Share

Bab 7 | Awal Mula Mas Berubah

Kami sampai ke rumah dan mas Jazi langsung dipersilahkan masuk untuk menemui bapak mertua, sedangkan aku dan anak-anak? Disuruh masuk pun kami tidak. Aku dan anak-anak memutuskan untuk menunggu mas Jazi di teras rumah.

Sungguh perih, setidaknya biarkan anak-anakku masuk. Mereka kepanasan menunggu di teras. Langit mereka minta makan, karena memang tadi kami belum sempat sarapan di rumah, tapi bagaimana mungkin, bahkan pintu rumah pun tertutup rapat. Akhirnya aku mengajak langit dan Bumi pulang dulu ke kontrakan untuk makan.

=====================================================

Sesampainya di kontrakan aku segera menyiapkan makanan untuk Langit dan Bumi, anak-anak makan dengan lahap sekali, selain kelaparan, mereka juga kehausan, menunggu cukup lama di teras rumah dari pagi hingga siang hari tentu membuat mereka kelelahan. Akhirnya setela selesai makan kedua anakku tertidur, sementara aku membereskan bekas makan mereka.

Hari sudah beranjak malam, tapi belum ada tanda-tanda mas Jazi pulang dari rumah orang tuanya. Aku memang memutuskan untuk tidak lagi menyusul mas Jazi ke sana, karena aku takut jika nanti aku dan ana-anakku hanya di anggap patung tak berguna. Lagipula, Langit dan Bumi tertidur hingga sore.

Sekitar jam sepuluh malam terdengar suara motor mas Jazi, malam sekali dia baru pulang, aku sampai ketiduran menunggunya. Segera aku bukakan pintu untuknya. Terlihat raut sedih di mata mas Jazi, namun aku enggan bertanya terlebih dahulu, lebih baik aku siapkan dia teh hangat dan baju ganti.

“Kamu kenapa pulang tidak ijin dulu sama aku atau ibuku, Dek?” tanya Mas Jazi ketika sedang menyeruput teh hangatnya.

“Tadi anak-anak lapar dan kehausan, Mas. Sementara aku dan anak-anak tidak dipersilahkan masuk sama keluargamu, jadi aku memutuskan untuk pulang saja, kasian anak-anak kehausan dan kelaparan,” sahutku menjelaskan.

“Tidak mungkin keluargaku tidak mengajak kalian masuk, Dek. Mereka sudah berubah, tadi saja mereka baik sekali sama Mas. Ibu kecewa kenapa kau pulang tetapi tidak ijin, ibu merasa tidak di hargai sama menantunya,” tutur Mas Jazi, terlihat raut wajahnya menunjukan ketidaksukaannya padaku.

Astaghfirullah, apalagi ini. Jelas-jelas kami tidak dianggap sama sekali di sana, bahkan suamiku itu tau sendiri bagaimana perlakuan keluarganya kepadaku dan anak-anaknya, kenapa sekarnag dia seperti meragukan aku?.

“Mas kan tau gimana perlakuan keluargamu sama kami, tadi setela kamu masuk ke rumah dan aku ingin menyusul, adekmu dengan sengaja menutup pintu dengan keras, bahkan Bumi menangis karena kaget. Jangankan ditawari minim, disuruh masuk saja kami enggak, Mas. Kami menunggu di teras, berharap dibukakan pintu, tapi nihil, jangankan dibukain pintu, diintip lewat jendela pun tidak. Sekarang gimana aku mau ijin sama kamu, handpone aja aku enggak punya, sementara mau masuk ditutupi pintu,” ujarku panjang lebar. Rasanya hati ini cukup panas mendengar penuturan Mas Jazi barusan.

“Kok kamu jadi sewot, Dek? Aku kan Cuma nanya, lagian kan orang bisa berubah termasuk keluargaku.” Mas Jazi beranjak meninggalkan ku sendiri di ruang tamu.

Sejak malam itu, mas Jazi seperti menjaga jarak kepadaku, dia jadi sering berkunjung ke rumah orang tuanya, tapi jangankan aku, anak-anak kamipun tidak diajaknya. Hampir setiap pekan ketika mas Jazi pulang ke rumah setelah sepekan bekerja di pasar, mas Jazi pasti lebih banyak di rumah orang tuanya. Dia hanya pulang dan meyerahkan gajinya kepada ku, kemudian pergi lagi.

Hingga akhirnya seperti sekarang ini, sudah hampir tiga minggu dia tidak pulang, dan kemarin aku secara tidak sengaja melihatnya dengan wanita lain di dalam mobil. Sampai kini aku tidak tau mengapa mas Jazi tidak pulang ke rumah. Aku ingin mencarinya ke rumah bapak dan ibu mas Jazi, tapi rasanya aku terlalu enggan untuk ke sana.

“Jangan lama-lama kamu cuci ayam itu, Gi. Nanti bisa tipis daging ayamnya kamu buat,” tegur bu Rosmalia, seakan menarik kembali perhatianku dari lamunan masa lalu.

