mereka mengalir di tubuh anak-anakku. Sejak saat itu kuputuskan untuk tidak lagi berkunjung ke rumah mertuaku.

Hingga akhirnya kami mendengar kabar jika bapak mertuaku sakit keras, mas Jazi ditelpon oleh adik nya untuk segera pulang, karena bapak terus memanggil nama anak lelaki satu-satunya tersebut. Setelah menerima kabar itu, kami bergegas ke rumah mertuaku menggunakan motor butut mas Jazi.

Kami sampai ke rumah dan mas Jazi langsung dipersilahkan masuk untuk menemui bapak mertua, sedangkan aku dan anak-anak? Disuruh masuk pun kami tidak. Aku dan anak-anak memutuskan untuk menunggu mas Jazi di teras rumah.

Sungguh perih, setidaknya biarkan anak-anakku masuk. Mereka kepanasan menunggu di teras. Langit mereka minta makan, karena memang tadi kami belum sempat sarapan di rumah, tapi bagaimana mungkin, bahkan pintu rumah pun tertutup rapat. Akhirnya aku mengajak langit dan Bumi pulang dulu ke kontrakan untuk makan.

Bersambung ….

Haduh … kasian bener ya nasib Gianira dan anak-anaknya 😭

Hmm … nantikan kelanjutan ceritanya ya kakak!

Jangan lupa like, komen dan kasih bintang lima di cerita Kami Bisa Tanpamu Mas, ya!

Dan jangan lupa follow akun othor juga

Happy Reading semua❤️

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Junaedy Herman
bagaimanapun mertua akan menyesali kekejamannya
goodnovel comment avatar
Kim_Bot 11
ada yah mertua kaya gitu , ayo gianira , buktikan kalo kamu bisa tanpa suami , .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status