“Eh – he iya, Bu, maaf.” Ucapku tidak enak.

“Kamu melamunkan apa? Sampai tidak konsentrasi seperti itu.”

“E-enggak, Bu. Oh iya, ini sudah selesai ayamnya, langsung saya baluri jeruk nipis ya, Bu,” ucapku mengalihkan pembicaraan.

“Gi, Gi! Kamu kalau memasak jangan melamun, tidak matang-matang nanti. Yaudah ibu tinggal ke belakang dulu, ya, mau liat anak-anak. Kok tidak ada suaranya.” Ibu Rosmalia beranjak meninggalkan ku sendiri di dapur.

Aku jadi malu sendiri mendapat sindiran secara halus seperti itu, harusnya aku bisa mengesampingkan dahulu masalah pribadiku, aku harus kerja dengan bersungguh-sungguh agar bu Rosmalia puas dengan kinerjaku di sini, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang beliau berikan kepadaku.

Kembali aku melanjutkan proses memasak, setelah melumuri ayam yang sudah di cuci dengan air perasan jeruk nipis, aku lanjut menyiapkan bumbu rempah-rempah yang akan ku gunakan untuk membuat ayam woku. Bu Ros bilang jika ayam wokunya dibuat agak pedas, karena semua anak-anaknya penikmat makanan pedas.

Sambil memasak ayam woku, akupun memarinasi paha ayam yang sengaja ku pisahkan dari ayam untuk masakan woku ku. Paha ayam tersebut akan dibuat ayam tepung kriuk, aku jadi teringat Bumi, dia suka sekali dengan ayam tepung kriuk, pernah suatu ketika Bumi menangis karena memintaku untuk membelikannya ayam tepung kriuk sapana yang mangkal di ujung jalan raya, tapi karena tidak punya uang lebih, aku hanya mampu membelikannya bagian kepalanya saja.

“Mbak pasti yang namanya mbak Gianira, ya?” tanya seorang wanita muda ketika dia menemui ku di dapur.

“Benar, Mbak. Saya Gianira.”

“Mbak lagi masak apa? Kemarin kata ibu, mbak Gi ya yang masak? Enak tenan lho, Mbak! Masku yang biasanya enggak gitu suka makan aja jadi nambah dua piring. Hi hi hi,” tutur wanita itu yang ternyata bernama Rimaya, anak kedua bu Rosmalia.

“Oalah, mbak bisa saja. Saya jadi malu,” jawabku sambil memotong motong wortel untuk dibuat menjadi bakwan sayur.

“Dua anak laki-laki yang lagi sama ibu itu anak-anak mbak, ya? Lucu-lucu mbak. Sopan lagi, Rima suka deh sama anak kecil yang sopan kayak anak-anak mbak Gianira gitu, siapa namanya tadi?”

“Langit dan Bumi, Mba Rima.”

“Namanya bagus deh, Mbak. Oiya ada yang bisa aku bantu enggak nih, kebetulan aku lagi gabut, Mas Riza lagi tidur jadi enggak ada yang nemenin aku ngobrol deh.”

Aku hanya tersenyum menanggapi ocehan putrinya bu Rosmalia ini, Rima anak yang supel, usianya baru menginjak angka dua puluh satu tahun, sedang kuliah semester enam di Bandung, dia tinggal bersama Kakaknya, mas Riza. Aku senang, setidaknya mbak Rima tidak seketus mas Riza, aku jadi tidak terlalu canggung jika berhadapan dengannya.

Berkat bantuan mbak Rima, semua masakan jadi bisa matang lebih cepat dari perkiraanku, ternyata mbak Rima juga hobi memasak, sama seperti bu Rosmalia, kata mbak Rima, biasanya jika sedang pulang ke rumah seperti ini, dia yang akan membantu bu Rosmalia memasak, tapi karena bu Rosmalia sedang tidak enak badan, jadi mungkin itulah mengapa beliau memintaku bekerja kepadanya.

Aku menata semua masakan yang telah matang di atas meja makan, tidak lupa aku menata piring dan gelas untuk ku isi air putih juga. Setelah semua sudah siap, aku menghampiri bu Rosmalia untuk memberitahukan jika makanan suda terhidang. Tapi langkahku terhenti ketika tanpa sengaja, telingaku menangkap suara tangisan dari dalam kamar mas Riza. Siapa yang menangis? Apa mas Riza?.

Bersambung ….

Hayoo siapa kira-kira yang nangis di kamar? Hi hi hi.

Hmm … nantikan kelanjutan ceritanya ya kakak.

Jangan lupa like, komen dan kasih bintang lima di cerita Kami Bisa Tanpamu Mas, ya!

Dan jangan lupa follow akun othor juga ! 😎

Happy Reading semua❤️

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Junaedy Herman
semoga penderitaan mereka cepat berlalu
goodnovel comment avatar
Titih
ga usah ngulang d bab slnjut'y dong thor kn sayang koin...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status